Oleh: Gifari Andika Ferisqo 方诸德
Feodalisme didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai suatu sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; sistem sosial ini mengutamakan posisi atau pangkat daripada prestasi kerja. Selain itu, budaya monarki sering dikaitkan dengan pemikiran primitif, pandangan adat, aturan, tata cara berperilaku, dan kosmologi yang ketat.
Selain itu, feodalisme bukan hanya mengenai tradisi kuno yang dipelihara, tetapi lebih seperti sistem kasta yang diadaptasikan di berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah pendidikan. Para siswa dihadapan gurunya harus menunduk dan enggan untuk sekedar menyampaikan pendapatnya atau untuk sekedar berani bertanya saja tidak, sehingga para siswa tidak mampu berpikir kritis, cenderung mengangguk-anggukkan kepala saja seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
Apakah akar masalahnya? Dogma pengultusan yang membabi-buta terhadap seorang guru atau yang dianggap lebih tua dan berpengalaman. Para siswa diajarkan buat patuh tanpa berpikir, seorang guru bisa dianggap keramat dan seolah pantang untuk dijadikan kawan diskusi dan tempat bertukar pikiran, bahkan ucapannya bisa saja menjadi sabda. Sistem pendidikan yang diterapkan janganlah berharap ada ruang buat berpikir dan berdiskusi, yang ada hanyalah hafalan, doktrin, dan bahkan pujian dan pengultusan untuk para “tokoh”, seperti pahlawan, agamawan, bahkan politikus.
Ironisnya, justru banyak dari siswa maupun orang tua siswa yang cukup bangga dengan sistem semacam ini. Karena dianggap sebagai bentuk kepatuhan atau penghormatan kepada yang dianggap lebih tua, yang justru sebenarnya sistem ini hanya melanggengkan kebodohan.
Sejarah Adaptasi Feodalisme dalam Dunia Pendidikan
Sekitar abad-20, Jawa merupakan wilayah utama pendudukan Kolonial Belanda. Namun, sebagian besar penguasa lokal adalah kaelompok bangsawan atau priyayi, yang memperlakukan rakyat Jawa kelas rendah dengan lebih rendah atau hina. Mereka diangkat oleh pemerintah Kolonial Belanda sebagai penguasa setempat, dan dijuluki sebagai pangreh praja, mereka memerintah langsung rakyat Jawa kelas bawah. Kekuasaannya berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda secara langsung, tetapi pemerintah Kolonial Belanda juga membangun pemerintahan sipil dalam negeri yang terstruktur dan rapi yang berdasarkan pada merit system seperti di Eropa yang dikenal sebagai Binnenlandsch Bestuur. Jadi, feodalisme masih ada saat pendudukan Kolonial Belanda berlangsung.
Kehidupan para raja, bangsawan (priyayi), dan rakyat jelata muda (kawula) di Keraton Surakarta dari abad ke-18 hingga 19 memberikan gambaran tentang bagaimana feodalisme berlangsung. Terlebih dahulu, namun tampak di permukaan seperti sedang berada pada situasi sosial-politik dan sosial-masyarakat di wilayah Jawa bagian Mataram tampak tenang dan tentram namun justru sedang mengalami keputusasaan di tengah-tengah rakyat. Akibatnya rakyat banyak melampiaskan pada banyaknya karya sastra yang diciptakan pada era ini.
Kultus raja telah ditanamkan di rumah tangga seorang calon priyayi, apakah itu rakyat kecil (wong cilik), priyayi rendah, atau priyayi tinggi. Priyayi ditugaskan oleh orang tuanya untuk suwita/suwito (berguru) pada priyayi yang lebih tinggi. Kenyataan bahwa seorang wong cilik menerima tempat suwito adalah keadaan yang sangat istimewa. Hubungan pribadi (patron-client) sangat penting karena tidak ada mekanisme yang baku. Periode suwito, ketika seorang calon priyayi melihat seberapa sensitif dia terhadap simbol, sangat memengaruhi masa depannya.
Raja berada di puncak hierarki kepriyayian dalam mata rantai. Tidak mengherankan bahwa para priyayi adalah lapisan sosial pertama yang menyadari posisi mereka dibandingkan dengan raja dan kawula (rakyat jelata muda). Mereka melanggengkan simbol kekuasaan dengan nunut kamukten (numpang kemuliaan) raja. Menghormati raja dalam banyak upacara, seperti menerima bintang dan mengarak gambar mereka bersama-sama untuk menunjukkan kesetiaan mereka. Dengan kata lain, kepentingan priyayi dan raja sama. Karena kawula adalah orang-orang muda yang tidak memahami simbol-simbol kehalusan priyayi, priyayi juga menjaga jarak dengan mereka.
Raja melihat priyayi dan kawula sebagai abdi yang harus duduk di lantai, karena mereka percaya pada wahyu dan menjadi pemilik sah kerajaan. Priyayi melihat kawula sebagai wong cilik yang tidak memiliki tanda kekuasaan, sehingga mereka rendah, kasar, dan dianggap tidak terpelajar bahkan dianggap tidak berhak mendapatkan pendidikan. Bahkan dalam surat-surat yang ditulis oleh R. A Kartini yang diterbitkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1911 menjelaskan kemuakkannya pada kehidupan keluarga bupati sebagai pangreh praja masih diatur oleh tradisi, termasuk kedudukan orang tua terhadap putra-putranya, ketaatan, dan kepatuhan terhadap adat yang mengatur berbagai hubungan sosial, baik dalam keluarga maupun di luarnya.
Karena berasal dari keluarga priyayi, R. A Kartini beruntung dapat bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Belanda yang cenderung lebih egaliter, karena pada saat itu hanya bangsawan Jawa yang dianggap berhak menerima pendidikan oleh orang-orang Jawa itu sendiri, yang bisa disimpulkan bahwa feodalisme telah diadaptasikan ke dalam pendidikan pada sistem sosial-kemasyarakatan orang Jawa. Pendidikan dan pergaulan R. A Kartini telah membuka matanya dan memberinya kesadaran akan dunia luar, nilai-nilai dan cara hidup yang berbeda dari yang dia miliki. Dia terkejut dengan kebudayaan dan hasrat besar untuk belajar dengan dunia baru, karena melihat adanya kondisi yang buruk secara keseluruhan dan status wanita yang rendah terutama di kalangan orang Jawa pada saat itu.
Konklusi
Masyarakat umum tidak asing dengan sistem siswa menuruti guru yang merupakan salah satu kecacatan dalam prinsip dasar pendidikan. Seorang guru menjadi sosok pusat yang absolut diikuti tanpa koreksi, di sisi lain siswa ditempatkan pada posisi harus patuh tanpa banyak bertanya. Padahal, seorang guru juga sebagaimana manusia umumnya bisa saja berlaku salah. Itulah kenapa feodalisme di dunia pendidikan menjadi sisi yang teramat gelap. Karena tidak hanya melibatkan oknum, tetapi sudah menjadi sistem yang seolah resmi dan formal. Berkembangnya sistem ini bermula dari dogma yang menyatakan bahwa dalam mencari ilmu seorang siswa harus mengagungkan guru. Siswa yang sudah terbiasa dengan sistem masyarakat feodal yang diadaptasikan dari budaya Jawa pada ujungnya mengekspresikan rasa hormat mereka dengan cara yang berlebihan, bersimpuh, berlutut, tidak menyela dan hanya menerima, tidak ubahnya gesture rakyat jelata ketika menghadap raja.
Belum lagi ketika para siswa lebih ditekankan pada sistem hafalan membuat para siswa kesulitan bahkan tidak bisa mengembangkan kreativitasnya masing-masing, dan guru yang enggan menjelaskan sesuatu dengan memberikan tugas setumpuk dengan alasan agar siswa terbiasa dan belajar. Bukankah ini adalah hasil ekstrak dari feodalisme?
Pendidikan berbasis nilai yang pasti tidak asing jika sekolah identik dengan mencari nilai, bukan mencari dan mengasah minat siswa. Di sekolah banyak mata pelajaran dan siswa dituntut untuk bisa semua mata pelajaran dengan tolak ukur KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Kita tahu setiap siswa memiliki kecerdasan berbeda sehingga tidak mungkin bagi seorang siswa mahir pada semua mata pelajaran sekolah. Di sekolah juga banyak PR (Pekerjaan Rumah) yang sebenarnya tidak penting, karena waktu sekolah sudah sampai sore dan ketika di rumah diharuskan belajar lagi tentu akan melelahkan bagi para siswa, jadi waktu untuk istirahat tekuras habis dan tidak produktif untuk mengasah kemampuan lainnya.
Jika kita melakukan perbandingan dengan sistem pendidikan di negara yang lebih maju, maka tidak asing bagi mereka untuk selalu memperbarui sistem pendidikan yang mereka terapkan meskipun tidak selalu update tepat waktu dengan kondisi ‘lapangan’. Contoh sederhananya adalah guru yang menghargai dan mengapresiasi pendapat siswa; siswa selalu mendapatkan penghargaan dan apresiasi dari pendapat yang diajukan atau diungkapkan. Ini bertujuan untuk siswa memiliki kemampuan menumbuhkan rasa percaya diri dan memberikan contoh kepada siswa lain untuk menghindari sikap prejudis. Sangat terlihat jelas bahwa sikap ini membuat siswa tidak takut untuk menyuarakan pendapat mereka dan mengajukan pertanyaan, meskipun pertanyaan ‘receh’ sekalipun. Sedangkan di Indonesia yang umumnya terjadi adalah sikap kesulitan untuk berbicara di depan umum atau bahkan sekedar bertanya karena takut untuk dihakimi atau dianggap tidak sopan yang mana itu adalah ‘ekstrak’ dari feodalisme yang diadaptasikan dalam dunia pendidikan.
Guru juga diharapkan untuk tidak merasa superior. Mereka semestinya tidak keberatan menerima banyak pertanyaan dan kritik dari siswanya. Feodalisme dalam dunia pendidikan di Indonesia menyebabkan kualitas guru rendah dan menghasilkan kualitas siswa yang rendah juga, karena dengan budaya feodalisme yang berakar kuat dan menular membuat banyak guru tidak memiliki semangat untuk mengajar dan pengajar terus mempertahankan zona nyaman mereka, membuat mereka tidak ingin belajar untuk meningkatkan kemampuan mereka dan lebih mementingkan pengultusan atau penghormatan karena dianggap lebih tua dan berpengalaman. Lalu banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, sekolah, dan universitas di Indonesia belum bekerja sama untuk menyelesaikan masalah pendidikan. Karena pemerintah masih memandang guru sebagai pekerjaan yang “transfer ilmu” saja, dan mungkin mereka lupa akan tujuan dasar mendidik generasi penerus yang adaptif menghadapi tantangan zaman, dan tampaknya memang nyaman menempati posisi ‘penguasa feodal’ meski itu hanya terbatas di balik ‘pagar’ lembaga pendidikannya, atau mungkin memang negara sedang merancang agar generasi penerusnya tidak ingin pintar agar bisa terus dibodohi.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka
- Triana Wulandari. 2017. Perempuan dalam Gerakan kebangsaan.
- S. Nasution. 2011. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta. PT Bumi Aksara
- Kartini, R.A. 1968. Habis Gelap Terbitlah Terang. Djakarta. P.N. Balai Pustaka
- Kuntowijoyo. 2006. Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta: Ombak.
- Gambar: https://geotimes.id/opini/bahaya-feodalisme-menggerogoti-sistem-pendidikan-indonesia/. Diakses 4 September 2024.