Berkah Ekonomi Buddhis Mewujudkan Psikologi Sukha dan Kebahagiaan Masyarakat

Home » Artikel » Berkah Ekonomi Buddhis Mewujudkan Psikologi Sukha dan Kebahagiaan Masyarakat

Dilihat

Dilihat : 24 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 4
  • 29
  • 31,190
IMG-20220107-WA0010

Oleh: Jo Priastana

 

“Tidak ada masyarakat yang dapat berkembang dan bahagia,

di mana sebagian besar anggotanya miskin dan sengsara” (Adam Smith)

Tindakan ekonomi dalam mencapai kesejahteraan material hanya bermakna bila dikaitkan dengan kebahagiaan. Pencapaian tujuan ekonomi sangat penting dalam rangka untuk melihat pendasarannya kepada aspek psikologi seperti kebahagiaan manusia. Di dalam Buddhadharma, apa yang mungkin dimaksud dengan kesenangan dan kebahagiaan material-duniawi masih dapat dikategorikan sebagai penderitaan atau dukha.

Perbedaan antara kesenangan dan penderitaan pada umumnya seringkali dipahami hanya menyangkut tingkatan psikologis, seperti misalnya lebih banyak penderitaan berarti kurangnya kesenangan (kamasukha). Begitu pula sebaliknya, apa yang dimaksud dengan kebahagiaan hanyalah lebih banyak kesenangan ketimbang penderitaan.

Dalam pandangan ekonomi pada umumnya, tujuan akhir dari ekonomi adalah kesenangan (yang di banyak kesempatan dianggap sebagai yang berguna), dan seringkali   disamakan dengan kebahagiaan. Tetapi, dalam pandangan Buddhis, kesenangan itu hanyalah tingkatan dari kebahagiaan yang sejati (sukha). Kesenangan tidak sama dengan sukha itu sendiri.

Dalam tujuan ekonomi pada umumnya, apa yang dimaksud dengan kebahagiaan lebih dekat kepada kesenangan (hedonisme atau kamasukha) ketimbang sukha (kebahagiaan sejati). Sedangkan dalam Buddhadharma kesenangan atau kenikmatan (kamasukha) atau yang dikenal juga sebagai samisukha hanyalah salah satu jenis dari sukha (kebahagian sejati)

 

Spiral Keinginan

Penting melihat perbedaan tujuan ekonomi dari pendasarannya secara psikologis. Kesenangan inderawi yang menjadi tujuan ekonomi pada umumnya hanya merupakan suatu jenis sukha (kebahagiaan sejati). Kesenangan inderawi yang dikira kebahagiaan ini juga dapat membawa kepada penderitaan (dukha). Dukha yang merupakan hasil dari keinginan dan yang juga akan  menimbulkannya kembali menjadi spiral keinginan tak berujung.

Pemuasan dari pemenuhan nafsu atau kenikmatan indewawi pada kenyataannya menyumbang kepada penderitaan dalam suatu lingkaran yang berkelanjutan. Sepertinya tujuan ekonomi seperti itu adalah perjuangan keinginan yang tiada berujung.

Hendaknya dipahami ada kebutuhan psikologi yang jauh lebih besar dari sekedar hedonisme atau kamasukha. Hedonisme atau kesenangan inderawi hanyalah menjadi input atau bahan bagi terselenggaranya penderitaan atau dukha. Dan segala yang mendatangan dukha tidak dapat dipandang sebagai sukha (kebahagiaan sejati).

Karena itu, dalam pandangan ekonomi Buddhis, kenikmatan yang diperoleh melalui nafsu inderawi itu dianggap sebagai bentuk penderitaan (dukha). Pandangan mengenai kebahagiaan Buddhis berbeda dari pandangan ekonomi pada umumnya.

 Pencapaian kebahagiaan dalam Buddhis juga melibatkan tindakan-tindakan ekonomi, dan untuk maksud itulah sesungguhnya ekonomi dalam pandangan Buddhis, ekonomi selayaknya mendatangkan berkah kebahagiaan dan bukan penderitaan dengan spiral keinginan yang tiada henti-hentinya..

Kebahagiaan sejati (sukha) dalam Buddhis jauh lebih luas dan dalam melampaui kebutuhan fisik dan psikologis yang berkisar pada kesenangan inderawi (kamasukha) dan kesejahteraan duniawi. Kesenangan inderawi yang kerap menjadi ukuran kebahagiaan menjadi pencapaian serta tujuan dalam pandangan ekonomi pada umumnya.

Pleasure atau kenikmatan inderawi menjadi tujuan dalam aktivitas ekonomi sebagaimana dalam pandangan ekonomi pada umumnya. Namun dalam perspektif Buddhis, kesenangan inderawi ini hanyalah merupakan percikan kecil dari kebahagiaan sejati atau sukha.

Seringkali pencapaian ekonomi pada umumnya hanyalah berkisah pada kesejahteraan fisik dan pemuasan yang berdasarkan kwantitatif. Problem kemiskinan dalam pandangan ekonomi pada umumnya, misalnya dianggap dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi yang akan mendatangkan penambahan penghasilan dimana dengan penghasilan yang bertambah  dipastikan akan mendapatkan more happiness, kebahagiaan hidup.

Memang masih menggejalanya kemiskinan material dan kesengsaraan dalam suatu negara tidak memungkinkan masyarakat menjadi bahagia dan negara bisa berkembang. Namun, sungguhkah kebahagiaan hidup hanya dapat dipastikan melalui angka-angka pertumbuhan ekonomi? Kemiskinan tetap bisa menjadi ancaman terhadap tegaknya moralitas karena dapat menimbulkan kriminalitas. Tetapi dunia materi dan kesenangan hendaknya tidak semata dipandang sebagai tujuan dari ekonomi, karena ekonomi bukan hanya untuk kesejahteraan material namun juga kebahagiaan melalui terciptanya beragam sarana-sarana kehidupan yang memungkinkan anggota masyarakat bertumbuh.

  Hendaknya juga diwaspadai bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi dan kenikmatan inderawi yang berdasarkan pandangan ekonomi pada umumnya, dan yang tidak luput dari spiral keinginan serta terjerat dalam keserakahan, secara mutlak hanya akan berakibat kepada kecepatan perusakan sumber daya alam. Tujuan ekonomi seperti itu, pada akhirnya berujung pada bencana ekologis, mengakibatkan krisis lingkungan, dan bahkan bertambahnya kemiskinan, ketidakpuasan secara psikologis dan dukha.

Nafsu inderawi yang menjadi spiral keinginan mewujud keserakahan dan tidak dapat dipuaskan sepenuhnya oleh alam. Spiral keinginan  yang menjadi dasar perjuangan ekonomi pada umumnya tidak memperoleh daya dukung alam, karena alam hanya memberikan kecukupan yang bebas dari keserakahan.

 

Kesejahteraan Ekonomi

Praktek dari pandangan kesejahteraan material duniawi itu hampir mustahil tidak mewujudkan kebahagiaan umat manusia. Bahkan dalam kenyataan, praktek ekonomi seperti itu hanya ada di tangan mereka yang memiliki lebih kekuatan politik dan ekonomi, seperti persekutuan penguasa dan penguasa dalam oligarki, dan karenanya hanya mereka saja yang menerima lebih untuk konsumsi, di tengah jurang kemiskinan dan penderitaan yang terus melebar.

Sementara mereka yang sedikit memiliki sumber-sumber untuk konsumsi biasanya hanya bisa membayangkan bahwa seseorang yang memperoleh lebih akan juga memperoleh lebih kebahagiaan. Lalu dimana tujuan ekonomi seperti itu mendatangkan kesejahteraan sosial dan keadilan, serta keramahtamahan terhadap sumber daya alam?

Sesungguhnya mereka yang mencoba menemukan kebahagiaan yang berpusat hanya dalam konsumsi tidak akan mendapatkannya. Pada akhirnya seluruh negara tidak pernah menemukan sukha (kebahagiaan sejati), meskipun pemikiran ekonomi menyatakan pendapatan ekonomi masyarakat dan negara semakin meningkat.

Karena itu, masyarakat pun pada akhirnya memandang bahwa kesejahteraan ekonomi itu bersifat relatif dan tidak bisa menyelamatkan kemiskinan yang nyata. Kemiskinan tetap masih menggejala, seperti tampak adanya ketidak-adilan ekonomi dan kesenjangan sosial maupun tingkat kepuasaan psikologis yang tiada pernah terpenuhi. Hal itu bisa diibaratkan dengan mengejar ilusi dan bukan penyelesaian problem yang sesungguhnya dari kehidupan manusia dan sesama serta lingkungannya.

Pemikir sosial ekonomi Buddhis, David Loy (1999) menggambarkannya, bahwa keterikatan kepada sistem ekonomi seperti itu dianalogikan dengan seekor ular yang hendak ditangkap tetapi pada akhirnya melilit dan mematuknya, dan ekonomi berakhir pada tujuan yang keliru. David Loy lebih jauh menyarankan untuk melihat hakekat dari problem ini tidak sekedar dengan mengidentifikasi sebagai problem kemiskinan material semata  tetapi lebih pada problem dukha atau kesengsaraan penderitaan yang dialami manusia, meski problem kemiskinan yang dialami banyak manusia itu sangat penting untuk diatasi.

Penyelamatan dari problem dukha sangat jauh berbeda dibandingkan dengan penyelamatan problem kemiskinan atau cita-cita kesejahteraan material. Problem dukha secara aktual dapat diselamatkan dengan tidak memandang status politik dan ekonomi namun pada kebutuhan nyata psikologis manusia untuk mendapatkan kebahagiaan sejatinya, dan tindakan ekomomi diarahkan untuk itu.

Dalam pandangan ekonomi Buddhis, makna dari kebahagiaan, happiness (sukha) itu mengandung samissukkha maupun niramisukkha. Samissukha adalah kamasukha, sebagai kesenangan dan kenikmatan inderawi atau hedonisme. Sedangkan niramisukha meliputi jhanasukha atau sukha hasil dari meditasi, kehidupan yang reflektif dan pencapaian nibbanasukha (kebahagiaan yang bebas dari keterikatan hawa nafsu).

Nibbanasukkha secara epistemologi berarti mengenali “the truth dan reality,” sebagaimana “apa adanya”.  Nibbbanasukkha merupakan pembebasan yang sempurna yang mengatasi segala kenikmatan inderawi. Nibbanasukha mengatasi perolehan duniawi sebesar apa pun mampu menerima dan melihat sebagaimana “apa adanya”, dan tidak dikejar-kejar perburuan “adanya apa”.

Tujuan dari Buddhadhamma atau bahkan ekonomi Buddhis adalah untuk memberanikan setiap orang mencapai nibbanasukha, yakni dengan minimalisasi keinginan atau konsumsi dan memaksimumkan kepuasan (Schumacher, 1982).

Meskipun, dalam kenyataannya hal ini mungkin tidak realistik untuk mengharap setiap orang mencapainya dan mengingat setiap orang memiliki level yang berbeda mengenai kemampuan mengerti segala sesuatu. Meski begitu, tetap saja ekonomi Buddhis yang bercirikan wisdom ini patut disuarakan dan bisa menjadi aspirasi untuk diaktualisasikan, karena di dalamnya mengandung intensionalitas (keterarahan) yang menjadi cita-cita dan dambaan kebutuhan psikologi manusia yang terdalam.

 

Saintifik dan Gross National Happiness

Mengingat kondisi akan keterbatasan sumber daya alam dan rusaknya lingkungan yang saat ini terjadi diakibatkan oleh penerapan kebijakan pertumbuhan ekonomi, maka tujuan pencapaian  niramisukkha bisa menjadi sesuatu yang menarik dan patut dikaji secara saintifik.  Inilah yang pantas dan sejalan bagi proyek ekonomi manggala, dimanai nibbana saccakiriya (mencapai nibbana) dalam arti pencapaian kebagaiaan menjadi kajian ekonomi Buddhis secara saintifik, sebagaimana juga yang dilakukan antara Buddhism dan neuroscience.

Shizen Young, seorang guru Vipassana sangat menyakini bahwa Buddhadharma tidak bertentangan dengan perkembangan di dunia ilmu pengetahuan, seperti penelitian yang dilakukannya berkenaan dengan adanya korelasi antara meditasi dan perkembangan otak manusia, mind terhadap brain, bahwa meditasi juga memberi efek positif bagi perkembangan otak (brain), yang tujuannya adalah untuk pencapaian kebahagiaan.  

“the first and greatest scientific of human happines and claims Buddhism can be improved upon by incorporating the insights of science.” (Young, 2013).

Semoga berkah kehadiran Buddhadharma yang juga perlu pengkajian secara saintifik ini, baik psikologi dan ekonomi maupun ekonomi yang tidak lepas dari psikologi manusia sungguh mewujudkan kebahagiaan sejati, sebagaimana doa umat Buddha “Semoga Semua Makhluk Bahagia”, Sabbe Satta Bhavanthu Sukhitata.

Paradigma psikologi kebahagiaan atau sukha di dalam capaian tujuan ekonomi dari pandangan ekonomi Buddhis ini, kini juga telah mencuri perhatian banyak negara. Indeks pertumbuhan ekonomi dalam mengukur kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara berupa GNP (Gross National Product) yakni totalitas barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu periode, kini bersaing dengan GNH (Gross National Happiness) yang mengukur kesejahteraan masyarakat berdasarkan tingkat kebahagiaan sebagaimama yang telah terbukti pada negara Bhutan.

Paradigma ekonomi Buddhis yang menekankan kepada kebahagiaan, menyentuh kualitas kehidupan masyarakat dan tidak sekedar angka statistik pertumbuhan ekonomi nyatanya juga telah menginspirasi pembangunan ekonomi di banyak negara. Paradigma ekonomi Buddhis ini nyatanya juga sejalan dengan E.F. Schumacher, seorang ahli dan penulis buku pembangunan ekonomi terkenal, “Small is Beautiful, atau Kecil itu Indah”.

E.F. Schumacher, ekonom yang sejak tahun 1970-an mengembangkan pemikiran pembangunan ekonomi berlandaskan prinsip ajaran Buddha seperti jalan tengah Buddha ini, mengungkapkan: Pembangunan ekonomi adalah sesuatu yang jauh lebih luas dan lebih dalam dari ekonomi, apalagi ekonometrik. Akarnya terletak di luar bidang ekonomi, dalam pendidikan, organisasi, disiplin dan, lebih dari itu, dalam kemandirian politik dan kesadaran nasional akan kemandirian. (https://azsayings.com) (JP).

***

Sumber:

https://miro.medium.com/max/500/1*XYGsmdD-geDkSBD3WbeXig.jpeg

Butuh bantuan?