Oleh: Majaputera Karniawan, M.Pd. (Sia Wie Kiong 謝偉強)
Begitu aku menerima sepotong Ijazah tertulis jelas di bawahnya kalimat “Beserta segala kewajiban yang melekat pada gelar tersebut”. Hal ini menjadi penggambaran dilematika dalam kehidupan kita! Orang berpikir pencapaian yang kita pamerkan di media sosial kita (Tiktok, Instagram, Threads, Facebook, Linkedin, dan lain-lain) adalah sesuatu yang bisa kita banggakan tetapi di sisi lain ternyata pada pencapaian juga melekat tanggung jawab yang harus diemban karena pencapaian tersebut.
Misalkan ketika orang memiliki wajah yang cantik atau paras yang tampan, ia harus siap untuk dikejar-kejar banyak orang. Ketika ia cukup terkenal ia harus siap kehilangan banyak waktu untuk sekedar menyepi dan merenung. Ketika ia menjadi orang yang pandai ia harus siap-siap untuk ditanya semua orang. Ketika ia menjadi orang yang kaya bahkan harus siap siapapun yang datang padanya akan minta uang atau minta pinjam uang.
Inilah dilematika dalam kehidupan ini. Segala bentuk cinta kita terhadap satu pencapaian akan membuahkan beban penderitaan baru berupa “tanggung jawab”, anda tidak bisa hanya sekedar menetapkan standar tapi secara absurd enggan bertanggung jawab atas standar itu! Hanya saja ini tidak dimunculkan ke publik. Orang melihat standar Tiktok di masa kini sebagai hal yang harus dikejar dan diupayakan tetapi lupa bahwa apa yang mereka sudah capai melekat juga tanggung jawab yang harus dijalankan.
Itulah alasannya kenapa Sang Buddha bilang di Dhammapada 213 bahwasanya dari cinta timbul penderitaan, dari cinta timbul ketakutan! Karena ketika kita memiliki atau menguasai hal-hal yang kita cintai dan kita bangga-banggakan, kita harus selalu menjaganya dengan waspada, dan karena segala sesuatu di dunia ini tidak kekal, kita harus siap menderita dan siap untuk kehilangan.
Ketika kita kehilangan, maka jangan salahkan siapapun kalau kita akan mengalami perasaan sakit yang begitu dalam. Siap mencintai artinya siap kehilangan. Siap menjadi kaya artinya siap untuk dimintai uang. Kedua hal ini tidak ada bedanya, karena inilah realita dualitas di dunia di mana ada kangkung atau padi yang kita tanam tumbuh, di situ pasti juga ada rumput liar yang ikut tumbuh.
Tetapi absurditas masa kini tidak hanya berhenti di sini saja. Kita bisa melihat beberapa orang bahkan semakin teralienasi dengan keadaan yang mengarah pada hiper-realitas. Termasuk dalam hal bersosialisasi. Standar-standar yang ada membuat manusia menuju satu kata: “Ekstrem”.
Bisa kita lihat, saat ini kecantikan dan kemolekan tubuh seorang wanita selalu muncul di FYP atau Timeline media sosial kita semua para pria. Semua berjalan semakin cepat dan mengalir dalam kegilaan begitu saja. Selorohan seperti “Mau deh punya bini kaya gini, gue genjot sampai basah deh” atau bahkan banyak yang (maaf) sampai onani online karena kemolekan tubuh yang dipertontonkan, seakan sudah menjadi barang lazim di media sosial kita.
Demikian juga dengan laki-laki yang berbadan atletis dengan wajah menawan mendapatkan hal serupa. Banyak wanita yang mengeluarkan kata-kata pujian seperti “Wahhh lelaki idaman” dan bahkan yang lebih seksual seperti “Aduhhh rahimku geter angett mass” atau “Aduhhhh rahimku onani online mas”. Saat ini semua bisa menjadi artis dan influencer hanya bermodalkan kemolekan jasmani, dan ia sebagai artis standar seperti itu akan bangga sekali dengan pujian-pujian seksual seperti itu.
Para artis dan influencer dadakan ini kemudian menjadi “Trendsetter” yang bahkan mereka bisa menghasilkan uang hanya dengan live streaming dan gift-gift yang diberikan pengagumnya. Sementara para pengagumnya menjadi Pengikut (Followers). Sialnya disinilah absurditas itu ada, para followers biasanya nge-simp ke idola mereka sampai-sampai menyelorohkan komentar-komentar berbau seksis ke muka publik.
Istilah nge-simp sendiri diyakini berasal dari kata Simpleton, yang berarti orang yang bodoh, atau orang yang mudah dibodohi. Kamus Merriam Webster mendefinisikan Simpleton sebagai “a person lacking in common sense” (Seseorang yang kekurangan akal sehat). Artinya jelas, ia tidak bisa melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bahkan sekedar berpikir logis dan masuk akal karena sudah terlalu over-excited (terlalu terpesona) terhadap sosok tertentu.
Absurditas ini secara tidak sadar membawa kepada kondisi hiper-realitas masal atau bahasa lainnya ketidaksadaran kolektif. Nilai-nilai ketimuran akan nilai keberhargaan kehidupan dan pribadi seseorang menjadi rendah sebatas menjadi “tontonan” saja. Manusia-manusia seperti ini bahkan bangga menjadikan dirinya tontonan, sementara yang menonton mereka bahkan tidak mampu menggunakan akal sehatnya dan celakanya mereka akan memakai hasil tontonan absurditas mereka sebagai “the new standard” (standar baru) seperti yang diselorohkan sebagian orang orang waras dalam meme “Penyakit tiktod gila” yang berseliweran di media sosial. Meme ini sendiri merujuk dalam menanggapi fenomena standar para artis dalam platform Tiktok yang dianggap hiper-realitas berkedok realistisisme.
Mungkin, ada baiknya kondisi hiper-realitas ini diakhiri di pangkuan budaya ibu kita, kebijaksanaan timur. Bagi orang yang masih menggunakan nilai-nilai filsafat timur, badan jasmani bukanlah sekedar alat pemuas ataupun pengejaran nafsu belaka. Sehingga tidak selayaknya keelokan badan jasmani ini diperlakukan layaknya instrumen/barang yang dapat dipamerkan atau bahkan diperjual-belikan demi konsumsi massal. Badan inilah sarana sakral untuk kita menjalin serta jembatan bantu kita menuju beragam kebajikan dan kebijaksanaan yang berpotensi dapat kita tumbuhkan.
Misalnya dalam kitab Bakti/ Xiao Jing 孝经 bab 1, di sana Konfusius berkata kepada ZhengZi bahwa “Badan jasmani mulai dari rambut dan kulit diterima oleh kita dari orang tua kita, dan kita harus memberanikan diri untuk tidak merusak atau melukai mereka. Ini adalah awal dari laku bakti”. Begitu sakralnya jasmani, setidaknya segala lekuk keindahan dan keberfungsiannya harus dijaga karena merupakan berkat dari kedua orang tua (yang bahkan seumur hidup belum tentu dapat kita balas).
Di lain pemikiran, Buddha menyampaikan badan jasmani ini juga perlu dirawat dengan makanan-makanan yang layak dan secukupnya, tidak berlebihan maupun kekurangan. Sehingga mendapatkan proporsi yang ideal untuk menjaga stamina tubuh dalam mengembangkan kebajikan (berpraktik Dharma) dan hidup dengan tentram (MN2, Sabbassava sutta). Dari aspek nilai-nilai ajaran luhur inilah yang membawa kita kembali kepada sakralitas tubuh.
Tubuh ini sakral karena dengannya kita bisa menjadi dekat dengan semua nilai-nilai kesucian dan kebajikan yang diajarkan agama-agama dan kepercayaan ujaran-ujaran kebijaksanaan tradisional yang ada di masyarakat kita. Kondisi kembali kepada sakralitas tubuh akan membuat kita sadar dari dromologi standar FYP yang seakan memperdagangkan tubuh sebagai objek profan layaknya sebatas barang dagangan. Setelah menyadari bahwa tubuh itu sakral, lalu lihatlah tubuh pasangan anda, dengan segala kesempurnaan dan ketidaksempurnaan, tubuhnya adalah berkat pengorbanan besar dari kedua orang tua dan orang-orang yang mendukungnya hingga sampai saat ini ia mampu berdiri di hadapan anda. Termasuk segala kebajikan dan bina rohani-jasmani yang telah dilakukan seumur hidupnya.
Jika kita sudah mampu melihat tubuh orang lain sebagai sakral, kita akan lebih menghargai setiap kehidupan. Kita tidak akan mudah melakukan bodyshaming seperti “Hahahaa tepos” atau “Hahahaa kecil banget”, atau bahkan menyakiti dan mengeksploitasi tubuh jasmani seseorang (entah secara seksual, maupun mempekerjakan tenaga seseorang melebihi batasnya) demi logika hasrat kita yang tidak akan bisa terpuaskan. Kita akan semakin sadar akan segala konsekuensi yang mungkin timbul karena mengabaikan atau mengeksploitasi tubuh jasmani seseorang, serta menyadari dan keluar dari kondisi “standar” absurditas yang ada di sekitar timeline media sosial kita saat ini.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka:
1. Adegunawan, Suyena. 2018. Kompilasi Xiao Jing 孝经 Kitab Bakti. Bandung. USA.
2. Suttacentral. 2018. Majjhima Nikaya. Suttacentral.net/mn. Diakses 10 Feb 2025.
3. ______. 2018. Dhammapada. Suttacentral.net/dhp. Diakses 10 Feb 2025.
4. https://www.merriam-webster.com/dictionary/simpleton. Diakses 10 Feb 2025.
5. Gambar penyakit tiktod gila: https://www.facebook.com/100001558276557/posts/8744267045635151/?mibextid=rS40aB7S9Ucbxw6v. Diakses 10 feb 2025.