Oleh: Jo Priastana
“To deny people of their human rights is to challenge their very humanity”
(Nelson Mandela 1918-2013, Tokoh Perdamaian, Presiden Afrika Selatan 1994-1999)
Diskursus soal Hak Asasi Manusia (HAM) selalu muncul pada peringatan Deklarasi Universal HAM, 10 Desember. Peringatan deklarasi HAM tidak bisa dilepaskan dari masih banyaknya kasus dan peristiwa pelanggaran HAM seperti pengabaian hak asasi warga negara, misalnya terkait kebebasan beragama, hak beribadah yang dijamin HAM dan konstitusi.
Dalam perkembangan HAM, hak asasi manusia dalam beragama termasuk dalam generasi pertama. Generasi pertama HAM itu misalnya: hak untuk hidup, perlindungan dari penindasan dan penyiksaan fisik, persamaan di muka hukum, hak mengeluarkan pendapat dan lain-lainnya.
Ini menunjukkan hak asasi manusia dalam beragama khususnya menyangkut kebebasan beragama sungguh-sungguh merupakan hak asasi manusia yang paling dalam dan patut dihormati. Karenanya Hak Asasi Manusia dalam kebebasan beragama ini patut mendapat perlindungan karena mencerminkan keluhuran martabat manusia.
Tiga Generasi HAM
Deklarasi Universal HAM (pasal 18) menyatakan: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama orang lain, baik di tempat umum maupun secara sendiri.
Kendati hak asasi dalam beragama muncul lebih awal dari generasi HAM berikutnya dan merupakan hak asasi manusia yang paling dalam, namun bukan berarti HAM lainnya seperti yang berkembang dalam generasi HAM yang kedua dan generasi HAM yang ketiga tidaklah penting atau harus dikalahkan. Sebab seringkali terjadi, kemunculan konflik yang bertendensi agama atau perwujudan HAM dalam kebebasan beragama itu seringkali kali juga berakar atau disebabkan dari belum terealisasinya HAM generasi kedua maupun HAM generasi ketiga.
Karenanya, perwujudan tiga generasi HAM itu juga harus dilakukan secara sejalan, beriringan karena satu sama lain saling mengandaikan. Belum terpenuhinya hak atas pangan atau kesempatan partisipasi dalam pembangunan, seperti yang muncul dalam HAM generasi kedua dan ketiga misalnya, bisa juga menjadi faktor dari munculnya hambatan dalam kebebasan beragama.
Generasi HAM kedua itu misalnya menyangkut: hak atas lapangan kerja, hak mogok, hak atas jaminan dan keamanan sosial, hak atas pangan, hak atas perawatan kesehatan, hak atas pendidikan, hak untuk bebas berpartisipasi secara aktif maupun pasif dalam kehidupan budaya dan memajukan ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Sedangkan HAM generasi ketiga misalnya menyangkut: hak atas pembangunan dan berpartisipasi dalam pembangunan, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak kaum perempuan untuk tidak didiskriminasi, dan sebagainya.
Memang, HAM selalu berkembang seturut dengan kompleksitas dan dinamika perkembangan zaman dan kehidupan manusia, dari yang bersifat perlindungan HAM individual, berlanjut pada hak partisipasi warga hingga hak atas kelestarian lingkungan. Secara historis Hak Asasi Manusia dirumuskan dalam rangka melindungi hak individu terhadap kekuasaan negara yang pada abad ke-17 dan ke-18 mengarah ke absolutisme.
Namun, selanjutnya hak individu tersebut tidak hanya terancam oleh negara saja melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan sosial lain, seperti organisasi pengusaha, serikat-serikat buruh, perusahaan-perusahaan monopoli, badan-badan keagamaan, dan lain sebagainya. Terhadap ini pun, hak asasi manusia perlu mendapat jaminan. Jadi, HAM yang menyangkut kebebasan beragama itu, perlindungannya tidak semata dituntut dari negara, namun juga institusi-institusi sosial lainnya, termasuk dari sesama institusi agama.
Kebebasan beragama merupakan tuntutan mutlak dari setiap warga masyarakat, karena itulah kebebasan ini muncul dalam HAM generasi pertama. Prinsip dari HAM ini adalah baik negara dan institusi kemasyarakatan wajib melindungi dan menghormati keyakinan agama pemeluknya. Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (ayat 1). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (ayat 2).
Negara Pancasila menjamin kemerdekaan agama pemeluknya, dan ini menunjukkan bahwa negara Pancasila bukanlah negara agama, karena Pancasila sebagai ideologi negara bukan bersumber dari suatu agama tertentu. Dalam agama Buddha, terdapat prinsip untuk melindungi dan menghormati keyakinan beragama seseorang, sebagaimana dicontohkan Sang Buddha, diantaranya adalah ketika ada seseorang bernama Upali hendak menjadi pengikutnya.
Upali, seorang hartawan terkemuka, dikirim oleh gurunya Nataputta, kaum Jaina untuk berdebat dengan Buddha mengenai beberapa aspek hukum karma. Pada akhir perdebatan, Upali memperoleh keyakinan bahwa pandangan Buddha yang benar dan gurunya sendiri keliru. Ketika ia mengajukan permohonan untuk menjadi upasaka, Buddha juga memintanya agar berpikir matang-matang, dan agar selalu tetap menghormati gurunya (M.I. 378-380).
Pedoman dalam masyarakat Buddhis lainnya yang menganjurkan untuk mewujudkan sikap saling toleransi dan saling menghormati dalam kehidupan beragama adalah seperti yang diperlihatkan oleh Raja Asoka (abad ke-3 SM). Dekrit toleransi beragama Raja Asoka ini dapat dibaca dari Prasasti Batu Kalinga No. XXII: “Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang, selain menguntungkan pula agama lain. Jika kita berbuat sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri, disamping merugikan agama lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain, semata-mata terdorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri, justru ia akan merugikan agamanya sendiri. Karena itu, kerukunan dianjurkan dengan pengertian biar semua orang mendengar dan bersedia mendengarkan ajaran yang dianut orang lain.”
HAM yang berkembang dalam generasi HAM kedua juga perlu mendapat perhatian bagi terwujudnya HAM kebebasan beragama yang terdapat dalam HAM generasi pertama. Dalam HAM generasi kedua, misalnya terdapat HAM mengenai hak orang atas pangan yang yang perlu tersedia dan tercukupi. Disini memperlihatkan adanya faktor ekonomi yang harus dipenuhi yakni kebutuhan dasar manusia akan pangan.
Dalam agama Buddha, faktor pemenuhan kebutuhan pangan atau ekonomi ini juga mendapat perhatian utama. Dikatakan bahwa orang tidak akan mendengarkan ajaran agama bila perutnya kosong. Ini dikatakan Sang Buddha sendiri bahwa kelaparan adalah penyakit yang terbesar (Dhammapada 203). Dalam kesempatan lain, Buddha mengatakan, seseorang yang dilanda kelaparan tidak akan memungkinkan mendengarkan Dharma dengan sebaik-baiknya.
Kebebasan Beragama, Ekonomi dan Partisipasi
Bagaimana membaca pernyataan ini dalam konteks HAM dalam kebebasan beragama. Tentunya ada hikmah yang bisa diambil, bahwa suatu kehidupan yang damai (sebagaimana yang dicita-citakan orang beragama) hanya akan tercapai jika kebutuhan perut masyarakatnya telah terpenuhi terlebih dahulu. Konflik di antara masyarakat sering terjadi karena faktor kemiskinan dan kelangkaan pangan. Ketika kemiskinan dan kelaparan melanda suatu masyarakat, maka sentimen keagamaan akan mudah tersulut dan mengakibatkan terjadinya pertikaian.
Disini barangkali juga penting memperhatikan kritik Karl Marx (1818-1883), bahwa agama sebagai bangunan atas atau suprastruktur hanya akan terpenuhi atau terwujud bila bangunan bawah atau infrastruktur sudah terpenuhi terlebih dahulu. Karl Marx menyatakan, adalah lebih utama mewujudkan pemenuhan ekonomi masyarakat, kesejahteraan dan keadilan dalam bidang ekonomi terlebih dahulu ketimbang mengurusi masalah suprastruktur seperti ide, pemikiran dan juga agama. Belum terpenuhinya infrastruktur ekonomi hanya akan menciptakan sumber konflik dan pertentangan, karena bangunan bawahlah yang mencerminkan bangunan atas.
Tetapi, pendapat Karl Marx itu juga perlu juga mencermati hal lainnya. Persoalan hak asasi yang menyangkut ekonomi dalam HAM generasi kedua misalnya, di dalam konteks HAM yang menyangkut kebebasan beragama yakni kebebasan orang dalam beragama terutama yang menyangkut pengajaran dan penyebaran agama, hanya sungguh-sungguh terwujud dengan baik tanpa menimbulkan konflik bila terlebih dahulu terpenuhinya HAM kebebasan beragama.
Hak asasi manusia atas pangan, atau perhatian atas sektor ekonomi itu hendaknya dibaca dalam arti keseluruhan dalam rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera dan adil, dan tidak semata dalam kerangka semangat misionaris, yaitu memberikan bantuan ekonomi kepada seseorang atau sekelompok orang demi mengagamakan orang atau kelompok yang bersangkutan dengan sama sekali tidak menghormati keyakinan agama yang telah dianut orang atau kelompok itu.
Begitu pula, menyangkut kebebasan beragama dalam konteks HAM generasi ketiga, misalnya, perlunya dipastikan tidak adanya monopoli dari suatu kelompok terhadap hak warga negara lainnya atas pembangunan dan partisipasinya dalam pembangunan. Menyangkut HAM generasi ketiga ini, adalah hak orang beragama pula atas lingkungan hidup yang sehat, lingkungan yang mendukung bagi perwujudan keyakinan beragamanya, serta hak kaum perempuannya untuk tidak didiskriminasi sebagai sesama warga negara baik oleh negara maupun oleh institusi-institusi sosial lainnya. (JP)**
(Naskah ini pernah disampaikan dalam “Pelatihan Nasional Advokasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia,” Yayasan Lembaga Advokasi Dan Hak Asasi Manusia – PGI; 13 Nopember 2003, di Wisma PGI, Cipayung, Bogor, Jawa Barat)
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: https://nhanquyen.vietnam.vn/uploads/images/image_750x_5fca6e2504fcc.jpg