Benarkah Kemarahan Membuatmu Gila?

Home » Artikel » Benarkah Kemarahan Membuatmu Gila?

Dilihat

Dilihat : 123 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 17
  • 271
  • 82,520
Pic 3 Benarkah Kemarahan

Oleh: Vijjavati Anindita

 

‘Kegilaan’ di dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai madness. Madness tidak hanya ditujukan bagi seseorang yang kehilangan akal sehat, tetapi juga bertindak ugal-ugalan dan tidak terkendali. Saat merasakan marah yang meledak-ledak, ucapan dan tindakan seseorang menjadi tidak terkendali. Hati orang lain menjadi tersakiti, barang-barang rusak, bahkan hubungan dengan lingkungan sekitar menjadi runyam. Karena mengetahui dampak negatif dari marah, banyak orang yang memilih untuk menahan marah daripada mengekspresikannya. Bahkan, anak-anak sejak kecil banyak yang dididik orang tuanya untuk menahan amarah.

Anak-anak yang tidak belajar cara mengelola emosi dengan baik tumbuh dewasa menjadi seseorang yang sulit mengekspresikan emosinya. Hal ini tentu saja mengganggu proses tumbuh-kembangnya sehingga semestinya, lingkungan tempat anak tumbuh mengajarkan anak untuk mengenali serta mengelola emosinya. Bagaimana anak-anak belajar mengekspresikan kemarahannya tergantung dari bagaimana lingkungannya menormalisasi ekspresi kemarahan. Ada lingkungan yang tidak membenarkan makian sebagai ekspresi kemarahan, tetapi ada juga lingkungan yang menganggap bahwa mengungkapkan kemarahan secara tidak terkendali adalah biasa.

Marah adalah salah satu emosi sehingga tidak mungkin manusia tidak pernah marah sepanjang hidupnya. Mengajari anak untuk tidak merasa marah tidak sama dengan mengajari cara mengelola emosi yang benar. Sekalipun manusia lumrahnya merasakan kemarahan, paling tidak jangan sampai kemarahan itu dibiarkan merusak karena diekspresikan secara tidak terkendali. Di dalam Dhammapada ayat 360 dan 361 tentang Pancabhikkhu Vatthu, sang Buddha mengatakan:

sadhu jivhaya samvaro (adalah baik mengendalikan lidah),

kayena samvaro sadhu (mengendalikan tubuh itu baik),

sadhu vacaya samvaro (adalah baik mengendalikan ucapan),

manasa samvaro sadhu (mengendalikan pikiran itu baik).

Tidak berarti karena merasa marah, seseorang lantas tidak mengendalikan lidah dan ucapannya dengan memaki-maki. Tidak berarti juga marah membuat seseorang boleh tidak mengendalikan perbuatan tubuhnya dengan menyakiti orang lain. Tidak berarti juga seseorang yang marah boleh tidak menjaga pikirannya dengan memikirkan siasat balas dendam apalagi mengharapkan kejadian yang buruk-buruk. Membiarkan kemarahan merusak pikiran hingga tindakan jasmani kita sama saja dengan membiarkan tubuh dan pikiran kita tidak terkendali.

Anak-anak belajar mengekspresikan emosi dari lingkungannya, terutama dari kedua orang tua. Mereka belajar tidak hanya dengan diberi tahu, justru anak-anak lebih banyak belajarnya lewat contoh. Anak-anak yang tumbuh sering dimaki orang tuanya karena marah, besarnya suka memaki-maki orang lain karena semasa tumbuhnya melihat ayah-ibunya memaki-maki. Meskipun kedua orang tua sudah sering menasihati anak untuk tidak memaki, anak tetap akan memaki saat marah karena belajar lewat contoh lebih cepat dipahami daripada hanya lewat kata-kata.

Sebuah peribahasa Jawa berbunyi, ‘minum air jangan lupa sumbernya’ yang bermakna anak-anak lahir dari orang tua. Dari orang tua, anak tidak hanya mewariskan genetik dan harta kekayaan, tetapi juga karakter dari orang tuanya. Ketika anak memiliki sifat pemarah, orang tua tidak cukup hanya mendidiknya untuk tidak memelihara sifat marah. Akan lebih baik jika orang tua mau introspeksi diri apa jangan-jangan selama ini orang tua sering menghadirkan sosok pemarah di depan anak. Sang Buddha pernah menjelaskan kepada para dewa tentang penyebab kehancuran manusia di dalam Parabhava Sutta, yaitu

Suka tidur, cerewet, lamban, malas, dan mudah marah

Inilah penyebab kehancuran seseorang.

Mudah marah, menurut Parabhava Sutta, adalah sifat manusia yang menyebabkan kehancuran. Ketika berbicara tentang karakter, karakter tidak terbentuk di dalam kepribadian seseorang dalam jangka waktu yang pendek. Butuh proses yang konsisten selama bertahun-tahun untuk membentuk karakter. Awalnya hanya mencontoh sesekali, kemudian menjadi kebiasaan. Setelah itu, kebiasaan menjadi perilaku, perilaku berubah menjadi sifat, dan sifat menunjukkan karakter. Tidak bisa pemberian orang tua hanyalah pemberian materi, orang tua perlu memberikan teladan karakter yang baik bagi anak-anaknya.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Referensi

Samaggi-Phala. (n.d.). PARABHAVA SUTTA: KERUNTUHAN. https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/parabhava-sutta/

Tin, Daw Mya. (1986). The Dhammapada: Verses and Stories. Disunting oleh Burma Tipitaka Association. https://tipitaka.net/tipitaka/dhp/verseload.php?verse=360

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?