Apakah Asal Usul Panah Beracun Perlu Dipertanyakan?

Home » Artikel » Apakah Asal Usul Panah Beracun Perlu Dipertanyakan?

Dilihat

Dilihat : 21 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 71
  • 52
  • 43,342
Pic 4 Panah Beracun

Telaah Cara Berpikir Mahāvīra, Filsafat Anekāntavāda Dalam Mengakhiri Dukkha
Oleh: Rayno Praditya

 

Bhante Mālunkyāputta berniat untuk kembali menjadi perumah-tangga jika Buddha tidak menyatakan posisinya yang jelas berupa penolakan maupun penerimaannya pada pandangan-pandangan berikut ini:
‘dunia ini kekal, dunia ini tidak kekal’; ‘dunia ini terbatas, dunia ini tidak terbatas’; ‘jiwa sama dengan tubuh, jiwa berbeda dengan tubuh’; ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian, Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian, Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian, Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian.’

Buddha tetap menolak untuk menyatakan posisinya mengenai pandangan-pandangan di atas dan membandingkan Bhante Mālunkyāputta seperti orang yang telah tertembak panah beracun namun tidak ingin panahnya ini dilepas sampai dia mengetahui siapa si pemanah, apa bentuk busur serta apa bahan yang digunakan untuk membuat busur dan mata anak panah beracun ini. Perumpamaan ini bisa diartikan bahwa pertanyaan-pertanyaan metafisik seperti itu tidak bisa membawa seseorang kepada akhir dukkha.

Kita juga mengetahui bahwa Buddha memang mengajarkan ketidakkekalan segala hal yang berkondisi sehingga penolakan Buddha untuk mengambil salah satu dari dua posisi yang terkait dengan dunia di atas haruslah dikaitkan dengan apa yang dimaksud dengan istilah ‘dunia’ oleh si penanya. Setelah dianalisis, tidak pernah ada entitas mandiri yang disebut dunia yang bisa ditemukan, yang benar-benar ada dari sisinya sendiri yang bisa ditegakkan atau disanggah kekekalan maupun ketidakkekalannya. Dunia hanyalah hasil dari kumpulan sebab-musabab yang saling bergantung. Buddha menolak menyatakan posisinya karena sejak semula penanya telah mendasarkan pertanyaannya pada premis yang salah yaitu ada sesuatu yang disebut dunia yang dapat diperiksa kekekalan atau ketidakkekalannya.

Buddha di sini mengajarkan pandangan yang bebas dari dua pandangan ekstrem yaitu eternalisme (śāśvata-dṛṣṭi/Sasatavāda) maupun nihilisme (uccheda-dṛṣṭi/ucchedavāda), yang dikenal dengan pandangan jalan tengah/Mādhyamaka. Namun dari perspektif Jain, yang menekankan anekāntavāda (pandangan bahwa realitas memiliki banyak sisi kebenaran atau pandangan non-absolut/pluralistik), bahkan jalan tengah Buddha masih dianggap sebagai suatu pandangan ekstrem karena tetap berpegang pada satu pendekatan atau perspektif tunggal yaitu, madhyamā-pratipad atau jalan tengah. Dalam anekāntavāda, setiap pandangan, contohnya ajaran Buddha, benar dari sudut pandang tertentu dan dianggap sebagai bagian dari realitas yang mempunyai banyak sisi kebenaran, dan setiap pandangan yang diklaim sebagai kebenaran absolut yang tunggal, menurut Jainisme pandangan seperti ini disebut pandangan ekstrem jika tidak mempertimbangkan kemungkinan kebenaran dari pandangan lain.

Berbeda dengan Buddha, Mahāvīra yang dikenal juga dengan sebutan Nigaṇṭha Nāṭaputta, tidak menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisik seperti di atas. Saat ditanya: Apakah dunia ini kekal atau tidak kekal? Apakah dunia ini terbatas atau tidak terbatas? dst…Mahāvīra, yang diceritakan selalu mengawali jawabannya dengan kata ‘syāt’ (yang bisa diartikan ‘dari sudut pandang tertentu’), menjawab: Dari sudut pandang tertentu, dunia ini kekal. Dari sudut pandang tertentu, dunia ini tidak kekal. Dari sudut pandang tertentu, dunia ini terbatas. Darisudut pandang tertentu, dunia ini tidak terbatas? dst…

Penggunaan ‘syāt’ berfungsi untuk menunjukkan relativitas perspektif. Penggunaan ‘syāt’ ini menjadi dasar dari doktrin Jain yang dikenal sebagai syādvāda, yang berarti bahwa setiap pernyataan atau pandangan bisa dianggap benar hanya dalam kondisi tertentu. Syādvāda menekankan bahwa kebenaran bisa relatif, tergantung pada konteks, kondisi, dan perspektifnya. Mahāvīra mengajarkan bahwa realitas sangat kompleks dan tidak ada pandangan yang bisa mencakup keseluruhan kebenaran dalam satu dimensi. Pandangan ini memungkinkan Jainisme untuk menghindari absolutisme dan menerima kemungkinan bahwa berbagai sudut pandang yang berbeda bisa memiliki kebenaran masing-masing dalam situasi atau dari sudut pandang tertentu. Konsep ini menggambarkan pendekatan Jainisme terhadap kebenaran, yang menolak pandangan absolutis atau perspektif tunggal terhadap eksistensi.

Contohnya meja, sebagai objek fisik, dapat terlihat sangat berbeda tergantung pada sudut pandang yang digunakan untuk mengamatinya. Dari perspektif makroskopis, meja mungkin tampak sebagai permukaan datar yang kokoh, sementara jika dilihat secara mikroskopis, kita akan melihat struktur material meja — seperti serat kayu atau partikel kecil yang menyusunnya — yang tidak tampak pada pengamatan makroskopis. Selain itu, pandangan dari sudut yang berbeda, seperti dari dekat atau jauh, dari atas atau bawah, atau dari sisi depan dan belakang, juga bisa memberikan gambaran yang berbeda tentang meja tersebut, memperlihatkan detail atau aspek yang mungkin tidak terlihat jika dilihat dari sudut pandang lain. Ini menunjukkan bahwa persepsi kita terhadap objek sangat bergantung pada konteks dan perspektif pengamatannya, di mana setiap sudut pandang membawa kebenaran atau pemahaman yang berbeda tentang objek yang sama. Dengan demikian, meja tidak hanya mempunyai satu sisi realitas, tetapi banyak sisi yang bisa dilihat, sesuai dengan ajaran anekāntavāda dalam Jainisme, yang mengakui bahwa realitas itu bersifat multi-dimensional dan bisa dipahami dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

Syādvāda adalah prinsip yang muncul dari pandangan Jainisme terhadap realitas yang kompleks dan berlapis-lapis, di \mana kebenaran dianggap bergantung pada konteks atau sudut pandang tertentu. Konsep ini mendasari pemahaman bahwa setiap pernyataan hanya bisa benar sebagian, sesuai dengan sudut pandang yang diambil, sehingga berbagai pandangan yang tampak bertentangan bisa memiliki kebenaran tersendiri. Syādvāda terdiri dari tujuh kemungkinan pernyataan (disebut saptabhangi atau “tujuh cara bicara”) untuk menjelaskan bagaimana sesuatu bisa benar atau salah tergantung dari sudut pandang tertentu. Ketujuh pernyataan ini merupakan variasi dari pernyataan mengenai keberadaan dan non-keberadaan sesuatu:
1. Syād asti – “Dari sudut pandang tertentu, ada.” Ini menegaskan bahwa dari sudut pandang tertentu, sesuatu itu ada. Misalnya, dari sudut pandang waktu sekarang, meja di ruangan ada.
2. Syād nāsti – “Dari sudut pandang tertentu, tidak ada.” Dari sudut pandang tertentu, sesuatu itu tidak ada. Misalnya, meja mungkin ada di ruangan saat ini, tetapi tidak ada di masa lalu atau masa depan.
3. Syād asti ca nāsti ca – “Dari sudut pandang tertentu, ada dan tidak ada.”Dari sudut pandang tertentu, sesuatu itu ada dan tidak ada secara bersamaan. Misalnya, sebuah cermin secara fisik ada, tetapi tidak memiliki warnanya sendiri karena hanya memantulkan gambar.
4. Syād avaktavyam – “Dari sudut pandang tertentu, tak bisa dikatakan.” Dari sudut pandang tertentu, pernyataan tentang keberadaan atau non-keberadaan sesuatu tidak dapat dipastikan atau dijelaskan. Misalnya, kebenaran tentang “diri” mungkin sulit dijelaskan karena kompleksitasnya yang tidak bisa dikategorikan secara sederhana.
5. Syād asti ca avaktavyam – “Dari sudut pandang tertentu, ada dan tak dapat dijelaskan.” Misalnya, pikiran itu ada, tetapi hakikatnya tak bisa dijelaskan dengan konsep persepsi indrawi.
6. Syād nāsti ca avaktavyam – “Dari sudut pandang tertentu, tidak ada dan tak dapat dijelaskan.” Misalnya, beberapa orang mungkin berpendapat bahwa waktu masa depan “tidak ada” dan juga tak bisa dijelaskan karena belum terjadi.
7. Syād asti ca nāsti ca avaktavyam – “Dari sudut pandang tertentu, ada, tidak ada, dan tak dapat dijelaskan.” Contoh untuk ini adalah fenomena quantum dalam fisika, di mana partikel bisa memiliki sifat keberadaan dan non-keberadaan secara bersamaan dalam konteks tertentu, tetapi hakikatnya sangat sulit dijelaskan.

Misalnya, mari kita ambil contoh sebuah “meja.” Meja ini bisa memiliki status keberadaan yang berbeda tergantung dari sudut pandangnya:
1. Dari sudut pandang saat ini (waktu sekarang), syād asti — meja itu ada.
2. Dari sudut pandang masa lalu (ketika meja belum dibuat), syād nāsti — meja itu tidak ada.
3. Dari sudut pandang yang melihat meja sebagai struktur dan kayu yang terbagi-bagi, meja itu ada dan tidak ada, syād asti ca nāsti ca — meja itu ada sebagai benda, tapi tidak ada sebagai sesuatu yang utuh karena komposisinya adalah sekumpulan partikel.
4. Dari sudut pandang fisika kuantum, keberadaan meja itu tak dapat dijelaskan, syād avaktavyam — apakah meja itu ada atau tidak ada pada level subatomik mungkin tidak dapat dijelaskan dengan pasti karena fenomena ketidakpastian partikel.
5. Dari sudut pandang yang mempertimbangkan kondisi masa kini namun dalam keadaan terbakar, meja itu ada dan tak dapat dijelaskan, syād nāsti ca avaktavyam — meja mungkin secara teknis sudah tidak ada dalam bentuk aslinya, namun jejak dan abu dari keberadaannya masih ada.
6. Dari sudut pandang ilusi atau relativitas realitas meja itu tidak ada dan tak dapat dijelaskan, syād nāsti ca avaktavyam — Dalam pandangan ini, yang ditemukan dalam beberapa aliran pemikiran filosofis seperti idealisme, keberadaan fisik dipandang sebagai ilusi semata, bukan esensi yang nyata. Misalnya, dalam konsep idealisme, realitas fisik termasuk meja dianggap tidak benar-benar “ada” secara independen, melainkan hanya muncul sebagai hasil dari persepsi subjektif kita. Pada level ini, meja tidak benar-benar ada karena keberadaannya hanya ada dalam pikiran atau persepsi seseorang. Namun, di saat yang sama, ketidakadaannya juga sulit dijelaskan karena meja tampak nyata dalam pengalaman sehari-hari, sehingga kita berinteraksi dengannya seolah-olah itu nyata.
7. Sudut pandang relatif dan absolut secara bersamaan, meja itu ada, tidak ada, dan tak dapat dijelaskan, syād asti ca nāsti ca avaktavyam — Dalam pendekatan Jainisme, realitas dipandang memiliki banyak lapisan yang meliputi pandangan relatif dan absolut. Dari sudut pandang ini, meja bisa dikatakan ada secara relatif karena dapat diamati dan digunakan. Namun, dari pandangan absolut, setelah dianalisis, tidak dapat ditemukan entitas mandiri yang disebut meja, sebab menurut Jainisme meja hanyalah kumpulan dari substansi yang tidak berkesadaran (Ajīva) yang muncul secara kondisional. Dengan demikian, meja tidak memiliki “keberadaan absolut.” Di samping itu, ketika mencoba menyatukan pandangan relatif dan absolut, kita mungkin menemukan bahwa hakikat meja melampaui apa yang dapat dijelaskan sepenuhnya dengan bahasa, karena kebenaran tentang keberadaan meja terlalu kompleks dan bergantung pada banyak kondisi.

Terdapat pula Nayavāda (pandangan dari berbagai sudut), sebuah konsep dalam Jainisme yang melengkapi syādvāda sebagai bagian dari filsafat anekāntavāda. Jika syādvāda mengajarkan bahwa setiap pernyataan tentang realitas harus dilihat sebagai relatif, nayavāda menyoroti cara pandang yang berbeda (naya: sudut pandang) dalam memahami aspek-aspek tertentu dari realitas. Nayavāda membantu dalam memahami kenyataan melalui berbagai sudut pandang parsial, dan masing-masing sudut pandang memberikan sebagian dari kebenaran, tanpa mengklaim sebagai kebenaran absolut.

Naya adalah sudut pandang atau perspektif yang digunakan untuk melihat aspek tertentu dari sebuah objek atau realitas. Nayavāda menyatakan bahwa realitas terlalu kompleks untuk sepenuhnya dipahami dari satu sudut pandang saja, sehingga kita membutuhkan berbagai naya untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap.

Ada dua jenis utama naya dalam Jainisme:
1. Dravyārthika-naya (sudut pandang substansial) – Melihat sesuatu dalam hal substansi atau esensi yang lebih tetap.
2. Paryāyārthika-naya (sudut pandang perubahan) – Melihat sesuatu dalam hal perubahan, variasi, atau aspek yang tidak tetap.

Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan nayavāda dalam konteks sederhana untuk menunjukkan bagaimana satu objek atau fenomena dapat dipahami dari berbagai perspektif:
Contoh 1: Buku
Misalnya, kita memiliki sebuah buku. Buku tersebut bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda:
Dravyārthika-naya (sudut pandang substansial): Dari sudut pandang ini, buku dipandang sebagai satu kesatuan substansi, yaitu sekumpulan halaman yang membentuk sebuah objek yang utuh. Ini menganggap buku sebagai entitas yang tetap dan tidak berfokus pada detail yang berubah.
Paryāyārthika-naya (sudut pandang perubahan): Dari sudut pandang ini, buku bisa dilihat berdasarkan hal-hal yang berubah-ubah, seperti isi yang berbeda pada setiap halaman atau perubahan kondisi buku seiring waktu (misalnya, halaman yang lusuh atau pudar karena usia). Ini menunjukkan bahwa buku tidak hanya satu kesatuan, tetapi memiliki banyak aspek yang bervariasi.

Contoh 2: Sungai
Pikirkan tentang sebuah sungai sebagai contoh lainnya. Sungai bisa dipahami dari perspektif yang berbeda:
Dravyārthika-naya: Sungai dipandang sebagai entitas yang utuh dan substansial. Dalam pengertian ini, kita mengatakan “sungai” sebagai satu kesatuan, tanpa memperhatikan air yang mengalir di dalamnya yang selalu berubah.
Paryāyārthika-naya: Dari perspektif ini, sungai dilihat sebagai sesuatu yang selalu berubah, karena air dalam sungai terus-menerus mengalir dan berganti. Sehingga, sungai adalah sesuatu yang tidak tetap; komposisinya terus berubah dari waktu ke waktu.

Contoh 3: Seseorang (Identitas Personal)
Ketika kita berbicara tentang identitas seseorang, perspektif nayavāda juga bisa diterapkan:
Dravyārthika-naya: Dari sudut pandang ini, seseorang adalah entitas yang tetap, seperti “Joko adalah seorang dokter.” Di sini kita melihat Joko sebagai satu identitas, yaitu dokter, dan tidak memperhatikan peran lain yang mungkin dia miliki atau perubahan dalam kehidupannya.
Paryāyārthika-naya: Dari sudut pandang ini, Joko bisa dilihat dalam berbagai perubahan perannya: di rumah, Joko adalah seorang ayah atau suami, sedangkan di tempat kerja, ia adalah seorang dokter. Peran dan identitas Joko berubah tergantung situasinya, sehingga identitasnya tidak statis atau tetap.

Contoh 4: Koin
Pikirkan koin yang memiliki dua sisi sebagai contoh lain:
Dravyārthika-naya: Dari sudut pandang ini, kita melihat koin sebagai satu entitas keseluruhan tanpa memperhatikan sisinya. Ini adalah koin sebagai sebuah objek tunggal.
Paryāyārthika-naya: Dari sudut pandang ini, kita bisa melihat bahwa koin memiliki dua sisi, yaitu sisi depan dan belakang. Kita bisa membicarakan sisi tertentu dari koin, dan memahami bahwa masing-masing sisi memberikan informasi yang berbeda.

Selain itu, nayavāda juga menguraikan tujuh jenis perspektif lebih lanjut yang dikenal sebagai Saptabhaṅgī-naya atau saptanaya, yaitu tujuh sudut pandang atau metode yang dapat digunakan untuk memahami realitas secara berlapis. Konsep ini menunjukkan bahwa setiap objek atau fenomena dalam realitas memiliki aspek-aspek yang dapat dipahami dari berbagai sudut pandang, yang masing-masing memberikan pemahaman parsial atau sudut tertentu tentang kebenaran.

Berikut adalah ketujuh naya dalam nayavāda beserta contoh-contohnya:
1. Naigama Naya (Sudut Pandang Tujuan atau Konvensional)
 Ini adalah sudut pandang yang melihat suatu objek atau peristiwa secara umum, tanpa memperhatikan detail yang terpisah. Dalam sudut pandang ini, fokusnya adalah pada tujuan keseluruhan atau fungsi dari objek tersebut, bukan kondisi aktual yang sekarang diamati.
 Contoh: Budi sedang berjalan sambil membawa alat-alat masak dan berbagai bahan makanan. Di tengah perjalanan, seseorang bertanya kepadanya, “Kamu sedang apa, Budi?” Dari sudut pandang tujuan (naigama naya), Budi menjawab, “Saya sedang memasak.” Jawaban ini mungkin tampak aneh bagi pengamat yang melihat Budi hanya berjalan, tetapi dari sudut pandang Budi, aktivitasnya saat itu memang bagian dari proses memasak karena tujuannya adalah untuk sampai di tempat tertentu dan mulai memasak. Jadi, jawaban “sedang memasak” menggambarkan tujuan akhirnya, meskipun pada saat itu ia belum benar-benar sedang memasak.
2. Saṁgraha-naya (Sudut Pandang Universal atau Klasifikasi)
 Sudut pandang ini melihat objek secara universal atau sebagai bagian dari suatu kategori umum. Dalam sangraha naya, objek-objek dianggap sama berdasarkan karakteristik yang sama.
 Contoh: Jika kita melihat semua binatang sebagai “makhluk hidup,” maka kita mengabaikan perbedaan spesifik antara binatang, seperti antara anjing dan kucing, dan hanya melihat keduanya sebagai bagian dari kategori besar “makhluk hidup.”
3. Vyavahāra-naya (Sudut Pandang Praktis atau Spesifik)
 Ini adalah sudut pandang yang melihat objek berdasarkan karakteristik khusus atau perannya dalam situasi tertentu. Vyavahara naya berfokus pada detail yang spesifik dan membedakan objek tersebut dari kategori umumnya.
 Contoh: Melanjutkan contoh binatang, dalam sudut pandang ini, kita menganggap anjing sebagai “anjing” dan kucing sebagai “kucing.” Kita tidak lagi melihat keduanya sebagai sekadar “makhluk hidup,” tetapi mengenali perbedaan spesifik di antara mereka.
4. Ṛjusūtra-naya (Sudut Pandang Linier atau Sederhana)
 Dalam Ṛjusūtra-naya, kita melihat objek atau situasi hanya dalam kondisi saat ini, tanpa memperhatikan perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Pandangan ini menekankan pengalaman langsung dan apa yang tampak saat ini saja, seakan-akan seluruh sifat objek atau fenomena dapat dilihat hanya dari kondisi sesaat.
 Contoh: Dari sudut pandang Ṛjusūtra, seorang pengamat melihat sungai yang terus mengalir dan menyimpulkan bahwa “sungai ini adalah air yang terus bergerak.” Pada saat itu, pengamat hanya melihat air yang bergerakyang hanya fokus pada perubahan atau kondisi saat ini, seseorang hanya akan melihat air yang mengalir tanpa mempertimbangkan adanya sesuatu yang tetap atau konstan di balik perubahan tersebut. Dalam hal ini, pengamat akan fokus pada pergerakan air, tetapi tidak melihat adanya sungai itu sendiri sebagai entitas yang lebih permanen, meskipun air yang mengalir selalu berubah.Jika kita mengikuti pandangan ini, kita hanya akan melihat perubahan tanpa menyadari bahwa ada sesuatu yang tetap, seperti sungai itu sendiri, yang menjadi medium atau wadah bagi perubahan tersebut. Tanpa adanya hal yang tetap, kita tidak bisa mengatakan ada yang berubah, karena perubahan itu hanya bisa dipahami dalam konteks adanya sesuatu yang tetap atau stabil sebagai referensi. Pandangan Buddhis, yang sering menggunakan analogi sungai yang mengalir untuk menggambarkan ketidakkekalan, sejalan dengan Ṛjusūtra-naya dalam melihat realitas sebagai rangkaian pengalaman sesaat yang selalu berubah. Namun, dari perspektif Jainisme, kelemahan dari sudut pandang tunggal seperti ini adalah mengabaikan kemungkinan adanya elemen atau aspek lain yang lebih konstan yang dalam banyak tradisi filsafat seperti dalam Jainisme atau bahkan dalam filsafat Barat, dianggap penting untuk memahami keberadaan. Tanpa melihat entitas yang tetap, kita tidak bisa mengerti atau mengukur perubahan dengan benar. Sebagai contoh, jika kita hanya memandang sungai sebagai air yang selalu mengalir, kita tidak bisa memahaminya sebagai sungai yang memiliki identitas tetap — sebuah aliran air yang tetap terhubung dengan asal-usul dan kontinuitasnya.
5. Śabda-naya (Sudut Pandang Verbal atau Linguistik)
 Ini adalah sudut pandang yang mengacu pada interpretasi objek berdasarkan makna kata atau istilah yang digunakan untuk menyebutnya. Śabda-naya menyoroti perbedaan yang muncul dari variasi linguistik.
 Contoh: Kata “sapi” dalam bahasa Indonesia dan “cow” dalam bahasa Inggris mengacu pada hewan yang sama. Dari Śabda-naya, kita melihat bahwa istilah yang berbeda digunakan untuk objek yang sama, tergantung pada konteks bahasa.
6. Samabhirūḍha-naya (Sudut Pandang Etymologis atau Spesifik-Kata)
 Dalam sudut pandang ini, fokusnya adalah pada makna kata yang lebih spesifik dan etimologis. Ini adalah pengembangan dari Śabda-naya, di mana makna kata dikaitkan dengan detail yang lebih dalam.
 Contoh: Dalam bahasa Sanskerta, ada berbagai kata untuk “api,” seperti “agni” dan “vahni,” yang masing-masing merujuk pada sifat api yang berbeda (misalnya, “agni” untuk api yang membara dan “vahni” untuk api yang bergerak). Dari sudut pandang Samabhirūḍha, kita akan menggunakan istilah yang tepat untuk merujuk pada jenis atau sifat tertentu dari api, sesuai dengan makna etimologisnya.
7. Evaṁbhūta-naya (Sudut Pandang Fungsional)
 Sudut pandang ini melihat objek atau konsep hanya ketika objek tersebut dalam kondisi atau situasi yang sesuai dengan karakteristik tertentu. Evaṁbhūta-naya mengharuskan objek sesuai dengan tindakan atau karakter tertentu saat itu.
 Contoh: Kita menyebut seseorang sebagai “penyanyi” hanya ketika orang tersebut benar-benar sedang bernyanyi. Dari sudut pandang Evaṁbhūta, gelar “penyanyi” diberikan berdasarkan konteks tertentu (yaitu, aktivitas menyanyi) dan bukan sebagai identitas tetap yang bisa digunakan setiap saat.

Di dalam nāyavāda terdapat pula dua sudut pandang level kebenaran yaitu nischaya naya dan vyavahāra naya. Acharya Kunda Kunda mengajarkan tentang nischaya naya (pandangan dari sudut kebenaran yang hakiki) dan vyavahāra naya (pandangan dari sudut kebenaran praktis atau konvensional)4. Kedua tingkat kebenaran dalam doktrin Acharya Kunda Kunda ini juga digunakan oleh Śaṅkara dalam Advaita Vedānta dan Nāgārjuna dalam Buddhisme Mādhyamaka. Śaṅkara dan Nāgārjuna menggunakan istilah paramārthika satyam (kebenaran hakiki) dan vyavahārika satyam (kebenaran konvensional). Doktrin dua tingkat kebenaran ini sangat penting bagi mereka masing-masing untuk membela Advaita Vedānta dan Madhyamaka dari kontradiksi yang mungkin muncul dalam ajaran mereka.Ada kemungkinan bahwa Śaṅkara dan Nāgārjuna mengadopsi gagasan dua tingkat kebenaran ini dari Jainisme – Acharya Kunda Kunda, karena mereka masing-masing bukan penganut anekāntavāda melainkan penganut ekāntavāda (pandangan bahwa realitas hanya memiliki satu sisi kebenaran), yang masing-masing adalah advaitāikānta vāda (pandangan monistik dari Advaita) dan kṣaṇikāikānta vāda (pandangan bahwa setiap momen adalah tunggal dan selalu berubah, atau khususnya śūnyavāda – pandangan tentang kehampaan/sebab-musabab yang saling bergantung dari Nāgārjuna).

Mengherankan bahwa Śaṅkara dan Nāgārjuna tidak menerima anekāntavāda atau nāyavāda tetapi mereka bisa menerima dan menggunakan doktrin dua tingkat kebenaran dalam ajaran mereka, yang merupakan konsep dalam nāyavāda/anekāntavāda dari Jainisme. Konsep mengenai vyavahārika satyam (kebenaran konvensional) dan paramārthika satyam (kebenaran hakiki) tidak bisa digunakan dengan sah tanpa menerima anekāntavāda/nāyavāda sebagai dasar filosofisnya. Menurut Acharya Kunda-Kunda, pandangan ultimit tentang realitas (paramārthika satyam) dan pandangan konvensional (vyavahārika satyam) tentang realitas hanyalah perbedaan dalam sudut pandang saat melihat realitas. Dari sudut pandang mereka masing-masing, baik kebenaran konvensional maupun kebenaran ultimit adalah benar. Bisa dibilang bukan Advaita Vedānta maupun Mādhyamaka, melainkan hanya Jainisme-lah yang secara sah dapat menggunakan doktrin dua sudut pandang/tingkat kebenaran ini karena Jainisme menerima anekāntavāda/nāyavāda.

Syādvāda dan Nāyavāda, dua konsep dalam Jainisme yang mengajarkan pentingnya melihat kebenaran dari berbagai sudut pandang, sebenarnya sudah diterapkan dalam kegiatan akademis atau ilmiah serta filsafat. Dalam penelitian, pengajaran, atau pembuatan tesis dan disertasi, kita sering kali menginterpretasikan teori atau temuan berdasarkan konteks dan sudut pandang tertentu. Misalnya, dalam penelitian, kita bisa mendapatkan hasil yang berbeda jika menggunakan pendekatan kualitatif dibandingkan kuantitatif, yang keduanya sah dalam konteks yang berbeda. Begitu juga dalam pengajaran, instruktur mengajarkan materi dari sudut pandang yang sesuai dengan tingkat pemahaman siswa dan tujuan pengajaran. Dalam hal ini, syādvāda mengakui bahwa kebenaran itu bersifat kontekstual dan beragam, sementara nāyavāda mengajarkan bahwa untuk memahami suatu fenomena, kita harus melihatnya dari berbagai sudut pandang yang sesuai.

Dengan demikian, konsep ini sudah digunakan dalam setiap tahap kegiatan akademik, mulai dari mengemukakan pendapat, mengukur variabel, hingga mengaplikasikan teori. Setiap pernyataan atau pendapat yang dipakai di luar konteks atau sudut pandang yang sesuai bisa berakibat kesalahan atau ketidakakuratan, karena pengetahuan dan kebenaran bergantung pada konteks dan sudut pandang yang tepat. Tidak ada satu pendapat atau teori yang secara absolut mencakup seluruh realitas, karena semuanya bergantung pada konteks atau sudut pandang tertentu yang dipilih dan diterapkan. Setiap kali Anda mendengarkan ceramah atau kuliah yang mengupas sesuatu dari berbagai sudut pandang dan konteks, Anda akan diingatkan pada Anekāntavāda, salah satu ajaran utama Jainisme yang menekankan kebijaksanaan dalam melihat kebenaran dari perspektif yang beragam.

Sebagai tambahan, menarik untuk dicatat bahwa dalam mengemukakan ajarannya, banyak filsuf dari aliran filsafat lain juga mengadopsi pendekatan serupa dengan syādvāda saat mengajar, dengan mengemukakan bahwa kebenaran dapat bervariasi tergantung pada perspektif yang diambil. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa para filsuf dari aliran lain, mengakui kedalaman dan kecanggihan ajaran Jainisme dengan dasar filsafatnya yaitu anekāntavāda yang memandang realitas melalui berbagai sudut pandang yang saling melengkapi. Dengan menggunakan pendekatan yang menghargai keragaman sudut pandang, Jainisme tidak hanya menghindari pandangan ekstrem, tetapi juga menawarkan wawasan yang lebih dalam tentang kompleksitas realitas—sesuatu yang bahkan dihargai oleh Buddhisme dan juga aliran lain.

Sebagai penutup, dari sudut pandang tertentu, asal mula “panah beracun” perlu dipertanyakan. Mahāvīra menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan metafisik bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Melalui anekāntavāda dan syādvāda, Jainisme mengajarkan bahwa setiap pertanyaan memiliki kebenaran relatif sesuai sudut pandang yang diambil. Alih-alih menghindari pertanyaan metafisik, Jainisme mengajak kita untuk menghadapinya dengan pikiran terbuka. Ini memberi kita kesempatan untuk memahami bahwa realitas lebih kompleks daripada yang tampak dan bahwa setiap sudut pandang memiliki nilai. Dalam prosesnya, kebijaksanaan seseorang tumbuh, bersama dengan toleransi terhadap beragam cara pandang orang lain. Hanya Jainisme yang sesungguhnya menolak semua pandangan ekstrem—memungkinkan pengikutnya melihat kenyataan dalam segala dimensi dan menghargai keberagaman perspektif tanpa jatuh dalam dogma. Bahkan pemikiran filsafat Buddhisme, yang menghindari ekstremitas eternalisme dan nihilisme, kenyataannya masih terikat pada satu sudut pandang yaitu sudut pandang jalan tengah itu sendiri. Jainisme, di sisi lain, menawarkan keluasan perspektif yang benar-benar tidak ekstrem. Dengan mendalami pertanyaan-pertanyaan metafisik ini, kita mungkin justru menemukan jalan untuk mengakhiri dukkha, sebuah pemahaman yang tidak menolak kemungkinan apapun, tetapi merangkulnya sebagai bagian dari kebenaran yang utuh. Jai Jinendra!

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka:
1. SuttaCentral: “MN 63: Cūḷa-Mālunkyāputta Sutta: The Shorter Discourse to Mālunkyāputta.” SuttaCentral, https://suttacentral.net/mn63/en.
2. Samantabhadra. Apta-Mīmāṁsā: An Inquiry into the Validity of the Jina’s Words. Translated by Vijay K. Jain, Vikalp Printers, 2011.
3. Umāsvāti, Ācārya. Tattvārthasūtra: That Which Is. Translated by D. C. Jain, Bharatiya Jnanpith, 1992.
4. Kundakunda, Ācārya. Samayasāra: The Essence of the Self. Translated by Vijay K. Jain, Vikalp Printers, 2012.
5. https://www.culturalindia.net/iliimages/Lord-Mahavira-ili-91-img-6.jpg. Diakses 14 Nov. 24

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?