Festival Kue Bulan di Era Modernisasi: Dari Kisah Legenda Hingga Perayaan Global

Home » Artikel » Festival Kue Bulan di Era Modernisasi: Dari Kisah Legenda Hingga Perayaan Global

Dilihat

Dilihat : 126 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 29
  • 271
  • 82,532
Pic 4 Festival Kue Bulan

Oleh: Stephanie Shan 彭珊珊

 

Dibuat dalam rangka festival Kue Bulan dan Ulang Tahun Setangkaidupa.com ke 3 pada bulan 8 tanggal 15 penanggalan lunar 2025.

Setiap tahun, ketika bulan purnama paling bulat dan bersinar terang muncul di langit musim gugur, jutaan orang yang berada di benua Asia bersiap untuk merayakan satu momen yang sama yaitu, “Festival Kue Bulan”. Dalam bahasa Mandarin festival ini dikenal sebagai Zhong Qiu Jie / Tiong Ciu Ciat 中秋节, perayaan seperti ini sudah berlangsung lebih dari 3.000 tahun dan masih tetap dilestarikan hingga saat ini. Di era modern yang serba canggih saat ini, festival tersebut tidak hanya jadi tradisi berkumpulnya keluarga besar sambil menyantap nikmatnya kue bulan dan bercengkrama, tapi juga berubah menjadi fenomena global yang dirayakan secara unik dengan khas masing-masing negara yang tentunya sebagian besar terletak di benua Asia.

 

Menilik Jejak Sejarah di Balik Bulan Purnama

Asal-usul Festival Kue Bulan sangat erat kaitannya dengan kehidupan tradisional masyarakat Tiongkok jaman dulu. Saat itu, banyak penduduk yang bekerja sebagai petani menggunakan patokan bulan sebagai penentu musim dan simbol kesuburan. Tepatnya pada bulan kedelapan kalender lunar (imlek), saat musim panen raya sudah mencapai puncaknya, masyarakat akan mengadakan upacara syukur besar-besaran untuk setiap hasil panen yang melimpah ruah. Mereka pasti membakar dupa dan juga mempersembahkan berbagai macam hasil bumi, dan beramai-ramai berlutut menghadap ke langit sambil berdoa mengucap syukur yang luar biasa di bawah cahaya purnama.

Namun, ada beberapa hal yang membuat festival akhirnya begitu populer tidak hanya di tanah Tiongkok melainkan sampai ke negara-negara lain. Kisah salah satu legenda tentang Chang’e, yang dikenal sebagai Dewi Bulan. Kisahnya sungguh menyentuh hati karena sang pemanah Hou Yi berhasil menyelamatkan bumi dengan menembak jatuh sembilan matahari yang membakar dunia saat itu. Sebagai hadiah dari para dewa, Ia menerima ramuan yang dapat menjadikan dia manusia abadi. Akan tetapi dalam keadaan terdesak, istrinya, Chang’e, menelan ramuan itu dan seketika itu juga dirinya melayang ke bulan. Semenjak itu, dipercaya oleh sebagian besar masyarakat jika bulan dianggap sebagai rumah sang Dewi. Dari kisah ini banyak muncullah banyak penyair dan ahli sastra di zaman itu yang memberi sentuhan romantis sekaligus sedih dengan melihat bulan purnama dipercaya sebagai salah satu cara untuk bisa terhubung dengan orang terkasih yang jauh di mata, tapi dekat di hati.

 

Kue Bulan: Lebih dari Sekadar Kudapan

Ikon yang paling utama dalam perayaan ini tentu saja kue bulan (yuebing/gwee phia 月饼). Bentuknya bulat dan dibuat semirip mungkin dengan bulan, kue ini melambangkan tentang kesatuan dan kebersamaan. Isi dari kue bulan ini sangat beragam mulai dari pasta kacang merah, biji lotus, pasta pandan, kacang hitam hingga kuning telur asin yang menyerupai bentuk rembulan pada waktu tengah malam.

Sejarah juga mencatat, jika kue bulan sendiri pernah punya peran penting diluar kisahnya dan sebagai simbol makanan saja. Pada masa Dinasti Yuan, rakyat Han menyelundupkan pesan rahasia di dalam kue bulan untuk melakukan pemberontakan besar-besaran terhadap Mongolia dan sejak saat itu, kue bulan menjadi bagian dari kisah bukan hanya sekedar makanan manis, tapi juga simbol solidaritas dan perlawanan.

 

Modernisasi: Dari Tradisi ke Tren Kekinian

Di abad ke-21, Festival Kue Bulan tidak lagi eksklusif milik salah satu keluarga atau desa. Tapi kini kue bulan menjelma menjadi festival kota modern. Di Beijing dan Shanghai, banyak pertunjukan lampion raksasa yang menghiasi taman kota. Di Singapura dan Malaysia, festival ini biasanya selalu dirayakan dengan adanya pasar malam dan konser budaya di pusat kota. Bahkan di kota-kota yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang barat seperti Sydney, London, atau Vancouver, festival ini dirayakan oleh para diaspora Tionghoa dan disambut dengan meriah oleh masyarakat umum.

Transformasi paling terasa ada pada variasi bentuk dan cita rasa kue bulan itu sendiri. Kalau dulu bentuknya bulat dengan rasa klasik, sekarang pilihan lebih berbagai macam kue bulan seperti kue bulan dengan rasa coklat Belgia, matcha Jepang, durian Musang King, bahkan es krim. Kemasan pun semakin kreatif juga dibuat layaknya seperti kotak perhiasan dengan warna yang mencolok juga tambahan pernak – pernik sebagai pemanis agar terkesan mewah. Generasi muda melihat kue bulan bukan hanya makanan tradisi, tapi juga sebagai eksistensi hadiah yang berhubungan dengan gaya hidup.

Era digital pun juga memberikan sumbangan besar dengan ide baru dan tak jarang dibuat sebagai ajang perlombaan anak muda untuk memamerkan sisi kreatif mereka. Dengan begitu berbagai macam dan bentuk ucapan “Selamat Merayakan Festival Kue Bulan” semakin ramai dan meriah beredar di media sosial. Banyak juga keluarga yang kini merayakannya lewat panggilan video karena mereka terpisah jarak dan waktu, sambil menikmati kue bulan yang sudah  mereka pesan lewat aplikasi e-commerce. Sehingga, rasa kebersamaan tetap tercipta meski lewat dunia virtual. Tradisi menatap bulan dan berkumpul bersama keluarga besar juga melakukan persembahyangan di halaman rumah mungkin berkurang, tapi esensi kebersamaan tetap hidup hanya dalam format yang lebih modern.

 

Festival yang Menembus Batas Budaya

Yang menarik dari festival ini adalah pola pikir masyarakat modern yang menganggap festival ini sebagai jembatan antarbudaya. Di Indonesia, Malaysia, hingga Amerika Serikat, festival ini bukan hanya milik etnis Tionghoa saja. Bahkan seperti lampion, bazar kuliner, dan pertunjukan budaya terbuka untuk siapa saja. UNESCO bahkan telah menetapkan Festival Pertengahan Musim Gugur sebagai warisan budaya yang digolongkan sebagai bukan benda dunia.

Jadi, perayaan ini bukan hanya tentang kue dan lampion, tapi juga tentang bagaimana tradisi mampu membangun dialog antarbangsa dan menghadirkan momen kebersamaan diantara lintas etnis.

 

Antara Tradisi dan Konsumerisme

Meski begitu, ada juga beberapa kekhawatiran terkait dengan unsur modernisasi yang kerap membuat perayaan ini identik dengan kemewahan. Sebagai contoh, dibuatnya kue bulan dengan kualitas premium seharga jutaan rupiah, pesta besar-besaran, hingga promosi komersial. Hal-hal ini membuat makna asli festival yakni rasa syukur, penghormatan pada alam, dan refleksi spiritual semakin tenggelam di balik gemerlap bisnis dan gengsi.

Di sinilah pentingnya menjaga keseimbangan antara modernisasi dan tradisi. Modernisasi boleh membawa inovasi, tapi akar murni tradisi jangan sampai hilang esensinya. Di era modernisasi dan semakin canggih ini kita dapat memanfaatkan teknologi dengan mengajarkan anak-anak tentang legenda Chang’e dalam bentuk animasi yang dibuat cukup menarik dengan cerita yang mudah dipahami sambil duduk bersama keluarga dan pastinya berbagi kue bulan yang sederhana namun nikmat, atau sekadar menatap bulan sebentar sambil mengucapkan doa-doa yang baik. Hal-hal yang sederhana seperti itu dapat menjaga kelestarian adat dan intisari dari festival perayaan kue bulan tetap hidup.

 

Pesan Kebijaksanaan Timur di Balik Rembulan

Bulan purnama dalam setiap perayaan festival kue bulan ini bukan hanya sekedar pemandangan indah melainkan sebuah simbol filosofi dari Timur yang mencerminkan kesempurnaan yang sementara. Setelah bulan purnama penuh, bentuk bulan akan mulai berubah dan cahaya terangnya pun berkurang. Begitu pula dengan hidup manusia yang selalu silih berganti dengan penuh dan kekosongan hati, suka dan duka, orang baru yang datang dan pergi semuanya berjalan dalam siklus kehidupan.

Filosofi kebijaksanaan timur mengajarkan kepada kita bahwa yang terpenting bukanlah mempertahankan kesempurnaan, tapi lebih ke arah menghargai setiap momen dalam perjalanan hidup. Dengan kita duduk di bawah rembulan, entah sendiri atau bersama keluarga, hal ini adalah pengingat untuk kita bahwa waktu terus bergerak, tapi hati kita yang saling terhubung akan selalu memiliki tekad yang bulat serta selalu utuh.

 

Penutup

Festival Kue Bulan adalah salah satu bukti bahwa tradisi kuno bisa beradaptasi tanpa kehilangan esensi kemurnian jiwanya. Dari legenda Chang’e hingga terciptalah kue bulan yang bulat dan manis, hingga pesta lampion di kota-kota modern, semuanya menyatukan masa lalu dan masa kini dalam satu perayaan. Dan seperti pepatah Tiongkok mengatakan: “Rembulan bisa penuh dan berkurang, begitu pula hidup manusia. Namun hati yang saling terhubung, akan selalu tetap bulat.”

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Referensi

  1. Ebrey, Patricia Buckley. The Cambridge Illustrated History of China. Cambridge University Press, 2010.
  2. Idema, Wilt L. Chinese Tales of the Supernatural and the Fantastic: Selections from Liaozhai Zhiyi. Hackett Publishing, 2018.
  3. Tan, Chee-Beng. Chinese Religion in Malaysia: Temples and Communities. Brill, 2018.
  4. UNESCO. “Mid-Autumn Festival.” Intangible Cultural Heritage. https://ich.unesco.org
  5. China Daily. “Mooncake Culture and the Mid-Autumn Festival.” 2022.
  6. Singapore Tourism Board. “Mid-Autumn Festival in Singapore.” https://www.visitsingapore.com
  7. Xinhua News Agency. “Modern Twist to Mooncakes for Mid-Autumn Festival.” 2021.
  8. BBC Travel. “The Legends Behind China’s Mid-Autumn Festival.” 2020.
  9. Gambar: Meta AI.
error: Content is protected !!
Butuh bantuan?