BAHAYA MICRO MANAGEMENT SANG PEMBUNUH KREATIFITAS

Home » Artikel » BAHAYA MICRO MANAGEMENT SANG PEMBUNUH KREATIFITAS

Dilihat

Dilihat : 35 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 5
  • 31
  • 25,991
GAMBAR

Oleh: Majaputera Karniawan, M.Pd.

Micro management adalah suatu keadaan ketika seorang atasan (khusunya manager) memperhatikan hal-hal kecil dan detail terhadap karyawan, pekerja, ataupun bawahannya yang bahkan sebenarnya tidak penting dan rendah implikasi (dampaknya) pada tugas yang dijalankan. Istilah Micro Management secara garis besar mengacu pada gaya kepemimpinan seorang atasan yang melakukan pengarahan dan pengawasan secara berlebihan. Hal ini didasari adanya rasa tidak percaya kepada bawahannya tersebut dalam mengemban tugas yang diberikan kepadanya. Akibatnya bawahan menjadi tidak kreatif, karena sejak awalnya nalar kreatif dan eksplorasi dalam berekspresi mereka telah dibatasi dengan terlalu mendetailnya atasan mereka.

Sering kali para micro managers ini memberikan perintah dengan tidak jelas, bahkan ada kalanya sang manajer mau agar bawahannya bisa bekerja sesuai suasana hati/keinginannya. Masalahnya adalah setiap pekerja itu belum tentu bisa menerka dan membaca jalan berpikir si atasan. Ketika tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka atasan akan memberikan intervensi berlebih. Sekilas hal ini terlihat enak bagi pekerja, akan tetapi bekerja seperti ini serasa dibawah tekanan, di mana ketika kita bekerja senantiasa diawasi di sana sini, bagi karyawan yang tidak kuat mentalnya sudah dipastikan ia akan cepat resign.

Maka jangan senang dahulu ketika anda menerima lowongan pekerjaan dari perusahaan yang senantiasa menerima karyawan, mungkin bisa saja karyawan yang bekerja di sana tidak bertahan lama dikarenakan justru atasan mereka (manajer bahkan direktur) yang bermasalah, Banyak di antara atasan-atasan yang memiliki mental seperti ini, ingin mengontrol semuanya bahkan tidak jarang ia ingin munculkan dirinya di setiap kesempatan. Seakan sebuah lembaga tanpa dirinya tidak akan berjalan meskipun pada realita, keberadaan ia tidak memiliki implikasi (dampak) yang besar bagi kemajuan satu lembaga, bahkan malah memperlambat.

Kita bisa mengenali karakter seorang atasan yang berfokus pada Micro Management, yakni:

1. Sulit/Tidak pernah puas dengan hasil kerja bawahan

 

2. Emosi berlebihan.

3. Terlalu berfokus pada proses pekerjaan

4. Bersikap mendominasi dan ingin menguasai pekerjaan

5. Menuntut update terus menerus

6. Bersikap Marchiavellianism (Manipulatif), terlebih dihadapan atasan

7. Susah percaya/mendelegasikan sebuah projek kepada bawahannya.

8. Memperkarakan masalah kecil yang tidak penting.

Sang Buddha sendiri berpesan bahwa bahkan seorang pekerja dan pelayan adalah bahan bakar (Api) bagi seorang umat perumah tangga, Buddha menyadari bahwa kehadiran seorang karyawan bagi usaha seorang perumah tangga berperan besar bagi perkembangan usahanya, maka Sang Buddha menyarankan agar para pekerja perlu dijaga dan dipelihara dengan baik sehingga mereka bahagia dengan menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya. Akan tetapi kita perlu memberikan perlakuan yang tepat kepada mereka dengan cara sebijaksana mungkin. Sebagai api, para pekerja terkadang perlu ‘dinyalakan (Contoh: Dibangkitkan semangat dan kesungguhan dalam bekerja), kadang-kadang harus ‘Dilihat dengan keseimbangan (Contoh: Dibiarkan mereka berkreasi dengan mendelegasikan), kadang-kadang harus ‘Dipadamkan (Contoh: Distop perbuatan mereka yang tidak sesuai tujuan pokok), dan kadang-kadang harus ‘Disingkirkan (Contoh: Diputus hubungan kerja apabila mereka wanprestasi). (AN7.47. Dutiyaggi Sutta). Maka kalau dilihat di sini, micro management tidak sepenuhnya salah, hanya seseorang perlu tahu kapan waktunya menerapkan micro management.

Dalam teori kepemimpinan situasional sendiri, ada kalanya micro management bisa dibenarkan, serta ada kalanya micro management menjadi tidak tepat serta sia-sia. Hal ini tergantung bagaimana seorang manajer yang berperan sebagai pemimpin mengarahkan anak buahnya tergantung pada bagaimana kinerja dan keadaan anak buahnya saat itu. Bisa disimpulkan dalam diagram kepemimpinan situasional sebagai berikut:

1. Kolom D1 dan S1 adalah situasi dimana pekerja memiliki kompetensi/kemampuan rendah namun memiliki kemauan/komitmen kerja yang tinggi, maka sebagai atasan harus bersikap Direktif (Memerintah) namun dengan memberi perintah serta dukungan secara tidak intens. Contohnya: ‘Saya tidak mau tahu, kalau kamu masih mau kerja di sini, kamu pelajari dan coba selesaikan. Kalau sudah selesai atau ada kendala baru temui saya’.

Kolom D2 dan S2 adalah situasi dimana

 

pekerja memiliki sebagian kompetensi/kemampuan yang rendah (tidak semua) namun memiliki kemauan/komitmen kerja yang rendah, maka sebagai atasan harus bersikap Coaching (Membina) dengan memberi perintah dan dukungan secara intens. Contohnya: ‘Kamu kalau ada kesulitan di proses A, kamu harus buka buku panduan, cari di halaman sekian. Coba buka bukunya. Saya akan pastikan kamu ikuti langkah demi langkah’

Kolom D3 dan S3 adalah situasi dimana pekerja memiliki sebagian kompetensi/kemampuan yang menengah dan tinggi, namun memiliki kemauan/komitmen kerja yang berubah ubah kadang tinggi kadang rendah, maka sebagai atasan harus bersikap Suportif (Mendukung) dengan memberi perintah tidak intens namun sangat intens dalam memberi dukungan. Contoh: ‘Kamu kerjakan tugas yang sudah saya list ke WA kamu dengan baik yah, kalau ada perlu apa kita tiktokan aja by Whatsapp, jangan sungkan yah, kalo ada kendala langsung tiktokan aja by WA

Kolom D4 dan S4 adalah situasi dimana pekerja memiliki kompetensi/kemampuan yang tinggi, serta memiliki kemauan/komitmen kerja yang tinggi, maka sebagai atasan harus bersikap Delegatif (Memberi kepercayaan) dengan memberi kepercayaan pekerja tersebut terhadap suatu project dengan perintah secara intens namun kurang intens dalam memberi dukungan. Contoh: ‘Kamu kerjakan tugas yang sudah saya list ke WA kamu dengan baik yah, kalau sudah selesai laporan aja seperti biasa, saya percaya kamu, jangan kecewakan saya.

Dari sini kita bisa belajar bersama bahwa sikap seorang micro manager tidak sepenuhnya salah, terlebih jika dia ada di posisi Direktif atau Coaching dalam teori kepemimpinan situasional, tetapi jika dilakukan kepada pekerja yang seharusnya cukup dibina dengan perilaku Suportif dan Delegatif, itu hanya akan mematikan nalar kreasi serta mematikan keinginan kerja mereka. Kadang kalanya sebagai atasan kita perlu juga mengetahui apakah seseorang bawahan (atau bahkan diri sendiri) pantas akan suatu kedudukan atau tidak.

Jangan khawatir bila tidak ada kedudukan tetapi khawatirlah bila tidak memiliki kecakapan (kompetensi serta kapabilitas) untuk suatu kedudukan, ingatlah bahwa menjadi pemimpin itu sukar, namum menjadi bawahan pun tidak mudah (Konfusius, Lun Gi IV: 14; XIII: 15). Maka penting bagi kita yang berusaha atau berorganisasi menjadi ataupun memilih pemimpin yang layak serta berkualitas agar tidak menyusahkan banyak orang, termasuk diri sendiri.

Semoga Bermanfaat.

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

Daftar Pustaka

https://www.gurusiana.id/read/sugihpermono/article/kepemimpinan-situasional-ii-5320176. Diakses 7 Juli 2023

https://accurate.id/marketing-manajemen/micromanage/. Diakses 8 Juli 2023.

https://glints.com/id/lowongan/micromanage-adalah/. Diakses 7 Juli 2023.

Suttacentral.net (Legacy Version). 2015. Samyutta Nikaya. http://legacy.suttacentral.net/sn. Diakses 7 Juli 2023.

Adegunawan, Suyena (陳書源 Tan Su Njan). 2018. Kompilasi 《四书》– Si Shu Empat Kitab Klasik. Bandung. TSA.

Butuh bantuan?