Melawan Inflasi IPK, Menjadi Inklusif di Tengah Kesempurnaan

Home » Artikel » Melawan Inflasi IPK, Menjadi Inklusif di Tengah Kesempurnaan

Dilihat

Dilihat : 93 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 69
  • 210
  • 70,472
Pic 1 Melawan Inflasi

Oleh: Arya Karniawan

 

Teringat rasanya ketika saya masih menjadi mahasiswa S1, menempuh lelahnya proses perkuliahan yang panjang dan melelahkan. Empat tahun itu benar-benar dilalui dengan penuh sepak terjang. Terkadang mulus, terkadang terdapat masalah. Saya merasa bahwa saya adalah mahasiswa yang paling ‘cemerlang’ di antara teman-teman seangkatan. Bagaimana tidak? Hanya saya sendiri yang kuliah sesuai ‘passion’. Walaupun demikian, saya juga hanyalah seorang manusia yang memiliki ketidak-sempurnaan. Saya tidak segan-segan mendebat dosen apabila saya merasa apa yang diajarkan tidak sesuai. Bagi saya, dosen bukanlah bagai tuhan yang maha tahu, beliau hanyalah manusia biasa yang bisa salah. Hasilnya? Tak jarang saya mendapat nilai ‘B-’ bahkan ‘C’, terlepas dari betapa rajinnya saya mengikuti kuliah dan mengerjakan tugas-tugasnya.

Ketika yudisium, saya mengetahui bahwa IPK saya hanya di angka ‘3.17’. Bahkan ada mahasiswa yang biasa-biasa saja mendapatkan IPK yang lebih tinggi dari saya. Tentunya saya tidak kaget dan menerima dengan lapang dada, toh saya berprinsip ‘Ah, yang penting lulus’. Singkat cerita, setelah lulus saya sempat beberapa kali melamar di beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pendidikan (sebut saja sekolah). Beberapa kali saya mendapat pertanyaan-pertanyaan dari HRD yang menurut saya tidak masuk akal, seperti: ‘Kamu kuliah di universitas mana?’ ‘Saya di sekolah tinggi … ‘Oh, hanya di sekolah tinggi’. ‘IPK kamu berapa?’ ‘3.17 pak’ ‘Oh, kecil ya?’. Entah apa yang menjadi penilaian orang-orang ini, padahal kuliah di kampus ternama dan mendapatkan IPK tertinggi pun bukanlah jaminan bahwa orang tersebut benar-benar pintar.

Fakta ini sendiri sudah saya observasi secara kualitatif di lingkungan kampus saya. Kebanyakan mahasiswa di sana kepintarannya biasa-biasa saja, tapi entah kenapa IPK mereka bisa tinggi, bahkan melebihi mahasiswa yang memang pandai namun berseberangan dengan dosen. Dan ternyata, fakta ini juga diafirmasi secara statistik. Banyak sekali berita yang menyebutkan tentang ‘inflasi nilai’ di perguruan tinggi. Salah satunya adalah berita dari Kompas yang ditulis oleh Hendranata (2024). Beliau menjelaskan bahwa dahulu di tahun 80-an, untuk mendapatkan IPK 2,75 harus pontang-panting bercucuran air mata karena ketatnya penilaian sang dosen. Sedangkan IPK 3,0 hanya diperoleh segelintir mahasiswa, sekitar 1-3 orang dari 30 mahasiswa. Apabila ada mahasiswa yang mendapatkan predikat ‘Cum laude’, maka dapat dipastikan mahasiswa itu benar-benar cemerlang dan dianggap dari ‘Dunia lain’. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan sekarang. Nafis (2025), yang menulis dalam Kumparan juga mengafirmasi hal ini. Ibarat mata uang, IPK sarjana di Indonesia mengalami inflasi. Dulu, IPK 3,0 terasa luar biasa—sebanding dengan uang sepuluh ribu rupiah yang bisa membeli sepiring nasi, sayuran, dan sepotong ayam di warteg. Sekarang, angka IPK 3,5 bahkan tak lagi istimewa. Persis seperti uang 10 ribu rupiah yang kini cuma dapat nasi dan telur dadar. Lebih lanjut ia menambahkan, rata-rata IPK di dua kampus ternama, yakni UGM dan Unpad juga terjadi peningkatan. Di UGM sendiri pada tahun 2015, rata-rata IPK adalah 3.32 sedangkan pada tahun 2024 menjadi 3.59. Begitupun di Unpad, di tahun 2015 rata-rata IPK adalah 3.36, sedangkan di tahun 2025 menjadi 3.67.

Fenomena ini tentunya menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh kita bersama. Karena tentunya dengan IPK yang setinggi itu, harusnya kampus sudah dianggap berhasil mencetak generasi-generasi emas untuk memajukan Indonesia. Anggapan ini tentunya tidak berlebihan, karena IPK tinggi itu sendiri seharusnya mencerminkan kecerdasan lulusannya, suatu jaminan bahwa penyandang IPK tinggi itu adalah SDM yang andal dan tangguh menghadapi tantangan dunia. Namun bagaimana dengan kenyataannya?

Di masa postmodern ini kita selalu disuguhi dengan banyak tontonan. Tontonan sendiri adalah momen ketika komoditi mencapai tingkat penguasaan total terhadap kehidupan sosial (dalam hal makna, nilai, ideologi, kepercayaan). Tontonan inilah yang merupakan cara bagi manusia postmodern memaknai hidup atau mendefinisikan tujuan hidup (Piliang, 2004: 259). Dalam hal ini, kebanyakan manusia postmodern berupaya untuk membuat tontonan-tontonan yang mengagungkan pribadi mereka sendiri. Hal ini tentunya dapat kita lihat ketika mengakses Linkedin, di mana orang-orang di sana berlomba-lomba membuat diri mereka ‘se-sempurna’ mungkin.

Piliang (2004: 259) menyatakan bahwa ruang konsumsi postmodern dipenuhi oleh tontonan-tontonan berupa citra komoditi yang menjadi acuan nilai dan moral masyarakat (baik/ buruk, benar/ salah). Citra sendiri adalah sesuatu yang dapat diterima secara perseptual, tetapi tidak ada secara substansial (Piliang, 2004:256). Di era postmodern ini kita semua terlalu sering disuguhi oleh berbagai citra-citra, yang hanyalah rangkaian “ilusi” semata yang disuntikkan pada sebuah komoditi untuk mengendalikan konsumer. Dengan demikian, kita sebagai konsumer di era postmodern menjadi konsumer ilusi, yaitu konsumer yang membeli ilusi ketimbang barang, yang mengonsumsi “relasi sosial” (status, prestise) ketimbang fungsi produk (Piliang, 2004: 259).

Jika kita kembali ke kasus inflasi IPK, bukanlah sekarang lulusan kita berlomba-lomba menjual ilusi, tanpa substansi yang nyata? Dan bukankah para HRD yang terlalu banyak berharap kepada lulusan itu sejatinya hanya membeli ilusi semata? Hal ini karena mereka terlalu banyak menerima “pencitraan” di sana sini, sehingga hal tersebut menjadi “memori publik” yang mengendalikan ‘diri’ mereka (Piliang, 2004:256-257). Para HRD harusnya sadar akan hukum pasar bahwa “Barang berkualitas baik cenderung langka dipasaran dan harganya mahal.” Tapi karena selalu terbuai oleh ilusi, mereka pun selalu saja menerima kandidat yang tidak kompeten. Dan hal ini selalu saja terjadi, di mana pelamar pekerjaan merasa tertipu dengan tupoksi kantor, dan HRD merasa tertipu pada kandidat yang ia terima.

Jika kita asumsikan hal ini terjadi secara makro, bukankah hal ini akan menjadi penghambat bagi perusahaan-perusahaan yang ada untuk berkembang? Hal ini karena pos-pos kerja sendiri banyak diisi oleh mereka-mereka yang bermental medioker, sehingga menghambat perusahaan untuk melakukan ekspansi. Dampaknya adalah apa yang kita rasakan sekarang ini, di mana lapangan kerja akan semakin sulit karena perusahaan sendiri cenderung tidak menerima pegawai baru, atau mungkin malah melakukan PHK karena perusahaan telah bangkrut tergerus perubahan zaman, tidak sanggup lagi menafkahi mereka yang menjadi lintah penghisap darah. Pada akhirnya, ekonomi akan melambat dan membuat setiap lapisan masyarakat menjadi menderita seperti yang kita rasakan sekarang ini. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bagus Muljadi, bahwasannya inkompetensi membunuh lebih banyak orang daripada kejahatan sekalipun (Muljadi, 2025).

 

Mulailah menjadi Inklusif

Setelah kita memahami bahwa pencitraan lah yang menjadi ‘biang kerok’ dari semua ini, tentunya kita perlu berhenti sejenak dan mulai merenung, mengamati dengan saksama apa yang terjadi, dan mengambil keputusan yang benar untuk memutus ‘lingkaran setan’ ini. Kita semua sadar bahwa citralah yang menjadikan sebuah benda yang tidak berguna menjadi sangat “berguna”, sebuah benda yang tidak perlu menjadi “perlu”, sebuah benda yang tidak dibutuhkan menjadi “kebutuhan” (Piliang, 2004: 257). Tetapi citra itu sendiri hampa dari makna substansial. Bukankah kita sebaiknya mengejar makna substansial itu, daripada mengejar pencitraan yang semu? Dalam hal ini, penulis ingin mengajak kita semua untuk bersama-sama merubah sudut pandang.

Bagi individu, penulis berharap kita semua bisa menjadi pribadi yang inklusif. Adalah wajar bagi seorang manusia, dengan segala keterbatasannya, untuk menjadi inklusif. Setiap orang tentunya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang tidak wajar adalah seolah-olah menjadi ‘si paling sempurna’, padahal sejatinya ia tidak kompeten di sana. Tak apa IPK mu kecil, tak apa kamu tidak bisa di bidang tertentu, mulailah menjadi terbuka dengan segala ketidak-sempurnaanmu. Dengan menjadi pribadi yang inklusif dan menerima diri sendiri apa adanya, kita tidak menipu diri sendiri dan orang lain.

Bagi para penyedia lapangan kerja, mulailah selektif dalam menerima pegawai. Kita semua tentunya sudah tahu bagaimana citra bekerja dan bagaimana bahaya dari citra itu sendiri. Bebaskan dirimu dari segala macam bentuk cuci otak dari tontonan pencitraan selama ini. Mulailah mencari mereka yang tidak sempurna, inklusi/ ketidak sempurnaan itu adalah baik. Karena inklusi sendiri menunjukkan kepada kalian batas-batas kompetensi seseorang. Ketika bertemu dengan kandidat yang seolah-olah luar biasa, janganlah langsung percaya. Analisislah dengan pisau asumsi seperti dengan ‘pisau occam’ dan ‘standar sagan’.

Bagi para dosen, berhentilah untuk menjadi penjual dan konsumen ilusi. Tegakkan integritas dalam mendidik, sehingga kampus benar-benar mencetak generasi yang kompeten, bukan generasi yang pandai dalam melakukan pencitraan semata.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Dafpus:

Kompas. 2024. Inflasi Nilai di Perguruan Tinggi oleh Anton Hendranata. https://www.kompas.id/artikel/inflasi-nilai-di-perguruan-tinggi. Diakses pada 26 Juni 2025 07.55 WIB.

Kumparan. 2025. Tingginya Rata-rata IPK Sarjana di Indonesia: Tiap Tahun Makin Melesat oleh Muhammad Falah Nafis. https://kumparan.com/kumparannews/tingginya-rata-rata-ipk-sarjana-di-indonesia-tiap-tahun-makin-melesat-25I5dtGj9bd/full. Diakses pada 26 Juni 2025 08.01 WIB.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. DUNIA YANG BERLARI MENCARI “TUHAN-TUHAN” DIGITAL. Jakarta. Penerbit Grasindo.

YouTube. 2025. Bahas Riset, Pendidikan, dan Logika Mistika Bersama Bagus Muljadi oleh MALAKA. https://www.youtube.com/watch?v=hvoHdMR1XRI. Diakses pada 30 Juni 2025 09.11 WIB.

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?