Bagaimana Rusia-Ukraina ‘Membelah’ Kita; Kita Semua Adalah Korban Propaganda

Home » Artikel » Bagaimana Rusia-Ukraina ‘Membelah’ Kita; Kita Semua Adalah Korban Propaganda

Dilihat

Dilihat : 97 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 5
  • 31
  • 25,991
Propaganda picture

Oleh: Gifari Andika Ferisqo 方诸德

 

Istilah atau terminologi propaganda mungkin sering kita dengar dalam percakapan, atau kita baca melalui berbagai sumber bahan bacaan seperti buku, koran, majalah atau dokumen lain. Membaca atau mendengar istilah propaganda seringkali membuat orang langsung menerjemahkannya sebagai suatu kegiatan atau tindakan yang negatif. Kata ‘propaganda’ langsung muncul gambaran di benak orang sebagai suatu tindakan yang buruk. Istilah propaganda bisa jadi telah menjadi suatu gambaran negatif atau hal buruk di dalam pikiran banyak orang. Akibatnya, mungkin banyak orang beranggapan bahwa mempelajari propaganda adalah sesuatu yang buruk, tidak ada kebaikannya, dan menjadikan alasan untuk tidak perlu diketahui, apalagi dipelajari.

Hasil penelitian dan tulisan Harold D. Lasswell mengenai propaganda tercatat sebagai temuan yang sangat berharga. Ia meneliti kegiatan propaganda yang terjadi pada Perang Dunia I, ketika disertasi doktoral Harold D. Lasswell tentang penggunaan propaganda pada Perang Dunia I itu dipublikasikan sebagai sebuah buku pada tahun 1927 yang berjudul Propaganda Technique in The World War, banyak mendapat reaksi negatif, malah ada yang meminta supaya buku itu segera dimusnahkan. Reaksi para pengulas menunjukkan adanya semacam ketakutan memandang teknik-teknik propaganda setelah Perang Dunia I.

Menurut Harold D. Lasswell dalam bukunya, tujuan utama propaganda dilakukan semata-mata terbatas pada waktu terjadi permusuhan atau peperangan, atau setidak-tidaknya ketika terjadi konflik antara satu pihak dengan pihak lainnya. Pada saat konflik terutama jika telah terjadi perang, propaganda telah diakui sebagai suatu ‘alat’ untuk memenangkan perang. Dalam kondisi seperti itu sangat diperlukan upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk membangkitkan, meningkatkan semangat pihak sendiri, upaya-upaya untuk meraih, memperoleh dukungan dari pihak ketiga mencakup sahabat dan juga pihak-pihak netral.

Kita bisa lihat peristiwa baru-baru ini yang masih hangat, berkaitan dengan konflik antara Rusia dengan Ukraina. Sejak Presiden Vladimir Putin mengumumkan operasi militer ke Ukraina, langkah-langkah mempengaruhi pihak lain pun dilakukan oleh Rusia dan Ukraina untuk memperjuangkan kepentingan dan membenarkan alasan-alasan mereka, serta untuk memperoleh dukungan dari berbagai pihak. Intinya, kedua pihak ingin memenangkan pengaruh sekaligus memenangkan kepentingan mereka.

Menariknya, konflik Rusia dengan Ukraina menimbulkan polarisasi di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Masyarakat dunia terpecah menjadi berbagai ‘cluster’ dengan pemahaman dan pandangan yang berbeda, namun itu bukanlah masalah besar karena perbedaan adalah mutlak, nyata, dan tidak dapat dihindari. Masalah utamanya adalah ketika perbedaan ini menjadi ajang baku hantam di media sosial, selain itu munculnya disinformasi yang keliru mengenai konflik ini dan berefek cukup fatal karena pemahaman yang sangat keliru ini dibagikan ulang dengan ‘berapi-api’ dan percaya diri bahwa berita yang diterimanya paling benar. Ada lagi yang memberitakan bahwa Ukraina melanggar Perjanjian Minsk (Minsk Agreement) dengan melakukan pendekatan kepada NATO (North Atlanctic Treaty Organization).

Bagi orang yang tidak paham sama sekali mungkin saja pemberitaan itu benar demikian, tetapi bagi yang mengerti isi Perjanjian Minsk (Minsk Agreement) tidaklah demikian, karena isi dari perjanjian tersebut sama sekali tidak membahas untuk mengatur hubungan antara Ukraina dengan NATO (North Atlanctic Treaty Organization), EU (European Union), ataupun Amerika Serikat beserta blok baratnya. Isi utama dari perjanjian tersebut adalah mengatur tentang wilayah otonomi Donetsk dan Luhank Oblasts, pemilihan umum, dan penarikan senjata serta pasukan, untuk lebih jelasnya mengenai isi Perjanjian Minsk (Minsk Agreement), anda bisa mengunduhnya di http://peacemaker.un.org karena akan sangat panjang penulisan ini jika perjanjian tersebut dicantumkan.

Jika ada yang pernah melihat sebuah unggahan provokatif di media sosial yang menyatakan bahwa pasukan terjun payung Rusia mendarat di kota Kharkiev, Ukraina, yang sebenarnya video tersebut adalah latihan militer tentara Rusia dan telah diunggah dalam situs berbahasa Rusia pertama kali pada 2016. Seperti dalam perang propaganda apa pun, kebenaran dari banyak hal yang dikatakan masih terbuka untuk dipertanyakan.

 

Kernel of Truth

Di dunia akademis terutama pada bidang psikologi mungkin tidak asing dengan istilah ‘kernel of truth’, mudahnya ‘kernel of truth’ adalah menyelipkan kebenaran dalam kebohongan atau menyelipkan kebohongan dalam kebenaran yang bertujuan untuk menimbulkan bias informasi. Dalam propaganda hal ini sangat penting karena mampu membiaskan informasi yang sangat luar biasa, dan ketika ‘kernel of truth’ dicampurkan dengan propaganda kemudian dibuktikan, kita masih bisa melihat ‘point’ kebenaran dan hal itu menimbulkan ‘bingung-salah’ di masyarakat. Contohnya seperti yang banyak diberitakan di berbagai media bahwa Ukraina melanggar Perjanjian Minsk (Minsk Agreement) meski tidak demikian, atau pasukan Rusia yang diberitakan menyerbu Ukraina dan warga sipil yang sebenarnya hanya menyerang pangkalan-pangkalan militer Ukraina.

Kalau kita melihat media sosial, media massa atau bahkan siaran berita di tv pun yang seharusnya kredibel justru masih banyak yang terjebak dalam ‘kernel of truth’ terutama belakangan ini saat memberitakan konflik Rusia-Ukraina karena memang benar-benar sulit untuk mencari fakta yang sesungguhnya. Atau sesungguhnya media massa, siaran berita tv dan beberapa akun media sosial memang mendapat pesanan dari yang memiliki kepentingan.

 

Paltering

Singkatnya, ‘paltering’ adalah berbohong dengan mengucapkan hal jujur, mungkin hal ini cukup familiar dengan sebagian masyarakat Indonesia tetapi tidak untuk istilahnya. Mengelabui dengan ’menyatakan hal yang benar’ kini sudah jamak, itu sebabnya muncul istilah baru yang disebut ‘paltering’ atau kalau diterjemahkan berarti mempermainkan kebenaran. Kebohongan jenis ini beredar luas di masyarakat saat ini terlebih di tengah konflik Rusia-Ukraina seperti sekarang, sehingga batas antara kejujuran dan kebohongan menjadi abu-abu. Ketika kebohongan dimanipulasi atau secara sengaja untuk menyesatkan orang lain terutama masyarakat, hal itulah yang lebih mengkhawatirkan. Dengan berkata jujur pada fakta yang lain, pihak yang menggunakan ‘paltering’ bisa lari dari tuntutan menjawab sebuah pertanyaan dan pernyataan, atau bahkan bisa mengatakan sesuatu itu benar padahal tidak. 

 

Post-truth

Jangan lupakan juga saat ini kita memasuki periode di mana post-truth merajarela, singkatnya post-truth adalah satu kata yang mendeskripsikan keadaan dunia saat ini. Maka itu disebut post-truth era. Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya adalah ‘setelah kebenaran’. Apakah maksudnya? Dengan percepatan informasi yang sangat cepat antar individu memungkinkan banyak propaganda tersebar dengan cepat. Selain propaganda, hoax, fake news, deep fake juga sudah banyak bertebaran yang implikasinya bisa memicu pergesekan antar satu entitas dengan entitas lainnya. Kalau ditinjau lebih jauh, memang kebanyakan orang akan mengedepankan emosinya ketimbang pikirannya dalam menerima suatu informasi. Kedua Hal inilah yang mendukung lahirnya post-truth era, sehingga untuk mencari suatu informasi valid pada saat ini sangatlah sulit, karena kecenderungan orang untuk menerima dan membagikan suatu informasi yang keliru dengan emosi, bukan dengan pikiran.

 

Memahami Propaganda

Propaganda berasal dari bahasa Latin, yakni ‘Propagare’ yang berarti ‘penerangan’ atau penyebaran terbatas informasi dan kredo, pertama kali digunakan oleh Paus Gregorius II pada tahun 1622. Namun istilah tersebut sekarang digunakan dengan penekanan khusus pada media komunikasi massa, meskipun semua penyebarluasan ide-ide tidak bisa disebut propaganda. Tetapi jauh sebelum itu strategi propaganda sudah lama digunakan manusia, catatan tertua tentang propaganda yang ditemukan adalah saat Raja Darius I saat menguasai dan memerintah Persia dengan berbagai propaganda. Di Tarumanegara pun tercatat bahwa Raja Purnawarman melakukan pengultusan terhadap dirinya sendiri untuk mempengaruhi masyarakat, ini juga salah satu bentuk propaganda pada masa lampau.

Kalau kita flashback ke masa Perang Dunia I dan II, kita tidak bisa terlepas dari yang namanya propaganda, karena propaganda menjadi satu elemen penting yang sangat berbahaya dan mematikan. Karena dengan propaganda manusia menjadi tidak ragu untuk saling menindas dan saling menghabisi nyawa sesama manusia, karena propaganda jugalah manusia menjadi merasa superior terhadap manusia lainnya.

Jika bicara tentang propaganda, kita tidak bisa lepas dari sosok bernama Paul Joseph Goebbels, ia adalah petinggi partai Nazi dan salah satu orang kepercayaan Adolf Hitler. Kemampuan public speaking yang sangat baik ia gunakan saat melakukan propaganda terhadap anti-semitisme di Jerman pada masa Perang Dunia II dan ia juga tokoh politik yang pertama kali menyadari di zaman modern bagaimana propaganda sangat menentukan kemenangan satu pihak. Memasuki masa Perang Dingin, propaganda justru semakin panas dan tentu siapa lagi dalangnya jika bukan Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Pada masa ini, propaganda digencarkan dengan sangat totalitas oleh kedua belah pihak mulai dari radio, tv, media cetak, dan lain-lain.

Kembali ke konflik Rusia-Ukraina, kedua belah pihak masing-masing menjalankan propaganda melalui proxy war, bukan hanya media konvensional yang digunakan tetapi juga melalui media sosial yang tentu jangkauannya menjadi berkali-kali lipat lebih luas dari media konvensional, seperti melalui akun-akun influencer, buzzer, bahkan akun resmi dari kedua belah pihak semuanya dikerahkan untuk menyiarkan propaganda. Menariknya, banyak pihak-pihak yang tidak terlibat secara langsung tetapi ‘rela’ menjadi corong propaganda salah satu pihak, entah mereka memiliki kepentingan dengan salah satu pihak atau memiliki rasa cinta atau benci yang besar terhadap salah satu pihak.

Sadar atau tidak, inilah mungkin yang diimpi-impikan oleh Paul Joseph Goebbels, karena ia pernah berkata, “propaganda terbaik adalah ketika mereka yang dimanipulasi meyakini bahwa apa yang mereka lakukan sesuai dengan keinginan dan kehendak sendiri”. Sejak operasi militer Rusia terhadap Ukraina dijalankan maka saat itu juga propaganda sudah bekerja pada tempatnya, saat itu juga Presiden Vladimir Putin menyatakan operasi militer mereka bertujuan untuk memberantas ‘Neo-Nazi’ yang ada di Ukraina, dan tidak lama setelah itu pihak Ukraina membalas dengan meme karikatur Adolf Hitler yang sedang mengusap pipi Presiden Vladimir Putin. Jadi, satu tema yang sama digunakan kedua belah pihak dalam propaganda mereka. Propaganda selalu melekat dengan yang namanya hoax, disinformasi, manipulasi, out of context, dan lain sebagainya digunakan oleh corong kedua belah pihak, baik Rusia maupun Ukraina.

 

Humanist dan Heroic Penuh Kepentingan

Dalam propagandanya, Rusia memainkan narasi ‘humanist’, sedangkan Ukraina memainkan narasi ‘heroic’, dan jika kita perhatikan setiap konten yang dipublikasikan pendukung Rusia biasanya bersifat ‘humanist’ sedangkan konten yang dipublikasikan pendukung Ukraina biasanya bersifat ‘heroic’. Kenapa pihak Rusia memilih narasi ‘humanist’ sedangkan pihak Ukraina memilih narasi ‘heroic’ tentu mereka memiliki kepentingan yang tentu relate dengan tujuan akhir mereka yang belum kita ketahui saat ini.

 

Kesimpulan

Dari penjabaran di atas, kita mengetahui bahwa perang dan propaganda adalah ‘teman dekat’ yang tidak lebih dari sebuah kepentingan, ego, serta ambisi dari orang yang saling mengenal dengan mengorbankan orang-orang yang tidak saling mengenal satu sama lain. Tentu kita jangan sampai salah kaprah dan memandang perang adalah pertarungan antara ‘si baik’ dan ‘si jahat’ atau istilahnya bajingan di mata kiri, pahlawan di mata kanan. Dari kedua konflik yang terjadi saat ini, janganlah lugu dan polos bahwa kita juga harus memahami bahwa politikus adalah orang-orang yang lekat dengan dunia peran, sandiwara dan pura-pura karena sepanjang hidupnya mereka menghabiskan waktu untuk berlaku demikian, sehingga bijaksanalah dalam melihat suatu kejadian, termasuk dalam konflik Rusia-Ukraina ini. 

Lagipula, Buddha juga pernah mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran dalam perang. Jika kita amati dari luar zaman dan budaya, tentunya apapun teori yang mengatakan seperti ‘perang untuk keadilan’ atau sejenisnya hanyalah delusi semata. Dalam Dharma kita justru ditantang untuk melihat di balik pembagian benar atau salah yang tampaknya simple.

 

Daftar Pustaka

  • Lasswell, Harold D. 1971. Propaganda Technique in The World War. University of Michigan Libraries. Michigan. United States of America.
  • Propaganda dan Perang Urat Syaraf (Kasus Invasi AS ke Irak 2003). Jurnal IISIP, Edisi 02/Januari 2006, Hal 63-82. Yayasan Kampus Tercinta. Jakarta.
  • Arifin, Anwar. 2011. Komunikasi Politik, Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
  • Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal dan Non Verbal. Bandung : Citra Aditya Bakti.
  • Wilcox, David R. 2005. The Theory of Propaganda. In Propaganda, The Press and Conflict. Routledge.
  • Schmid, Alex & Graaf, Janny de. 1982. Violence as communication: insurgent terrorism and the western news media. Beverly Hills, California: Sage Publications.
  • Pan, Z., & Kosicki, G. M. 1993. Framing analysis: An approach to news discourse. Political Communication, 10(1): pages 55–75.
  • https://www.sundayguardianlive.com/news/no-one-winner-russia-ukraine-conflict Diakses Maret 2022.
Butuh bantuan?