Oleh: Jo Priastana
“Seorang pemimpin sejati adalah yang mampu
mendengarkan, dan memahami kebutuhan rakyatnya”
(Bung Hatta, 1902-1980, Negarawan, Proklamator Kemerdekaan)
Politisi adalah individu yang berprofesi dan berkecimpung dalam bidang politik. Politisi bertugas berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, dan sebaliknya. Berkaitan dengan politik yang berkenaan dengan pemerintahan dan kekuasaan. Politisi dan politik berakar dari kata polis atau negara kota di Yunani kuno, seperti Athena dan Sparta. Politisi melakukan kebijakan dan tindakan untuk kemajuan sebuah kota, dalam arti negara dan bangsa. Politikus adalah penyambung suara masyarakat, menjalankan kebijakan berdasarkan aspirasi rakyat dan sepantasnya identik dengan kepentingan rakyat.
Di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa tumbuhlah para pemimpin yang memiliki kualifikasi dan kualitas untuk bisa memimpin rakyat, termasuk politisi. Dalam Digha Nikaya (But-Indr, Siddhi, The Social Philosophy of Buddhism, 1995), terungkap bahwa evolusi dunia ini juga sejalan dengan perkembangan makhluk penghuninya yakni kemunculan manusia sampai terbentuknya kehidupan manusia yang bermasyarakat dan bernegara. Dari keadaan itu, kemudian memunculkan manusia yang cakap yang akan menjadi pemimpin atau pemuka dari kumpulan atau komunitasnya itu.
Politisi adalah orang terkemuka yang muncul dari kumpulan komunitasnya. Entah melalui pilihan rakyat atau penunjukan para pengambil kebijakan negara itu pada hakikatnya adalah manusia utama dari kumpulan atau komunitasnya yang dikenal juga sebagai seorang negarawan. Manusia dalam pandangan Buddhis mencerminkan segi-segi etis-sosial untuk menjadi manusia utama. Ada tiga terminologi yang menunjukkan munculnya kepemimpinan atau manusia utama ini, yaitu: Mahasamata, Khattiya dan Raja.
Politisi, Wakil Rakyat Mahasamata
Mahasamata yang berarti pemimpin, wakil rakyat yang dipilih oleh mayoritas anggota masyarakat, seperti DPR dengan anggotanya atau para politisi pada zaman sekarang. Khattiya yang bertugas melindungi tanah dan properti masyarakat, atau bisa disepadankan dengan tentara, kelompok militer. Sedangkan Raja yang memiliki kemampuan tinggi untuk memimpin masyarakat, atau pemimpin utama dalam masyarakat tersebut, seperti Presiden atau “the ruling class,” kaum yang berkuasa.
Menyangkut kehidupan bernegara, dimana negara adalah lembaga pusat masyarakat yang memiliki otoritas memberlakukan hukum yang berlaku, maka seorang Buddhis hendaknya juga dapat memberikan pandangannya mengenai kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sesuai dengan cita-cita seorang Buddhis. Terkhusus bagi para politisi Buddhis yang mengemban tanggung jawab kenegaraan dan kebangsaan hendaknya juga berlandaskan pada nilai-nilai Buddhis dalam perjuangannya sesuai kemunculannya dari komunitas, masyarakat Buddhis.
Hukum atau kebijakan yang diberlakukan dan dihasilkan oleh negara yang dikerjakan oleh para politisi itu hendaknya dan pastinya tidak bertentangan dengan etika sosial yang juga terkandung dalam cita-cita Buddhis. Profesi sebagai politisi adalah sikap hidup yang mulia, karenanya sudah sepantasnya kaum Buddhis juga dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai politisi yang merupakan juga sebagai tanggung jawab sosial-kemanusiaannya.
Untuk itu, dalam kehidupan politis atau dunia politik yang penuh dinamika dengan berbagai kepentingan, maka politisi Buddhis sangat berkewajiban memberikan kritisinya bagi sebuah kebijakan yang akan diambil benar untuk kepentingan bangsa. Sikap kritis ini juga merupakan wujud tanggung jawabnya sebagai warga negara di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sejalan dengan apa yang menjadi hak moral setiap warga negara dalam memajukan bangsa dan negaranya, mengatasi kepentingan diri sendiri, semata demi kepentingan bangsa dan negara yang sejalan dengan kepentingan komunitas.
Dalam Buddhadharma penting mengusahakan terdapatnya pemimpin yang berkualitas seperti misalnya ajaran dasa-raja-dhamma. Dasaraja dhamma berisikan kualitas moral bagi para pemimpin, seperti: dana (dermawan), sila (bermoral), paricagga (rela berkorban), ajjava (berhati tulus), maddava (sopan dan santun), tapa (sederhana), akkodha (tidak gampang gusar), ahimsa (tanpa kekerasan), khanti (kesabaran), dan avirodha (tidak bertentangan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat).
Pemimpin dengan kualitas seperti itulah yang dapat menjalankan hukum negara, dan membawa masyarakat ke arah cita-citanya yang ideal. Kepemimpinan Dasaraja dhamma menjadi kekuatan dan legitimasi bagi setiap pemimpin politis atau kepemimpinan suatu negara yang mencermikan kenegarawanan. Bila nyatanya, para pemimpin itu tidak lagi mencerminkan kualitas kepemimpinan seperti itu, maka legitimasi moral dan kontrak sosial sebagai pemimpin pun dipertanyakan, dan hendaknya para pemimpiun itu mengundurkan diri.
Selain ajaran tentang dasa-raja-dhamma yang bersifat subyektif-individual yang lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia utama, Buddhadharma juga mengungkapkan pentingnya melakukan perubahan bagi masyarakat luas yang bersifat realistis dan obyektif. Hal ini juga amat pantas dilakukan pemimpin. Pemimpin sebagai pembaharu sosial yang memiliki kepedulian membawa masyarakat ke arah perbaikan tatanan moral dan kehidupan yang semakin baik.
Pemimpin yang berkualitas dasaraja dhamma memperjuangkan terselenggaranya keadilan bagi rakyatnya secara obyektif dan realistis demi perubahan dan kemajuan. Dalam memperjuangkan itu, pemimpin juga perlu selalu berlandaskan pada etika kepemimpinan, sebagaimana yang terdapat di dalam Cakkavati Sihanada Sutta, Sutta Pitaka, DN.V: (Eko Nugroho Rahardjo, “Buku Panduan Ceramah Pengawasan Pemilu Program Bawaslu”: 2017) yaitu:
(1) seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak dan tidak berat sebelah terhadap rakyatnya. (2) seorang penguasa yang baik harus bebas dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya. (3) seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apapun dalam penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan. (4) seorang penguasa yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang diselenggarakan. Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum, namun juga dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan pikiran sehat.
Bekal dari Sang Buddha
Ada wejangan dari Sang Buddha yang disampaikan bagi para pemimpin. Ketika Sang Buddha berkunjung ke Kapilavatthu memenuhi undangan Raja Suddhodana untuk berjumpa dengan keluarga, kerabatnya, dan para petinggi negara atau kerajaan. Dalam kesempatan itu, Sang Buddha mengemukakan ajarannya yang berkenaan dengan masalah politis seperti yang mengandung segi-segi kemasyarakatan, kenegaraan, dan kepemimpinan.
Sang Buddha menggunakan kesempatan di hadapan para pemimpin kerajaan untuk menyampaikan cara konkret untuk menerapkan Sang Jalan (Buddhadharma) ke dalam kehidupan politik. Sang Buddha menjelaskan bahwa sang Jalan dapat menerangi bidang politik, membantu mereka yang ikut dalam memerintah kerajaan untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan sosial. Penjelasan Sang Buddha yang juga sangat penting bagi para politisi masa kini (Thich Nhat Hanh, “Jalan Tua Awan Putih,” Karaniya, Jakarta: 2015: 68-70).
Sang Buddha berkata: “Jika kalian mempraktikkan sang Jalan, kalian akan meningkatkan pengertian dan kasih sayang serta melayani rakyat dengan baik. Kalian akan menemukan cara-cara untuk membawa kedamaian dan kebahagiaan tanpa tergantung sama sekali pada kekerasan. Kalian tak perlu membunuh, menyiksa, atau memenjarakan rakyat, atau menyita harta benda. Ini bukanlah suatu ideal yang mustahil, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan.
Ketika politisi memiliki cukup pengertian dan cinta kasih, ia akan melihat kebenaran akan kemiskinan, kesengsaraan, dan penindasan. Orang tersebut dapat mencari berbagai cara untuk mereformasi pemerintahan agar dapat mengurangi jurang antara si kaya dan si miskin, serta menghentikan penggunaan kekuatan terhadap pihak-pihak lain.
“Sahabat-sahabatku, pemimpin politik, dan penguasa haruslah menjadi panutan baik. Janganlah hidup dalam pengakuan kemewahan karena kekayaan hanya menciptakan dinding pemisah yang tebal antara penguasa dan rakyat. Jalanilah kehidupan sederhana yang dipenuhi kebajikan, gunakan waktu untuk melayani rakyat daripada mengejar berbagai kesenangan yang tak bermanfaat.
Seorang pemimpin tak akan dapat memperoleh rasa percaya dan rasa hormat dari rakyatnya jika ia sendiri tidak memberikan contoh yang baik. Jika para penguasa mengasihi dan menghormati rakyat, mereka juga akan mencintai dan menghormati sebagai aksi baliknya. Memerintah dengan kebajikan berbeda dengan memerintah dengan hukum dan tata tertib. Memerintah dengan kebajikan tidak tergantung pada hukuman. Menurut Jalan menuju kewaspadaan, kebahagiaan sejati, hanya bisa diperoleh melalui jalan kebajikan.”
Raja Suddhodana dan seluruh hadirin para pejabat istana mendengarkan penjelasan Buddhadharma di Jalan Politik dengan seksama. Selanjutnya, Sang Bhagava membabarkan kepada baginda raja cara menerapkan ke dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Pancasīla (Buddhis) adalah fondasi untuk keluarga yang bahagia serta masyarakat yang damai. Sang Buddha menjelaskan setiap sīla dengan seksama dan merangkumnya, dengan mengatakan:
“Jika penguasa ingin rakyat bersatu, terlebih dahulu penguasa harus memperoleh keyakinan dan rasa percaya mereka. Jika para pemimpin politik mempraktikkan Pancasīla, niscaya akan tumbuh keyakinan serta rasa percaya rakyat. Berbekal keyakinan serta rasa percaya rakyat tersebut, tiada sesuatu pun yang tidak bisa dicapai suatu negeri. Kedamaian, kebahagiaan, dan keadilan sosial akan terwujud.”
Khotbah Buddha di hadapan Raja Suddhodana dan para pejabat Suku Sakya tampaknya relevan dengan situasi bangsa dan bagi para politisi saat ini. Intinya harus bisa membangun rasa percaya rakyat, menghormati rakyat dimana rakyat juga akan menghormati sebagai aksi baliknya. Bagaimana bila tidak? Bila nyatanya politisi yang dipilih rakyat justru mengingkari kepentingan rakyat?
Maklumat Indonesia Bergerak
Bila tak ada “rasa percaya rakyat” kepada para pemimpin, karena pemimpin tidak menjadi panutan yang baik, hidup dalam kemewahan karena kekayaan yang ditampilkan tanpa ada rasa etik dan empati, yang hanya menciptakan dinding pemisah yang tebal antara penguasa dan rakyat, maka pemberontakan rakyat pun akan terjadi sebagai tumpahan rasa murka, muak, mual terhadap sikap hidup para pemimpin yang tidak sepatutnya dan melukai hati nurani rakyat.
Peristiwa demonstrasi besar-besaran rakyat yang terjadi pada bulan Agustus 2025 bukan tidak mungkin akan kembali lagi lebih dahsyat, atau seperti yang dilakukan para generasi muda, Gen Z Nepal yang menumbangkan kekuasaan dan melecehkan para pejabat pemimpinnya yang korup, yang hidup bermewah-mewah, yang tidak selayaknya sebagai manusia utama sebagai pemimpin, pejabat negara. Peristiwa Nepal adalah pelajaran yang sangat berharga bagi politisi yang mengambil jarak dengan rakyat dan yang akan dilecehkan oleh rakyatnya sendiri.
Nepal, tempat di mana Sang Buddha lahir dan yang juga mengeluarkan ajarannya tentang Sang Jalan untuk kehidupan politik. Wejangan kepada Raja Suddhodana dan pejabat istana terasa begitu relevan saat ini, dan bisa dipandang sebagai bekal peringatan dan kewaspadaan bagi para politisi termasuk politisi Buddhis saat ini.
Pesan Buddha Siddharta yang lahir di Lumbini, Nepal yang sangat relevan karena berintikan rasa percaya rakyat kepada pemimpin, terlebih ada contoh nyata saat ini dari Nepal itu sendiri, demonstrasi Gen Z menumbangkan pemerintahan dan membuat tersungkur pejabat korup sampai ke dasar terdalam kemaluannya, karena sudah tidak lagi memiliki “hiri dan ottapa” (rasa malu dan rasa salah). Wejangan Buddha yang universal melintasi zaman sebagai peringatan dan kewaspadaan. Kita berdoa, jangan sampai ada politisi Buddhis di Nepalkan.
Untuk itu, sangat penting menjaga “rasa percaya rakyat” dengan mengembalikan kedaulatan rakyat. Dalam suasana memperingati Sumpah Pemuda 97 tahun silam (28 Oktober 1928-2025), mari kita sambut gerakan pemuda Indonesia, seperti pemuda diaspora di Australia yang mengajak pemuda di dalam negeri untuk bergerak bersama mewujudkan apsirasi mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana yang dirumuskan dalam “Maklumat Indonesia Bergerak 2025”.
“Maklumat Indonesia Bergerak berfokus pada tujuh poin, tetapi utamanya adalah soal pada menegakkan kembali “kedaulatan rakyat” yang telah direbut oleh kekuasaan yang korup, militerisme, dan perekonomian ekstraktif yang merusak alam hingga menyengsarakan rakyat,” demikian ujar Ucu Martanto, mahasiswa program doktoral Universitas Melbourne kepada Kompas.
Menurut Ucu, maklumat ini bukan berisi daftar tuntutan mereka kepada pemerintah, melainkan sebuah panggilan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk bersatu, bergerak, menata ulang Indonesia. Maklumat ini diharapkan dapat menjembatani kondisi hari ini menuju masa depan bangsa yang benar-benar merdeka, demokratis dan sejahtera, setara dan berkeadilan.
Selain dari Melbourne, penyampaian Maklumat Indonesia Bergerak juga dilakukan oleh warga negara Indonesia di sejumlah negara yang tergabung dalam Komite Internasional Indonesia Bergerak. Tercatat gerakan dari para diaspora dan pelajar di luar negeri ini sudah ada di 23 negara dan 43 kota di dunia (Kompas, 29 Oktober 2025). (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: