Berbisnis Atau Berdagang Bukanlah Budaya Indonesia

Home » Artikel » Berbisnis Atau Berdagang Bukanlah Budaya Indonesia

Dilihat

Dilihat : 38 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 74
  • 115
  • 62,203
Pic 2 Berbisnis Atau

Oleh: Gifari Andika Ferisqo 方诸德

 

Setiap negara pasti memiliki budayanya sendiri, salah satunya adalah budaya dagang atau bisnis. Di Indonesia, sekitar 70% orang tidak melek finansial, budaya di Indonesia tidak terbiasa dan tidak mendukung untuk membicarakan mengenai keuangan. Tidak jarang juga pebisnis atau pedagang di Indonesia harus berhadapan dengan kesulitan yang berasal dari pihak penyelenggara negara yang memiliki wewenang untuk memberikan perizinan. Persoalan perizinan inilah yang sampai saat ini masih menjadi persoalan penting dalam dunia bisnis, bahkan menjadi sumber munculnya suap, pungli, pemerasan, maupun gratifikasi.

Padahal berdagang atau berbisnis adalah urat nadi kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan. Bisnis memiliki potensi untuk menciptakan lapangan kerja, yang berkontribusi pada pengurangan angka pengangguran dan memberikan kesempatan bagi individu untuk meningkatkan keterampilan dan pengalaman kerja. Selain itu bisnis dapat membantu memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat dengan menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan. Dengan menyediakan barang dan jasa yang berkualitas, bisnis dapat memperbaiki kualitas hidup masyarakat, dan juga dapat berfungsi sebagai katalisator untuk inovasi dan kemajuan teknologi di berbagai bidang. Bisnis dapat membuat produk dan layanan yang lebih baik dan efisien dengan berinovasi, memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Namun, tidak semua kebudayaan menganggap berbisnis atau berdagang itu penting. Ada peradaban yang menganggap untuk mencapai kesejahteraan dengan jalan pintas bukan melalui berdagang atau berbisnis, tetapi melalui jalur birokrasi. Birokrasi Indonesia modern berakar dari gabungan birokrasi feodalisme tradisional Jawa era kolonial, dan turunan Kolonial Belanda. Karena mayoritas orang di Indonesia berasal dari etnis Jawa dan karena birokrasi di Jawa telah mendominasi sistem sosiopolitik pemerintahan Indonesia sejak zaman kolonial hingga saat ini. Negara berfungsi sebagai representasi dari kepentingan masyarakat, jadi perlu ada struktur yang menjembatani antara negara yang mewakili kepentingan umum dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus masyarakat. Namun, pendapat lain diutarakan dengan teori Karl Marx karena dia berpendapat bahwa negara hanyalah alat dari kelas yang berkuasa, yaitu kelas bangsawan di negara feodal dan kelas kapitalis di negara kapitalis.

Pendapat Karl Marx di atas sangat berkaitan dengan masalah birokrasi tradisional dan sangat cocok dengan sistem yang diterapkan di Indonesia meskipun cenderung enggan mengakui. Sulit dipungkiri bahwa dalam birokrasi tradisional pada umumnya, termasuk di Indonesia, kerajaan atau pemerintahan hanyalah alat dari golongan bangsawan untuk tujuan yang bersifat subjektif bagi mereka. Kekuasaan tradisional bersifat dominan dan sumber kekuasaan tradisional adalah waktu. Dominasi jenis ini bersandar pada pembangunan kepercayaan pada kesucian-kesucian tradisi masa lampau dan legitimasi atas status penggunaan kewenangan terhadap bawahan. Sistem ini juga bisa disebut sebagai sistem patrimonial.

Kehormatan, kemakmuran, dan kedudukan rakyat diatur oleh raja dalam negara kerajaan yang menganut sistem patrimonial. Jika seseorang memiliki tanah dan memberinya kepada anggota keluarga raja dan orang-orang yang dianggap berjasa kepada raja, mereka disebut lungguh. Keluarga raja disebut sentana, dan para pembantu raja disebut abdi dalem. Abdi dalem adalah anggota masyarakat yang duduk dalam birokrasi kerajaan dan berfungsi sebagai perantara antara raja dan kawula. Jika diadaptasikan ke sistem Indonesia modern seperti tidak asing dengan sistem ini hanya berganti casing tetapi secara konsep tetap sama hanya dilakukan transformasi dan penyesuaian sesuai tuntutan zaman. Raja adalah presiden, sedangkan sentana adalah keluarga presiden, lungguh adalah tim sukses presiden, para abdi dalem adalah menteri. Sistem seperti ini membagi anggota masyarakat menjadi dua kelompok yaitu, abdi dalem dan wong cilik. Raja memberi abdi dalem hak atas tanah dan menarik pajak dari rakyat tanpa batasan yang jelas, kemudian pajak tersebut kemudian diserahkan kepada raja setelah abdi dalem mengambil sebagian darinya. Di masa Indonesia sekarang, ini bisa ditelusuri sebagai cikal-bakal dari pungli (pungutan liar).

 

Cikal-Bakal Pungli (Pungutan Liar)

Dalam sistem birokrasi feodal tradisional di Jawa, raja juga merupakan bagian dari kultus kemegahan. Kekayaan itu terdiri dari banyak bagian, seperti banyaknya rakyat dan anggota keluarga raja yang kuat yang dapat terus hidup. Dengan jumlah rakyat yang banyak, kekayaan alam dan upeti kepada kerajaan akan meningkat. Dengan sumber pemasukan yang mencukupi, kerajaan akan dapat membentuk pasukan yang kuat dan birokrasi yang relatif lengkap untuk menunjang sistem pemerintahan. Ini yang kemudian dalam kondisi Indonesia modern menjadi jawaban jumlah populasi etnis Jawa yang begitu besar namun sayangnya tidak diimbangin oleh kualitas sumber daya manusia yang baik.

Lebih jauh ditelusuri, raja memang sangat menginginkan pungutan yang bear untuk dirinya, namun sumber uang yang didapatkan dari berbagai pungutan dan upeti menjadi tidak jelas besaran dan cara penghitungannya pada saat itu. Contoh sejarahnya pada Kerajaan Mataram Kuno, pungli dilakukan oleh pengantara yang dijabat mulai dari kepala daerah hingga pelayan biasa. Para pengantara ini sengaja menggelembungkan upeti untuk memperlancar urusan rakyat yang terkait dengan pemimpin tertinggi daerah. Ini ditemukan dalam Prasasti Kinewu dari tahun 907 M, di mana para rama, yang berfungsi sebagai kepala desa, pergi menghadap Rakryan I Randaman Pu Warna, penguasa wilayah Randaman.

Mereka meminta agar Rakryan merevisi penetapan pajak sawah mereka yang mereka anggap sangat memberatkan. Mereka dikenakan biaya sebesar tiga kati (2,4 kg), tiga suwarna emas, dan seekor kerbau untuk mengajukan permohonan. Namun, sayangnya, Sang Rakryan sudah meninggal sebelum membuat keputusan. Setelah itu, Rama mengunjungi Dyah Balitung, penguasa tertinggi Mataram Kuno. Mereka meminta sang Raja untuk mengurangi pajak sawah mereka. Mereka juga dikenakan biaya lima kati untuk Sang Raja dan lima orang Rakryan untuk mengajukan permohonan ini kepada Raja ini. Para pengantara sengaja melipatgandakan biaya-biaya itu. Mereka membutuhkan dana tambahan karena mereka menerima gaji yang sedikit dari pemerintah kerajaan.

Ini berlangsung terus hingga bangsa Belanda masuk ke tanah Jawa. Para bangsawan Jawa yang tidak bisa melawan namun melihatnya sebagai kesempatan untuk mengeskploitasi bersama. Pemerintah Kolonial Belanda akan memberikan mereka sejumlah imbalan besar apabila mereka berhasil membuat rakyat meningkatkan hasil panennya. Umumnya pemerintah Kolonial Belanda membayar dengan upah yang layak namun dibayar melalui para bangsawan Jawa yang dipercaya yang selanjutnya pemerintah Kolonial Belanda tidak mau tahu lagi urusan pembayaran itu karena merasa sudah bukan ranahnya.

 

Pungli (Pungutan Liar) di Zaman Indonesia Modern

Saat ini zaman Indonesia modern, pungli bertransformasi menjadi uang pelicin, uang rokok, uang masuk, uang makan agar urusan dapat selesai dengan cepat. Sehingga telah menjadi budaya oleh aparatur pemerintah, dan juga masyarakat.

Ada beberapa alasan mengapa orang melakukan pungli, pertama adalah penyalahgunaan wewenang; orang-orang yang tidak memiliki integritas terhadap posisi mereka cenderung melakukan pungli. Bahkan dalam Lokasutta, Ittivutaka 122, Buddha mengatakan bahwa pemimpin/pemerintah yang baik adalah yang melaksanakan apa yang dititahkan sesuai kesepakatan dan menjaga integritas diri.

Kedua adalah faktor ekonomi; seseorang cenderung melakukan pungli jika memiliki pendapatan yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Dalam Brahmana Vagga bait 11-12 menceritakan pada saat itu Buddha menyindir seorang Brahmana untuk bersikap jujur, dan para Brahmana yang memiliki tampilan luar yang bagus tetapi isinya ternyata ‘busuk’. Ini tidak berbeda jauh dengan para aparatur negara di tingkat legal negara dan para ormas (organisasi masyarakat) di tingkat ilegal negara yang sangat suka sekali dengan pungli dengan berbagai dalih.

Ketiga adalah faktor budaya, ini menjadi faktor utama yang menyebabkan pungli. Mengingatkan bahwa kebiasaan upeti dalam sistem kekuasaan Indonesia saat ini tidak lepas dari pengaruh Mataram Kuno, dan itu masih terbawa-bawa hingga sekarang. Pengaruh sejarah kekuasaan Jawa, khususnya dari Kerajaan Mataram Kuno, terhadap praktik kekuasaan di Indonesia. Mataram, salah satu kerajaan besar di Jawa, terkenal dengan sistem hierarki kekuasaan feodal yang ketat dan budaya upeti sebagai cara untuk menunjukkan pengabdian dan penghormatan kepada penguasa. Budaya ini masih terus lestari dan masih terus bertransformasi dengan berbagai kebiasaan dalam sistem pemerintahan kontemporer Indonesia, seperti korupsi, nepotisme, kolusi, dan pungli.

Efek budaya kekuasaan feodal pada praktik Indonesia modern mentransformasikan tradisi upeti dan menghasilkan pola hubungan kekuasaan patron-klien. Pola ini dapat dilihat dalam praktik korupsi Indonesia kontemporer, di mana pejabat atau pihak yang berkuasa menerima ‘upeti’ dalam bentuk suap atau gratifikasi sebagai bentuk pengakuan dan dukungan mereka. Serta juga bisa dilihat pada praktik nepotisme yang berakar dari tradisi sentana, yang mana anggota keluarga diusahakan untuk dijadikan pejabat publik dengan berbagai rekayasa aturan tanpa mempertimbangkan kemampuan.

Budaya kekuasaan yang diwariskan dari masa lalu, terutama dari Kerajaan Mataram Kuno, masih memengaruhi cara orang Jawa melihat kekuasaan dan berinteraksi dengan otoritas. Ini juga menunjukkan bahwa untuk memberantas korupsi di Indonesia, tidak hanya penegakan hukum yang ketat yang diperlukan, tetapi juga perubahan budaya dan pemahaman tentang kekuasaan.

 

Konklusi

Harta benda bukanlah tujuan hidup orang Jawa, seseorang atau raja dianggap lebih besar atau agung karena kesempurnaan atau nama besar, dan kekuasaan. Menurut orang Jawa mementingkan kekayaan atau materialisme dianggap buruk, tapi di lain sisi tetap menginginkannya. Itulah sebabnya budaya berbisnis atau berdagang tidak menjadi budaya yang mengakar kuat, sehingga pada zaman Indonesia modern tidak dilirik oleh investor atau dengan kata lain investor merasa jijik untuk berinvestasi di Indonesia, karena berakar dari feodalisme yang berujung pada pungli dan korupsi, serta ketidakpastian hukum untuk berinvestasi.

Bertolak belakang dengan Konfusianisme (儒家), dalam filsafatnya memiliki tujuan keteraturan masyarakat di dunia. Dalam praktik di dunia nyata lebih mirip seperti disiplin pengaturan strata militer, setiap orang dalam fase hidupnya punya peran dan setiap peran memiliki aturan. Masyarakat berazas Konfusianisme (儒家) berpeluang besar memiliki potensi sukses lebih baik. Dalam Konfusianisme (儒家), kejujuran dan integritas sering kali dianjurkan untuk diberikan reward sehingga orang menjadi terpacu dan ketagihan untuk melakukannya, namun juga ada punishment ketika kejujuran dan integritas diabaikan. Guru Agung Konfusius (孔子) mempelopori sistem ini menjadi sistem meritokrasi yang membangun kesadaran moral dan politik yang baik dan diimplementasikan ke dalam lima nilai/wǔcháng (五常), yaitu kesopanan/lǐ (礼), kemanusiaan/rén (仁), keadilan/yì (义), kebijaksanaan/zhì (智), dan integritas/xìn (信), maka ia baru akan dinilai sebagai seorang manusia yang mulia, dan jika dari kelima itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik maka belum bisa dianggap sebagai standard kelayakan manusia atau lebih seperti binatang yang bisa berbicara bahasa manusia.

Bagi Guru Agung Konfusius (孔子) dan Konfusianisme (儒家), pemerintah adalah orang terhormat, dan orang terhormat harusnya menghargai orang yang dapat dipercaya dan tidak berpikir picik terlebih sampai melakukan korupsi serta pungli. Berpikir picik berarti tidak menjunjung tinggi Kebajikan. Dalam pelaksanaan tugas yang besar, pemimpin seharusnya memerintah dengan kesadaran, tidak membuat yang lain menderita, tidak akan jadi perselisihan, bekerja sama dan saling menjunjung.

Penyempurnaan sikap dan perilaku seseorang yang menjadi pemimpin atau pemerintahan yang berkuasa adalah yang paling penting dalam pemikiran politik Konfusius (孔子). Kekuasaan dan kepemimpinan akan percuma bila tanpa kebajikan. Karena dengan melakukan kebajikan manusia akan mencapai kehidupan yang lebih baik, yang juga dikenal sebagai manusia unggul. Kemanusiaan yang baik juga dapat dicapai melalui kepemimpinan yang baik. Hanya kebaikan seorang pemimpin yang dapat mempertahankan keahliannya. Kepemimpinan tidak hanya didasarkan pada kemampuan dan keahlian seseorang; tanggung jawab dan sikap juga diperlukan untuk memegang jabatan.

Karena jika tidak bertanggung jawab ia akan kehilangan rasa hormat dari orang banyak. Pemimpin yang baik mengutamakan Kebajikan bersama dalam tatanan sosial masyarakat, serta tidak mengutamakan imbalan (pungli) dan tetap bersikap hormat dalam menjalankan tanggungjawabnya. Dalam sistem meritokrasi Konfusianisme (儒家), penilaian terhadap seseorang didasarkan pada seberapa baik mereka melakukan tugas atau sejauh mana mereka memiliki kompetensi yang relevan, sehingga mendorong keadilan dan efisiensi dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan. Dengan demikian, pemimpin yang benar-benar bijaksana dan bertanggung jawab akan mampu membawa keselarasan dan kesejahteraan, menghindari kekacauan, dan menjaga stabilitas sosial dan politik. Dengan begitu, sendirinya akan memunculkan iklim investasi yang aman dan nyaman, dan juga memunculkan ‘bibit’ budaya berdagang atau berbisnis, dan terbiasa dengan sistem persaingan, yang tidak selalu terpikirkan untuk menjadi pejabat negara untuk mendapatkan kekuasaan dan akses kekayaan.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka
• Ong Hok Ham. 2018. Pungli dalam Sejarah Kita dalam Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang. Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta.
• Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor.
• Priyo Budi Santoso. 1995. Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
• Seow, Jeffrey. 2002. Literatur Lengkap Ajaran Konfusius. Edited by Lyndon Saputra. Batam: Lucky Publishers.
• Kristan. 2015. Pemikiran Politik Konfusius, Mencius Dan Xunzi. Nuevos Sistemas de Comunicación e Información.
• Hartati, C. Dewi. “Pemikiran Konfusius Sebagai Landasan Pembentukan Karakter Budaya Bangsa Tionghoa.” Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952. 13, no. April (2021): 15–38.

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?