Proses “Deep Learning” Komponen dan Instrumen

Home » Artikel » Proses “Deep Learning” Komponen dan Instrumen

Dilihat

Dilihat : 212 Kali

Pengunjung

  • 3
  • 69
  • 210
  • 70,472
Pic 2 JUN 2025 JO

 Oleh: Jo Priastana

 

“Deep Learning mendorong bagaimana belajar mampu memuliakan manusia

dengan segala perbedaan kemampuan dan keahliannya”

(Prof. Abdul Mu’Ti, Mendikdasmen Indonesia)

 

Pembelajaran deep learning rencananya akan diterapkan pada tanggal 27 November 2024 oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti. Menurut Haryatmoko, “Deep Learning sebagai pembelajaran yang mendalam sifatnya lebih psiko-pedagogis, yaitu proses pembelajaran untuk sampai pada pemahaman mendalam yang reflektif, kritis dan kreatif. Deep Learning juga bersifat kontekstual dan sebagai proses untuk memperoleh enam kompetensi global. (Haryatmoko, “Deep Learning”: Pembelajaran Reflektif, Kritis, dan Kreatif, Kompas, 2/5/25).

Deep learning bersifat kontekstual karena menjawab masalah-masalah setempat untuk menghasilkan perubahan positif bagi diri pembelajar dan masyarakat (Hattie, 2012). Deep learning adalah “proses memperoleh enam kompetensi global, yaitu: karakter, kewarganegaraan, kolaborasi, komunikasi, kreativitas, dan pemikiran kritis, yang mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga dunia yang terlibat dan produktif” (Fullan, 2018).

Haryatmoko, dosen filsafat Universitas Sanata Dharma mengemukakan dan menjelaskan tiga komponen utama pembelajaran Deep Learning, yaitu: mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Selain itu diuraikan pula empat model pembelajaran berbasis proyek sebagai instrumen deep learning, yaitu: (i) logika abduksi, (ii) lima langkah memecahkan masalah, (iii) berpikir komputasional, dan (iv) design thinking, serta penjelasan proses pembelajaran deep learning dimana peserta didik merupakan pusat pembelajaran (Haryatmoko, Kompas, 2/5/25).

 

Tiga Komponen Deep Learning

Tiga komponen yang bergabung dalam Deep Learning adalah: mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning, atau pembelajaran yang penuh kesadaran, pembelajaran bermakna, dan pembelajaran yang menyenangkan.

Pembelajaran Mindful learning melibatkan tiga aspek (Langer; 1997), yaitu: pertama, peserta didik merefleksikan, menganalisis, dan memahami apa yang dipelajari. Kedua, selalu sadar akan adanya perspektif yang berbeda, tak terpaku pada satu jawaban benar, tetapi mencari alternatif. Kolaborasi dan empati penting, peserta didik diajarkan untuk memecahkan masalah dalam konteks yang konkret. Ketiga, ‘peka kontek’ membantu mencipta dan membentuk kategori baru sehingga menghasilkan pemahaman baru.

Pembelajaran Bermakna (meaningful learning) merupakan proses belajar yang menekankan relevansi dan dampak pada kehidupan peserta didik, serta masyarakat. Dengan orientasi-tujuan, peserta didik memahami mengapa mereka belajar suatu materi dan bagaimana memanfaatkan untuk kehidupan mereka.

Pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning) terwujud ketika peserta didik merasa gembira dan tumbuh rasa ingin tahu (Caine & Caine, 1991). Pembelajaran menyenangkan bisa dikemas dengan: role-play, games-based learning, storytelling, atau exploratory learning. Melalui kemasan AI, pilihannya Edpuzzle, ClassDojo, Nearpod, atau Minecraft Education Edition.

 

Instrumen Deep Learning Empat Model Pembelajaran Berbasis Proyek

Instrumen “deep learning” melibatkan pembelajaran berbasis proyek. Peserta didik belajar melalui proyek-proyek yang terkait realitas yang bermakna secara pribadi (Larner et al, 2015). Pembelajaran berbasis proyek efektif dengan empat model pemecahan masalah (i) logika abduksi, (ii) lima langkah memecahkan masalah, (iii) berpikir komputasional, dan (iv) design thinking.

Logika abduksi. Logika abduksi adalah penalaran untuk menemukan hipotesis pemecahan masalah yang terbaik dari serangkaian pengamatan atau fakta. Logika ini melibatkan proses pembuatan dan evaluasi hipotesis berdasarkan konsistensi penjelasan dari bukti (Douven, 2021). Karena terbuka terhadap berbagai hipotesis, abduksi mendorong peserta didik kreatif. Mereka akan berani mengusulkan beragam gagasan dan penjelasan alternatif, berbeda dari logika induksi yang hanya mengarahkan ke satu kebenaran. Dengan abduksi, peserta didik belajar menganalisis fakta, mengajukan hipotesis yang masuk akal dan melatih kemampuan menyusun argumen. Karena abduksi tak selalu memberi jawaban pasti, pembelajar disiapkan menghadapi dunia nyata yang penuh ketidakpastian.

Lima langkah memecahkan masalah meliputi: (i) merumuskan masalah secara spesifik; (ii) mengamati data untuk seleksi informasi yang relevan; (iii) mengusulkan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah; (iv) memberi penalaran dan evaluasi atas pilihan pemecahan masalah dan konsekuensinya; (v) menerapkan, menguji, dan menindaklanjuti pemecahan masalah (Moon, 2004: Dewwy, 1933). Mereka dilatih merumuskan masalah secara tajam, mengusulkan pemecahan kreatif tetapi realistis, serta membiasakan bersikap reflektif.

Berpikir komputasional adalah metode pembelajaran untuk memecahkan masalah yang kompleks menjadi bagian-bagian lebih kecil agar mudah diselesaikan dengan algoritma. Model ini membantu memberi solusi kreatif, menumbuhkan penalaran logis, pemecahan masalah sistematis, dan desain algoritma (Barr et al, 2011). Ada lima komponennya (Barr et Al, 2011): (i) dekomposisi: memecahkan data, proses, atau masalah yang kompleks menjadi bagian-bagian lebih sederhana; (ii) mengenali pola: mengamati pola, tren, dan keteraturan data agar persoalannya terpetakan; (iii) abstraksi: merumuskan masalah hanya fokus ke masalah utama dengan mengurangi informasi-informasi yang tidak diperlukan. Kemudian (iv) mendesain algoritma atau petunjuk langkah-langkah memecahkan masalah (urutan tindakan ke solusi); (v) evaluasi: memastikan solusi tepat dengan menguji efisiensi dan efektivitasnya.

Berpikir komputasional mengasah cara berpikir sistematis dan terstruktur berkat latihan mengurai masalah besar jadi bagian-bagian kecil. Dengan membuat algoritma, peserta didik dibantu mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kritis. Kegagalan itu berharga. Melalui proses interaktif kegagalan di zona aman dapat dibingkai ulang menjadi bagian proses penyempurnaan solusi. Lalu daya tahan belajar meningkat ketika menghadapi masalah kompleks. Berpikir komputasional ini membentuk pola pikir problem-solver sejati.

Design thinking. Adalah proses membuat rancangan tindakan untuk memperbaiki situasi dengan sintesis ‘peka konteks’ dan empati. Penalaran ini membutuhkan pemikiran analitis dan kreatif. Prioritasnya, empati terhadap pemangku kepentingan. Pola pikir terbuka terhadap berbagai gagasan. Masalah didefinisikan, diteliti, dan dianalisis (Presman 2019). Lima langkah design thinking (Ambrose & Harris, 2010): (i) menumbuhkan empati dan mengumpulkan informasi; (ii) menganalisis dan mendefinisikan masalah; (iii) mencipta gagasan baru (ideate) untuk memberi solusi; (iv) membuat sintesis dengan membuat prototipe untuk diimplementasikan; (v) evaluasi kritis untuk meningkatkan produk atau solusi.

Design thinking melatih perserta didik menumbuhkan empati dan kepedulian sosial dengan melihat masalah dari perspektif yang terdampak. Empati mendorong kreativitas karena pada tahap ideate dan prototipe, mereka harus berpikir di luar kebiasaan dan dituntut komitmen mengupayakan berbagai alternatif. Berkat kerja kelompok, pembelajaran ini meningkatkan keterampilan kolaborasi. Rasa percaya diri tumbuh karena mereka harus menguji sendiri pemecahannya sehingga merasa punya kendali dan kontribusi. Pembelajaran ini membangun growth mindset (Dweck, 2016): terus berusaha menerima umpan balik dan tidak takut terhadap tantangan atau kegagalan.

 

Proses Deep Learning Murid dan Guru

Dalam deep learning, peserta didik menjadi pusat pembelajaran. Maka pola pikir guru harus berubah. Guru harus reflektif dan adaptif, terbuka terhadap perubahan, dan selalu memperbaiki metode pembelajaran agar efektif. Teori harus diterapkan. Pembelajar memecahkan masalah nyata, bekerja sama dalam tim, dan menghasilkan produk atau solusi.

Pendidik menempatkan diri sebagai narasumber terbatas (Jukes & Schaaf, 2019): membantu menempatkan pengetahuan dalam konteksnya dengan melontarkan problematika untuk diolah, diseleksi, dikritisi, atau ditolak. Pembelajar dapat mengusahakan materi alternatif.

Pendidik mengajak fokus ke penyelidikan sendiri, selalu bertanya, menguji, kritis, dan merelatifkan pendapat. Maka, guru harus memberi informasi sosial tujuan kegiatan, sarana, metode, tugas, keterlibatan, indikator pencapaian, evaluasi.

Proses belajar diprioritaskan daripada hasil akhir (nilai ujian), maka guru diajak membuat evaluasi formatif (Ornstein & Hunkins, 2013). Karena melibatkan pembuatan portofolio dan pendampingan refleksi diri pembelajar, evaluasi formatif menyita lebih banyak waktu daripada sumatif. Namun penting, demi pertumbuhan dan pemahaman peserta didik.

Guru memfasilitasi kerja kelompok dan pribadi untuk memastikan efisiensi dalam menggunakan waktu, fasilitas, teknologi, dan interaksi supaya memenuhi tujuan penelitian. Guru mengajukan pertanyaan kritis dan mendorong eksplorasi, bukan memberi jawaban langsung (Jukes & Schaaf, 2019).

Instrumen deep learning adalah pembelajaran berbasis proyek yang di dalamnya terdapat empat model pemecahan masalah dalam pembelajaran berbasis proyek. Agar guru-guru dapat melaksanakan pendekatan deep learning tersebut dengan tidak akan menimbulkan kesulitan, maka sekolah-sekolah perlu memberikan pelatihan.

 

Deep Learning Psiko-pedagogis

Berbeda dengan deep learning yang kerap dihubungkan dengan versi machine learning yang matematika algoritmis atau deep learning subset machine learning yang menggunakan struktur algoritmik spesifik, yang disebut jaringan neural, yang dimodelkan seperti otak manusia. Deep learning yang dibahas di atas oleh Haryatmoko, yang juga anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Komisi Kebudayaan, adalah pembelajaran mendalam yang lebih psiko-pedagogis, proses pembelajaran untuk sampai pada pemahaman mendalam yang reflektif, kritis dan kreatif.

Deep learning melibatkan keterampilan kognitif yang mendalam, berpikir kritis, analitis, evaluatif, dan pemecahan masalah kreatif. Kemandirian belajar tumbuh karena mereka dibiasakan bertanya, mengeksplorasi, dan membangun makna. Perubahan melibatkan pemikiran metakognitif dimana peserta didik dibantu memahami dan mengendalikan cara belajar agar selalu mengorganisasi kembali cara berpikir, bertindak dan merasa. (Hattie, 2012). (Sumber: Haryatmoko, “Deep Learning”: Pembelajaran Reflektif, Kritis, dan Kreatif, Kompas, 2/5/25). (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

sumber gambar: meta AI

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?