Oleh: Jo Priastana
“Sex is the seed, love is the flower, and
samadhi (kesadaran tertinggi) is the fragrance”
(Osho, 1931-1990, Filsuf, Spiritualis)
“Skandal Seks dan Pemerasan 11 Biksu Thailand Picu Kemarahan Publik. Sebuah skandal pemerasan seksual baru-baru ini menodai citra para biksu Buddha dan mengurangi kepercayaan masyarakat Thailand terhadap institusi keagaman.” Dikutip dari France 24, Jumat (18/7/2025), pihak kepolisisan Thailand pada bulan Juli 2025 menangkap seorang perempuan yang diduga menjalin hubungan seksual dengan setidaknya 11 biksu. Tak hanya itu, perempuan tersebut juga melakukan pemerasan kepada para biksu dengan ribuan foto rahasia yang merekam hubungan tersebut (Kompas.com, 19 Juli 2025. 11.00 WIB).
Diberitakan juga, para biksu dikabarkan telah membayar hampir 12 juta dolar AS atau sekitar Rp. 195,7 miliar (kurs hari Sabtu, 19/7/2025) yang sebagian besar berasal dari dana biara. Dana biara tersebut bersumber dari sumbangan masyarakat yang berharap memperoleh pahala serta untuk meningkatkan prospek reinkarnasi mereka. Skandal seksualitas bhiksu/bhikkhu menjatuhkannya di mata umat, karena Bhiksu adalah panutan umat dalam cara hidup kesucian, dalam memberikan contoh dan teladan dalam spiritualitas dan moralitas seksualitas, tidak melakukan pelanggaran moral cara-cara yang salah dalam seksualitas atau kamesumicchacara maupun tertera sebagai vinaya bhikkhu.
Seorang panutan seperti bhiksu adalah orang yang dewasa secara moral yang pantasnya mampu melihat seksualitas dengan penuh kesadaran. Seks memang bagian alami dari keberadaan manusia, namun ia juga tidak semata biologis. Seks juga bisa dlihat dari psikologi dan relasi human, sebagai sumber koneksi emosional dan keintiman, diekspresikan dengan kesadaran empati, maupun tanggung jawab seperti dalam institusi perkawinan. Tapi tindakan seksualitas itu sepatutnya tidak berada dalam institusi Sangha karena para bhikkhu menjalani hidup selibat sesuai peraturan vinaya sebagai dasar moralitas untuk perjalanan spiritualitasnya dan pencapaian kesuciannya.
Basic Instinct
Seks merupakan bagian alami makhluk hidup, dorongan instingtif baik binatang maupun manusia. Sebagai insting dasar, dorongan seks itu begitu kuat, dikejar oleh manusia yang bahkan akan tetap ingin menikmati seks meski akan mati. Naluri seks dan naluri kematian itu sepertinya menyatu seperti banyak terjadi dalam binatang tertentu, binatang yang tidak hidup dalam kesadaran seperti manusia. Manusia memiliki kesadaran yang mampu menguasai basic instinct-nya sebagaimana para bhiksu/bhikkhu yang hidup dalam kesadaran. Sedangkan mereka yang dikuasai instingnya, hidupnya bagai binatang yang hanya mengikuti naluri dan akhirnya membawanya kepada kematian sebagai sebagai pejalan kesucian.
Kesadaran cermin keluhuran kehidupan manusia yang bila tanpanya layaknya hidup bagai binatang. Bagaimana bila naluri seksualitas dan naluri kematian itu datang bersamaan, menikmati seks dan kemudian mati seperti yang terjadi pada binatang laba-laba Praying Mantis dan Black Widow. Dalam beberapa spesies, betina memakan pejantan setelah atau bahkan saat kawin. Menariknya, pejantan tetap melakukan hubungan seksual, kadang bahkan menyerahkan diri secara pasif. Dalam beberapa kasus, ini dianggap sebagai strategi evolusioner: memberikan nutrisi tambahan agar betina dapat menghasilkan telur yang sehat sehingga gen pejantan tetap diteruskan.
Ada juga binatang lainnya. Pejantan semelparous (contoh: antechimus-marsupial kecil Australia). Antechimus jantan (hewan mirip tikus) menjalani seks maraton selama musim kawin. Mereka berhubungan seks selama 12-14 jam nonstop dengan banyak betina. Setelah musim kawin berakhir, testosteron meningkat tajam. Sistem kekebalan tubuh rusak, dan mereka mati karena kelelahan biologis. Mereka seperti “mengorbankan diri” untuk menyebarkan gen. Mereka tidak secara sadar seperti manusia. Naluri biologisnya mendorong mereka menjalani seks sebagai aksi terakhir dalam hidup.
Tidak ada bukti bahwa hewan menikmati seks sambil sadar bahwa mereka akan mati, karena binatang memang tidak memiliki kesadaran. Kesadaran reflektif tentang kematian adalah kapasitas unik yang dimiliki manusia. Tapi haruskah manusia yang hidup sepenuhnya didasari moralitas dan kesadaran harus menjalani hidup seperti spesies binatang, yang menjalani hidup semata secara biologis, mengorbankan diri demi seks?
Seksualitas sebagai dasar kehidupan makhluk hidup manusia menyentuh batas antara biologi, naluri, dan kesadaran. Secara umum hewan tidak memiliki kesadaran tentang kematian seperti manusia, karenanya binatang hidup dalam naluri. Seksualitas sebagai naluri dalam beberapa contoh ekstrem di alam atau hewan bisa langsung berkaitan dengan kematian. Seksualitas binatang yang terjadi secara naluriah atau bahkan ritualistik pada binatang-binatang tertentu.
Adakah manusia hidup seperti binatang, tenggelam dalam naluri dasarnya yang hanya ditujukan untuk menikmati kenangan nafsu indria? “Seseorang yang hidup ditujukan untuk menikmati hal-hal yang menyenangkan, indirianya tidak terkendali, makan tidak terbatas, malas, tidak bersemangat maka nafsu jahat akan menguasai dirinya seperti angin menumbangkan pohon yang rapuh.” (Dhammapada 7).
Spiritualitas Seksualitas
Manusia yang mengejar kesenangan indrawi dalam seksulitas layaknya seperti makhluk tak sadar yang hanya mengikuti naluri biologis. Osho (1931-1990), seorang filsuf dan spiritualis asal India membedakan manusia dari hewan berdasarkan kesadaran (awareness). Dalam banyak ceramahnya, Osho mengatakan: “binatang bercinta karena mereka didorong oleh alam. Manusia bisa bercinta karena kesadaran,” dan karena itu, seksualitas juga bisa bermakna spiritualitas, karena kesadaran adalah berkenaan dengan spiritualitas.
Tentunya kehidupan yang instingtif seperti dalam seksualitas itu tidak pantas dan tidak layak untuk hidup manusia yang mampu mengelola nalurinya, dimana manusia yang memiliki kesadaran yang hendaknya bisa mengatasi nalurinya. Manusia yang bisa memberikan contoh teladan sebagaimana kehidupan berkesadaran para bhiksu/bhikkhu. Untuk itulah tumbuh budaya spiritual pejalan kesucian, cara hidup selibat dan berkesadaran dalam institusi Sangha.
“Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kelengahan adalah jalan menuju kematian, mereka yang sadar tidak akan mati, mereka yang tidak sadar seperti orang mati.” (Dhammapada 21).
Para bhikkhu penempuh hidup berkesadaran adalah: “Seseorang yang hidup di tempat sederhana, mengendalikan indrianya, makan secukupnya, penuh dengan keyakinan, bersemangat, maka nafsu jahat tidak dapat menguasai dirinya, seperti angin tidak dapat merobohkan gunung karang.” (Dhammapada 8).
Kehidupan seksual tanpa kesadaran berefek pada kematian. Menurut Osho atau Bhagwan Shree Rajneesh (1931-1990), kebanyakan orang yang tidak pernah sadar dalam menjalani seks akan mati dimana seks tetap hadir dalam pikiran mereka. Sebaliknya, dengan hidup penuh kesadaran, kematian bisa menjadi momen kedamaian total. Seks bisa menjadi jalan spiritualitas bila tidak harus dikotakkan hanya dalam moralitas yang represif atau budaya hipokrit, tapi juga perlu dipahami melalui lensa kesehatan mental, spiritualitas dan kebebasan individu.
Seksualitas adalah energi dasar kehidupan yang natural, tapi bisa menjadi jebakan jika tanpa kesadaran. Dalam “witnessing,” energi ini bisa menjadi kreativitas spiritual. Orgasme adalah “kematian kecil”, kematian adalah “orgasme terbesar”. Kesadaran dalam seks mempersiapkan kita untuk bukan mengejar kesenangan indria namun agar bisa menyambut kematian tanpa ketakutan. Osho mengajak kita melihat seks sebagai sarana, bukan tujuan. Seksualitas sebuah energi hidup yang bila dipahami dan disadari bisa membawa kita melampaui keterbatasan biologis, menembus ego, dan tercerahkan.
Sangha sebagai institusi dimana biksu atau Bhikkhu berada adalah komunitas yang menjalani hidup selibat, tidak berhubungan seks sesuai dengan cara hidupnya sebagai samana (pertapa). Kehidupan sangha berlandaskan pada moralitas sīla dan pelanggaran terhadapnya, seperti berhubungan seks akan dianggap sebagai pelanggaran parajika yang adalah tidak pantas dilakukan dan dapat dikeluarkan dari komunitas Sangha, selain itu juga mendatangkan ketidakpercayaan umat.
Kehidupan Sangha berlandaskan pada peraturan-peraturan pejalan kesucian atau vinaya yang normatif sifatnya. Kendati begitu, hidup yang dilandasi secara normatif memerlukan keterampilan dan tumbuhnya kesadaran otonom. Kesadaran normatif yang sungguh tumbuh dalan diri sendiri dan bukan sebagai sesuatu yang dipaksakan dari luar (heteronom) terlebih yang terjebak secara represif. Moralitas yang direpresif akan membuncah menjadi ledakan, menimbulkan kekacauan (chaos) menjalani hidup, hingga bisa mencoreng budaya hidup spiritual.
Moralitas seseorang memang tidak tumbuh begitu saja, karena itulah perlu dididik dan dilatih dalam pemahaman dan kesadaran. Teori perkembangan kesadaran moral yang juga mengandaikan pemahaman moralitas yang sejalan dengan perkembangan kognitif seperti yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg (1927-1987) kiranya dapat membantu dalam upaya menumbuhkan kesadaran yang berkembang dalam menyikapi moralitas dan tumbuhnya spiritualitas.
Kesadaran Otonom-Universal
Lawrence Kohlberg mengemukakan teori pentahapan moral: pra-konvensional, konvensioal dan pasca konvensional. Kesadaran otonom-universal pada tahap pasca konvensional didasarkan pada orientasi prinsip etika universal dan kontrak sosial yang dijalani dengan kesadaran sepenuhnya sesuai hati nurani. Tahap pasca konvensional mengatasi tahap pra-konvensional dan konvensional. Pada tahap pra-konvensioanl yang berdasarkan pada orientasi kepatuhan, hukuman dan minat pribadi, cenderung egoistik. Pada tahap konvensional yang berdasarkan orientasi pada keserasian interpersonal, dan otoritas pemeliharaan aturan, dan cenderung konformitas semu.
Kesadaran yang berkembang sepenuhnya pastinya terjadi pada diri para bhiksu yang setiap saatnya melakukan meditasi dan berada di dalam institusi Sangha yang juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pelatihan (pusdiklat) moralitas dan spiritualitas. Peraturan yang sifatnya normatif yang berlaku dalam kehidupan Sangha juga berkenaan dengan seksualitas. Karenanya berkenaan dengan norma seksualitas ini perlu dipahami dengan seksama.
Dalam pandangan Osho, seksualitas adalah pintu awal menuju spiritualitas. Osho menolak gagasan bahwa seks adalah hal rendah atau dosa. Baginya, seks adalah kekuatan dasar kehidupan, dan hal itu harus dimengerti dengan baik. Jika dimengerti serta dijalani secara benar dan sadar, seksualitas bisa menjadi jalan menuju pencerahan. Kata Osho: “sex is the seed, love is the flower, and samadhi (kesadaran tertinggi) is the fragrance”. Samadhi merupakan kegiatan harian para bhiksu, mengembangkan kesadaran untuk terampil dalam bertransendensi terhadap seksualitas dalam hidup selibat dalam rumah budaya spiritual yang damai dan hening.
Kita dapat menemukan titik temu padangan Osho dengan Buddhadharma Tantra (Vajrayana), berkenaan dengan naluri seksualitas yang juga sebagai hasrat, keinginan (tanha). Pandangan bahwa naluri seksualitas itu bukan untuk dimatikan, direpresi, dipendam dalam bawah sadar tapi dipahami, disadari penuh, atau ditransformasikan menjadi kesadaran tertinggi. Menurut Norman. O. Brown (1913-2002), filsuf Amerika, energi seksualitas dapat disublimasi dalam karya budaya. Begitu juga dalam kultural religius dalam tindakan dan karya sosial-kemanusiaan cinta kasih pada sesama, kesetaraan, non-diskriminatif dan cinta universal.
Untuk itu seksualitas sebagai energi basic instinct kehidupan hendaklah pandai, cerdas, dan terampil dalam mengelolanya, terlebih dalam kehidupan berkesadaran. Kehidupan yang normatif tidak selalu harus berarti represif terhadap seksualitas. Penindasan (represi) seks adalah penindasan energi kehidupan. Memang kerap kali budaya dan agama tradisional banyak menindas seks, dan akibatnya lahirlah neurosis, rasa bersalah, kekerasan, bahkan ketamakan. Orang yang tidak berdamai dengan seks tidak akan pernah benar-benar damai dalam hidupnya.
Terhadap norma dan insting seksualitas, maka yang diperlukan adalah transendensi dalam kesadaran yang berkembang dan bukan represi yang dipendam dalam ketidaksadaran. Osho tidak menganjurkan hidup liar tanpa arah, tapi pemahaman dan kesadaran penuh dalam menjalani pengalaman seksualitas.
Setelah seseorang benar-benar mengalami dan memahami seks tanpa rasa bersalah atau represi, ia bisa melampauinya secara alami. Kesadaran yang berkembang tentang ini bisa dilalui dalam cara hidup selibat, maupun dalam hidup pasangan yang penuh tanggung jawab, komitmen, empati dan cinta dalam institusi rumah perkawinan.
Adakah kesadaran itu bisa juga berlaku dalam cara hidup tanpa rumah perkawinan (samen leven, Bahasa Belanda) atau kumpul kebo, atau bahkan dalam hidup kesendirian (alone) yang berdaya mengenal dirinya sendiri sepenuhnya? (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: https://thesmartlocal.co.th/wp-content/uploads/2022/11/blessing-gone-wrong-4. jpg