Oleh: Jo Priastana
“Orang jarang melakukan apa yang mereka yakini.
Mereka melakukan apa yang nyaman, lalu menyesalinya”
(Bob Dylan, Penyanyi Penulis Lagu Amerika Terhebat)
“Melihat Kekejian di Gaza, Dunia Makin Tak Berdaya,” Begitu headline harian Kompas, Selasa 22 Juli 2025. Adakah hati kita tak tersentuh dan dunia sudah tak berdaya atas kekejaman di Gaza? Apakah jawabannya “Blowin’ in the Wind?” Lihatlah kekejaman dan korban kemanusiaan yang terjadi akibat perang. Ada Perang Iran-Israel yang menggunakan senjata rudal balistik dan mengancam datangnya Perang Dunia III yang menggugah kesadaran akan derita manusia dan keadaan dunia manusia saat ini. Belum lagi Perang Rusia vs Ukraina dan bencana kemanusiaan di belahan dunia lainnya. Adakah kesadaran ini semakin tergugah manakala mendengar kembali lagu “Blowin’ in the Wind”?
Lagu hasil karya Bob Dylan (lahir 24 Mei 1941). Lagu yang menegur akan ketidakpedulian manusia atas bencana dunia di depan mata. “Blowin’ in the Wind”, lagu paling ikonik dalam sejarah musik folk, suara protes atas ketidakpedulian manusia terhadap keadaaan dunia saat itu. Lagu yang dirilis tahun 1962 ini, mengangkat pertanyaan besar tentang keadaan dunia saat itu seperti: perdamaian, kebebasan, dan keadilan, krisis alam, dan terasa masih terdengar relevan dengan keadaan dunia saat ini, menyentuh rasa hati terdalam. Akankah semua jerit tangis dan suara kemanusiaan berlalu begitu saja, bagai angin bertiupan di udara, blowin’ the wind?
Ribuan korban tewas di Gaza, jerit anak-anak yang kehilangan rumah di Sudan, korban terluka di medan perang Ukraina, pengungsian massal di Myanmar, jerit hewan yang terluka di hutan Sumatra, rasisme yang mengakar dalam sistem sosial global dan bencana ekologis, maupun korban konflik Kamboja-Thailand memperebutkan bangunan suci candi. Masihkah segenap bencana itu tidak membuat manusia tersadar? Dunia menangis, alam menjerit, namun suara tangisan dan jeritan itu sering tak terdengar, tertelan oleh politik dan ketidakpedulian, karena ilusi atas kebanggaan semu dan keakuan harga diri. Tidak hanya konflik perang Iran-Isarel, serangan Israel atas masyarakat Palestina di Gaza namun juga jerit kemanusiaan dan alam lingkungan di belahan dunia lainnya dalam berbagai bentuknya.
Cermin Zaman “Blowin’ in The Wind”
Lanjut headline harian Kompas, selasa 22 Juli 2025, “pembunuhan warga yang dirundung kelaparan di Gaza terus terjadi, seiring dengan itu, Israel melanjutkan penghancuran wilayah hunian dan pengusiran paksa.” Masihkah kesadaran dan rasa malu kemanusiaan juga tetap tidak muncul atas peristiwa pelanggaran kemanusiaan di jalur Gaza itu, setelah mendengar dan menyimak makna lagu “Blowin’ in the Wind”? Bagaimana dengan para pemimpin dunia?
Bait pertama. How many roads must a man walk down/before you call him a man? how many seas must a white dove sail/Before she sleeps in the sand? Yes, and how many times must the cannonballs fly/Before they’re forever banned? The answer, my friend, is blowin’ in the wind/The answer is blowin’ in the wind.
Pertanyaan tentang kedewasaan, pengalaman, dan pengakuan, berapa banyak penderitaan atau pengalaman yang harus dilalui seseorang agar dianggap layak sebagai manusia sejati”? Pertanyaan berapa banyak laut untuk “white dove”, simbol perdamaian sebelum dapat berlabuh di pantai? Pertanyaan, berapa banyak senjata ditembakkan sebelum kita sadar dan menghentikan selamanya? Jawabannya teman, tertiup angin. Jawabannya tertiup angin.
Bait Kedua. Yes, how many years can a mountain exist/Before it is washed to the sea? Yes, and how many years can some people exist/Before they’re allowed to be free? Yes, and how many times can a man turn his head/ And pretend that he just doesn’t see? The answer, my friend, is blowin’ in the wind/The answer is blowin in the wind.
Gunung, simbol keteguhan dan kekuatan pun akhirnya akan terkikis oleh waktu, yang abadi pun akan berakhir, termasuk sistem yang tidak adil. Pertanyaan tajam tentang penindasan dan kebebasan, terutama berkaitan dengan rasisme dan diskriminasi. Mengkritik ketidakpedulian sosial kita yang sering menutup mata terhadap ketidakkasihan dan tak sudi kenyaman terganggu. Jawabannya teman, tertiup angin. Jawabannya tertiup angin.
Bait ketiga. Yes, and how many times must a man look up/Before he can see the sky? Yes, and how many ears must one man have/Before he can hear people cry? Yes, and how may deaths will it take ‘till he knows/That too many people have died? The answer, my friend, is blowin’ in the wind/The answer is blowin in the wind.
Gambaran harapan dan kesadaran. Kita sering melihat tanpa benar-benar memahami apa yang ada di depan mata kita. Lagi-lagi, kritik terhadap ketidakpekaan sosial. Apakah manusia telah kehilangan empatinya? “Sorotan terhadap korban perang, kekerasan, dan ketidakkasihan. Seberapa banyak kehilangan yang dibutuhkan agar manusia sadar? Jawabannya teman, tertiup angin. Jawabannya tertiup angin, “blowin’ in the wind”.
The “Voice of a Generation” and American Master
“Blowin’ in the Wind” terdiri dari tiga bait dengan struktur yang sederhana, namun memiliki makna dalam dan mengandung pertanyaan eksistensial dan moral yang kuat. Seruan yang menjadi cermin zaman dan juga menjadi simbol lagu protes, ikon gerakan hak sipil dan anti perang di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dinyanyikan dalam berbagai unjuk rasa dan menjadi suara kaum tertindas.
Lagu ini juga menjadi populer setelah dibawakan oleh grup Peter, Paul and Mary dan sering dianggap sebagai lagu kebangsaan gerakan hak sipil di Amerika Serikat. Mungkin karena itu, Bob Dylan dijuluki American Master. Bagi masyarakat dunia, lagu “blowin’ in the wind” dianggap sebagai seruan moral dan sosial yang paling halus, mengungkit suara kemanusiaan dari generasi ke generasi yang mempertanyakan:
Berapa lama ketidakadilan harus terjadi sebelum bisa dihentikan? Mengapa manusia harus menderita karena perang? Kapan kebebasan harus benar-benar dirasakan oleh semua orang? “Blowin’ in the wind” sebagai frasa berarti bahwa jawaban-jawaban itu mengambang di sekitar kita, tidak ada yang menangkapnya secara konkret, seolah-olah dunia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi tidak bertindak.
Liriknya terasa universal dan abadi, tidak terikat waktu, tetap relevan dalam berbagai konteks situasi dunia kapan pun dan memberi pengaruh besar. Lagu ini masuk dalam daftar 500 Lagu Terbesar Sepanjang Masa versi Rolling Stone dan dianggap sebagai karya sastra musik.
Penulis dan penciptanya, Bob Dylan dianugerahi Nobel Sastra pada 2016 karena lirik-liriknya yang dianggap puitis memiliki dampak besar lebih dari enam dekade. Sebuah balada yang hingga kini masih relevan karena jawaban semua masalah dunia itu, seperti kata Dylan, masih “Tertiup Angin”.
Bob Dylan legenda musik pop dunia menyuarakan hati nurani, kemanusiaan dan protes sosial. Ada buku tentang dirinya, buku “Chronicles: Volume One” yang ditulis oleh Bob Dylan sendiri. Buku memoar otobiografis pertamanya, diterbitkan pada 5 Oktober 2004 oleh Simon & Schuster (wikipedia.org). Buku memoar yang sangat pribadi dan otoritatif itu juga diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Oktober 2018, 313 halaman.
Lagu “Blowin’ in the Wind” Bob Dylan akan tetap hidup karena ia berbicara dalam bahasa nurani. Ketika Bob Dylan bertanya, “Berapa banyak telinga yang dibutuhkan seseorang untuk mendengar orang lain menangis?” Orang-orang sedang berbicara kepada kita semua yang barangkali melihat kekerasan di berita, lalu menggulirkan layar tanpa rasa bersalah. Ketika ia bertanya, “Berapa banyak kematian yang dibutuhkan sampai kita sadar terlalu banyak orang telah mati?”
Suara nurani kemanusiaan dari generasi ke generasi yang tetap bertanya dan jawabannya selalu “tertiup angin”? Kita pun jadi bertanya, dimanakah kesadaran bertindak dalam welas asih yang terbangunkan? Masih adakah Buddha yang sadar itu di tengah kemelut dan derita dunia masa kini?
Adakah kesadaran yang mengandung kebijaksanaan itu hanya tinggal omon-omon dalam ritual dan festival keagamaan yang dipajang, dipanjangkan, diindah-indahkan dalam kesemuan dan tanpa makna spiritual apalagi dalam tindakan nyata sedikit pun kepada dunia dan anak manusia yang menderita di tengah peperangan dan bencana.
Bukankah Bodhisattva Avalokitesvara tanpa henti selalu mendengar jeritan derita ratap tangis manusia di dunia? Adakah Sang Bodhisattva masa kini itu sosok Bob Dylan, setidaknya dalam suara kepeduliannya terus berputar dan bersuara sepanjang masa, sepanjang manusia tetap tidak peduli atas derita dunia, ‘blowin, in the wind,’ sebuah teguran untuk mereka yang masih terbuka hati nuraninya yang didalamnya bersemayam hati Buddha, kesadaran dan cinta kasih dalam tindakan! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: dokumentasi pribadi