Oleh: Krishna Devi Kurniawan
A. PENDAHULUAN
Kepribadian secara umum diartikan sebagai kebiasaan, sikap, sifat yang dimiliki seseorang yang berkembang ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Kepribadian juga sering diartikan sebagai ciri tertentu yang menonjol pada diri individu. Sehingga kepribadian individu tampil atau menimbulkan kesan bagi individu-individu lainnya.
Teori mengenai pengembangan kepribadian penting untuk dipelajari bagi calon pendidik. Dengan kemampuan memahami anak didik dan tingkat pengembangan kepribadiannya masing-masing, maka proses pembelajaran akan berjalan dengan efektif dan efisien. Pada akhirnya, tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan baik.
Konsep Pengembangan Kepribadian seringkali dikaitkan dengan sudut pandang agama atau kepercayaan, karena didalam kata “kepribadian” terdapat intisari mengenai diri atau jiwa. Filsafat mengenai keberadaan dan pengembangan atau perubahan diri tersebut tentunya dimiliki oleh setiap agama atau kepercayaan. Artikel ini akan menampilkan satu ajaran dalam Buddhisme yang dapat digunakan sebagai landasan pengembangan kepribadian.
Sebelum membahas dari sudut pandang Buddhisme, kita akan melihat teori pengembangan kepribadian dari sisi ilmiah terlebih dahulu. Berikut adalah dua teori mengenai kepribadian yang terkenal dan digunakan sebagai pedoman dalam berbagai cabang ilmu psikologi dan pendidikan:
- Teori Kepribadian Gordon Allport
Menurut Gordon Allport, kepribadian adalah organisasi dinamik dalam sistem psikofisik individu yang menentukan penyesuaian yang unik dalam lingkungannya. Kepribadian merupakan suatu fenomena dinamik yang memiliki elemen psikologik dan fisiologik, yang berkembang dan berubah. Hereditas memainkan peran penting dalam membentuk kepribadian seseorang, disamping kecerdasan dan kondisi fisik.
Kepribadian menurut Gordon Allport memiliki tiga unsur pokok, yaitu: Dynamic Organization (terus-menerus berkembang dan berubah, namun terorganisir), Psychophysical System (kesatuan sistem mental dan neural/fisik), dan Determined (berperan aktif dalam membentuk tingkah laku seseorang).
- Teori Tabularasa John Locke
Tabularasa secara harfiah berarti “kertas kosong”. Teori tabularasa menyatakan bahwa otak manusia pada waktu dilahirkan sama halnya seperti sebuah kertas kosong, yang nantinya akan ditulis dan diisi dengan berbagai pengalaman-pengalaman. Semua pengetahuan dalam diri manusia yang tampak dari perilaku atau kepribadiannya adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa yang diamati dan dialami oleh manusia itu sendiri.
Penerus gagasan ini (John Watson) kemudian mengembangkan hipotesis Stimulus-Respon, yang menyebutkan bahwa perilaku atau kebiasaan terbentuk dari adanya pembenaran suatu reaksi (respon) yang diberikan terhadap rangsangan (stimulus).
B. TEORI KEPRIBADIAN DALAM BUDDHISME
Buddhisme memiliki konsep mengenai “diri” yang tidak mutlak yang disebut sebagai “anatta”. Di dalam Anattalakkhana Sutta (SN 22.59), dijelaskan bahwa Anatta terbentuk dari Sila Khanda (kelompok kehidupan) yang terdiri dari Rupa (badan jasmani), Vedana (perasaan), Sañña (pencerapan), Sankhara (bentuk pikiran) dan Viññana (kesadaran). Kelima Khanda ini tidak dapat berdiri sendiri dan timbul-lenyap dibawah pengaruh Tanha atau nafsu keinginan. Kesadaran dan pengendalian terhadap Khanda inilah yang diajarkan sebagai jalan suci menuju kondisi bebas dari kemelekatan atau Nibbana.
Bila konsep “diri” dalam Buddhisme ini dikaitkan dengan teori kepribadian dari para pakar di bagian sebelumnya, kita dapat menarik benang merah diantara keduanya. Pertama, kepribadian adalah hal yang dinamik. Hal ini sesuai dengan konsep Anatta dan Sila Khanda yang sifatnya selalu berubah-ubah karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi. Faktor seperti kondisi fisik jelas bisa membentuk kepribadian seseorang. Perubahan perasaan, pencerapan, bentuk pikiran dan kesadaran juga dapat mempengaruhi perilaku. Bila perilaku tersebut terjadi berulang-ulang maka akan menjadi suatu kebiasaan atau mengubah kepribadian orang tersebut. Kedua, teori Tabularasa dan teori Stimulus-Respon, juga memiliki kesamaan dengan konsep “tabur-tuai” dalam Buddhisme. Setiap tindakan dan pengalaman yang didapatkan seseorang pada akhirnya akan membentuk kepribadiannya. Dalam Buddhisme, hal ini dipahami sebagai bekerjanya hukum karma. Bahwa apa pun yang dilakukan dengan disertai niat akan membawa dampak di kemudian hari. Walaupun demikian, pernyataan bahwa manusia terlahir seperti sebuah kertas kosong tampaknya tidak benar-benar sesuai. Karena dalam ajaran Buddha, kita meyakini bahwa setiap manusia terlahir dan terkondisi dari karmanya sendiri. Dan oleh karena itu, setiap manusia terlahir ke dunia ini dengan membawa “bibit-bibit” karmanya sendiri dan tidak dapat sepenuhnya diidentikkan dengan istilah “kertas kosong” dalam teori Tabularasa.
Buddhisme juga menganjurkan umatnya untuk senantiasa berjuang demi kehidupan yang lebih baik sampai pada akhirnya mencapai Pembebasan. Guru Buddha mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan (Arya Atthangika Magga) sebagai satu-satunya jalan untuk terlepas dari lingkaran samsara. Salah satu unsur Jalan Mulia tersebut adalah Sammavayama (Daya Upaya atau Usaha Benar).
Di dalam uraian Tipitaka, penjelasan lebih lanjut mengenai Daya Upaya Benar juga dijelaskan dalam konsep Sammappadhana. Sammappadhana mempunyai pengertian yang serupa dengan Sammavayama yaitu usaha yang benar atau usaha langsung menuju keadaan bebas dari dukkha. Sammappadhana sering disebutkan dan dicontohkan dalam khotbah-khotbah Buddha. Ini menunjukkan bahwa Usaha Benar adalah salah satu ajaran yang penting dan perlu ditekankan untuk dilaksanakan oleh murid-murid Sang Buddha. Berikut adalah beberapa uraian mengenai Sammappadhana;
Samyutta Nikaya 49.1
Di dalam kelompok Maha Vagga Bab 5, yaitu Sammappadhānasaṃyutta, Guru Buddha memberikan khotbah di Savatthi mengenai Usaha Benar.
“Para bhikkhu, seperti halnya Sungai Gangga yang menurun, miring, dan condong ke arah timur, demikian pula seorang bhikkhu yang mengembangkan dan melatih empat usaha benar akan menurun, miring, dan condong ke arah Nibbāna. Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu mengembangkan dan melatih empat usaha benar sehingga ia menurun, miring, dan condong ke arah Nibbāna? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memunculkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengarahkan pikirannya, dan berupaya. Ia memunculkan keinginan untuk meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang telah muncul, ia memunculkan keinginan untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul, ia memunculkan keinginan untuk mempertahankan kondisi-kondisi bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidakmundurannya, untuk meningkatkannya, untuk memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan. Ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengarahkan pikirannya, dan berupaya. Ini adalah empat usaha benar…” (SN 49.1)
Di Bagian akhir Sammappadhanasamyutta juga disebutkan bahwa Empat Usaha Benar harus dikembangkan demi pengetahuan langsung atas lima belenggu yang lebih tinggi; nafsu akan bentuk, nafsu akan tanpa-bentuk, keangkuhan, kegelisahan dan kebodohan.
Uraian dalam Samyutta Nikaya ini pada intinya adalah pentingnya Sammapaddhana untuk mengatasi sepuluh belenggu atau Dasa Samyojana. Lima belenggu yang pertama adalah belenggu tingkat rendah (orambhāgiyāni saṃyojanāni) yang dapat diberantas segera setelah menjadi seorang pemasuk-arus atau sotapanna, dan lima belenggu terakhir disebut belenggu tingkat tinggi (uddhambhāgiyāni saṃyojanāni), yang diberantas oleh seorang arahat.
Anguttara Nikaya 9.73
Di dalam Anguttara Nikaya, Sammappadhana juga disebutkan kembali sebagai usaha yang harus dikembangkan untuk meninggalkan lima kualitas buruk dalam latihan moralitas. Latihan moralitas ini adalah Pancasila Buddhis.
“Para bhikkhu, ada lima halangan dalam latihan ini. Apakah lima ini? Membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, hubungan seksual yang salah, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan lainnya. Empat usaha benar harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan ini. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul; Ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan keinginan untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang belum muncul; Ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan keinginan untuk mempertahankan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidakmundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Keempat usaha benar ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan ini.” (AN 9.73)
Anguttara Nikaya 4.69
Uraian serupa lainnya ditemukan juga dalam bagian lain Anguttara Nikaya, yaitu dalam Padhana Sutta, dimana Sang Buddha membabarkan Empat Usaha (Padhana) kepada para bhikkhu.
“Para bhikkhu, ada empat usaha ini. Apakah empat ini? Usaha dengan mengendalikan, usaha dengan meninggalkan, usaha dengan mengembangkan, dan usaha dengan melindungi.
Dan apakah, para bhikkhu, usaha dengan mengendalikan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan mengendalikan.
Dan apakah usaha dengan meninggalkan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan meninggalkan.
Dan apakah usaha dengan mengembangkan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk memunculkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan mengembangkan.
Dan apakah usaha dengan melindungi? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk mempertahankan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkan, memperluas, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan melindungi.
Ini adalah keempat usaha itu.” (AN 4.69)
Dari ketiga sutta di atas, empat Sammappaddhana atau Usaha Benar secara singkat dapat diringkas sebagai berikut:
- Samvara Padhana (Usaha benar mengendalikan)
Usaha untuk mengendalikan disini berarti usaha untuk tidak memunculkan akusala-dhamma (hal-hal buruk yang tidak bermanfaat). Pengendalian atas panca indera dan pikiran adalah cara untuk pengendalian diri. Misalnya, dengan menghindari tontonan berisi hal-hal negatif atau provokatif, maka kita sudah mempraktikkan usaha benar Samvara Padhana.
- Pahana Padhana (Usaha benar meninggalkan)
Bersamaan dengan usaha pengendalian, harus dilakukan juga pembasmian terhadap kekotoran batin atau kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang terlanjur muncul. Hal ini dapat dibantu dengan memunculkan kebajikan di dalam batin. Kebajikan (kusala-dhamma) dan keburukan (akusala-dhamma) sifatnya selalu berlawanan. Bila akusala-dhamma muncul dan menguasai batin, maka kusala-dhamma dapat tersingkir. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, seseorang harus berusaha agar kusala-dhamma selalu mendominasi suasana batinnya.
- Bhavana Padhana (Usaha benar mengembangkan)
Pikiran yang datang selalu timbul-lenyap silih berganti. Pikiran yang baru terbentuk segera setelah pikiran yang sebelumnya hilang. Dengan pelatihan sila, samadhi dan pañña yang terus-menerus, maka pikiran baru yang timbul hendaknya mengarah ke hal-hal yang baik (kusala dhamma). Pedoman lain dalam ajaran Buddha seperti catur brahma vihara (metta, karuna, mudita, upekkha) juga tentunya mendukung praktik Bhavana Padhana ini.
- Anurakkhana Padhana (Usaha benar mempertahankan)
Usaha benar tidak berhenti setelah kusala dhamma berhasil dikembangkan. Usaha yang lebih kuat bahkan dibutuhkan untuk mempertahankan kondisi yang baik atau kebajikan tersebut. Karena segala faktor di sekitar kita pada dasarnya adalah selalu bergerak dan berubah, maka dampaknya kepada tiap individu juga senantiasa berubah-ubah. Potensi untuk timbulnya akusala dhamma atau melemahnya kusala dhamma selalu ada. Untuk mempertahankannya, maka diperlukan kesadaran yang kuat. Praktik meditasi yang rutin misalnya, dapat membantu menciptakan batin yang selalu sadar atau waspada.
C. PENUTUP
Keempat usaha benar dalam Sammappadhana merupakan hal yang harus dipraktikkan bersamaan dan saling berhubungan satu sama lain. Apabila keempatnya dapat dilaksanakan dengan berkesinambungan, maka akan menciptakan kondisi batin yang mampu menghalau akusala dhamma (hal-hal yang buruk atau tidak bermanfaat). Kondisi seperti demikian akan dimiliki oleh seseorang yang bijak atau dalam kata lain seseorang dengan kepribadian yang baik dan terpuji.
Buddhisme mengajarkan umatnya untuk senantiasa berjuang untuk membebaskan diri dari lingkaran samsara. Seorang Buddhis yang baik mampu menyadari bahwa kehidupan saat ini pada dasarnya adalah dukkha, anicca dan anatta. Segala sesuatu yang terjadi dan terkondisi adalah tidak kekal dan dapat berubah. Dengan demikian, kita semua harus terus berusaha demi kehidupan yang lebih baik (baik kehidupan saat ini, maupun kehidupan berikutnya). Melalui praktik Sammapaddhana / Usaha Benar dalam kehidupan sehari-hari, maka umat Buddha seharusnya mampu menjadi individu yang bermoralitas tinggi dan pada akhirnya dapat mengembangkan kepribadian yang bijak dan berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka
Bhikkhu Bodhi. 2015. Aṅguttara Nikāya Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, Jilid 4, DhammaCitta Press, Jakarta: DhammaCitta Press.
Bhikkhu Bodhi. 2010. Khotbah-khotbah Berkelompok Sang Buddha Terjemahan baru Saṃyutta Nikāya, Buku 5 Mahāvagga, Jakarta: DhammaCitta Press.
Referensi dari internet:
Kompasiana.com, Teori Kepribadian Gordon Allport, <https://www.kompasiana.com/ummah.najma.com/555eea31f0927363048b45a5/teori-kepribadian-gordon-allport>
Suttas.com, Sammappadhana Samyutta on the Right Strivings, <http://www.suttas.com/chapter-5-sammappadhana-samyutta-on-the-right-strivings.html>
Dhammacitta.org, AN 4.275: Sammappadhāna Sutta, <https://dhammacitta.org/teks/an/an4/an4.275-id-bodhi.html>
Dhammacitta.org, AN 4.69: Padhāna Sutta, <https://dhammacitta.org/teks/an/an4/an4.69-id-bodhi.html>
Moni Ayu Lestari dan Eko Kuntarto, Hipotesis Tabularasa, <https://repository.unja.ac.id/5952/1/03.%20Hipotesis%20Tabularasa.pdf>
Kompas.com, Pengertian Kepribadian Menurut Ahli, https://www.kompas.com/skola/read/2023/02/28/230000769/pengertian-kepribadian-menurut-ahli-?page=all
Gambar: https://pepnews.com/humaniora/p-e166c8999353073/kepribadian-vs-karakter.