Oleh: Jo Priastana
“Tetapi, pada akhirnya seseorang membutuhkan lebih banyak keberanian untuk hidup dari pada membunuh diri sendiri” (Albert Camus, 1913-1960, Filsuf dan Penulis Prancis)
Mengutip laman healthdata.org, berdasarkan “Institute for Health Metrics and Evaluation” (IHME), setiap tahun ada 740.000 orang bunuh diri. Artinya satu jiwa melayang karena bunuh diri setiap 43 detik. Korban berjenis kelamin lelaki berjumlah dua kali lipat daripada perempuan. Di laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), jumlah kasus bunuh diri di Indonesia dalam kurun 2012-2023 mencapai 2.112 perkara. Angka bunuh diri melonjak pada tahun berikutnya.
Menurut Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, kurun Januari-September 2024, tercatat 988 kasus bunuh diri dengan tren kenaikan kasus terjadi dalam kurun Juni-Agustus 2024. Sedangkan angka bunuh diri mahasiswa dilaporkan 7 per 100.000 atau sekitar 1.100 individu setiap tahunnya. “Journal of Psychiatry”, 19/8/2022 menyebutkan tujuh dari 10 kematian akibat bunuh diri adalah laki-laki (Kompas, 2/7/2025). Bunuh diri juga terjadi pada mahasiswa di beberapa daerah, termasuk di kampus.
Pada 16/6/25 mahasiswa di Tangerang gantung diri di kampus (Tangerang News, Rabu 18 Juni 2925). Mahasiswa di Bandung gantung diri di tempat kos pada 2/9/2019 sore pukul 17.15 WIB (Diktisaintek, 05 September 2019). Di Jawa Timur pada 9/1/2024, mahasiswa menceburkan diri di aliran sungai Brantas (detikJatim, Selasa 09 Jan 2024). Di Semarang mahasiswa ditemukan tewas di kamar kosnya pada Kamis, 2/10/24 (Radar Malang, Jawa Pos/5 Okt 25). Di Bandung kasus bunuh diri mahasiswa dugaan meloncat dari ketinggian gedung parkir (Tempo.com, 25 Januari 2025).
Di Balik Bunuh Diri
Banyak faktor yang menjadi alasan seorang bunuh diri. Tekanan mental dan depresi berat tampaknya menjadi latar belakang yang menyeret mahasiswa ke jurang kematian. Depresi karena kehilangan orang terdekat atau motivasi, kesedihan mendalam, merasa kosong, putus asa dan kehilangan minat terhadap aktivitas. Depresi menyebabkan sulit berkonsentrasi, sulit berpikir jernih, sulit mengambil keputusan dan mengganggu pekerjaan, tugas-tugas sekolah maupun aktivitas sehari-hari.
Tekanan hidup karena masalah keluarga, ekonomi-keuangan, pekerjaan, beban akademik yang sulit dipenuhi, juga memicu stres berkepanjangan dan depresi berat sehingga memunculkan pikiran merasa hidup tidak berarti, menyakiti diri sendiri dan bunuh diri. Diperkirakan masih banyak kasus bunuh diri mahasiswa lainnya, termasuk mahasiswa lelaki yang mengalami tekanan mental, karena tidak biasa bercerita mengungkapkan perasaaannya dengan leluasa.
Bunuh diri bisa menjadi kecenderungan dari banyak orang untuk melakukannya. Sepertinya manusia memiliki potensi untuk menghancurkan diri (vibhava-tanha) dan mengakhiri hidupnya, hidup yang memang katanya tidak luput dari penderitaan. Bunuh diri bisa didasari oleh rasa frustrasi, depresi, beban mental yang berat maupun faktor lainnya seperti sosial, ekonomi, budaya dan lainnya. Selain itu ada juga yang berkenaan dengan pandangan, pemikiran filosofis dan makna hidup.
Ada beberapa filsuf yang membahas tema bunuh diri (suicide) dalam kerangka filsafat, baik menyangkut alasan melakukannya maupun alasan untuk tidak melakukannya. Para filsuf meninjau setiap problem secara lebih dalam dimana mereka tidak hanya melihatnya bunuh diri sebagai tindakan individual, juga sebagai fenomena eksistensial, moral, dan metafisik maupun sosial.
Filsuf Albert Camus, (1913-1960) menyatakan bahwa bunuh diri adalah satu-satunya masalah filosofis yang sungguh serius. Camus tidak membenarkan bunuh diri. Ia menyebut bahwa meskipun hidup tampak absurd (karena tidak ada makna absolut), bunuh diri justru menyerah pada absurditas itu.
David Hume, (1711-1776) karya besarnya, “Of Suicide” membela hak individu untuk malakukan bunuh diri. Ia menilai bahwa jika hidup menjadi terlalu menyakitkan atau beban bagi orang lain, maka tidak ada yang secara moral salah dalam memilih untuk mengakhiri hidup.
Arthur Schopenhauer, (1788-1860), melihat hidup penuh penderitaan, tapi ia menolak bunuh diri sebagai solusi filosofis. Bagi Schopenhauer, bunuh diri adalah bentuk menyerah kepada kehendak hidup, bukan pembebasan darinya.
Jean Paul Sartre, (1905-1980), filsuf eksistensialis mengganggap hidup manusia sebagai radikal bebas dan bertanggung jawab penuh atas pilihan-pilihannya. Tindakan bunuh diri dapat dilihat sebagai ungkapan kebebasan, tetapi juga sebagai bentuk pelarian dari tanggung jawab terhadap keberadaan manusia.
Emile Durkheim, (1858-1917), seorang sosiolog yang pandangannya sangat relevan. Karyanya “Le Suicide” mempengaruhi cara filsuf melihat bunuh diri. Ia mengklasifikasikan bunuh diri beberapa jenis: egoistik (kurangnya integrasi sosial), altruistik (terlalu terikat pada kelompok), anomik (ketidakteraturan sosial), dan fatalistik (kontrol sosial yang terlalu ketat).
Filsuf Heidegger (1889-1976) mengemukakan kematian adalah bagian tak terpisahkan dari Dasein atau keberadaan manusia. Bunuh diri bukanlah sikap otentik sebagai Dasein, karena kematian justru bernilai positif sebab ia memicu munculnya refleksi mengenai dunia Dasein sebagai satu totalitas makna.
Filsuf Emile Cioran (1911-1995) dengan “dark-philosophy” memandang manusia ditakdirkan hidup dalam penderitaan. Baginya kesadaran akan kemungkinan bunuh diri adalah bentuk kebebasan tertinggi. Meski begitu, kenapa ia tidak bunuh diri? Jawabnya: Aku tidak membunuh diriku, karena itu akan menghilangkan hidupku, satu-satunya hiburan yang aku punya.
Buddhadharma Menghormati Kehidupan
Bunuh diri juga telah terjadi semasa Buddha. Ada contoh kisah dalam Tipitaka yang membahas soal ini, misalnya: Kisah bhikkhu Vakkali. Seorang bhikkhu yang mengalami penderitaan fisik berat dan akhirnya bunuh diri. Dalam beberapa tafsir, dikatakan bahwa ia tetap mencapai arahat (kesucian tertinggi), jadi tidak menghasilkan karma buruk. Tapi ini pengecualian yang sangat jarang dan bukan justifikasi umum. Namun, dalam mayoritas ajaran Buddha, tindakan seperti ini tidak dianjurkan dan dianggap sebagai kegagalan dalam menghadapi penderitaan dengan kebijaksanaan.
Ada pula Bhikkhu Channa, seorang bhikkhu yang menderita sakit parah dan memilih untuk mengakhiri hidupnya. Dalam beberapa tafsir, dikatakan bahwa ia telah mencapai pencerahan (arahat) dan tindakannya tidak menghasikkan karma buruk. Namun, ini adalah pengecualian yang sangat jarang dan bukan justifikasi umum. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa meskipun ada pengecualian, bunuh diri secara umum tidak dianjurkan dalam Buddhisme.
Ada juga pandangan tenang bunuh diri dari tokoh Buddhis kontemporer seperti Dalai Lama (HH/His Holiness Ke-14). Ia menekankan bahwa bunuh diri tidak akan mengakhiri penderitaan, karena kesadaran akan terus berlanjut. Ia mengingatkan bahwa penderitaan muncul dari ketidaktahuan dan keinginan, dan untuk mengatasinya, kita harus mengatasi akar penyebab tersebut, bukan dengan mengakhiri hidup.
Chan Master Cheng Yen menekankan bahwa bunuh diri tidak menyelesaikan penderitaan, karena karma yang belum selesai akan membawa individu ke siklus kelahiran kembali. Ia mendorong untuk menjalani hidup dengan bijaksana dan penuh kasih serta berlatih untuk mengubah kondisi saat ini agar masa depan lebih baik.
Matthieu Ricard (79 th), seorang penulis dan biksu Tibet menyatakan bunuh diri adalah bentuk kelemahan dan penyerahan diri terhadap keputusasaan. Ia mengingatkan bahwa hidup adalah kesempatan langka untuk transformasi batin, dan mengakhiri hidup berarti menghentikan potensi tersebut.
Tokoh Zen terkenal, penulis buku Thich Nhat Hanh (1926-2022) mengemukakan tentang alasan adanya bhikkhu-bhikkhu yang membakar diri dalam perang Vietnam di tahun 1970-an. Ia menjelaskan, bahwa tindakan membakar diri oleh biksu-biksu Vietnam selama Perang Vietnam bukanlah bunuh diri, melainkan protes damai untuk menarik perhatian dunia terhadap kekerasan yang dialami rakyat Vietnam atas agresi Amerika. Ia menekankan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran dan tujuan mulia.
Buddhadharma mengajarkan bahwa hidup adalah kesempatan yang sangat berharga untuk mencapai pencerahan (nirvana). Bunuh diri dianggap sebagai pelarian dari penderitaan (dukkha) dan tidak menyelesaikan akar masalah, yaitu keinginan (tanha) dan ketidaktahuan (moha). Buddhadharma menghormati setiap entitas yang hidup dengan menekankan metta (cinta kasih) terhadap diri sendiri dan semua makhluk.
Perlu selalu melakukan pelatihan batin untuk menumbuhkan kesabaran dan kebijaksanaan dalam menghadapi penderitaan dan segala permasalahan yang ada. Sesuai ajaran Buddha bahwa segala sesuatu sesungguhnya adalah tidak-kekal (anicca), dan karenanya setiap masalah pasti bisa berlalu sebagaimana dukkha atau penderitaaan dalam ajaran Buddha dapat diselesaikan karena adanya nibbana.
Kembali Ke Kampus
Lepas dari segala pendapat tentang bunuh diri, alasan pemikiran filosofis atau agamis melakukan atau tidak melakukan, kehidupan sepantasnya tetap dihargai, dirawat dan diperjuangkan. Segala kalangan, keluarga dan masyarakat harus memberikan support (dukungan) bagi kehidupan anak-anak muda yang sedang mencari identitas dan penemuan dirinya dan segala permasalahan yang menyertainya untuk jangan sampai melakukan bunuh diri, seperti ada mahasiswa yang melakukannya di kampus.
Sangat ironis kalau kampus jadi lokasi bunuh diri mahasiswa. Ada apa dengan lingkungan kampus? Kampus sebagai perguruan tinggi adalah civitas akademika, masyarakat terdidik, tempat mendidik dan melatih kaum muda dalam intelektual, emosional psikologi, sosial dan spiritual. Bukankah Kampus menyediakan layanan konseling? Konseling yang mudah diakses, tidak normatif melainkan ramah, akrab serta terbuka dan nyaman sehingga mahasiswa leluasa mengungkapkan perasaannya.
Kampus perlu menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental, dan membangun budaya pelayanan yang peduli terhadap kesejahteran mahasiswa, lahir dan batin, akademik dan spiritualitas. Bunuh diri mahasiswa di kampus jangan ditutupi karena tidak sesuai dengan hakikat kampus yang bersemangat kajian. Perguruan tinggi merupakan wadah pengkajian permasalahan bagi tumbuhnya ilmu pengetahuan yang bersifat akademik, terbuka dan argumentatif termasuk fenomena bunuh diri terlebih di kampus sebagai rumah kajian berdasarkan saintifik.
Mahasiwa merupakan kaum muda tidak hanya pemiilik kehidupannya, namun juga calon pemimpin dan pemilik masa depan bangsa. Satu pemuda gugur adalah tangis dua orang tua yang meninggalkan harapan berjuta masyarakat. Soekarno di Aceh sekitar tahun 1950-an pernah berpesan kepada pemuda, “Gantungkan cita-citamu setinggi bintang-bintang di langit.”
Adalah sangat berlawanan dan kontradiksi bila di kampus nyatanya mahasiswa malah menggantungkan dirinya, memutuskan hidupnya dengan tali kasih dan perhatian yang hilang yang sepantasnya diperoleh. Bunuh diri mahasiswa di kampus layaknya cerminan teori “falsifikasi” Karl Popper yang menegasi keberadaan peran dan fungsi kampus sebagai arena ilmu pengetahuan dan wadah mahasiswa menempa diri demi masa depan hidupnya.
Teori epistemologi “falsifiksi” Karl Popper bahwa, “satu angsa hitam ditemukan akan menggugurkan tesis bahwa semua angsa adalah putih.” Ini berarti satu pemuda mahasiswa mengantung dirinya di kampus sangat kontradiksi dengan seruan Soekarno kepada pemuda untuk mengantungkan cita-cita setinggi langit. Kampus adalah kawah candradimuka tempat menempa anak-anak muda menggapai cita-citanya.
Kampus bukan sekedar bangunan fisik, namun ruang-ruang cerdas yang bukan sekedar ruang bernomor kuantitatif. Ruang cerdas diskusi untuk belajar yang penuh makna dengan kualitas kehangatan hati para pengasuh. Rumah bagi para muda yang sedang membangun kepercayaan dirinya, menyatakan keberadaannya, belajar merajut kasih bahkan menemukan pasangan hidup yang kelak satu menjadi dua, dan bukan justru membunuh dirinya satu-satunya, diriku-kematianku, menjadi tiada, nol, memupuskan harapan orang tua, calon mertua, masyarakat, bangsa dan negara.
Bunuh diri mahasiswa bukan sekedar melahirkan jatuhnya titik air mata emosional para pendidik, namun sebuah penanda yang melebihi sekedar pertanyaan kuesioner di setiap akhir semester, yang tanpa ada pertanyaan tentang kepergian roh jiwa pedagogis dari kehidupan kampus. Sebuah jawaban yang memerlukan nalar, kajian mendalam secara akademis dan jiwa.
Sebuah pertanyaan yang berkenaan dengan filosofi pendidikan bangsa. Masih adakah kepamongan dari filosofi kepemimpinan tokoh kependidikan Ki Hajar Dewantara di tengah tekanan akademik, tata kelola mekanis dan gaya perilaku pendidik yang layaknya pekerja birokrat penuh urusan administratif dan kepemimpinan feodal yang mewarnai suasana kehidupan kampus masa kini? (JP)***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: Meta AI