Oleh: Gifari Andika Ferisqo 方诸德
Rasisme menjadi sumber prasangka terhadap pihak lain yang berbeda, bahkan sumber kebencian. Gagasan utama Gordon Allport, tentang kecenderungan alami manusia untuk mengategorikan dan menyederhanakan dunianya, dalam hal ini termasuk kecenderungan untuk mengategorikan manusia dalam kategori tertentu. Manusia dapat saja mengategorikan manusia lain menurut warna kulit, dialek bahasa, cara berpakaian, aset ekonomi yang dimiliki, sesembahan yang dipuja, dan sebagainya. Intinya, mengategorikan orang adalah bakat alami manusia dan efek dari kegemaran mengategorikan ini akan menimbulkan tindak rasisme.
Rasisme Minoritas Terhadap Mayoritas di Indonesia Pada Era Modern?
Menurut Prof. Dr. Erika Revida, MS, dalam jurnalnya yang berjudul “Interaksi Sosial Masyarakat Cina dengan Pribumi di Sumatra Utara”, menyimpulkan bahwa faktor sulitnya membaur orang Tionghoa dengan orang non-Tionghoa yang sama-sama pendatang dan berujung pada sikap rasisme di Sumatra Utara karena adanya perbedaan orientasi, adat istiadat, agama, bahasa, struktur ekonomi dan partisipasi dalam bidang politik. Orang Tionghoa hanya memiliki persamaan orientasi dengan orang Batak saja sebagai non-Tionghoa di Sumatra Utara yang dalam kehidupan sosial umumnya orang tua cenderung sangat mempersiapkan anak-cucunya supaya sumber daya manusia (SDM)-nya berkualitas. Selain itu, Tionghoa dan Batak memiliki banyak kesamaan pola, mulai dari adat, filsafat hidup, sistem kekerabatan patrilineal, dan lain-lain. Maka, jangan heran jika kadang anda banyak menemui orang Tionghoa di Sumatra Utara yang bermarga Batak tanpa perlu membuang marga Tionghoa terutama di kota Medan. Meski tidak punya sama sekali darah Batak, melaui proses adat, mereka diizinkan menyandang marga sebagai halak hita. Tidak jarang juga jika ada orang Batak terutama yang dari kota Medan bisa berbahasa Hokkien, karena bahasa Hokkien memang lazim digunakan orang-orang Tionghoa di Sumatra Utara.
Perkawinan antara orang Tionghoa dengan orang Batak juga tidak terlalu dianggap aneh atau mendapat pertentangan hebat dari kedua belah pihak keluarga, terlebih jika keduanya beragama Kristen. Berbeda jika yang melakukan perkawinan antara orang Tionghoa dengan orang Jawa, maka pertentangan hebat dan drama besar bisa saja terjadi dalam keluarga, meski keduanya beragama Buddha misalkan. Begitu pun orang Batak, jika ada perkawinan antara orang Batak dengan orang Jawa, biasanya akan ada pertentangan dari pihak keluarga terutama dari keluarga pihak orang Batak, karena hal tersebut menyangkut adat dan marga yang merupakan harga diri dan harga mati keluarga yang akan diteruskan ke anak-cucu mereka. Tak heran jika pihak laki-lakinya dari Batak maka si perempuan yang harus mengikuti halak hita supaya mendapat marga Batak dan akan mengikuti pihak suami, tetapi jika perempuan yang dari Batak maka kasarnya perempuan itu sudah bukan dianggap seperti orang Batak lagi atau dengan kata lain disebut Batak dale dan akan mengikuti pihak laki-laki menjadi orang Jawa yang tidak memiliki marga dan tidak dapat meneruskan adat Batak meskipun jika keduanya beragama Kristen.
Fenomena rasisme yang lebih unik justru terjadi sejak tahun 2010 ke atas atau sejak saya SMA, yang saya perhatikan dan amati berdasarkan pengalaman pribadi, teman dekat, keluarga dan kerabat. Dulu saat masih sekolah saya selalu berpikir bahwa saya tidaklah rasis karena saya sejak SD bersekolah di Jakarta dan sekolah saya adalah sekolah yang dikelola yayasan Katholik yang sebagaimana kita ketahui siswanya terdiri dari berbagai macam suku-bangsa bahkan agama. Tetapi ketika saya kuliah sampai lulus dan bekerja saya menyadari bahwa saya ternyata rasis, setiap orang memiliki potensi untuk rasis. Dengan berkata, “saya tidak rasis” adalah bentuk pernyataan egois dan menyangkal kebenaran. Rasisme bisa saja muncul tidak hanya dari perbedaan warna kulit tapi juga dari perbedaan kebudayaan dan pola pikir yang membawa pada sekat-sekat peminggiran dan superioritas budaya tertentu. Saya juga menyadari bahwa rasisme melibatkan interaksi antar-individu dan kelompok menggunakan tindakan kekerasan baik psikologis maupun fisik.
Seperti yang pernah dikutip dalam penulisan sebelumnya bahwa saya mengikuti sebuah organisasi Buddhis bercorak Mahayana dari Taiwan semenjak kuliah. Di organisasi itu memang mayoritasnya adalah Tionghoa, tetapi ada juga dari kalangan non-Tionghoa yang mengikuti organisasi tersebut karena mereka mendapatkan beasiswa dari organisasi tersebut. Dulu saat sela-sela waktu setelah kegiatan organisasi tersebut, biasanya kami dari divisi muda-mudinya sering berpergian untuk sekedar hang out, tapi meski dari luar organisasi kami tampak solid tetap saja tindak rasisme terjadi, kami hanya bermain dengan sesama Tionghoa hingga membentuk komunitas (gang) tersendiri. Non-Tionghoa yang bisa ikut kami hanya mereka yang bisa mengikuti style dan gaya bercanda kami, dan itu juga yang saya sadari ketika itu, bahwa rasisme bukan hanya soal suku/bangsa atau agama, tapi juga soal ‘apakah kita bisa se-frekwensi?’, inilah pergeseran makna rasisme yang terjadi belakangan ini.
Atau cerita lain praktik rasisme saat akan kebaktian di suatu vihara, ada teman dari organisasi tersebut sangat rajin mengajak saya kebaktian pagi. Dia sering bertanya sehari sebelumnya, “kebaktian di mana besok kita?”, lalu saya menjawab, “di vihara X aja yuk.”, teman saya kembali menjawab, “yaelah, di sana sih banyak huana umatnya.”, dan tak jarang juga saya jadi mengikuti keinginan teman saya untuk kebaktian di vihara tertentu yang ia inginkan. Praktik rasisme tertutup seperti ini juga mengindikasikan bahwa ada rasa superioritas yang dimiliki saya dan teman saya tersebut. Mungkin juga karena kurangnya literasi yang saya dan teman saya miliki saat itu, dulu saat kuliah saya mengikuti sebuah organisasi keagamaan di kampus yaitu KMB (Keluarga Mahasiswa Buddhis), anggotanya 100% adalah Tionghoa, makanya saya sempat berpikir tidak ada non-Tionghoa di Indonesia yang beragama Buddha sampai pikiran keliru itu terhapus saat ke vihara Theravada yang juga ada umat Buddha dari non-Tionghoa.
Saat kuliah pun banyak juga teman kelas saya yang dari non-Tionghoa, tetapi saya mudah saja berbaur dengan mereka seperti berbaur dengan teman-teman non-Tionghoa di SD – SMA. Permasalahan utamanya bukanlah pada perbedaan suku/bangsa, agama atau adat istiadat, tetapi kembali lagi kepada se-frekwensi apa kita. Inilah pergeseran makna rasisme yang ada saat ini, adanya kesamaan latar belakang ekonomi, pendidikan, lingkungan, bahasa, logat dan sebagainya yang meskipun berbeda suku/bangsa atau agama tetap bisa ‘connected’ satu sama lain, karena manusia cenderung mencari persamaan. Berbeda saat saya bekerja di salah satu yayasan Buddhis di Jakarta, yang mana meski seluruh karyawannya beragama Buddha tetapi karena banyaknya perbedaan latar belakang membuat saya tidak merasa ‘connected’ satu sama lain, contohnya seperti saat kami harus berkomunikasi satu sama lain telinga saya sangat tidak nyaman dengan logat mereka bahkan terkadang bicaranya bisa dicampur dengan bahasa Jawa yang saya tidak pahami, terkadang saya berpikir keras, “dia ngomong apa sih?”, atau dalam beberapa kasus sering mengaitkan dengan kasus pekerjaan untuk solve the problem dengan kalimat seperti ini, “kalo di kampungku begini…”, sampai saya berpikir, “emang kampung lo center of universe? Kayak kampung lo Amrik aja! Lo pikir orang kampung, ini Jakarta kali perspective orangnya beda”. Perbedaan itu juga yang saya sadari terkadang dicari manusia sebagai legitimasi pembeda antara satu dengan yang lainnya.
Kasus rasisme lain juga ada dan masih di dalam inner circle saya, ketika sedang hang out bersama teman-teman saya di suatu tempat di Kelapa Gading, cewek-ceweknya saat itu sedang asyik bergosip tentang pacar baru dari teman kita juga tetapi tidak terlalu dekat, dan ada satu dari teman kami yang nyeletuk, “cowoknya huana tuh, bego pacaran sama fankuy, kayak nggak ada Chindo aja nggak lama juga bakalan putus!” sambil scroll akun Instagram teman kami tersebut. Ketika teman kami putus dengan cowoknya, tanggapan yang lain menunjukan kegembiraan dan juga ada yang berkata, “bener gue bilang kan, lagian cari perkara, udah tau nggak bisa, bakalan ciong!” (Ciong/Chong 冲 artinya pertentangan). Rasisme tertutup seperti ini muncul dari pola pikir yang secara tidak sadar dipengaruhi oleh ide dan norma-norma yang kita pahami; bentuk dari rasisme tersebut kemudian bisa termaktub dalam sistem yang kita buat. Dari pengalaman yang saya temui, rata-rata dalam urusan jodoh lebih memilih pasangan yang dari sesama Tionghoa tetapi beda agama dari pada seagama tetapi bukan dari Tionghoa, kasarnya lebih baik meneruskan marga dari pada memilih yang seagama. Tetapi ini sangatlah subyektif, karena teman baik saya yang di Amerika Serikat memiliki pacar yang bukan Tionghoa tetapi dari orang Dayak dan juga beragama Buddha, namun tidak ada dari kami yang mempermasalahkan, dan setelah dipikir-pikir kemungkinan karena berkaitan dengan fisik, seperti ciri fisik orang Dayak yang masih mirip Tionghoa dan saya juga mengakui bahwa gadis Dayak yang menjadi pacar teman baik saya tersebut juga good looking.
Sebenarnya kata ‘fan nyin/hoan lang’ pada dasarnya memiliki arti yang netral, kata ini berasal dari bahasa mandarin ‘Fan ren番人 yang artinya adalah ‘orang asing’. Kata ‘orang asing’ di sini mengacu kepada semua orang yang bukan keturunan Tionghoa. Orang Tionghoa yang menetap di Taiwan menggunakan kata ini untuk menyebut penduduk asli yang menetap di Pulau Formosa. Sementara itu, keturunan Tionghoa di Asia Tenggara menggunakan kata ini untuk menyebut penduduk asli yang tersebar di Asia Tenggara mengingat mereka belum terlalu mengenal orang-orang di Asia Tenggara pada masa itu sehingga semuanya mereka anggap sebagai orang dari luar kelompok mereka.
Tindak rasisme mungkin tidak hanya dialami manusia belakangan ini tetapi juga di dunia hewan, saya beberapa hari lalu scroll TikTok dan di FYP (For Your Page) saya muncul tentang seseorang yang memelihara kucing bercerita, kebetulan kucingnya adalah kucing kampung betina yang sedang birahi dan ada temannya di rumahnya yang kebetulan juga memelihara kucing ras British Shorthair dan kebetulan jantan. Bagi pecinta kucing tentu tahu kucing ras British Shorthair adalah kucing mahal dan berkelas, dan pemilik kucing kampung tersebut mengatakan, “kucing gue birahi nih, bawa aja kucing lo biar kawin nanti kan anaknya cakep-cakep”. Kemudian pemilik kucing ras British Shorthair tersebut berkata, “ya kali, bukan memperbaiki keturunan itu sih, ngerusak keturunannya kucing gue!”. Hal tersebut kemudian membuat pemilik kucing kampung sakit hati namun ia menanggapinya dengan tertawa untuk menutup rasa mirisnya bahwa tindak rasisme ternyata sudah merambah ke dunia hewan. Hewan mungkin saja tidak mengenal rasisme dan bisa berinteraksi dengan siapa saja, tetapi lingkunganlah yang mengondisikan tindak rasisme yang demikian.
Kesimpulan
Sebenarnya jika diteruskan masih sangat banyak sikap-sikap rasisme secara verbal maupun fisik dari teman, keluarga atau kerabat yang dirasa tidak layak untuk ditampilkan dalam penulisan ini. Karena sikap etnosentrisme juga turut menjadi akar dalam sikap rasisme tersebut, prasangka bisa terbentuk secara timbal balik, baik itu bagi yang merasa superior atau yang merasa inferior.
Sedangkan jika kita merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Alfred Adler dalam jurnalnya yang berjudul The American Journal of Individual Psychology, yaitu motivasi sesungguhnya dalam diri menusia adalah untuk mencari dan menjadi superior, dan juga adalah sesuatu yang wajar jika makhluk yang memiliki kesadaran lebih tinggi menaklukan makhluk yang kesadarannya lebih rendah.
Yang Mulia Dalai Lama XIV pada tanggal 29-30 Mei 2020, di Daramsala, India pernah berpesan untuk dunia dalam menanggapi rasisme yang terjadi di berbagai belahan dunia, Beliau berkata dalam bahasa Tibet yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris lalu saya terjemahkan ke bahasa Indonesia, “Pada dasarnya, kita sebagai makhluk hidup, hakikat kita adalah welas asih. Bahkan serangga yang kecil”.
Bahkan di dalam ajaran Buddhisme Zen (禅) dalam memahami rasisme, kita mengenal istilah ‘satori’ (悟り), yaitu dalam salah satu pemahamannya adalah penalaran logis cenderung dihindari dalam Zen (禅) karena satu alasan khusus, penalaran logis memasukkan orang ke dalam kerangka berpikir dalam kedudukan subyek dan obyek. Jika cara demikian ditempuh, maka semakin menjauhkan manusia dari pemahamannya, maka semakin menjauhkan manusia dari pemahamannya tentang kedudukan dirinya. Manusia akan tenggelam dalam dualisme kategori rohani dan jasmani. Contohnya seperti ini mudahnya, ketika kita lahir sebenarnya kita adalah ‘kosong’, tanpa label, tanpa nama, tanpa agama, tanpa mengenal doktrin, kewarganegaraan, ataupun identitas spesifik yang diberikan kepada kita. Kita mengenal diri kita dengan segala identitasnya karena diberikan oleh orang tua dan lingkungan sekitar kita. Jadi pada dasarnya bahwa inti kodrat diri bukan suatu entitas atau kenyataan yang dimiliki seseorang sebagaimana dipahami oleh akal. Memahami satori (悟り) tidak lain memperoleh penyadaran seperti Buddha yang tercerahkan, terbangun dari kesadaran dirinya sebagai manusia. Pada kondisi ini ‘aku’ dalam diri telah hilang. Aku tidak lain dari engkau, tempat aku tinggal, bunga-bunga, hewan-hewan liar di alam. Itulah tanggapan Zen (禅) berkaitan dengan rasisme bahwa kita harus memahami isi dari ‘satori’ (悟り) tersebut paling tidak untuk meminimalisir sikap rasis, tidak ada benar atau salah dalam menanggapi sikap rasisme tersebut.
Bagaimanapun pula rasisme tidak akan pernah mungkin atau mustahil untuk hilang, yang ada kita hanya bisa berdamai dengan sikap-sikap rasisme yang ada di sekeliling kita dan tidak mudah terpengaruh terhadap hal yang berkaitan dengan itu. Stereotype atau prasangka terhadap suatu suku/bangsa lain harus dilihat secara mendalam dan tidak berprasangka buruk jika kita tidak tahu bagaimana keadaan sebenarnya. Tetapi rasisme yang melahirkan streotype tidak dapat dicegah perkembangannya, kita yang harus pandai memberikan penilaian terutama ketika memiliki pengalaman pribadi dengan suatu budaya suku/bangsa yang memiliki streotype tertentu. Sikap hati-hati dalam mengahadapi suku/bangsa lain perlu untuk dilakukan. Kita harus saling terbuka terhadap suku/bangsa lain, jangan menutup diri dengan orang yang memiliki latar belakang berbeda dan memiliki streotype tertentu. Karena pada akhirnya seseorang akan dinilai sesuai karakternya masing-masing, bukan karena streotype yang diberikan orang lain.
Daftar Pustaka
- Adler, Alfred. 1952. The American Journal of Individual Psychology. EBSCOPsychology & Behavioral Sciences Collection. New York. United States of America.
- Buber, Martin.I and Thou. Charles Scribner’s Sons. New York. United States of America.
- 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- https://twitter.com/ethicsunwrapped/status/1227986351552966659?lang=fr diakses maret 2022.
- Jhonson Pardosi. 2008. Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat Perkawinan Batak Toba. Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Universitas Sumatera Utara. Volume IV No. 2. Oktober 2008.
- Mills, J. V. G. 1970. Ma Huan. Ying Yai Sheng Lan. The Overall Survey of The Ocean’s Shore. Cambidge University Press.
- Revida, E. 2006. Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina dengan Pribumi di Kota Medan Sumatera Utara. Jurnal Harmoni Sosial, hal. 23-27.
- Schutz, Alfred. 1967. The Phenomenology of the Social World. Illinois University Press.
- Setiawan, Akhmad. 1998. Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Spoonley, Paul. 1990. Ethnicity and Racism. Oxford University Press.
- 2010. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
- Suryadinata, L. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia.
- Suzuki, D. T. 1970, The Field of Zen. Harper & Row Publishers Inc. New York. United States of America.