Oleh: Vijjavati Anindita Adzani
Kementerian agama awal tahun ini mengadakan bulan bakti yang salah satu agendanya adalah bersih-bersih tempat ibadah. Perwakilan umat agama beramai-ramai membersihkan gereja, masjid, dan kelenteng untuk memberikan contoh kepada masyarakat bahwa semua umat beragama adalah saudara. Bulan bakti tersebut tentu saja hanya sebagian kecil dari praktik moderasi agama. Moderasi agama sendiri cakupannya luas dan mungkin belum tentu bisa dikatakan sebagai moderasi jika hanya ditampakkan ke publik saat situasi tertentu saja.
Saya sendiri mengetahui bahwa sebagian yang mempraktikkan moderasi beragama di depan umum justru saat berkumpul dengan teman satu agamanya malah merendahkan agama lainnya. Banyak cara yang dilakukan seperti membicarakan kekurangan tokoh kunci di agama tersebut menurut versi mereka, mengungkit-ungkit bahwa agama merekalah yang terbenar dan satu-satunya yang diakui di muka Tuhan, bahkan sembunyi-sembunyi memberi label khusus kepada yang berbeda pendapat. Masalahnya, beda pendapat juga ditemukan di dalam lingkaran agama yang sama.
Ada seorang tokoh penting di agama mereka yang suatu hari membuat statement bahwa kitab suci mereka tidak lengkap. Tentu saja hal ini membuat sesama tokoh merasa geram. Wajah mereka memerah karena menganggap bahwa tokoh tersebut sudah menjelekkan ajaran nabi mereka yang mulia. Terlebih, tokoh tersebut diketahui juga enggan untuk bergabung dengan organisasi besar di komunitas agama mereka sehingga kebencian terhadapnya semakin menjadi-jadi. Padahal, tokoh tersebut adalah saudara seagama mereka. Ketika sedang tidak menahan diri, kata-kata langganan akan meluncur dari lidah mereka untuk mencaci maki tokoh tersebut. Akan tetapi, ia tidak bergeming. Ia pikir lebih baik membina diri serta orang-orang yang bersedia menerima bimbingan dan ceramahnya.
Berbicara tentang moderasi beragama, yang dicoba untuk dicegah melalui praktik ini adalah konflik antara umat agama yang berbeda. Harapannya, antar agama bisa hidup berdampingan – coexist – dengan harmoni. Kenyataannya, moderasi tidak cukup dipraktikkan antara isi ajaran yang berbeda, tetapi juga antara pemahaman isi yang berbeda. Antara kedua agama saja isi ajarannya sudah beda, apalagi antara enam agama. Akan tetapi, dalam satu agama saja pemahamannya beraneka ragam. Seandainya suatu hari umat Buddha seIndonesia ingin mempersatukan seluruh aliran, rasanya hal itu akan sangat sulit untuk dicapai. Buddhis aliran Theravada mungkin saja tidak mau tiba-tiba harus memuja Bodhissattva, umat aliran Mahayana yang biasa nianfo mungkin juga enggan saat disuruh membacakan paritta dalam bahasa Pali, pengikut Tantrayana akan protes jika mereka diminta tidak memakai musik pada ritual puja.
Perbedaan pemahaman dan tradisi dalam satu agama saja sudah membuat ribut. Ada rasa tidak betah saat perbedaan tata cara dikritik dan dijelek-jelekkan di dalam forum. Solusinya adalah masing-masing aliran membuat perkumpulannya sendiri-sendiri. Malah, dalam aliran yang sama pun dibuat lagi banyak perkumpulan oleh orang-orang yang ingin mengidentifikasikan diri lewat pemahaman yang diyakininya. Hasil akhirnya adalah umat Budha terpecah-pecah berdasarkan aliran, wilayah, atau visi misinya. Apakah perpecahan umat Budha adalah tujuan dari sang Budha membabarkan dharma 2600 tahun yang lalu? Agar umat membentuk perkumpulan sekuat-kuatnya sementara perkumpulan kecil dan terpencil terabaikan?
Salah satu kesulitan manusia adalah menjaga konsistensi. Sulit untuk konsisten datang ke vihara setiap puja bakti, tapi lebih sulit lagi konsisten untuk menjaga sila. Lima sila saja yang kelihatannya enteng rupanya tidak enteng menerapkannya saat diri kita masih memiliki sikap double standard. Mudah untuk bervegetarian, tapi sulit untuk tidak menyakiti makhluk lain lewat kata maupun perbuatan. Mudah untuk melafalkan ta pei chou, mudah juga untuk melempar prejudis negatif saat melihat orang beda etnis. Mudah untuk berdana uang, tapi sulit untuk menunjukkan pengertian dan memberikan rasa aman. Maunya jadi pengisi dhamma desana, tapi lamban dalam meluangkan waktu untuk merenungkan ajaran bagi diri sendiri.
Mendiang Bhante Jinadhammo pernah berkata, “agama hanya sebagai baju. Bicaranya saja yang peduli, tapi nyatanya tidak sama dengan yang dibicarakan. Kalau mau jadi siswa Budha, ya jangan begitu. Jalannya muluk-muluk dan tidak mengerti sama sekali, malu pada umat lain.” Quotes lain yang pernah saya dengar dan berkaitan dengan kata-kata beliau adalah ’orang yang paling nyaman adalah orang yang sama dengan bayangannya.’ Ketika baru mencapai pencerahan, Budha enggan membabarkan dharma sampai diminta oleh Brahmavihara. Jangankan memahami 84.000 dharma, mau menerima kenyataan saja rupanya masih kesulitan.
Misalkan kita menonton drama Korea dan melihat oppa yang ganteng, tentu indra penglihatan akan terpukau melihat mereka berpenampilan menarik. Namun, apakah wajah yang dirias make up dan wajah saat bangun tidur mereka akan sama persis? Belum tentu juga penonton drama Korea antusias berjumpa mereka dengan muka bantal dibandingkan saat habis didandani sebelum naik panggung. Apa yang tampil di muka belum tentu sama dengan aslinya. Yang tampil di muka bisa dihias sedemikian rupa agar estetik dan representatif, lain lagi dengan isi hati yang sulit untuk ditutup-tutupi terlebih jika dihadapkan oleh situasi yang tidak dikehendaki.
Bulan bakti adalah agenda yang baik sebagai inisiasi moderasi beragama. Harapannya, moderasi beragama adalah bagian dari keseharian kita tidak hanya sebagai umat beragama, tetapi juga umat manusia. Menyadari bahwa semua agama tujuan akhirnya adalah Tuhan lewat jalan yang berbeda-beda, pantaskah kita mencela yang berbeda itu?
Artikel ini ditulis dalam rangka peringatan 1 tahun meninggalnya YM Jinadhammo Mahathera (d. 26 Januari 2023).
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Gambar: https://myrontorralba.weebly.com/unity-in-diversity.html. Diakses 19 Januari 2024.