Belajar Kebijaksanaan Timur dari Oei Tamba Sia, Playboy-Crazy Rich Batavia yang Mengelap Tinja Pakai Uang Kertas

Home » Artikel » Belajar Kebijaksanaan Timur dari Oei Tamba Sia, Playboy-Crazy Rich Batavia yang Mengelap Tinja Pakai Uang Kertas

Dilihat

Dilihat : 31 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 19
  • 33
  • 30,373
Oei Tambah Sia

Oleh: Majaputera Karniawan, S.Pd.

 

Pada masa kolonial Belanda antara 1827-1856 Masehi, hiduplah seorang playboy konglomerat di tanah Batavia bernama “Oei Tamba Sia” atau lebih dikenal sebagai Oeij Tambahsia. Ia adalah anak dari Luitenant der Chinezen Oei Thoa Lao. Ia memakai gelar kehormatan Sia (舍) karena ia berpangkat tinggi dan juga keturunan pejabat era Hindia Belanda. Saat ayahnya meninggal dia baru berusia 15 tahun dan mewarisi kekayaan berupa lahan di Pasar Baru dan Curug Tangerang dengan sewa 95 ribu Gulden setahun, sejumlah rumah, uang, dan perhiasan. Total nilainya mencapai 2 juta Gulden. Pada masa itu, dengan 10 Gulden saja orang sudah bisa hidup cukup. Apalagi dengan 2 juta Gulden? Selain tajir melintir, ia hobi berburu perempuan.

Hidupnya dihabiskan dengan bersenang-senang setiap hari. Ia kerap menghamburkan uangnya di dekat rumahnya di kawasan Ji Lak Keng, Jalan Pa Tek Wan (Patekoan/8 Teko) yang sekarang bernama Jalan Perniagaan Raya, Tambora, Jakarta Barat. Ketika malam tiba, ia gemar menggoda para penari dengan melemparkan uang saweran kepada mereka. Bahkan konon ketika ia buang air di sebuah jamban sekitar kali Krekot (Krukut?), banyak masyarakat miskin menanti dibawah jamban untuk memungut uang berlumuran tinja yang bekas digunakannya menyeka tinja dari kemaluan dan duburnya.

Ia dikabarkan memiliki sebuah bungalo di Ancol bernama Bintang Mas, di sinilah tempatnya melampiaskan nafsunya pada gadis idamannya. Salah satu yang diduga korbannya adalah Ariah (1817 M), di Jembatan Ancol. Setelah menolak saat hendak diperkosa di sebuah villa di Ancol, ia menghilang bak ditelan bumi. Siapa lagi biang keladinya kalau bukan Oeij Tambah Sia. Hingga akhirnya kisah Ariah menjadi ‘Urband legend’ Si Manis Jembatan Ancol yang arwahnya gemar menghabisi pria-pria hidung belang yang nakal.

Masa kejayaannya berakhir di tiang gantung. Sebelumnya ia sudah diperingatkan para petinggi Tionghoa yang tergabung di Kong Kuan (Dewan Pejabat Tionghoa) melalui Mayoor der Chinezen Tan Eng Goan untuk berubah dan tidak berbuat onar, tetapi ia malah menjadi-jadi. Puncaknya ia melakukan tindakan kriminal karena ia memerintahkan pembunuhan Sutedjo, saudara gundiknya Mas Adjeng Gundjing yang ia kira adalah kekasihnya. Oei Tamba Sia bahkan meracuni pembantunya sendiri yang setia Tjeng Kie hanya untuk memfitnah musuh bebuyutannya Lim Soe Keng Sia, anak mantu Mayor Tan Eng Goan. Atas aksinya, Dewan Pejabat Tionghoa yang dipimpin Mayor Tionghoa menyelidiki tindakan Oei Tamba Sia tersebut, dan melaporkannya kepada pengadilan Landraad. Ia dijatuhkan hukuman gantung sampai mati di muka umum. Usaha keluarga Oei untuk naik banding ke Raad van Justitie dan permohonan grasi kepada Gubernur Jendral ditolak. Hingga di pagi hari tanggal 7 Oktober 1856, Oei Tamba Sia dihukum gantung sampai mati di lapangan Stadhuis (sekarang Museum Sejarah Jakarta) (Kusumo 2021 & Wikipedia, 2021).

Perilaku Oei Tambah Sia ini mencerminkan sifat hedonisme. Hedonisme sendiri adalah pandangan yang menganggap bahwa setiap kesenangan dan kenikmatan dalam bentuk materi merupakan tujuan utama dalam hidup seseorang (KBBI). Selain itu pandangan hidup ini menjadi dorongan individu untuk berperilaku dengan memegang prinsip kesenangan (Benthem dalam Kurniasih, 2021). Dampaknya seseorang menjadi lebih individualis, konsumtif, egois, malas, tidak bertanggung jawab, boros, bahkan menghalalkan cara kotor seperti korupsi untuk pemuasan keinginan hedonisnya (Kurniasih 2021).

Dalam filsafat India Kuno pemikiran hedonis seperti yang dilakukan Oei Tamba Sia dimiliki oleh aliran filsafat Carvaka (Lokāyata), pimpinannya adalah Brhaspati yang tergolong aliran materialisme-hedonis. Orang yang memakai pemikiran Carvaka hanya menerima suatu pengetahuan bagi dirinya atas persepsi langsung saja, yang tentunya harus sesuai cara pandang Carvaka bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian dan manusia hanya eksis pada kehidupan ini saja. Sebagai akibatnya dalam ranah etika, para penganut Carvaka menjadi bebas melakukan apa saja yang dilakukannya tanpa memikirkan akibat, karena bagi para penganut pemikiran ini, kesenangan dan kenikmatan materi pada hidup saat ini adalah tujuan utama dan tidak akan terulang kembali, tidak ada tunimbal lahir dan hukum karma (Priastana, 2016: 28-29).

Dalam sudut pandang ajaran Buddha, pemikiran Hedonisme materialistik seperti Carvaka tidak sejalan dengan pemikiran ajaran Buddha. Dalam ranah praktis, perilaku Oei Tambah Sia seperti bermain perempuan, ke tempat hiburan, berkeliaran di tempat hiburan malam hari sudah dijelaskan dalam DN31. Sigalovada Sutta sebagai cara-cara membuang kekayaan, Buddha mengatakan bahayanya adalah habisnya kekayaan secara sia-sia. Terlebih perilaku asusila yang memang tidak sesuai lima aturan moralitas dasar Buddhis (menghindari pembunuhan, pencurian, asusila, berdusta, dan mengkonsumsi zat memabukkan) akan mendatangkan masalah. Hanya saja, dampaknya tidak langsung terasa karena statusnya sebagai seorang pembesar. Buddha memberikan contoh pada Madhyamagama 11 Yan Yu Jing 鹽喻經 (Sutra tentang segumpal garam), ketika seorang berkuasa merampas kambing seorang miskin, si pemilik kambing hanya dapat memohon saja agar kambingnya dikembalikan, sedangkan jika pemilik kambing adalah orang berkuasa, maka ia bisa menghukum si pencuri atas perbuatannya. Namun tidak berarti status mengamankannya selamanya, sebagai contoh seorang brahmana di Benares dalam JA362. Sīlavīmaṁsa-Jātaka yang tiga kali berturut-turut mengambil uang kerajaan secara paksa dari bendahara raja. Pada aksi pertama dan kedua ia didiamkan saja, tetapi saat ketiga kalinya, ia ditangkap dan dituduhkan dengan pidana pencurian. Dari kisah Jātaka ini, Buddhisme memandang bahwa moralitas seseorang dalam behavioristik (perilaku) seseorang bernilai lebih besar daripada status sosial ataupun pembelajaran (keilmuan) seseorang. Karena setinggi apapun statusnya, ketika tersandung masalah moral, itu akan meruntuhkan kepercayaan setiap orang terhadapnya. Maka seseorang hendaknya senantiasa menjaga moralnya serta senantiasa berbuat baik.

Pemikiran Konfusius sendiri mengajarkan etika kesusilaan (Li 禮)sebagai salah 1 dari 8 kebajikan (Ba De), karena dengan menjaga kesusilaan moral, seseorang tidak akan mengumbar nafsu yang dapat menyebabkan seseorang melakukan perbuatan kejahatan. Hanya saja, Konfusius berpandangan bahwa kejahatan jangan dibalas kejahatan ataupun kebaikan, tetapi balaslah kejahatan dengan kelurusan dan balaslah kebajikan dengan kebajikan (Lun Gi XIV:34). Konfusius juga menyatakan bahwa bila pemerintah tidak bersikap lurus, maka ia tidak akan diturut (Lun Gi XIII:6). Nampaknya pemikiran Konfusius sejalan dengan pemikiran Laozi. Laozi berpandangan bahwa dosa terbesar muncul dari keinginan mengumbar nafsu secara berlebihan dan kesalahan terbesar manusia adalah keserakahan, tidak pernah merasa puas sehingga membawa malapetaka besar (Dao De Jing 46). Maka kedua ajaran tersebut sama-sama mengajarkan agar setiap orang tetap menjaga moralnya serta mampu mengendalikan keserakahan sehingga tidak terjebak pada polarisasi perbuatan mengumbar nafsu dan kesemena-menaan.  

 

Daftar Pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Oey_Tamba_Sia Diakses 28 Oktober 2021.

Kurniasih, Wida. 2021. Gaya Hidup Hedonisme: Pengertian, Contoh, Ciri-Ciri dan Dampaknya. https://www.gramedia.com/best-seller/gaya-hidup-hedonisme/. Diakses 28 Oktober 2021.

Kusumo, Rizky. 2021. Kisah Oei Tambah Sia, Playboy dari Batavia yang Berakhir di Tiang Gantung. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/10/26/kisah-oei-tambah-sia-playboy-dari-batavia-yang-berakhir-di-tiang-gantung. Diakses 28 Oktober 2021.

Lika. ID. Dao De Jing Kitab Suci Utama Agama Tao. Jakarta. Elex Media Komputindo.

MATAKIN. 2010. Su Si (Kitab Yang Empat). Jakarta. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).

Priastana, Jo. 2016. Filsafat Buddha. Jakarta. Yayasan Yasodhara Puteri.

Suttacentral.net (Online legacy version). Digha Nikaya. http://www.legacy.suttacentral.net/dn Diakses  Diakses 28 Oktober 2021.

Suttacentral.net (Online legacy version). Madhyamagama. http://www.legacy.suttacentral.net/ma  Diakses  Diakses 28 Oktober 2021.

Wijaya, Johan. 2009. SUTTAPIṬAKA  KHUDDAKANIKĀYA  JĀTAKA Volume III. Medan. Indonesia Tipitaka Center (ITC).

Butuh bantuan?