Borobudur Setelah Dicanangkan Sebagai Tempat Ibadah Umat Buddha (11): Borobudur Warisan Jejak Budaya Sejarah Buddhadharma Nusantara

Home » Artikel » Borobudur Setelah Dicanangkan Sebagai Tempat Ibadah Umat Buddha (11): Borobudur Warisan Jejak Budaya Sejarah Buddhadharma Nusantara

Dilihat

Dilihat : 15 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 27
  • 65
  • 15,392
WhatsApp Image 2022-06-01 at 6.09.57 PM

Oleh: Jo Priastana

“A Generation which ignores history has no past and no future”

(Robert A Heinlein, 1907-1988; Penulis fiksi ilmiah)

Penyebaran ajaran Buddha ke berbagai negara di luar India itu juga meninggalkan jejak peradabannya. Jejak peradaban yang menandai puncak-puncak peradaban Buddha dalam berbagai karya dan wujud budaya seperti: Mahavihara, Pagoda, situs universitas atau perguruan tinggi Buddha. Selain itu juga berbagai macam dan bentuk patung-patung Buddha dari setiap negara yang sangat indah menawan dan memiliki kekhasan dan keunikannya tersendiri..

Selain di tanah Jawa yang meninggalkan candi fenomenal Borobudur, karya budaya Buddhis juga terdapat di berbagai negara lainnya. Di India misalnya, terdapat peninggalan peradaban Buddha seperti di: Sanchi (Abad ke-3 SM), Ajanta (Abad ke 2 SM- 5 M), Nalanda (Abad ke-5 M- 13M). Peninggalan peradaban Buddha di Tiongkok (Mogao, abad ke-5 M – 11), di Jepang (Nara, Abad ke 8 M), di Korea Selatan (Bulguksa, Abad 8 M), di Kamboja (Angkor Thom, Abad ke 12 M), di Myanmar (Bagan, Abad ke 9 M-13 M), Thailand (Ayutthaya, Abad ke 14 M-18 M).

Agama Buddha yang masik dan tersebar di Nusantara juga mengalami zaman keemasannya sebagaimana tampak pada warisan budaya yang ditinggalkannya. Puncak peradaban Buddhadharma dapat ditelusuri karena meninggalkan jejaknya di Nusantara. Di Jawa terdapat peninggalan yang fenomenal, Candi Borobudur di Abad ke 8 M.  Begitu pula di daerah-daerah lainnya seperti Jawa Barat di Rengasdengklok terdapat Candi Jiwo, Situs Batu Jaya. Begitu pula di Jawa Timur seperti di Malang, Trowulan, banyak peninggalan budaya Buddhis. Ada pula di Sumatera yang terdapat Situs Muara Jambi, Situs Muara Takus maupun Situs Padang Lawas. Jejak-jejak Budaya memperlihatkan Buddhadharma pernah berkembang di Nusantara dahulu.

 

Jembatan Sejarah Nusantara

Peninggalan-peninggalan yang menandai puncak pencapaian peradaban Buddha itu juga bisa kita maknai sebagai jembatan waktu, masa kini dan masa lalu. Masih terdapatnya berbagai peninggalan-peninggalan arkeologis jejak budaya Buddha tersebut dapat menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini, dan menjadi sangat penting bagi generasi masa kini. Sebagai benang sejarah, kontinuitas waktu sejarah masa lalu yang dikenali dan dipahami akan menjadikannya generasi pemilik masa depan sejarah.

Masa kini mengandung segala apa yang terjadi di masa lalu. Bagai anak panah waktu yang terlepas meluncur membelah angkasa mencapai bumi.  Waktu masa kini lepasan dari waktu masa lalu, dan penghubungnya adalah peninggalan-peninggalan yang masih terhampar kini itu.

Banyak tinggalan yang menyimpan jejak dari kebesaran masa lalu. Sejarah memperlihatkan Agama Buddha pernah berkembang dan mengalami kejayaan di Nusantara. Lorong waktu sejarah memanifestasikannya dalam tinggalan-tinggalan budaya.

Masih banyak jejak masa lalu yang tersimpan dan pantas disusuri kembali. Melalui berbagai peninggalan budaya tercatat adanya tiga kerajaan utama yang pernah menghadirkan kejayaan agama Buddha di Nusantara. Ada Sriwijaya di Sumatera (abad VII-XII), Syailendra di Jawa Tengah (Abad VII-IX) dan Majapahit (Hindu-Buddha) di Jawa Timur (abad XIII-XV).

Banyak para Guru Besar agama Buddha datang ke Nusantara mengunjungi pusat-pusat pendidikan agama Buddha yang berkembang pada masa itu, seperti di Muara Jambi, kerajaan Sriwijaya yang terletak di Sumatera. Disamping itu, mereka juga melukiskan tentang keadaan yang disaksikannya, serta menghasilkan karya-karya Dharma yang menjadi warisan berharga dan menjadi rujukan sampat saat ini.

Nusantara masa lalu memang telah menarik para Guru Besar untuk berkunjung, karena terdapatnya kemasyhuran budaya Buddhis yang terdengar ke mancanegara. Ada Fa Hien dan Bhiksu Hwi Ning dari Cina, Gunawarman dari Kashmir yang berkunjung ke Jawa maupun Atisa Dipankara dan lain sebagainya. Setidaknya ada tiga kerajaan besar yang mencerminkan kemegahan dan kemasyhuran sejarah Buddhadharma masa lalu, seperti di Jawa Tengah, Mataram dengan Wangsa Syailendra, Sriwijaya di Sumatera, dan Majapahit di Jawa Timur.

 

Syailendra di Jawa Tengah

Wangsa Syailendra berkuasa di sekitar tahun 775 sampai dengan 850 di daerah Bagelan. Dari Wangsa Syailendra yang memeluk Agama Buddha inilah jaman keemasan berkembangnya agama Buddha, dengan peninggalannya yang fenomenal yang dapat kita saksikan sampai hari ini, Candi Agung Borobudur. Candi Borobudur yang mencerminkan mandala semesta alam dan kehidupan, mengandung catatan ajaran Buddha yang perlu dibaca dan disimak.

Keberadaan Candi Borobudur itu juga menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Buddha mengalami kemajuan. Kesenian -terutama seni pahat- telah mencapai taraf yang sangat tinggi, yang terbukti dengan dihasilkannya karya seni yang mengagumkan, misalnya Candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, dan Sewu, serta yang lainnya.

Setelah Raja Samaratungga, dari Wangsa Syailendra meninggal, daerah Jawa Tengah ini diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu. Meski begitu, Agama Buddha dan Agama Hindu dapat berkembang dan hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Raja-raja di zaman Mataram Kuno (abad ke-8 – 10), ada yang beragama Buddha dan ada pula yang beragama Siwa (Hindu).

Dinasti Syailendra yang beragama Buddha terkenal meninggalkan jejak budaya Buddha. Banyak candi di sekitar Magelang dan Yogyakarta sekarang, seperti Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sewu, Candi Plaosan, Candi Sari, Candi Kalasan dan lain-lain. Begitu pula dengan raja-raja yang beragama Hindu), yang tidak kalah meninggalkan jejak budayanya pula, seperti Candi Prambanan dan lainnya.

Menurut prasasti, pada tahun 778 Raja Rakai Panangkaran (Wangsa Sanjaya) mendirikan Candi Kalasan bagi Dewi Tara dan sebuah biara, serta menghadiahkan sebuah desa kepada Sangha. Ada pula Candi yang paling besar, Borobudur, yang dibangun oleh Raja Samaratungga mulai tahun 824. Candi Borobudur yang memanifestasikan keutuhan ajaran Buddha dan mencerminkan bagaimana ajaran Therawada, Mahayana, dan Wajrayana menyatu secara harmonis.

Wangsa Syailendra yang beragama Buddha telah membawa bangsa yang menganutnya bukan hanya maju secara spiritual, tetapi juga maju di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Mustahil mereka dapat membangun karya-karya yang monumental tanpa adanya kemakmuran dan kesejahteraan. Sejarah juga menunjukkan bagaimana agama Buddha dan Hindu berkembang berdampingan secara rukun dan damai.

Meski pandangan dari guru besar Fa Hien yang datang di Jawa pada tahun 418, masih belum menunjukkan dan belum melihat banyaknya penganut Buddha, namun tidak ketika Gunawarman datang ke tanah Jawa. Beberapa tahun kemudian setelah kedatangan Fa Hien, Gunawarman yang berasal dari Kashmir dan setelah menjadi biksu pergi ke Sri Lanka, kemudian pergi ke Jawa (She-po) untuk mengembangkan agama Buddha pada tahun 423.

Selanjutnya, Nusantara Jawa juga menerima kedatangan Biksu Hwi-Ning pada tahun 664. Ia tinggal selama 3 tahun di Kaling (Holing). Hwi Ning menerjemahkan kitab-kitab Hinayana dengan bantuan biksu lokal, yang bernama Jnanabhadra, dan menyemarakkan perkembangan agama Buddha di Jawa.

 

Sriwijaya di Sumatera

Jauh sebelum timbulnya kerajaan Majapahit, di Sumatera telah ada kerajaan Buddha yang berjaya. Kerajaan Sriwijaya di Sumatera yang tumbuh semasa kejayaan Syailendra di Jawa Tengah, banyak meninggalkan jejak-jejak kejayaan agama Buddha. Kerajaan Sriwijaya ini juga memiliki pertalian erat dengan kerajaan Syailendra di Jawa Tengah.

Sriwijaya sebagai negara yang memiliki perguruan tinggi agama Buddha terkenal, juga memiliki pertalian erat dengan perguruan tinggi Nalanda di India. Kerajaan Sriwijaya yang termasyhur karena kekuatan angkatan perangnya, merupakan juga pusat ilmu dan kebudayaan Buddhis. Di sana terdapat banyak vihara yang dihuni oleh ribuan Bhikkhu sebagai mahasiswa yang mempelajari ajaran Buddha.

Sriwijaya termasyhur karena terdapat juga perguruan Tinggi Agama Buddha. Kampus perguruan tinggi di Sriwijaya selalu ramai dengan kuliah-kuliah tentang Agama Buddha. Banyak orang datang mengikut kuliah-kuliah tentang agama Buddha, juga mengenai bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi).

Pujangga-pujangga Agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi di Sriwijaya. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercu suar Agama Buddha di Asia Tenggara. Sriwijaya memancarkan cahaya budaya manusia dan cahaya Buddhadharma yang cemerlang.

Tentang Agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diberitakan oleh Sarjana Agama Buddha dari Tiongkok yang bernama I Tsing. Tahun 672, I Tsing berangkat berziarah ke tempat-tempat suci Agama Buddha di India. Dalam perjalanan pulang sekitar tahun 685, ia singgah di Kerajaan Sriwijaya selama 10 tahun. Ia mempelajari dan menerjemahkan buku-buku suci Agama Buddha dari Bahasa Sansekerta ke dalam Bahasa Cina.

Kerajaan Sriwijaya yang didirikan pada ± abad ke-7 dapat bertahan terus hingga tahun 1377, dan diperkirakan berpusat di sekitar Palembang, Sumatera. Selain itu, banyak pula peninggalan berupa candi ditemukan di Sumatera yang cukup luas ini. Ada kelompok Candi Muara Takus di Riau dan kelompok Candi Gunung Tua di Tapanuli Selatan yang bercorak Mahayana, maupun di daerah Padang Lawas seperti Candi Bahal I, II, III dan candi-candi lainnya.

Di Palembang, tepatnya di Telaga Batu banyak didapatkan batu-batu yang bertulisan “siddhayatra”, maksudnya perjalanan suci yang berhasil. Sedangkan di Bukit Siguntang didapatkan sebuah arca Buddha dari batu yang besar sekali, karya abad ke-6. Kerajaan Sriwijaya dikenal juga sebagai negara maritim. Segala potensi kerajaan Sriwijaya diarahkan ke arah teknologi membangun kapal untuk armada perdagangan dan kapal perang untuk melindungi armada dagang itu.

Dalam catatan perjalanannya, Bhiksu I Tsing mengungkapkan bahwa Raja Sriwijaya dan penguasa-penguasa di kepulauan lain adalah penganut agama Buddha. Dilukiskan bahwa di ibukota yang dikelilingi benteng terdapat beribu-ribu biksu yang belajar dan praktik ajaran Buddha seperti halnya di Madhyadesa (India). Di antaranya banyak pula orang asing. Pada mulanya, di Sriwijaya terdapat mazhab Hinayana, namun perkembangan selanjutnya mazhab Mahayana yang lebih berkembang.

Guru yang terkenal antara lain Dharmapala dan Sakyakirti. Satu guru besar yang fenomenal dan datang ke Sriwijaya dari India Selatan adalah Atisa Dipamkara yang datang pada Abad 11, menimba ilmu di Sriwijaya dengan bimbingan Biksu Dharmakirti. Atisa Dipamkara memperoleh undangan Raja Tibet untuk memurnikan agama Buddha disana dengan ajaran Mahayana dari Javadvipa. Atisa membawa 9 kitab dari Sriwijaya yang sekarang terhimpun dalam Tipitaka Tibet atau Kanjur.

 

Majapahit di Jawa Timur

Kejayaan kerajaan Hindu dan Buddha di tanah Jawa berlanjut ke Jawa Timur. Kerajaan Majapahit di Jawa Timur yang berkuasa dari tahun 1292 sampai dengan tahun 1478, meski menganut Agama Hindu, juga memberi kesempatan berkembangnya Agama Buddha dengan baik. Kerjaaan Majapahit memperlihatkan adanya toleransi dalam bidang keagamaan yang dijaga dengan baik sehingga pertentangan antar agama tak pernah terjadi.

Pada waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ada seorang pujangga terkenal yang bernama Mpu Tantular. Mpu Tantular menulis sebuah buku yang berjudul “Sutasoma”. Di dalam buku tersebut terdapat kalimat “Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa”. Dari kata-kata inilah kemudian diambil semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini dijadikan semboyan Negara Republik Indonesia.

Semboyan negara yang melambangkan motto toleransi dan persatuan. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu meredup. Namun begitu kebesaran Majapahit tetap tersimpan damai dalam bumi Nusantara dan menjadi rujukan bagi pendirian negara masa kemerdekaan oleh para bapak bangsa.

Founding Fathers, Bapak Bangsa, dan pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, terkenal dengan ungkapnnya “Jas Merah” Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Di balik jejak Budaya Buddhis yang tersebar di Nusantara, termasuk yang fenomenal Candi Borobudur, tersimpan catatan-catatan sejarah mengenai kebesaran leluhur jaman dahulu, dan kekuatan, kebesaran Bangsa Indonesia. Jas Merah, terutama bagi generasi kini, kerena memiliki masa lalu adalah juga menguasai masa depan! (JP)

***

Foto: https://twitter.com/hariankompas/status/1396265873317322757?s=20&t=0dWnezfRiIWkWWleEGwACA

Butuh bantuan?