Waspada! Penyakit AI Gila dalam Masyarakat Buddhis Indonesia

Home » Artikel » Waspada! Penyakit AI Gila dalam Masyarakat Buddhis Indonesia

Dilihat

Dilihat : 1 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 63
  • 172
  • 49,545
Pic 6 AI crazy
Oleh: Arya Whisnu Karniawan, M.Pd.
 
 
Dalam tahun-tahun belakangan ini, saya mengamati adanya suatu kebiasaan baru yang dikembangkan oleh masyarakat Buddhis kita dari berbagai latar belakang. Adapun kebiasaan baru itu adalah aktivitas penggunaan AI yang semakin meningkat dalam berdiskusi dan menjawab persoalan. Dengan latar belakang saya yang adalah seorang pendidik di kampus dan pengalaman saya mendidik anak di sekolah, saya melihat bahwasanya:
 
1. Dalam dunia sekolah, saat ini AI lebih sering digunakan untuk mencari jawaban di internet, setidaknya ini yang saya amati terhadap murid-murid saya selama menjadi guru di suatu SMP Buddhis selama dua tahun lamanya.
 
2. Dalam dunia akademisi pun juga serupa, saat ini AI menjadi primadona dalam menjawab pertanyaan ataupun menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen. Hal ini yang saya amati terhadap mahasiswa-mahasiswa yang saya bina selama menjadi dosen di suatu STAB.
 
3. Adapun di dalam masyarakat Buddhis kita, terutama di forum diskusi tanya jawab seputar Buddhisme, saya seringkali menemukan jawaban-jawaban dari AI berseliweran di berbagai utas diskusi. 
 
Jika kita mengamati dengan saksama, terdapat persamaan yang sangat jelas, yaitu seluruh lapisan masyarakat Buddhis, mulai dari pelajar hingga masyarakat umum cenderung mulai mengalami ketergantungan dalam menggunakan AI dalam kehidupan sehari-hari mereka. ‘Ketergantungan’ inilah yang, dapat kita sebut sebagai ‘Penyakit AI Gila’. Lantas, mengapa ‘penyakit AI gila’ ini dapat terjadi?
 
Jika kita mengamati dengan saksama, AI menawarkan kemudahan yang tidak terdapat dalam pencarian melalui surfing di internet secara konvensional. Ketika kita mencari informasi di internet dengan metode konvensional, kita akan mencarinya melalui mesin pencari seperti Google, Bing, Yahoo, Baidu, dan lain-lain. Setelahnya mesin pencari akan menampilkan informasi-informasi di website yang relevan dengan pencarian kita. Tugas kita sekarang adalah untuk mencari informasi yang sesuai dengan membaca beberapa website dan mengolah informasi tersebut.
 
Sedangkan AI mempermudah tugas ini dengan memangkas proses-proses yang ada seperti mencari informasi dengan membaca dan mengolah informasi tersebut. Ketika kita mencari informasi melalui AI, AI akan langsung merangkumnya, memberikan jawaban yang sudah jadi dengan pola jawaban yang ‘ilmiah’, mungkin dapat dikatakan setara dengan jawaban-jawaban ilmiah yang dilontarkan oleh seorang cendekiawan. Tentunya, AI ini menjadi sebuah primadona bagi masyarakat modern yang memang bercirikan pragmatis dan menyukai hal-hal instan.
 
Namun jika kita mau melihat lebih dalam, AI sendiri adalah bagai pisau bermata dua. Di satu sisi ia menawarkan kemudahan dan kepraktisan dalam menjawab pertanyaan, di sisi lain ia menyimpan bahaya besar bagi umat manusia. Berikut ini setidaknya yang dapat saya jabarkan:
 
1. Jawaban yang belum tentu benar atau sesuai dengan kebutuhan. Adapun kemampuan AI dalam menyediakan informasi masih cukup terbatas. AI sendiri memiliki limitasi dalam akses ke data-data tertentu dan pengolahan data yang sifatnya kompleks sehingga sangat memungkinkan hasil pencarian yang didapatkan akan bias atau bahasa gampangnya, ‘ngaco’. Dengan akal sehat kita, sudah sepatutnya kita harus melakukan peninjauan kembali atas jawaban-jawaban yang diberikan oleh AI. Hanya saja, biasanya proses ini tidak dilakukan oleh kebanyakan orang saat ini, tentu alasan utamanya adalah ketidak-praktisan. Namun perlu ditekankan, segala yang cepat biasanya bersifat dangkal atau banal. Sedangkan suatu yang dikerjakan dengan sepenuh hati hasilnya akan jauh lebih baik. Seperti perumpamaan Sang Buddha tentang dua buah roda, yang satu dibuat dalam 54 hari, yang lainnya dibuat dalam 6 hari. Roda pertama akan menggelinding hingga berhenti dengan stabil karena roda tersebut tidak memiliki cacat, sedangkan roda kedua ketika menggelinding akan terhuyung-huyung jatuh ke tanah akibat cacat lekukan yang dimilikinya. 
 
2. Membuat manusia semakin bodoh. Bayangkan jika setiap harinya seseorang mengkonsumsi makanan instan secara terus menerus, sudah pasti akan ada bahaya-bahaya sehubungan dengan kesehatan yang mengintai. Begitu juga dengan penggunaan AI yang berlebihan, akan ada bahaya-bahaya sehubungan dengan kecerdasan yang akan mengintai. Mengapakah? Hal ini karena penggunaan AI ‘memotong’ proses mencari dan mengolah informasi. Ketika manusia sudah tidak lagi mencari dan mengolah informasi, maka dapat dipastikan manusia itu akan menjadi pribadi yang bodoh, dungu, ataupun pandir. Lebih jauh, Prof. Stella Christie juga menyatakan penggunaan AI yang berlebihan akan membuat hilangnya kemampuan untuk ‘menilai kualitas’ karya yang baik dan yang buruk. Selain itu juga dapat menghilangkan kemampuan untuk menciptakan karya sendiri yang orisinal. Hal ini karena jika seseorang terlalu sering ‘disuapi’ oleh hal-hal instan, maka ia tidak akan dapat berpikir kreatif dan kritis. Konsekuensinya, ia tidak dapat menciptakan karyanya sendiri yang ‘orisinal’.
 
3. Menjadi ancaman bagi manusia di masa depan. Di dalam dunia akademisi sendiri pembahasan akan lenyapnya banyak lapangan pekerjaan di masa depan sudah tidak asing lagi. Data dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) memperkirakan 75 juta hingga 375 juta pekerjaan akan hilang, salah satu penyebabnya adalah kecerdasan buatan (Karniawan, 2024: 3). Hal ini tentu menjadi ancaman bagi ‘pendaringan’ banyak orang di masa depan. Jika lapangan pekerjaan hilang, bagaimana orang-orang dapat menghidupi keluarga mereka? Bagaimana kompor bisa ‘ngebul’ kalau yang dimasak saja tidak ada?
 
4. Mengancam eksistensi manusia sendiri. Dalam bahasa Latin, manusia disebut ‘Homo Sapiens´ yang berarti “Manusia Cerdas”. Homo Sapiens disebut-sebut memiliki kemampuan berpikir yang baik, yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk pada umumnya. Menurut KBBI sendiri, manusia adalah makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Selama ini manusia dikenal karena memiliki kecerdasan, memiliki akal budi yang membuatnya menonjol di antara makhluk-makhluk lain. Jika suatu saat nanti manusia kehilangan kecerdasannya, kehilangan akal budinya, dapatkah kita menyebut mereka sebagai ‘manusia’? Ketika hal itu terjadi, tentunya manusia telah ‘melipat terlalu jauh’ hingga merusak batas-batas terjauhnya. Manusia akan merusak batasan-batasan yang karenanya mereka disebut sebagai “Manusia Cerdas”, dan mungkin kerusakan itu tidak dapat diperbaiki.
 
Lantas, bagaimana caranya agar ‘penyakit AI gila’ ini dapat dicegah? ‘Pencegahan’ dapat dilakukan dengan cara bijak menggunakan AI di kalangan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat AI. Jika kita bersandar pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang ditetapkan pemerintah, maka kita harus membatasi penggunaan AI, bahkan jika perlu, mengharamkan penggunaan AI bagi setiap aktivitas akademik masyarakat di bawah KKNI level 6. Artinya, sebelum seseorang lulus menjadi seorang Sarjana, maka dalam setiap aktivitas akademik, penggunaan AI harus benar-benar dibatasi, bahkan jika perlu, dilarang. Hal ini menjadi krusial karena di level 6/sarjana, seseorang baru memiliki kompetensi untuk mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data serta dapat memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. Artinya, kemampuan mencari dan mengolah informasi sampai tingkat yang cukup kompleks (seharusnya) baru terbentuk setelah seseorang lulus menjadi seorang sarjana. Sebelum seseorang lulus sarjana, kemampuan mencari dan mengolah informasi harus terus dilatih dan diasah, dan kita perlu membuat lingkungan yang kondusif untuk hal tersebut.
 
Namun tentunya di sini, solusi yang saya tawarkan agaknya masih terlalu ‘mentah’. Perlu adanya masukan dari berbagai ahli pendidikan dan dari riset-riset terkait. Namun, yang dapat dipastikan, seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat Buddhis perlu terlibat bersama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan generasi mendatang, dengan kata lain, sesuai dengan peribahasa Afrika ‘Butuh orang sekampung’. Dimulai dari diri sendiri, kita perlu membangkitkan rasa peduli terhadap pendidikan generasi muda kita. Karena sejatinya, dengan melindungi orang lain kita juga melindungi diri kita sendiri dari bahaya di masa depan. Adapun yang dapat kita lakukan adalah memiliki kesabaran dalam setiap tindakan kita, mengembangkan belas kasihan kepada mereka, tidak bertindak sembrono yang dapat mencelakai generasi mendatang, dan menunjukkan simpati maupun apresiasi atas setiap keberhasilan yang mereka capai.
 
Dengan melakukan hal-hal tersebut, maka dapat diharapkan dampak dari ‘Penyakit AI Gila’ ini dapat ditanggulangi di kalangan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat Buddhis.
 
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
 
Daftar Pustaka
Gramedia Blog. 2021. Pengertian Homo Sapiens: Manusia Purba yang Memiliki Sifat Seperti Manusia Modern oleh Fandy. https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-homo-sapiens/. Diakses pada 19 Februari 2025 20.06 WIB.
Karniawan, Arya. 2024. Menguak Mediokritas dalam Pendidikan Buddhis (Sebuah Kajian Kritis tentang Mediokritas dalam Pendidikan Buddhis beserta Solusi Mengatasinya dari Tipitaka). Jakarta. Yayasan Yasodhara Puteri.
KBBI Daring. 2025. Manusia. https://kbbi.web.id/manusia. Diakses pada 19 Februari 2025 20.08 WIB.
Kompas. 2024. Konsekuensi jika Terlalu Bergantung pada AI Menurut Prof Stella Christie. https://www.kompas.com/edu/read/2024/12/06/203855771/konsekuensi-jika-terlalu-bergantung-pada-ai-menurut-prof-stella-christie. Diakses pada 19 Februari 2025 21.00 WIB.
Leena AI. 2025. 7 limitations of ChatGPT for employee queries in an organization by Arshmeet Kaur. https://leena.ai/blog/limitations-of-chatgpt/#. Diakses pada 18 Februari 21.14 WIB.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. DUNIA YANG BERLARI MENCARI “TUHAN-TUHAN” DIGITAL. Jakarta. Penerbit PT Grasindo.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. DUNIA YANG DILIPAT TAMASYA MELAMPAUI BATAS-BATAS KEBUDAYAAN. Bandung. PENERBIT MATAHARI.
SETANGKAIDUPA. 2024. It Take a Village (Butuh Orang Sekampung) oleh Arya Whisnu Karniawan, M.Pd. https://setangkaidupa.com/artikel/it-takes-a-village-butuh-orang-sekampung/ Diakses pada 20 Februari 2025 11.32 WIB.
SuttaCentral. 2025. Pacetana. https://suttacentral.net/an3.15/id/anggara. Diakses pada 19 Februari 20.00 WIB.
Wikipedia. 2025. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. https://id.wikipedia.org/wiki/Kerangka_Kualifikasi_Nasional_Indonesia#. Diakses pada 20 Februari 2025 11.33 WIB.
 
error: Content is protected !!
Butuh bantuan?