Oleh: Rayno Praditya Erickson
Pada foto di samping adalah peristiwa Guo Zhongfu 郭忠福 mencapai kedewaan ketika bermeditasi di atas pohon, ibunya menarik kaki Zhongfu sambil berkata “Zhong Fu, bukalah matamu lebar-lebar, sehingga kamu dapat melihat jauh. Kalau kamu sudah menjadi Dewa, maka tolonglah segera orang-orang yang sengsara dan menderita.” Karena anak yang berbakti pada ibunya, Zhong Fu membuka matanya lebar-lebar seperti penggambaran rupangnya kini. Tempat itu kini dinamai Fei Feng Shan, Zhong Fu menjadi dewa saat berumur 16 tahun pada bulan tahun 938 masehi di bulan 8 tanggal 22 lunar.
Banyaknya kisah pertolongan dewa-dewi menjadi ranah supralogis yang tidak pernah ada habisnya dibahas di tengah masyarakat. Banyak orang penasaran dengan orang yang mengaku bisa melihat dewa (shén 神) lantas bertanya, “Bisakah kita melihat dewa? Bagaimana caranya?”. Pertanyaan-pertanyaan ini tergolong pertanyaan yang sulit namun ada pertanyaan yang jauh lebih sulit untuk dijawab yaitu “Bisakah dewa melihat kita?” Setelah kita pikir lebih lanjut, tidak hanya dewa tapi teman kita yang setiap hari kita temui pun bisa kita pertanyakan, apakah mereka benar-benar bisa melihat kita? Apa buktinya dewa atau teman kita bisa melihat kita? Saat ini kita tahu bahwa kita sedang sadar dan membaca tulisan ini dari sudut pandang orang pertama. Kesadaran subyektif sudut pandang orang pertama (qualia) kita sendiri tidak perlu dibuktikan lagi keberadaannya karena hal ini langsung kita ketahui saat ini juga, namun kita tidak pernah bisa membuktikan secara langsung bahwa teman kita juga punya kesadaran subyektif sudut pandang orang pertama seperti kita.
Kita selama ini hanya menyimpulkan bahwa teman kita juga punya kesadaran subyektif yang sama seperti kita hanya berdasarkan pengamatan kita terhadap gerak-gerik tubuh mereka, umpan balik mereka terhadap tindakan kita kepada mereka dalam bentuk ucapan mereka, ekspresi wajah mereka dan lain sebagainya. Tidak ada kepastian bahwa orang yang kita temui bukanlah sesosok philosophical zombie (zombie filosofis). Dapat kita bayangkan jika kita dipertemukan dengan robot dengan kecerdasan buatan canggih yang penampilan, nada suara dan gerak-geriknya serta kepribadian dan pengetahuannya dibuat begitu mirip dengan teman kita maka kita akan kesulitan untuk mengetahui mana teman kita yang asli dan mana yang hanya robot karena memang sejak semula kita tidak pernah membuktikan keberadaan kesadaran subyektif teman kita secara langsung melainkan hanya secara tidak langsung dari pengamatan fisik mereka semata.
Saat kita bercakap-cakap dengan teman kita dalam mimpi, kita mengira mereka punya kesadaran dan bisa melihat kita. Saat kita bangun, kita sadar bahwa ternyata tidaklah demikian. Teman kita dan segala hal yang dia bicarakan dalam mimpi ternyata hanyalah ciptaan pikiran kita saja, namun kita tidak menyadarinya karena kita saat itu sedang bermimpi. Timbul pertanyaan, bagaimana jika ternyata saat kita dalam keadaan terjaga pun, teman yang kita ajak bicara ternyata juga tidak memiliki kesadaran subyektif sudut pandang orang pertama? Ini merupakan sebuah problem epistemologis klasik yang dikenal dengan nama Problem of other minds yang hingga kini masih menjadi bahan perdebatan yang menarik.
Jauh sebelum Thomas Nagel di tahun 1974 mengemukakan masalah ini dalam esainya yang berjudul “What is it Like to Be a Bat?”, masalah ini sudah dibahas oleh Zhuāngzǐ dalam kitab Nánhuá: Bab Luar; Banjir Musim Gugur (南華真經: 外篇; 秋水). Nagel berpendapat bahwa meskipun kita bisa mengetahui banyak hal tentang otak dan perilaku makhluk lain—seperti kelelawar—kita tidak akan pernah benar-benar bisa memahami seperti apa rasanya menjadi makhluk tersebut. Ada banyak sekali bentuk kehidupan di tata surya kita, namun tidak peduli betapa berbedanya antar bentuk kehidupan tersebut, pada dasarnya, jika sebuah organisme dikatakan mempunyai kesadaran maka itu berarti ada pengalaman rasanya menjadi seperti organisme tersebut. Ia menyoroti keterbatasan manusia dalam mengakses pengalaman subyektif makhluk lain, atau qualia mereka, karena pengalaman-pengalaman ini bersifat unik dan tidak dapat diakses dari luar.1
Pemikiran ini sangat mirip dengan dialog terkenal antara Zhuāngzǐ dan Huìzǐ, di mana mereka membahas kebahagiaan ikan yang berenang bebas di sungai. Zhuāngzǐ berbicara tentang apa yang ia yakini sebagai kebahagiaan ikan, namun Huìzǐ mempertanyakan bagaimana Zhuāngzǐ bisa mengetahui perasaan ikan tersebut. Dialog ini menggambarkan problem yang sama mengenai bagaimana kita bisa memastikan kesadaran atau pengalaman subjektif makhluk lain. Berikut dialog mereka:
Zhuāngzǐ dan Huìzǐ sedang berjalan santai melewati jembatan di atas sungai Hao.
Zhuāngzǐ: “Ikan-ikan berenang begitu bebasnya mengikuti aliran sungai. Inilah kebahagiaan ikan.”
Huìzǐ: “Kamu bukan ikan, jadi dari mana kamu tahu bahwa ikan itu bahagia?”
Zhuāngzǐ: “Kamu bukan aku, jadi dari mana kamu tahu bahwa aku tidak tahu tentang kebahagiaan ikan?”
Huìzǐ: “Aku bukan kamu tentunya, jadi aku tidak tahu seperti apa rasanya menjadi kamu. Dengan alasan yang sama, karena kamu pastinya bukan ikan maka pendapatku tentang ketidakmampuanmu untuk mengetahui kebahagiaan ikan tetap berlaku.”
Zhuāngzǐ: “Mari kita kembali ke awal, kamu berkata, ‘Dari mana kamu mengetahui kebahagiaan ikan?’ Karena pertanyaanmu berangkat dari pemahamanmu bahwa aku mengetahuinya, maka aku tentu mengetahuinya dari sini, di atas sungai Hao.”
Dari dialog di atas tampak bahwa yang mereka permasalahkan adalah bagaimana cara untuk mengetahui qualia makhluk lain. (Qualia, ditinjau dari etimologinya berasal dari kata dalam bahasa latin: quālis yang artinya ‘seperti’. Definisi qualia: pengalaman kesadaran subyektif – sudut pandang orang pertama. Qualia sifatnya: private, tidak terkatakan (ineffable) dan langsung dipahami oleh si subjek yang mengalami/tidak diragukan lagi keberadaanya. (Contoh qualia: bagaimana rasanya merasakan manisnya apel? Seperti apa pengalaman melihat warna merah itu? dan lain sebagainya.)
Mungkin akan timbul pertanyaan, apakah seseorang bisa mengakses qualia makhluk lain? Jikalau ada orang yang mengaku bisa mengakses /mengalami qualia orang lain maka hal ini akan menimbulkan pertanyaan dilematis:
‘Apakah qualia orang lain itu dialami sebagai qualia dirinya sendiri atau dialami sepenuhnya sebagai qualia orang lain?’ Jika seseorang mengakses qualia orang lain dan mengalaminya sebagai bagian dari qualia/kesadarannya sendiri, maka qualia tersebut telah menjadi pengalaman subyektif orang yang mengaksesnya. Dalam hal ini, qualia orang lain tidak lagi “asing” atau “lain,” melainkan menjadi bagian dari pengalaman diri sendiri. Ini menimbulkan paradoks: Bagaimana bisa disebut sebagai qualia “orang lain” jika sudah menjadi milik kesadaran diri sendiri?
Dalam skenario ini, perbedaan antara qualia diri sendiri dan qualia orang lain akan kabur, dan konsep qualia orang lain menjadi kehilangan maknanya. Namun, jika seseorang benar-benar mengakses qualia orang lain sebagai pengalaman yang sepenuhnya terpisah dari kesadaran diri sendiri, maka individu tersebut harus “melepas” kesadarannya sendiri dan “menjadi” orang lain, namun, ini akan menimbulkan paradoks identitas: Siapa yang sebenarnya mengalami qualia tersebut? Jika kamu mengalami qualia orang lain sepenuhnya seperti mereka, maka tidak ada lagi “kamu” yang mengalami, yang ada hanyalah pengalaman orang lain. Dari perspektif orang lain tersebut, yang mereka alami hanyalah qualia diri mereka sendiri dan kitapun kembali ke masalah awal tentang apakah ada kesadaran/qualia lain selain qualia diri sendiri. Problem of other minds ini tidak akan hilang meskipun seseorang meninggal dan menjalani kehidupan sesudah kematian, entah berupa kehidupan kekal di surga/neraka maupun terlahir kembali di antara 31 alam kehidupan dll. Dapat kita bayangkan, seseorang masih bisa bertanya, “Apakah dewa, malaikat atau orang lain yang saya temui di surga ini juga mempunyai qualia seperti diriku?”.
Keberadaan qualia/pikiran pihak lain tidak bisa dibuktikan secara deduktif, induktif, maupun abduktif. Masih lebih mudah untuk membuktikan eksistensi berbagai hal yang diajarkan oleh agama seperti keberadaan dewa/dewi, surga/neraka, malaikat, dan lain sebagainya daripada membuktikan keberadaan qualia pihak lain. Jika kita bisa percaya akan keberadaan qualia/pikiran orang lain, meski tanpa ada bukti yang memadai, yang mana hal ini adalah sesuatu yang rasional maka keyakinan kita pada berbagai hal yang diajarkan oleh agama seperti kehidupan sesudah mati, termasuk eksistensi dewa/dewi, malaikat dan sebagainya juga dapat dianggap sebagai hal yang rasional. Seperti yang diungkapkan Alvin Plantinga dalam bukunya yang berjudul God and Other Minds: “Belief in other minds and belief in God are in the same epistemic boat: if one is rationally justified, so is the other. Since belief in other minds is clearly rational, so is belief in God (Kepercayaan pada pikiran orang lain dan kepercayaan pada Tuhan/dewa berada dalam perahu epistemik yang sama: Jika yang satu dapat dibenarkan/dijustifikasi secara rasional, maka yang lain pun demikian. Karena kepercayaan pada pikiran orang lain jelas masuk ranah rasional, maka kepercayaan pada Tuhan/dewa pun demikian.).”2
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber referensi:
- Nagel, Thomas. “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical Review, vol. 83, no. 4, 1974, pp. 435–50. JSTOR, https://doi.org/10.2307/2183914. Accessed 7 Oct. 2024.
- Plantinga, Alvin. God and Other Minds: A Study of the Rational Justification of Belief in God. Ithaca, NY: Cornell University Press, 1967.