Oleh: Majaputera Karniawan 谢偉强
Sebuah video tiktok diunggah oleh akun @hokimeiling99, dalam video itu memperlihatkan seorang anak sedang Thiam Hio 点香 (membakar hio) dan bersembahyang di depan satu arca Phallus (kemaluan pria) berukuran besar sekali. Di depan altar ada sebuah hiolo besar terbuat dari batu alam, altar tersebut berada di urutan nomor 21, dan ditulis nama dewanya “Palakit (Ba La Ji巴拉吉)”. Pada video tersebut juga tertulis dalam bahasa inggris bahwa di altar tersebut aturan pakai Hio hanya 1 batang saja.
Sayang, tidak diketahui keberadaan altar ini, tetapi melihat bahwa papan penunjuk sembahyang berbahasa inggris, maka diduga letaknya berada di luar Indonesia, mungkin di Thailand atau di Taiwan. Pada unggahan tersebut, banyak netizen yang memberikan komentar bahwa ini sesuatu yang aneh dan kurang etis, bahkan ada yang mengatakan “Makin kesini makin ngaco saja”. Tetapi di sini, saya tidak akan menyatakan baik/buruk/benar/salah tentang sembahyang kepada arca berbentuk phallus raksasa ini. Saya hanya akan menjabarkan tentang apa itu palakit, mengapa orang sembahyang/memakai palakit, dan bagaimana dia bisa ada di lingkungan sembahyang orang Tionghoa?
A. Apa Itu Palakit?
Palakit (Ba La Ji巴拉吉), atau Palad Khik (ปลัดขิก) adalah salah satu dari amulet/azimat dari negeri Thailand yang berbentuk phallus atau penis (kemaluan pria), adapun kata Palad Khik sendiri secara harfiah berarti ‘Yang dihormati sebagai pengganti penis’, dan biasanya amulet ini ada dua versi, versi kecil dipakai dan dibawa-bawa sebagai jimat keberuntungan, sementara versi besarnya diletakan dalam toko, usaha, dan sebagainya (Guelden, 2007).
Amulet ini biasanya dipakai oleh pria dengan diikatkan tepat di atas penis dan di bawah pusar karena diyakini memiliki efek asihan (mampu memikat wanita), efek keberuntungan dalam usaha bahkan perjudian, maupun efek proteksi dari hantu air, peluru, atau senjata tajam. Sedangkan bagi wanita terkadang menyelipkan di dompetnya dan para pengusaha meletakan dalam toko/gerai usahanya karena diyakini dapat memberikan proteksi dari perampokan, pemalakan, maupun pembuat onar lainnya. Bahkan diyakini apabila palakit tersebut diblessing oleh master yang sangat senior, dia mampu menarik keluar racun bisa ular dari korban gigitan ular (Darren C, 2018).
B. Mengapa Orang Sembahyang atau Memakai Palakit?
Palakit sendiri dikenal sebagai amulet serba bisa, karena keampuhannya bahkan jika sekalipun amulet jenis ini dibawa ke tempat kotor sekalipun seperti kasino, rumah bordil, toilet, dan sebagainya, sementara amulet lainnya yang bercirikan Thai Buddhis pada umumnya tidak bisa dibawa ke tempat-tempat seperti itu. Tetapi ternyata ada unsur ajaran Hindu Siva juga di dalam palakit tersebut.
Palakit sendiri adalah representasi daripada Phallus (Lingga) milik dewa Shiva, yang mana bagi masyarakat Thailand merupakan simbol kesuburan era animistik (Darren C, 2018). Berbeda dengan di Nusantara pada umumnya, biasanya sebuah Lingga ditampilkan bersama Yoni. Lingga sendiri dalam bahasa sansekerta berarti: tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan petunjuk, phallus/kemaluan laki-laki, dan merujuk pada shiva linggam dan dalam bahasa bali kata lingga identik dengan kata linggih yang mana berarti ‘tempat duduk’, dari sinilah masyarakat bali meyakini bahwa lingga adalah linggih/tempat duduk daripada dewa Shiva (Blogger Bali, 2022).
Bagian bawah dari lingga berbentuk kotak adalah representasi dari dewa Brahma (Brahma Bhaga, pencipta), sementara bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Whisnu Bhaga (Pemelihara), dan bagian atas disebut Shiva Bhaga (Pengakhir) dan penampakan lingga (bagian atas) dalam sastra Saiva Siddhanta bagian Jnana Siddhanta adalah simbol daripada sumber Siva (Blogger Bali, 2022). Baik Brahmabhaga, Whisnubhaga dan Shivabhaga adalah simbol dari Purusha (laki-laki) sementara Yoni adalah simbol daripada Predhana/pertiwi/tanah bumi yang melambangkan wanita, pertemuan antara purusha dan predhana ini bagaikan pertemuan positif dan negatif yang akan menciptakan satu kesuburan hasil daripada perpaduan kedua unsur (Putra, 2005 dalam Suta, 2018: 96).
Karena diyakini sebagai representasi dari dewa Shiva, lingga digunakan sebagai media pemujaan/penghormatan kepada beliau. Sebagai penghubung antara Hyang Shiva dengan pemujanya, Lingga memiliki fungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan, kesuburan, kebahagiaan. Selain itu pemujaan terhadap lingga merupakan lukisan daripada rasa syukur dan terima kasih kepada Hyang Widhi (Tuhan YME), lukisan permohonan, lukisan pengampunan kesalahan, serta lukisan simbolik kehadirat hyang dipuja (Suta, 2018: 96-98). Guna memohon kesuburan melalui Lingga Yoni, umat yang berkeyakinan melakukan semacam ritual, yaitu dengan cara menyiramkan air pada Lingga dan kemudian air yang mengalir melalui ceret yoni itu ditampung dan selanjutnya disiramkan pada tanaman padi atau tanaman lainnya (Ambarawati, 1997 dalam Suta, 2018: 90).
C. Bagaimana Palakit Bisa Ada Di Lingkungan Sembahyang Orang Tionghoa? (Sebuah Hipotesa)
Pada mulanya, tidak sembarangan tokoh bisa dipuja dalam kelenteng. Bagi para penganut ajaran Khonghucu, setidaknya perihal upacara sembahyang dilakukan kepada tokoh yang merupakan salah satu dari lima bagian kriteria berikut: (1) Orang yang menegakkan hukum bagi rakyat; (2) Kepada orang yang gugur menunaikan tugas; (3) Kepada orang yang telah berjerih-payah membangun kemantapan dan kejayaan negara; (4) Kepada orang yang dengan gagah dan berhasil menghadapi dan mengatasi bencana besar; dan (5) Kepada orang yang mampu mencegah terjadinya kejahatan/penyesalan besar (Li Ji 禮記, 20 祭法 – Ji Fa, Hukum Sembahyang Cee Hwat).
Singkat kata, kalau anda punya jasa dan kontribusi besar bagi masyarakat luas, anda layak disembahyangi sebagai tokoh panutan. Namun masyarakat Tionghoa yang menganut kepercayaan rakyat, pada dasarnya tidak menutup diri dan menerima asimilasi kebudayaan bahkan dari pantonim dewa-dewi lokal ataupun trans keyakinan. Misalnya dapat kita lihat pada banyak kelenteng-kelenteng yang bercorak Tridharma (Sam Kauw) menerima tokoh-tokoh suci lokal seperti Eyang Prabu Siliwangi, Eyang Raden Suryakencana, Nyi Mas Larasati, Mbah Jambrong, Mbah Djenggot, dan lain sebagainya, bahkan ada Baron Skeber yang merupakan tokoh belanda dan dipuja oleh masyarakat Tionghoa.
Kehadiran mereka dianggap sebagai dewata pelindung lokal yang dianggap bisa membawa perlindungan dan keberkahan, termasuk pemujaan Latok 拉啄/Datuk 拿督公 dan Te Cu Kong地主公 yang diyakini sebagai Tang Fan Di Zhu Chai Shen 唐番地主财神 (Dewa rezeki lokal bagi masyarakat Tionghoa yang berada di luar wilayah). Serta terkadang mereka memasukan dewa dewi non tionghoa ke dalam pantonim dewa dewi mereka, jangan heran kalau anda melihat altar Sai Baba, Shiva, ataupun Ganesha yang dipuja oleh orang Tionghoa. Karena bagi mereka selama itu baik dan dapat membawa berkah dan perlindungan, maka bukan tidak mungkin mereka turut menghormatinya.
Karena dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Tidak menutup kemungkinan dengan pemujaan Palakit ini, pemilik dan para sesepuh kelenteng tersebut pastilah tidak sembarangan dan telah mengetahui makna filosofis akan palakit tersebut meskipun sedikit, serta karena diyakini atau pernah membawa keberkahan bagi para pemujanya, maka keberadaan palakit yang merupakan representasi dari dewa Shiva bisa di terima dalam kelenteng tersebut, terlepas dari pro-kontra yang ada, hal tersebut sudah menjadi kultur yang menghasilkan akulturasi budaya yang unik!
Daftar Pustaka
Adegunawan, Suyena. 2018. Kompilasi Liji禮記– Catatan Kesusilaan. Bandung. TSA.
Guelden, Marlane (2007). Thailand: Spirits Among Us. ISBN 978-9812610751. Marshall Cavendish Editions.
https://www.tiktok.com/@hokimeiling99/video/7084960954676448539?is_from_webapp=1&sender_device=pc&web_id=7073837611836376577. Diakses April 2022
Darren C. 2018. Thai Phallic Symbol – Thailand’s Divine Member. https://www.pattayaunlimited.com/thai-phallic-symbol-thailands-divine/. Diakses April 2022.
Blogger Bali. 2022. https://www.komangputra.com/siwa-lingga-dalam-susastra-hindu.html. Diakses April 2022.
Suta, I Made. 2018. Fungsi Dan Makna Lingga Dalam Ajaran Agama Hindu. Jurnal Widya Duta Vol. 13, No. 2 tahun 2018. https://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/VidyaDuta/article/view/680/566. Diakses April 2022.