Beretika: Bukan Cuma Soal Benar – Salah!

Home » Artikel » Beretika: Bukan Cuma Soal Benar – Salah!

Dilihat

Dilihat : 8 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 29
  • 65
  • 15,394
IMG-20211231-WA0007

Oleh: Majaputera Karniawan, S.Pd

Seorang master Zen Jepang bernama Bhiksu Tanzhan dan muridnya Ekido dalam pengembaraan, saat sampai di sungai, mereka bertemu seorang gadis cantik yang lemah gemulai tampak gelisah saat mau menyeberangi sungai, karena arusnya cukup deras. Sang Master tanpa berpikir panjang langsung menawarkan diri untuk membantunya. Ia pun menggendong gadis tersebut agar dapat menyeberangi sungai yang cukup deras. Setelah sampai seberang, si gadis berterima kasih dengan membungkuk dan pergi.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan selama setengah hari muridnya terus memikirkan gadis tersebut dan etika monastik kebhiksuan yang telah dilanggar gurunya. Pada akhirnya ia memberanikan bertanya “Sifu, kita kan bhiksu, tidak boleh dekat-dekat wanita, kenapa kau lakukan gendong gadis itu tadi?” dan Sang Master menjawab: “Ha? Wanita apa maksudmu kawan? Saya sudah tidak membawanya lagi sejak dari tadi. Kamu masih menggendongnya?” di sini Sang murid terpaku dan sadar bahwa gurunya melakukan hal tersebut bukan atas dasar nafsu, tetapi karena tergerak spontan ingin menolong gadis tersebut (Chung & Koh 1991: 22).

Apa yang dilakukan master zen tersebut secara etika monastik kebhiksuan pasti disalahkan, tetapi apakah bisa sepenuhnya disalahkan? Akan ada perdebatan tentang hal ini, tetapi kita bisa menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan filsafat dahulu sebagai penengah. Dalam ranah filsafat etika, setidaknya ada tiga pandangan etika dengan paradigma dan orientasi yang berbeda (Ratnawati, dkk 2014: 1.22 – 1.35) yaitu:

  1. Etika Deontologi: Suatu perbuatan dipandang baik atau buruk dengan melihat apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak berdasarkan kewajiban dari peraturan yang berlaku. Etika ini hanya melihat berdasarkan pemenuhan kewajiban semata, tidak memandang akibat dari satu perbuatan akan berakibat baik atau buruk.

Ketika dalam situasi dilematika, pandangan Etika Deontologi akan mengarahkan seseorang untuk: “Lakukanlah apa yang menjadi kewajibanmu sebagaimana terungkap dalam norma dan nilai-nilai moral yang ada”.

  1. Etika Teleologi: Suatu perbuatan dipandang baik atau buruk dengan melihat tujuan ataupun dampak akibat dari perbuatan tersebut. Etika ini lebih bersifat situasional dan subjektif. Ada dua jenis etika teleologi: (1) Egoisme Etis, setiap perbuatan yang mendatangkan kebahagiaan bagi diri sendiri dipandang baik secara moral, sebaliknya jika menyengsarakan dipandang buruk secara moral; (2) Etika Utilitarianisme, setiap perbuatan dipandang baik sepanjang dapat bermanfaat baik bagi sebanyak mungkin orang.

Ketika dalam situasi dilematika, pandangan Etika Teleologi akan mengarahkan seseorang untuk: “Lihatlah tujuan dan akibat dari perbuatan yang akan anda pilih dan lakukan

  1. Etika Keutamaan (Virtue Ethics): Suatu pribadi tidak bisa dipandang bermoral baik/buruk dengan hanya melihat satu perbuatan saja, tetapi apakah dalam setiap situasi ia selalu mempunyai posisi, kecenderungan, sikap, dan perilaku moral yang terpuji dan tidak berubah. Sikap dan perilaku moral tersebut didapatkan dari nilai-nilai moral (virtue) berdasarkan ajaran kisah-kisah teladan tokoh agama atau tokoh kebudayaan. Contoh: seseorang mengikuti moral tokoh agama bernama “A” yang mengajarkan saling percaya, kejujuran, kasih sayang, kemurahan hati, rela berkorban, dll.

Ketika dalam situasi dilematika, pandangan Etika Keutamaan akan mengarahkan seseorang untuk:  “Teladanilah sikap dan perilaku moral tokoh-tokoh yang kita kenal, baik dalam masyarakat, sejarah, atau cerita yang diketahui. Lakukan seperti yang dilakukan tokoh moral tersebut, itulah tindakan yang benar secara moral”.

Perlu diketahui etika moral bukan sekedar berkaitan dengan pelaksanaan aturan semata, namun sangat berkaitan dengan keluhuran dan keunggulan manusia, manusia dipandang sebagai mahluk luhur yang rasional, dan memiliki kehendak bebas (Priastana: 2018: 22). Sehingga moral tidak cukup apabila dipandang sebatas legalisme (selalu bertindak sesuai peraturan atau SOP) saja dengan menilai seseorang dari luar atau lahiriah dan maksud yang baik (Magnis, 1979: 33-34).

Buddhisme memandang seseorang dapat berlaku berdasarkan 3 orientasi (AN3.40 Adhipatteya Sutta): (1) Menjadikan diri sendiri sebagai otoritas (Attadhipatteya); (2) Menjadikan khalayak luas atau dunia sebagai otoritas (Lokadhipatteya); (3) Menjadikan hukum kebenaran mutlak atau Dhamma sebagai otoritas (Dhammadhipatteya). Buddhisme lebih menekankan otoritas hukum kebenaran (Dhamma) sebagai otoritas berperilaku seseorang. Karena otoritas yang lainnya baik diri sendiri ataupun orientasi khalayak luas cenderung subjektif dan kemungkinan terdistorsi oleh empat jalan kesalahan (Agati, DN33. Sangiti Sutta) yaitu Keserakahan, Kebencian, Kegelapan Batin, dan Rasa Takut.

Juga bukan sekedar orang beretika-moral karena menaati peraturan semata. Ambil contoh dalam AN7.50 Methuna Sutta disana Buddha bilang seorang Brahmana dapat saja mengaku menjalani kehidupan selibat dan menghindari asusila, tetapi ia sendiri menyetujui ketika dipijat, dimandikan, bermain, bersenda gurau dengan wanita, tetap saja ia terbelenggu oleh ikatan seksualitas. Maka kembali kepada bagaimana seseorang menjaga pikirannya.

Jika Zen Buddhisme senantiasa menyatakan bahwa hakikatnya kembali kepada Pikiran/Hati (Xin/Sim 心) maka Buddhisme awal mengatakan bahwa segala sesuatu dipelopori oleh pikiran (Dhp.1), sehingga jika seseorang melakukan sesuatu dengan motivasi yang buruk/salah, maka meskipun tidak melanggar SOP atau peraturan, tetapi tetap saja akibatnya adalah perbuatan buruk. Maka seseorang perlu ditanamkan moral yang baik agar tidak menderita karena akibat perbuatannya sendiri.

Dalam konteks Buddhisme yang menjadi penjaga Moral utama adalah Hiri dan Ottapa (Malu berbuat salah dan takut berbuat salah) yang menjadi pemikiran dalam lima aturan moral dasar (Pancasila): Menghindari membunuh, menghindari mencuri, menghindari berzina, menghindari berbohong, dan menghindari meminum zat memabukan.

Sedangkan nilai-nilai luhur ada di banyak konsep, salah satunya di konsep Dasa Paramitta: Kedermawanan (dana), moralitas (sila), pelepasan (nekkhama), kebijaksanaan (panna), kesabaran (khanti), kebenaran (sacca), semangat (viriya), tekad (adhitthana), cinta kasih (metta), keseimbangan batin (upekkha).

Konfusius sendiri memandang membangun moral etika lewat pendidikan dengan mengutamakan nilai-nilai kebajikan. Baginya jika rakyat dibimbing dengan undang-undang dan hukuman saja maka akan membuat rakyat sebatas menghindari melanggar aturan saja serta kehilangan perasaan-harga diri, tetapi jika dibimbing dengan kebajikan dan kesusilaan membuat rakyat secara otomatis tumbuh harga diri dan berusaha hidup benar (Lun Gi II: 3). 

Dengan menjadi bermoral dikatakan seseorang menjadi berperi-Cinta Kasih, dasarnya sangat sederhana: Apa yang tidak susila jangan dilihat, jangan didengar, jangan dibicarakan, dan jangan dilakukan (Lun Gi XII: 1), serta sikap tepa salira, apa yang diri sendiri tidak inginkan jangan diberikan pada orang lain (Lun Gi XV:24). Sedangkan nilai-nilai luhur ada di Delapan Kebajikan (Ba De/Pat Tik 八德): Bakti, Rendah hati, Setia, Dapat dipercaya, Susila, Bijaksana, Suci Hati, dan Tahu Malu.

Taoisme memandang keutamaan moral harus dengan meneladani sifat orang suci, dikatakan orang suci pandai mengikat (menahan) diri tanpa memakai tali serta tidak menelantarkan orang lain, orang yang bermasalah harus bisa menemukan panutan untuk memperbaiki dirinya dan orang suci harus dijadikan guru bagi yang bermasalah (Dao de jing 27), dalam hal sumber nilai moral, orang yang berlandaskan pada ajaran Tao menjadikan Dao/Tao 道 (Kebenaran hakiki) itu sendiri sebagai otoritas tertinggi yang diwujudkan dalam De/Tek 德 (Kebajikan yang berkepanjangan) dalam kehidupan sehari-hari (Lika, 2012: iv).

Wujud dari nilai-nilai moril tersebut muncul dalam 10 sifat Tao (Changiato, 2020): Xu Yu (Kosong), Ziran (Alamiah), Qingjing (Tenang), Wuwei (Tanpa intensi), Chunqui (murni), Supu (polos), Pingyi (sederhana), Tiandan (ringan), Ruoruo (lembut), dan Buzheng (tidak berebut).

Jadi kembali salah atau tidak satu perbuatan seseorang tidak dapat diputuskan dengan dipandang dari satu sisi aspek saja, meskipun mungkin secara etika kewajiban atau deontologi dikatakan salah, tetapi alasan keutamaan dibalik perilaku tersebut juga harus diperhatikan bukan? 

 

Daftar Pustaka

Changiato, Ardian. 2020. Video: Pengenalan Daoisme Bagian 3 (terakhir). Diakses via Youtube Channel Budaya Tionghoa pada Desember 2021.

Chung, Tsai Chih & Koh Kok Kiang. 1991. Zen Membebaskan Pikiran. Jakarta. Penerbit Karaniya.

Lika. ID. Dao De Jing Kitab Suci Utama Agama Tao. Jakarta. Elex Media Komputindo.

Magnis. Franz Von. 1979. Etika Umum. Yogyakarta. Kanisius.

MATAKIN. 2010. Su Si (Kitab Yang Empat). Jakarta. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).

Priastana, Jo. 2018. Etika Buddha, Moralitas Mandiri dan Keterlibatan Sosial. Jakarta. Yasodhara Puteri.

Ratnawati, Tina. Dkk. 2014. PWKL 4302Etika Lingkungan, Modul 1. Tangerang Selatan. Universitas Terbuka.

Sloan review. https://sloanreview.mit.edu/article/ethics-or-compliance-in-a-crisis/ diakses Desember 2021

Suttacentral.net (Online legacy version). Digha Nikaya, Anguttara Nikaya, Dhammapada. http://www.legacy.suttacentral.net/ Diakses Desember 2021.

Butuh bantuan?