Oleh: Jo Priastana
“Sejarah berulang, pertama sebagai sebuah tragedi
dan yang kedua sebagai sebuah peristiwa yang absurd”
(Karl Marx, 1818-1883, Filsuf dan Ekonom Jerman)
Dunia modern yang dimulai sejak Renaissance, kebangkitan filsafat Yunani, pencerahan Aufklarung dan humanisme pada abad 15 telah menghantar tumbuhnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun tampaknya, modernisme telah terlewati dan memasuki apa yang dikenal sebagai postmodernisme. Bahkan posmo yang tumbuh sejalan dengan era komputer ini pun dipandang sudah berjalan jauh memasuki zaman digitalisasi yang bercirikan algoritma dan kecerdasan artifisial.
Secara terminologis, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern yang dianggap gagal memenuhi janji-janjinya. Pada awalnya, postmodernisme adalah sebuah gerakan intelektual yang lahir sebagai respon terhadap kaum modern atau modernism. Modernisme yang dianggap telah gagal memenuhi harapan dan janji-janjinya sendiri yang bersumber pada kebangkitan kembali filsafat Yunani yang mendatangkan pencerahan dan kekuatan otonomitas manusia.
Postmodern mengkritik modernisme yang telah menyebabkan sentralisasi dan universalisasi ide di berbagai bidang ilmu dan teknologi dan pengaruhnya dalam globalisasi dunia. Modernisme yang menganggap kebenaran ilmu pengetahuan bersifat mutlak serta objektif dipandang telah menghadirkan degradasi nilai-nilai kemanusiaaan. Terjadi Perang Dunia 1 dan 2 serta ancaman PD 3, kerusakan lingkungan, ancaman kelestarian bumi serta kehidupan agama yang cenderung legal-formalistik.
“The End of Modernism”
Sejumlah teori sosial postmodern pun lahir dan berkembang dari tokoh-tokoh pemikirnya, diantaranya Jean Francois Lyotard, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jean Baudrillard, dan lain-lainnya. Kemunculan Posmo yang menenggelamkan zaman modern yang dikatakan telah gagal itu juga menghadirkan pemikiran yang bertemakan masa akhir modernisme melalui buku-buku yang berjudul dengan frasa “The End”.
Ada buku yang fenomenal, “The End of History and The Last Man”. Karya Francis Fukuyama tahun 1992 yang merupakan perluasan esainya tahun 1989, “The End of History?”. Terbit pertama di tahun 1992, dalam buku ini, Fukuyama berpendapat bahwa kelahiran demokrasi liberat Barat mungkin menandakan akhir dari evolusi sosial budaya umat manusia dan bentuk pemerintahan manusia yang paling akhir.
Sebelumnya kritik terhadap modernisme itu diawali dengan hadirnya buku “The End of Ideology”, oleh Daniel Bell (1919-2911), Sosiolog Amerika. Buku yang terbit pada tahun 1960 ini mengungkapkan tentang habisnya ide politik di tahun lima puluhan. Sang penulis sendiri menggambarkan dirinya sebagai “Sosialis di bidang ekonomi, liberal dalam politik, dan konservatif dalam budaya, juga sebagai Intelektual Amerika terkemuka di era pasca perang”.
Pada perkembangan akhir-akhir ini muncul buku-buku tentang dunia ilmu pengetahuan, fisika, kosmologi baik yang bersifat fiksi maupun ilmiah. Ada buku “The End of Everything,” sebuh novel tahun 2011 karya penulis Amerika Megan Abbott, yang mengandung cerita misteri berupa fiksi sejarah.
Selain itu, ada karya ilmiah yang juga berjudul “The End of Everything”, karya Katie Mack. Buku ini berbicara tentang astrofisika, terbitan pertama 9 Juni 2020. Nominasi dari Goodreads Choice Awards Best Science & Technology. (Astro physically Speaking oleh Katie Mack). Katherine Mack is a theoretical astrophysicist who studies a range of questions in cosmology, the study of the universe from beginning to end. Assistant Professor of Physics at North Carolina State University. (Wikipedia).
Kritik Terhadap Agama
Berkenaan dengan agama, para pemikir Posmo juga mengajukan kritiknya. Mereka menyatakan bahwa Zaman Modern pada umumnya hanya menghadirkan keagamaan yang formalistik, dogmatik, fundamentalistik, suatu bentuk keagamaan yang tidak subtansial dan tidak bersifat spiritual. Sikap keberagamaan seperti itu kerap menyebabkan terjadinya keterbelahan umat beragama, baik dalam antar kelompok agama maupun antar satu agama dalam bingkai keagamaannya masing-masing.
Hidup keagamaan yang sangat mengandalkan aspek-aspek formalistik ini juga didukung oleh hadirnya teknologi internet yang mengimplikasikan agama secara sempit. Hal ini membawa kepada berbagai pertikaian dan intoleransi antar umat beragama maupun antar kelompok dalam satu agama.
Posmo mengkritik terjadinya formalisme agama secara radikal. Sebuah kritik untuk membangkitkan semangat keberagamaan yang lebih mendalam-substansial. Kritik itu bersifat dekonstruktif terhadap dogma dan doktrin agama yang telah mentradisi dan salah dimaknai. Kritik posmo adalah kritis etis terhadap keagamaan yang bersifat materialis, mengejar tujuan-tujuan keduniawian layaknya kehidupan masyarakat yang semakin materialistik.
Karenanya, melewati zaman modern yang dikenal juga sebagai zaman posmo ini perlu ada upaya-upaya untuk melakukan tafsiran baru sesuai dengan semangat keagamaan yang sesungguhnya. Semangat keagamaan yang substansial, yang mendasarkan pada esensi agama yang bersifat esoterisme, dan dimaksudkan sebagai jalan sekaligus upaya-upaya rekonstruktif. Diharapkan agama kembali kepada esensinya yang bersifat esoteris dan bukan sekedar semata esoterisme yang bersifat fashionable.
Sikap keagamaan yang mengatasi legal-formalitisk-materialis atau sikap keagamaan yang substansial-spiritual. Sikap keagamaan yang penuh dengan kandungan welas asih serta perwujudannya dalam kepedulian kepada sesama manusia yang menderita tanpa memandang perbedaan dan bahkan kepada segenap makhluk lainnya.
Hui-ssu dan Masa Akhir Dharma
Istilah “The End” yang berkonotasi pada masa akhir yang menandai suatu zaman juga terdapat dalam sejarah agama Buddha, yaitu Masa Akhir Dharma. Daisaku Ikeda dalam bukunya, “Bunga Buddhisme Cina,” (Jakarta, PT Indira, 1992, hal: 104-107) menceritakan tentang masa akhir dharma. Kisahnya bisa menjadi pelajaran atau perbandingan untuk kehidupan beragama Buddha saat ini di zaman posmo ini.
Zaman Akhir Dharma dimana kehidupan beragama layaknya di zaman modern yang legalistik-materialistik sebagaimana dikritik oleh pemikir posmo bersama harapan akan bangkitnya kehidupan keagamaan yang bersifat spiritual. Oleh Daisaku Ikeda, harapan itu terdapat pada kehidupan agama yang esoteris seperti dalam aliran Mahayana yang bersumber pada Sutra Teratai, dan yang diakui dalam aliran Tien Tai maupun Nichiren.
Secara luas kalangan Buddhis Mahayana mempercayai bahwa dalam tahun-tahun setelah wafatnya Sakyamuni, agama yang didirikan Sang Buddha itu mengalami tiga tingkat atau tiga masa perkembangan yang berbeda-beda. Yang pertama disebut Zaman Dharma Tepat, juga dikenal sebagai Hari Awal Dharma, yang kedua Zaman Dharma Tiruan atau Hari Tengah Dharma, dan yang ketiga Akhir Dharma.
Sehubungan masa akhir dharma ini, Daisaku Ikeda mengungkapkan seorang tokoh bernama Hui-ssu (meninggal tahun 577 pada usia 62 tahun). Hui-ssu yang percaya pada masanya itu Dharma sudah memasuki tahap terakhir. Hari Akhir Dharma, ketika agama ditakdirkan akan mengalami zaman yang buruk dimana orang sulit mencapai pencerahan.
Dalam tulisannya “Writing Setting Forth My Vow (Menulis Untuk Mengemukakan Sumpah Saya), Hui-ssu mengatakan: “mengikuti wafatnya Sang Buddha, Dharma Tepat berlaku di dunia selama lima ratus tahun. Setelah berlalunya Dharma Tepat, Dharma Tiruan berlaku di dunia selama seribu tahun. Semenjak berlakunya Dharma Tiruan, Akhir Dharma mulai berlaku, dan akan berlaku selama sepuluh ribu tahun. Saya Hui-ssu, lahir di daerah administratif Wu-chin, Komandu Yu-yang, di provinsi Nan-yu dalam negara Wei pada tahun ke delapan puluh dua Hari Akhir Dharma, ketika tanda balasan Jupiter berada pada tanda siklus i-wei (515 M), pada hari kesebelas bulan kesebelas.”
Hui-ssu yang hidup di tengah terjadinya kekacauan politik dan sosial menekankan pentingnya pengabdian dan praktik-praktik agama. Baginya tujuan dan inti ajaran Buddhis bukanlah pemahaman intelektual, melainkan pengalaman agama tentang pencerahan. Dalam mencari cara-cara untuk mencapai keselamatan yang akan sesuai dengan Hari Akhir, Hui-ssu semakin yakin bahwa satu-satunya jawaban terletak dalam Sutra Teratai dan praktik-praktiknya (Ikeda: 106).
Sekte T’ien-t’ai dalam Buddhisme, menghormati Sutra Teratai sebagai pernyataan Dharma Buddha yang tertinggi. T’ien-Tai merupakan sekte Buddhis yang penting bagi para pengikut ajaran Nichiren Daishonin. Miao-lo (711-782), pakar utama Sekte T’ien-t’ai pada zaman Tang, melukiskan mazhab itu sebagai kembangan dari ajaran filsuf Buddhis India Nagarjuna.
Miao-lo kemudian menyebutkan tiga pakar bhiksu Cina yang selangkah demi selangkah mengembangkan dan menyempurnakan ajaran-ajaran T’ien-t’ai: Hui-wen, Nan-yueh Hui-ssu (515-577), dan T’ien-t’ai Chi-i (538-597). Ketiga orang itu biasanya dipandang sebagai ketiga kepala keluarga Mazhab T’ien-t’ai di Cina dan tumbuh pada abad ke enam.
Dalam Wikipedia pun ada tertera tulisan tentang Tiga Zaman Agama Buddha, dikenal sebagai Tiga Zaman Dharma. Adalah tiga pembagian waktu setelah wafatnya Buddha Sakyamuni memasuki Nirvana. Tiga zaman Buddhisme adalah tiga pembagian waktu setelah wafatnya Buddha. (Tzu, Chuang, 2012. “Fa Xiang: Ensiklopedia Praktisi Buddha,” Penerbitan Cahaya Buddha, hal 4-5) dan (Marra, Michele, 1988. “Perkembangan Pemikian Mappo di Jepang, Jurnal Studi Keagamaan Jepang).
Pertama, Hari Dharma Sebelumnya – juga dikenal sebagai “Zaman Dharma Besar” (Shobo, Jepang), seribu tahun pertama (atau 500 tahun) dimana para siswa Buddha mampu menjunjung tinggi ajaran Buddha. Kedua, Hari Tengah Dharma – juga dikenal sebagai “Zaman Kemiripan Dharma” (Zoho, Jepang), yang hanya menyerupai Dharma yang benar. Ketiga, Zaman Akhir Dharma – juga dikenal sebagai “Zaman Kemunduran Dharma” (Mappo, Jepang), yang berlangsung selama 10.000 tahun saat Dharma mengalami kemunduran.
Hari Akhir Dharma Masa Kini
Apakah HARI AKHIR DHARMA masih berlaku saat ini? Hari Akhir Dharma yang secara tradisional diperkirakan dimulai 2000 tahun setelah wafatnya Buddha Sakyamuni dan berlangsung selama 10.000 tahun atau lebih. Masa kini sepertinya juga berada di dalam masa akhir dharma.
Masa kini dimana modernisme dengan kehidupan agama yang formalitik-legalistik-materialistik itu mendapat kritik dari kalangan posmo yang mengangankan kehidupan agama yang bersifat substansial. Apakah agama Buddha saat ini bercirikan demikian? Agama Buddha yang cenderung formalistik-materialistik, dan legalistik.
Sakyamuni, dalam Sutra Majelis Besar (Jpn. Daijuku-kyo), menggambarkan Hari Akhir Dharma (Jpn. Mappo) sebagai “zaman konflik”. Ketika “Pertengkaran dan perselisihan akan muncul di antara para penganut ajaran saya, dan Dharma Murni akan menjadi kabur dan hilang.” Di zaman akhir yang jahat ini, ketika masyarakat kacau, ajaran Buddha Sakyamuni akan kehilangan kekuatannya untuk memberi manfaat bagi masyarakat, karena orang yang lahir di Hari Akhir Dharma, menutupi Benih Kebuddhaan yang ditanamkan ke dalam diri mereka.
Hari Akhir Dharma yang dikatakan akan berlangsung selama sepuluh ribu tahun atau lebih. Selama zaman ini, Buddhisme tertimpa kekacauan, dan menjadi sangat sulit bagi setiap orang untuk mencapai pencerahan. Lalu, bagaimanakah kehidupan keagamaan Buddha masa kini, di masa akhir dharma? Adakah kritik posmo itu juga berlaku dan pantas ditujukan bagi kehidupan keagamaan Buddha saat ini?
Bila Buddhadharma hanya sekedar formalistik-legalistik, meteriaslistik dan duniawi-ritualistik. Bila kebuddhaan, spiritualitas Buddha dan wujud kepedulian sosial-kemanusiaaan hanya diterjemahkan dalam laku spiritual-materialistik yang bersifat ritual dalam paket-paket ritual keagamaan. Bila sīla hanya menjadi ritual sebatas berlaku dalam retreat dan dilepas ketika akhir retreat, tidakkah kehidupan sesungguhnya justru menjadi tanpa sīla? Tidakkah kritik pemikir posmo itu juga tepat dan masih berlaku?
Bila modernisme berawal tumbuh sebagai gerakan kebangkitan rasionalitas, dan pencerahan akan kemampuan manusia, meski pada akhirnya mendatangkan berbagai ancaman degradasi lingkungan, dehumanisasi, tidakkah sepantasnya di tengah arus sejarah yang berlangsung absurd dan sebagai tragedi, agama hendaknya dapat kembali menjadi jalan dan ruang yang mencerahkan dan membebaskan? Layaknya spiritualitas Buddhadharma yang mencerahkan dan membebaskan! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: https://dnkldharma.org/event/end-suffering-and-discover-happiness-through-buddhist-principles/2024-10-16/