Benarkah Korupsi Telah Membudaya di Indonesia?

Home » Artikel » Benarkah Korupsi Telah Membudaya di Indonesia?

Dilihat

Dilihat : 48 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 0
  • 89
  • 23,130
mei 5

Penulis: Gifari Andika Ferisqo ()

 

Belakangan ini sedang hangat berita mengenai kasus korupsi atau lebih tepatnya pemalakan yang dilakukan oleh Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai dan Dirjen Imigrasi Kemenkumham, yang bahkan sampai sempat masuk berita stasiun TV di Taiwan (台湾) tentang warganya yang ‘dipalak’ petugas Bea Cukai sebesar US$4,000 (Sekitar Rp60.000.000,- dengan harga US$1 Rp15.000,-) dan sangat memalukan negara di mata dunia.

Korupsi merupakan sebuah masalah multi dimensi yang berakar pada struktur sosial dan politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah moral semata, seperti yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Sekalipun masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan praktik korupsi di Indonesia, akan tetapi peran tersebut tidak tidak terlepas dari budaya yang sudah lama terbentuk.

Rendahnya moralitas seseorang, memang menjadi salah satu penyebab korupsi, namun masih ada yang lebih penting dari akar persoalan mengakarnya praktik korupsi, yang tentu lebih substansial dari sekedar alasan moralitas.

 

Korupsi Warisan Masa Lalu

Dalam konteks perjalanan negara Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar sejak lama. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagai sesuatu yang “Wajar”. Ibarat rokok, korupsi telah menjadi barang yang membuat ketagihan yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya.

Korupsi bermula dari kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor. Sejarah korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara ketika negara Indonesia belum terbentuk dan masih mengenal sistem pemerintahan feodal terutama di kerajaan-kerajaan Jawa.

Persoalan korupsi pada masa kerajaan saat itu pada prinsipnya dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan, bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.

Kita bisa menengok bagaimana Kerajaan Singosari (ꦱꦶꦤ꧀ꦒꦱꦫꦶ) yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan. Mulai dari Prabu Anusopati (ꦥꦿꦧꦸ ꦄꦤꦸꦱꦺꦴꦥꦠꦶ), Prabu Ranggawuni (ꦥꦿꦧꦸ ꦫꦤ꧀ꦒ꧀ꦒwꦈꦤꦶ), hingga Prabu Mahesa Wongateleng (ꦥꦿꦧꦸ ꦩꦲꦺꦱ ꦈꦎꦤ꧀ꦒꦠꦺꦭꦺꦤ꧀ꦒ꧀) dan seterusnya. Kejadian yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit (ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀) yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti (ꦏꦸꦠꦶ), Nambi (ꦤꦩ꧀ꦧꦶ), Suro (ꦱꦸꦫꦺꦴ) dan lain-lain.

Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit (ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀) hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg (ꦥꦫꦺꦒꦿꦺꦒ꧀)” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada (ꦩꦲ ꦥꦠꦶꦲ꧀ ꦒꦗꦲ꧀ ꦩꦢ). Lalu, kerajaan Demak (ꦢꦺꦩꦏ꧀) yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir (ꦗꦺꦴꦏꦺꦴ ꦠꦶꦤ꧀ꦒ꧀ꦏꦶꦂ) dengan Aryo Penangsang (ꦄꦂꦪꦺꦴ ꦥꦺꦤꦤ꧀ꦒ꧀ꦱꦤ꧀ꦒ꧀).

Pada fase zaman ini, di kerajaan-kerajaan Jawa mulai terbangunnya watak opportunist yang menjadi cikal bakal korupsi. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem (ꦄꦧ꧀ꦢꦶ ꦢꦭꦺꦩ꧀) yang cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja. Ini pula yang menjadi cikal bakal (embrio) lahirnya kalangan opportunist yang ujungnya juga memiliki potensi jiwa korup yang begitu besar dalam tatanan kehidupan bernegara dikemudian hari sampai terbentuknya negara Indonesia saat ini.

Kemudian pada zaman Kolonial Belanda, praktik korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem sosial-politik pada saat itu. Tabiat korupsi ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh setempat yang sengaja melacurkan diri untuk dijadikan badut politik oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk menjalankan daerah administratif tertentu, semisal demang (ꦢꦩꦤ꧀ꦒ꧀), tumenggung (ꦠꦸꦩꦺꦤ꧀ꦒ꧀ꦒꦸꦤ꧀ꦒ꧀), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan pemerintah Kolonial Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, dan upeti yang mereka tarik dari rakyat umumnya lebih besar dari yang ditetapkan pemerintah Kolonial Belanda, dan sisa dari kelebihan upeti itu mereka gunakan untuk memperkaya diri.

Perkembangan praktik korupsi di zaman modern seperti sekarang sebenarnya dimulai saat terbentuknya negara Indonesia. Akan tetapi mentalitas buruk yang masih melekat tidak serta merta lenyap begitu saja. Salah satu warisan yang tertinggal adalah tabiat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Hal tersebut tercermin dari perilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde Lama, hingga semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru sampai saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadinya praktik korupsi di mana-mana semakin terbuka. Hasilnya, Indonesia sendiri berhasil menjadi salah satu negara terkorup di dunia, bahkan hingga saat ini.

 

Budaya yang Hampir Tidak Mungkin Diubah

Korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat karena sudah membudaya. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban defisit anggaran negara semakin bertambah. Ini yang kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomi menjadi collapse dan berujung kepada semakin tingginya inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakat kian melambung tinggi. Ekonomi biaya tinggi ini berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara daya beli masyarakat dengan tingkat harga komoditas terutama komoditas bahan pokok.

Masyarakat cenderung dipaksa untuk menerima keadaan ini, meski ambruknya sistem ekonomi tersebut adalah akibat dari ulah budaya feodal para pejabat yang merampok uang negara demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongan masing-masing. Intinya, masyarakat dipaksa untuk menanggung beban yang tidak dilakukannya. Kita tentu masih ingat dengan krisis moneter yang terjadi antara tahun 19971998 lalu. Salah satu penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda Indonesia ketika itu adalah beban keuangan negara yang semakin menipis akibat ulah pemerintahan Orde Baru yang sangat korup.

Salah satu fakta yang menyesakkan dada adalah, pemerintah bahkan terpaksa tetap melunasi hutang-hutang negara yang telah dikorup oleh pejabat-pejabat pemerintahan Orde Baru dahulu. Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), negara mengalokasi anggaran kurang lebih 40% untuk membayar hutang-hutang luar negeri melalui IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta lembaga donor lainnya. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh negara. Alokasi pembayaran hutang-hutang negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yaitu: membebankan pembayaran hutang tersebut kepada masyarakat indonesia yang sama sekali tidak pernah menikmati hutang-hutang tersebut.

Membebankan dengan memilih mencabut anggaran dan subsidi sosial bagi masyarakat dan membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Maka sangat wajar jika dikatakan bahwa praktik korupsi merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakat sendiri atau mungkin lebih tepatnya feodalisme yang terbiasa menerima upeti sejak zaman leluhurnya diadaptasikan ke dalam sistem demokrasi dan tanpa sadar mengganggap uang yang dikorupsi adalah upeti yang layak mereka terima.

Budaya dan kebiasaan buruk ini juga pernah diteliti dipengaruhi oleh genetika leluhur dan lingkungan sejak lahir, lalu lingkungan itu terbentuk dari genetika yang dibentuk para leluhurnya karena kebiasaannya di masa lampau dan menurun ke anak-cucunya, karena genetika adalah blueprint manusia yang berisi segala informasi mengenai fisik, watak, sifat, bakat dan memory yang terekam dan direpresentasikan ke kode-kode DNA ke dalam sel keturunannya. Jadi bisa disimpulkan perbuatan korupsi yang masif tersebut di Indonesia juga dipengaruhi dan diturunkan oleh sebagian besar para leluhurnya yang sangat feodal dan terbiasa menerima upeti, sehingga tujuan mereka mejadi pejabat adalah oportunistik, supaya bisa hidup enak dengan tradisi feodal seperti sebagian kasus-kasus korupsi di kerajaankerajaan Jawa zaman dahulu.

 

Kesimpulan

Penerapan pendidikan moral dengan landasan cinta kasih terhadap diri maupun orang lain mampu mengikis kemelekatan dan kekotoran batin sehingga menciptakan suatu kepribadian yang berprinsip pada kebenaran, maka kejahatan dan penderitaan tidak akan hadir dalam diri bila telah menjalankannya sehingga bisa meminimalisir pikiran untuk tindakan korupsi.

Dalam ajaran Buddha, kita bisa melakukan kajian pada Dasa Raja Dhamma (डसा रजा ढम्मा)yang dapat dijalani/diterapkan oleh semua kalangan baik pemerintah ataupun masyarakat yang bertujuan agar terciptanya kesejahteraan dan kebahagiaan baik diri maupun masyarakat. Kejahatan korupsi tidak sesuai dengan “Ariyo Aṭṭhaṅgiko Maggo (अरियो ṭṭगिको मग्गो)” tetapi sesuai dengan “Miccha Atthangika Magga (मिक्छ अत्थगिका मग्ग)” karena itu adalah jalan salah beruas delapan yang merupakan faktor-faktor yang mendukung kondisi kesadaran yang tidak bermanfaat termasuk timbulnya tidak kejahatan korupsi.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA)

 

Daftar Pustaka

Adnan Buyung Nasution, dkk. 1999. Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media.

Syed Husein Alatas. 1983. Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES.

http://birokrasi.kompasiana.com/2012/03/04/dampak-korupsi-terhadap-perekonomian-indonesia-444293. html

https://www.sugawa.id/nasional/10048436510/memalukan-ulah-oknum-bea-cukai-indonesia-masuk-tv-taiwan-akun-erick-thohir-pun-ditag-netizen.

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20230413082408-113-937096/bea-cukai-ri-disorot-media-asing-diduga-peras-turis-taiwan-di-bali

https://www.vecteezy.com/vector-art/4260781-business-man-keeps-a-sack-of-money-in-his-suit-anti-corruption-flat-vector-illustration

Butuh bantuan?