by : Ikhsan Alhaque, Banjarmasin, 29/08/2025
Siapakah Ia?
Affan Kurniawan hanyalah satu dari jutaan pejuang rupiah yang setiap hari menantang panas dan hujan demi nafkah keluarga. Ia seorang pengemudi ojek online, tulang punggung rumah tangga, yang hidupnya berakhir tragis di jalan raya. Pada sebuah sore yang gaduh, selepas maghrib, tubuhnya dilindas kendaraan taktis Barracuda Brimob ketika massa demonstran berhadap-hadapan dengan aparat di sekitar kompleks DPR RI. Kematian itu bukan sekadar musibah, melainkan sebuah elegi dari jalanan—ratapan lirih tentang betapa murahnya nyawa rakyat kecil dalam pusaran kuasa.
Luka yang Terus Berulang
Tragedi Affan bukanlah satu-satunya. Dari Kanjuruhan hingga berbagai demonstrasi buruh dan mahasiswa, kekerasan aparat selalu menjadi pola berulang. Seolah-olah, suara rakyat yang memenuhi jalanan adalah ancaman, bukan amanat konstitusi. Padahal, seperti ditulis Laozi dalam Dao De Jing, “Kebaikan tertinggi itu seperti air: ia mengalir memberi manfaat tanpa berebut tempat.” Rakyat yang turun ke jalan hanyalah air yang mengalir mencari ruang, namun negara kerap membendungnya dengan kekerasan.
Panggung Elit, Jerit Rakyat
Kontras makin terasa ketika rakyat berhemat di pasar, sementara para wakilnya berpesta di Senayan. Harga beras terus naik, ancaman PHK menambah beban, sementara gaji dan tunjangan anggota DPR menembus seratus juta rupiah per bulan. Di layar publik, kita bahkan menyaksikan mereka berjoget-joget di sidang istimewa, seolah-olah gedung parlemen hanyalah panggung hiburan, bukan dermaga amanah. Gambaran ini tak hanya melukai logika, tapi juga rasa keadilan: Rakyat di titian rapuh, elit di menara gading.
Luka Sosial yang Tak Pernah Usai
Kerusuhan sosial di negeri ini selalu meninggalkan bayang-bayang luka yang sama: prasangka yang tak pernah benar-benar dijahit dengan keadilan. Dalam setiap kericuhan, ada kecemasan bahwa amarah bisa menyerempet pada mereka yang berbeda latar atau etnis. Luka ini, seperti arang yang tersisa di bara, terus mengintai di tikungan sejarah. Elegi Affan mestinya mengingatkan kita, bahwa bangsa ini tak akan pernah sembuh bila empati hanya jadi jargon, sementara prasangka tetap dibiarkan bersemayam di bawah permukaan.
Sebuah Cermin untuk Bangsa
Nama Affan kini menjadi cermn, memperlihatkan rapuhnya empati kita sebagai bangsa. Ia mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal hukum dan prosedur, melainkan soal hati. Rabindranath Tagore dalam Stray Birds (1916) menulis, “The small truth has words which are clear; the great truth has great silence.” Kebenaran besar hari ini bukan teriak di podium, melainkan keberanian menundukkan hati dan mendengar jeritan rakyat kecil. Bila tidak, jalanan akan terus menjadi panggung elegi, dan kita akan terus menambah daftar nama dalam buku duka bangsa.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber Bacaan :
- Laozi. Dao De Jing. Terjemahan James Legge.
- Tagore, Rabindranath. Stray Birds. 1916.
- Mandela, Nelson. Long Walk to Freedom. 1994.
- Pramoedya Ananta Toer. Tetralogi Buru.
- Gambar: https://idisnews.co.id/berita/profil-dan-kronologis-affan-kurniawan-driver-ojol-tewas-terlindas-rantis-brimob. Diakes 29 Agustus 2025