Oleh: Jo Priastana
“Yang lebih penting dari politik adalah Kemanusiaan”
(Abdurrahman Wahid, Ulama dan Umaro, Presiden RI ke 4)
Ketika lahir, Pangeran Siddharta telah diramalkan bahwa ada dua kemungkinan yang akan terjadi bagi masa depan hidupnya. Ia akan menjadi raja yang sangat berkuasa, yaitu raja dari segala raja, (cakravartin) atau ia akan menjadi seorang pertapa untuk kemudian menjadi Buddha. Sesungguhnya, baik menjadi seorang raja maupun menjadi Buddha sama saja, yakni menjadikan dirinya seorang pemimpin dunia.
Yang pertama, adalah raja atas dunia. Artinya, kekuasaan duniawi dalam bentuk memerintah kerajaan secara fisik, mengandalkan kekuatan seperti alat-alat represif yang selayaknya dilakukan oleh suatu pemangku pemerintahan. Yang kedua, adalah raja yang bersifat rohani, yaitu kemampuan spiritual yang akan membimbing kehidupan rohani manusia dalam perjalanan menuju kesempurnaannya.
Siddharta tidak menjadi Raja atau Presiden. Siddharta Muda melepas tahkta kekuasaan raja diraja dan menempuh jalur pertapa berhasil menjadi Buddha. Bila saja Siddharta Muda memilih jalan politik berhasil menjadi raja dari segala raja (cakravartin), kita bisa saja membayangkan mungkin dunia akan mengenal sosok pemimpin negarawan yang sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat, menjadikan politik berdasarkan kebaikan dan kemanusiaan.
Buddhadharma di Jalur Politik
Kembali kepada lanjutan kisah dimana dalam suatu kesempatan Bhagava meyampaikan cara konkrit untuk menerapkan sang Jalan ke dalam kehidupan politik. Dalam kisah itu, Beliau menjelaskan bahwa sang Jalan dapat menerangi bidang politik, membantu mereka yang ikut dalam memerintah kerajaan untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan sosial.
Raja Suddhodana dan seluruh hadirin mendengarkan Bhagava dengan seksama. Pangeran Dronodanaraja, paman Buddha dan ayah Devadatta serta Ananda, berkata, “Memerintah dengan kebajikan seperti penjelasan Bhagava, sungguh sangat indah sekali. Tapi aku percaya bahwa Bhagava sendiri yang memiliki karakter serta kebajikan yang diperlukan untuk merealisasi jalur tersebut. Mengapa Bhagava tidak menetap di Kapilavatthu dan membantu menciptakan di kerajaan Sakya ini suatu bentuk pemerintahan yang bisa membawa kedamaian, kegembiraan serta kebahagiaan bagi semua rakyat?”
Raja Suddhodana menambahkan, “Aku sudah tua, jika engkau bersedia tinggal, dengan senang hati akan kuserahkan takhta ini kepadamu. Dengan kebajikan, integritas dan kecerdasanmu, aku yakin semua rakyat akan berdiri di belakangmu, tak lama kemudian negeri kita akan makmur seperti belum pernah terjadi sebelumnya.”
Buddha tersenyum dan tidak langsung membalas., sambil menatap ayahandha-Nya dengan lembut, Beliau pun berkata, “Ayahanda, aku bukan lagi putra satu keluarga, satu suku, atau bahkan satu negeri. Kini semua makhluk adalah keluargaku, Bumi adalah rumahku, dan posisiku adalah seorang bhiksu yang tergantung pada kedermawanan orang-orang lainnya. Kupilih jalur ini, bukan jalur politik. Aku yakin, aku bisa paling baik melayani semua makhluk dalam jalur ini.”
Kendati Ratu Gotami dan Yasodhara berpikir tidak tepat untuk menyatakan pandangan mereka sendiri selama pertemuan itu, namun mereka berdua tersentuh hingga menitikkan air mata oleh kata-kata Buddha. Mereka tahu apa yang dikatakan Beliau benar adanya. Sang Bhagava lanjut membabarkan kepada baginda raja dan hadirin sekalian tentang Pancasila dan cara menerapkannya ke dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Pancasila adalah fondasi untuk keluarga yang bahagia serta masyarakat yang damai.
Beliau menjelaskan setiap sila dengan seksama dan merangkumkan dengan mengatakan: “Jika penguasa ingin rakyat bersatu, terlebih dahulu penguasa harus memperoleh keyakinan dan rasa percaya mereka. Jika pemimpin politik mempraktikkan Pancasila, niscaya akan tumbuh keyakinan serta rasa percaya rakyat. Berbekal keyakinan serta rasa percaya tersebut, tiada sesuatu pun yang tidak bisa dicapai suatu negeri. Kedamaian, kebahagiaan, dan keadilan sosial akan terwujud. Berbagai dogma masa lampau tidak membangun keyakinan dan rasa percaya, juga tidak mendorong terciptanya kesetaraan di kalangan rakyat. Biarlah Jalan menuju Kebangkitan menawarkan sebuah jalur baru serta keyakinan baru.” (Thich Nhat Hanh, “Jalur Tua Awan Putih”, 68-70. Jakarta: Karaniya, 2015).
Andaikan Siddharta Menjadi Presiden
Buddha memang tidak memasuki jalur politik praktis, bahkan dia melepaskan warisan politik kekuasaan sebagai putra mahkota yang berkesempatan mengurus negara membantu warga negara mencapai kesejahteraannya. Namun begitu, bukannya Buddhadharma berpisah dari jalur politik, dan bahkan Buddha menekankan agar jalur politik dapat disinari oleh cahaya ajarannya.
Presiden adalah kepala negara dan pemerintahan suatu negara, seperti Republik Indonesia. Sebagai pemimpin politik, kedudukan presiden menempatkannya menjadi manusia nomor satu di negaranya. Berimajinasi kepada persoalan kepemimpinan politik ini, kita bisa membayangkan andaikata Siddharta sebagai pangeran, putra mahkota, pewaris takhta mengambil jalur politik dengan menduduki tahkta kerajaan menjadi penguasa politik mengemban tugas sebagai raja atau presiden.
Imajinasi ini bukan tidak beralasan dan justru dimungkinkan karena berdasarkan atas peristiwa dari kelahiran kehidupan Siddharta itu sendiri. Bukankah ketika lahir, Siddharta diramalkan oleh pertapa Asita, bahwa bila mengambil jalur politik, Siddharta akan menjadi raja dari segala raja, seorang raja yang berhasil, seorang pemimpin politik yang ideal, sesuai dengan makna nama Siddharta yang juga berarti tercapai cita-citanya.
Yang berarti pula bahwa beliau akan berhasil sebagai raja, atau presiden dan akan dapat memenuhi cita-cita luhur seorang pemimpin dalam memajukan negaranya, menyejahterakan rakyatnya. Bukankah, setiap masyarakat dan negara memerlukan pemimpin yang mampu menyelenggarakan pemerintahan demi kemuliaan dan kebahagiaan hidup manusia sebagaimana yang dilakoni oleh mereka yang memasuki jalur politik atau para negarawan yang umumnya terdapat dalam setiap negara.
Ada beda politisi dan negarawan. James Freeman Clarke, (1810 1888) menyatakan, “Seorang politisi hanya memikirkan pemilihan yang akan datang, sedangkan negarawan berpikir tentang generasi yang akan datang” (Kompas, 24/4/23). Tentu dalam pemilu, kita akan memilih bukan politisi kebanyakan tetapi juga yang berjiwa negarawan, mendatangkan perubahan besar dan membuat political legacy yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan kemajuan dunia, sebagaimana Abraham Lincoln, Wiston Churchill, Soekarno, Nelson Mandela dan lain-lain.
Untuk Kemajuan Peradaban
Negarawan yang menjadikan jalur politik sebagai tindakan kebebasan mencurahkan idealismenya untuk bangsa dan negaranya. Filsuf Politik Hannah Arendt (1906-1975) mengungkapkan bahwa tindakan adalah kebebasan dan politik adalah dunia dimana kebebasan itu ditampakkan. Politisi berjiwa negarawan yang kiranya mampu bertindak politis secara bebas.
Sosok negarawan yang bebas dan pandai dalam tata kelola (governance) yang merupakan akar dari satu tatanan bernegara dan sistem pemerintahan yang baik. Tata kelola pemerintahan demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan umat manusia dan bahkan membuka jalur kehidupan politik yang lebih demokratis dan mencerahkan.
Sebuah tata kelola pemerintahan atau governance dari sistem kenegaraan demi terwujudnya kesejahteraan dan kebebasan warga negara yang menjadi pemikiran banyak filsuf sosial dan politik. Pemikiran tatanan kehidupan bersama yang baik sebagaimana berkembanganya sistem pemerintahan yang demokratis dewasa ini dimana anak-anak muda semakin berminat bergiat di jalur politik. Untuk pengabdian hidupnya demi kebaikan kemanusiaan dan peradaban bangsa-bangsa! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: http://hoasendatviet.com/Upload/CKFinder/images/sidhartha-yasodhara%20(1)(1).jpg