Borobudur Setelah Dicanangkan Sebagai Tempat Ibadah Umat Buddha (14): Branding Borobudur Dalam Bentangan Alam dan Budaya

Home » Artikel » Borobudur Setelah Dicanangkan Sebagai Tempat Ibadah Umat Buddha (14): Branding Borobudur Dalam Bentangan Alam dan Budaya

Dilihat

Dilihat : 36 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 1
  • 89
  • 23,131
WhatsApp Image 2022-06-06 at 9.48.13 AM

Oleh: Jo Priastana

 

“Brand is just a perception and perception will match reality over time”

(Elon Musk, Tech Entrepreneur, Ceo of Tesla Inc)

 

Borobudur Sebagai Pusat Ziarah Umat Buddha Dunia menjadi slogan dan proyek yang patut diwujudkan karena sejalan dengan maksud dan semangat, harapan dari pencanangan Borobudur sebagai tempat ibadah. Pencanangan yang dilakukan dengan penandatanganan nota kesepakatan oleh empat menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Menteri Badan Usaha Milik Negara, serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Gubernur Jateng dan Gubernur DIY, Kota Yogyakarta, pada Jumat 11/2/2022, yang mana diharapkan akan banyaknya pagelaran kegiatan keagamaan di luar hari besar keagamaan baik dari domestik maupun mancanegara.

Selain itu juga pemerintah mengharapkan terlaksananya pemanfaatan candi untuk kepentingan keagamaan yang berfokus pada nilai-nilai spiritual dengan tidak melupakan nilai pendidikan dari candi tersebut, dimana masyarakat yang berkunjung dapat melihat keindahan candi yang disertai kegiatan peribadatan Buddha dan sekaligus tetap memperhatikan aspek kelestarian cagar budaya dan regulasi dari Pemerintah Indonesia ataupun Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).  (Kompas, 12/2/2022).

Harapan dari pemerintah ini sangat pantas disikapi oleh semua komunitas Buddhis di Indonesia, karena Borobudur merupakan warisan dunia yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan Buddha.  Kiranya institusi yang bergerak dalam peningkatan sumber daya manusia dan yang relevan dengan pembelajaran Borobudur sebagai candi Buddha dan budaya Buddhis seperti dunia pendidikan Buddhis bersama dengan UNESCO. Kaum terdidik dan terpelajar Buddhis perlu berperan dalam mewujudkan candi agung Borobudur sebagai pusat ziarah umat Buddha Dunia yang juga akan memiliki dampak bagi kemajuan wisata religi di Nusantara.

 

Branding Borobudur

Pernyataan Borobudur Sebagai Pusat Ziarah Buddha di Dunia merupakan branding yang perlu diwujudkan. Mem-branding-Borobudur sebagai pusat ziarah agama Buddha dunia bukanlah suatu ilusi atau fatamorgana, tetapi fakta yang perlu dilakukan dengan mengeksplorasi semua kekayaan monumen budaya spiritual itu beserta lingkungan alam dan budaya penduduknya.  Sebagai candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur memiliki sejarah panjang yang memiliki daya untuk lepas dari kepunahan. Dibangun tahun 800 dan masih tegak berdiri hingga sekarang adalah sudah merupakan keajaiban tersendiri.

Dengan 2.672 panel dan relief-relief menawan yang memberi pelajaran tentang kebijaksanaan, memiliki nilai seni tinggi karena menggambarkan adegan utuh perjalanan manusia dan Buddha. Layak kalau Borobudur di-branding-kan sebagai pusat ziarah umat Buddha dunia. Ada 500 juta penganut agama Buddha di dunia. Cukup dua persen saja penganut Buddha berziarah ke Borobudur, akan diperoleh 10 juta peziarah per tahun dari mancanegara. (AM Lilil Agung, “MotoGPdan “Branding” Indonesia”, Kompas, 28-3-22.

Branding bukan sekedar logo, merek, simbol, ataupun slogan yang menyertai produk. Di dalam branding terdapat aktivitas untuk mengenalkan produk ke khalayak sebagai wujud komunikasi, kampanye sehingga produk bersangkutan memilik persepsi, karakter dan citra. Sebagai monumen sejarah kuno yang masih ada dengan kehidupan penduduk di sekitarnya, maka branding yang sukses mengandaikan antara obyek dan penduduk sekitarnya menyatu, sebagaimana Borobudur yang terpampang dalam bentangan alam dan kehidupan penduduk di sekitarnya dengan aktivitas ragam budaya yang semarak di sepanjang tahunnya dan yang mencerminkan way of life dari nilai-nilai Borobudur itu sendiri.

Membranding Borobudur adalah membangun proyek destinasi pusat religi Buddha dunia, dan wisata religi dunia yang bersaing kelas wahid. Dalam konteks wisata kelas wahid perlu adanya dukungan ekosistem bagi wisata religi dan fasilitas yang memenuhi standar internasional sehingga sungguh menjadi kampiun wisata religi internasional. Branding perlu memperhatikan dan menampilkan ekosistem wisata yang menyangkut aspek sejarah, penduduk, budaya, alam, lingkungan maupun teknologi dan informasi.

 

Buddha dalam Budaya

Mencanangkan Borobudur sebagai tempat ibadah memberi tanggung jawab kepada komunitas Buddha untuk tidak menyia-nyiakannya. Untuk itulah, beribadah ke Candi Borobudur selain memiliki kandungan nilai yang bersifat normatif-spiritual bagi umat Buddha yang ada di Indonesia untuk datang beribadah juga sebagai monumen budaya yang dikenal juga sebagai Bukit Kesadaran Buddha adalah ekspresi dari masyarakatnya pada masa itu di dalam mewujudkan proses kebuddhaaannya.

Berbuddha tidak dilepaskan dari budaya, sebagaimana direpresentasikan pada candi Borobudur. Berbuddha selalu dalam proses dan tercermin dalam keaktifannya, dalam sikap berbudayanya. Kebudayaan adalah suatu proses, suatu kata kerja, suatu aktivitas dari proses eksternalisasi upaya manusia memahami dan menyempurnakan dirinya. Borobudur saat ini yang dicanangkan sebagai pusat ibadah umat Buddha Dunia juga perlu dipahami dalam perspektif budaya yang merupakan aspek penting dari ekosistem wisata religi.

Pakar kebudayaan Koentjaraningat (1923-1999), mengungkapkan bahwa kebudayaan itu dapat berwujud tiga bentuk, yaitu: ide-ide (nilai-nilai, agama), tingkah laku dan tata hidup serta produk (seni, sastra, bangunan arsitektur dan lain-lain) sebagai ekspresi manusia. Borobudur dalam tiga konsentris budaya itu tidak hanya sebagai monumen eksotik yang mencerminkan wujud luar namun juga terlebih lagi mengandung sisi dalam yang lebih transendental, esoteris, seperti nilai-nilai keagamaan, kerohanian Buddhis.

John Miksic (Borobudur: Golden Tales of the Buddhas, 1990) menyatakan bahwa Borobudur bukanlah monumen, melainkan alat peraga visual bagi sebuah filsafat hidup yang kompleks. Monumen biasanya terbatas pada fungsi simbolik dan menyampaikan pesan tunggal kepada massa, dengan penampilan bentuk silhouet vertical yang sederhana sehingga dapat dilihat dari jarak jauh dan seketika membangkitkan emosi. Sedangkan para pembangun Borobudur bermaksud melibatkan akal. Pesan yang ingin disampaikan terlalu kompleks untuk dinyatakan hanya dengan bentuk luar yang mencengangkan saja. Borobudur tidak menyanjungkan dirinya dengan bentuk vertikal yang nyaring, ia berbaring dengan diam, menelingkupi Bumi, mengisyaratkan ada sesuatu yang jauh lebih penting di dalamnya, ketimbang bentuk luarnya. Besarnya sumber daya yang dikerahkan untuk membangun Borobudur bukan hanya untuk tujuan monumental, melainkan terutama untuk mengajarkan suatu falsafah hidup yang luhur, menunjukkan bahwa orang Jawa pada abad ke-8 adalah salah satu bangsa paling humanis dalam sejarah. (Marco Kusumawijaya, Kompas, 19/01-03).

Perlihatkan sisi historis agama dan budaya yang menunjukkan pembangunan Borobudur sebagai suatu yang mencerminkan keajaiban. Borobudur merupakan cermin budaya spiritual bangsa Indonesia, Nusantara pada masa itu di semasa Wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Bisa dikatakan Borobudur adalah karya monumental bangsa Indonesia, monumen budaya religi yang hingga kini masih berada dan dimana banyak orang di dunia masih dapat mempelajari dan merasakan keajaiban dari Borobudur sebagai situs sejarah dan Budaya religi yang ditimba dari pelajaran-pelajaran agama Buddha.

Dalam sejarah Agama Buddha yang masuk dan berkembang ke Nusantara telah menghasilkan Candi Borobudur. Candi Borobudur sebuah karya budaya yang mencerminkan ajaran Buddha dan didirikan sebagai tempat ibadah. Borobudur mendapat perhatian dari dunia, dan setelah renovasi, tepatnya pada tahun 1991, UNESCO memasukkan Candi Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia dan masuk dalam kriteria budaya.

Tampilkan sikap-sikap Berbuddha yang terwujud dalam ragam budaya sebagai atraksi religius yang memang unik khas Buddhis. Keragaman ini bisa ditemukan karena terdapat juga pada banyak aliran agama Buddha serta lokal jenius penduduk sekitar. Saat ini animo pasar global pada destinasi yang unik terus meningkat, karenanya, peluang Borobudur menjadi destinasi wisata religi internasional dan menjadi pusat ibadah umat Buddha secara nasional dan internasional terbuka lebar. Diperlukan penampilan aktraksi budaya keagamaan sepanjang tahunnya sebagai cerminan berbuddha adalah berbudaya.

 

Bentang Alam dan Seni Penduduk

Ragam aktivitas budaya keagamaan yang adaptif dengan lingkungan sekitar dan perkembangan zaman yang hadir sepenuhnya di sepanjang tahun, dan tidak semata hanya perayaan hari-hari suci keagamaan. Aktivitas budaya yang mencerminkan spiritualitas Buddha yang telah menyatu dengan lingkungan, sebagaimana cerminan berbuddha adalah berbudaya yang tumbuh dalam budaya, hidup keseharian yang menyatu dengan lingkungan alamnya.

Budaya hidup keseharian itu tergambar dalam relief-relief dinding candi Borobdur, seperti berbagai seni dimasanya, dimana banyak orang masih bisa belajar. Claire Holt, penari yang menulis sejarah seni Indonesia, memandang Borobudur adalah artefak penting untuk mempelajari evolusi seni tari di Jawa. Panel-panel bas-reliefnya banyak yang menggambarkan gerak tari rakyat. (Marco Kusumawijaya, Kompas, 19/01-03).  

Agama juga berkaitan dengan bumi, alam, lingkungan, penduduk dan budayanya. Kegiatan umat Buddha dalam pengendalian krisis alam dan lingkungan bisa menjadi daya tarik karena membuktikam Buddhisme cinta lingkungan. Wisatawan memandang tinggi terhadap kualitas lingkungan dan sikap-sikap melestarikan lingkungan karena itu memperlihatkan sikap peradaban yang tinggi, termasuk juga terhadap budaya. Menanamkan citra keserasian Buddhisme dan kelestarian lingkungan dan keramahan dari beragama termasuk budaya agama harus terus dilakukan.

Keberadaan Borobudur diletakkan dalam bentang alam yang mempesona. Bagi Restu Imansari, penata penari, Borobudur adalah bagian dari salah satu lansekap budaya wilayah yang agung dengan dirinya sebagai sebuah pusat mandala yang bersudut timur laut berupa pasangan Gunung Merapi-Merbabu dan bersudut Barat-laut berupa pasangan Gunung Sindoro-Sumbing. Keempat gunung itu bagai dua pasang dewa yang berhadap-hadapan menjaga Candi Borobudur. Di selatan, terlena perbukitan Menoreh. Ruang di antara mereka semua itulah yang disebut sebagai Dataran Kedu yang sangat subur, karena mengalirnya beberapa sungai yang turun dari gunung-gunung itu menju ke Segara Kidul melalui celah di sebelah tenggara Borobudur. Melalui celah ini pulalah Borobudur dapat dicapai setelah melewati Candi Mendut dan Pawon. (Marco Kusumawijaya, Kompas, 19/01-03). 

Begitu pula bila dilihat dari perspektif seni dan ilmu arsitektur. Borobudur adalah sekaligus karya arsitektur dan seni patung yang maha agung. Itulah sebabnya ia ditakdirkan menjadi artefak arkeologis yang abadi, bahkan sebelum menjadi reruntuhan.  Meletakkan Candi Borobudur dalam bentang alam di atas adalah suatu tindakan arsitektural yang luar biasa, karena bekerja pada skala supramanusia, mewacanakan benda alam raksasa-gunung, pasangan gunung, sungai sebagai unsur tata ruang dan sekaligus memberanikan benda arsitektur menjadi sesanding dengan ukuran alam yang maha besar. Tak heran bila arsiteknya Gunadharma, lalu dimitoskan memiliki kesaktian dewa. Candi Borobudur adalah sebuah arsitektur karena di dalamnya terbangun secara murni pengalaman-pengalaman ruang yang mendasar. (Marco Kusumawijaya, Kompas, 19/01-03).

Berkaitan dengan alam dan lingkungan adalah fungsi hutan sekitar Borobudur tidak hanya untuk kesehatan lingkugan namun juga yang dijaga kelestariannya karena berfungsi spiritual, karena ada hutan bermakna spiritual yang mendatangkan pengalaman yang meneduhkan dan mendamaikan pikiran. Hutan merupakan suatu wujud kekhasan dan keunikan Buddhis sebagaimana diperlihatkan Siddharta mencapai pencerahan di hutan Uruwela dan di bawah pohon Bodhi.

Semua data, informasi sejarah, budaya, seni kuliner, alam, dan persektif arsitektur dan segi-segi lainnya menjadi sumber yang kaya bagi kampanye dan promosi Borobudur untuk masyarakat dunia, sehingga Borobudur menjadi pusat ziarah Buddha Dunia dan wisata religi internasional. Dengan begitu, Borobudur bukan tidak mungkin bisa kembali lagi sebagai salah satu keajaiban dunia, karena melihat keajaiban akan menginspirasi banyak orang.

Untuk itu, marilah tidak melupakan teks sejarah, budaya dan mengenali keajaiban itu yang tersimpan dalam diri kita, segenap potensi diri kita, bercermin pada keluhuran bangsa yang telah mewujudkan Borobudur sebagai suatu keajaiban. Begitu juga dengan memberi hormat dan mengenang jasa dari mereka yang telah turut menjaga, merawat, merestorasi, maupun para sesepuh yang telah mengawali tradisi Waisak di Borobudur dan mengembalikan eksistensi umat Buddha. (JP)

***

Butuh bantuan?