Borobudur Setelah Dicanangkan Sebagai Tempat Ibadah Umat Buddha (2): Sejarah Perayaan dan Bangkitnya Umat Buddha

Home » Artikel » Borobudur Setelah Dicanangkan Sebagai Tempat Ibadah Umat Buddha (2): Sejarah Perayaan dan Bangkitnya Umat Buddha

Dilihat

Dilihat : 22 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 14
  • 35
  • 30,980
4 borobudur pic

Oleh: Jo Priastana

“Di tempat suci kuno, kertas emas yang memudar

dan hijaunya dedaunan, membangunkan waktu”

(Chora, Penyair Zen Buddhism)

 

Borobudur dianggap salah satu dari sekian keajaiban dunia, dan diklaim sebagai candi Buddha terbesar di Asia Tenggara. Tak heran kalau candi peninggalan Dinasti Syailendra, yang hidup antara 780 sampai 840 Masehi ini menjadi sangat ikonik. Namun, meski sudah berdiri beradab-abad, fungsi Borobudur sebagai tempat ibadah sempat ditinggalkan. Ini terkait dengan memudarnya pengaruh Buddha di Jawa sejak Majapahit tak lagi berkuasa pada tahun 1500-an.

Peringatan Waisak baru kembali digelar secara nasional di sana sekitar 500 tahun kemudian. Borobudur adalah bangunan ibadah. Borobudur dan ritual Waisak tidak bisa dipisahkan, sebagaimana Candi dan Manusianya, ritual dan umat yang melakukannya, begitu pula dengan tokoh bersejarah dibalik diadakannya kembali perayaan Waisak di Candi Borobudur di masa Indonesia merdeka, dan momentum kebangkitan kembali agama Buddha.

 

Sejarah Waisak Monumental  

 Jauh sebelum ditetapkan hari Waisak sebagai hari libur nasional di tahun 1983, 50 tahun sebelumnya di tahun 1983, atau 500 tahun setelah keruntuhan agama Buddha pada era Majapahit, Ashin Jinarakkita (1923-2002) yang waktu itu masih pemuda bernama The Boan An, memprakarsai perayaan Waisak pada 23 Mei 1953. Salah satu pendiri Gabungan Sam Kauw Indonesia, wakil ketua pengurus pusat Pemuda Teosofi Indonesia ini melakukan usaha spektakuler untuk melestarikan agama Buddha dan memperlihatkan kepada dunia akan masih adanya umat Buddha di Indonesia setelah keprabuan Majapahit. Perayaan itu menjadi penanda eksistensi umat Buddha dan kebangkitan kembali agama Buddha.

 Pemuda visioner yang dikenal juga sebagai anagarika atau samanera Ti Chen ini sukses mengadakan perayaan Waisak secara nasional untuk pertama kalinya pada 23 Mei 1953. Upacara ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan. Inilah satu momen penting tanda kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Masyarakat mulai menyadari bahwa agama Buddha dan penganutnya masih ada di Indonesia. The Boan An, kemudian menjadi bhikkhu mazhab Theravada pada 23 Januari tahun 1954 dan dianggap sebagai biksu pertama Indonesia setelah 500 tahun keruntuhan agama Buddha pada era Majapahit, dan mulai menyandang nama Ashin Jinarakkhita.

Majalah sejarah terkemuka, Historia menyebut, Biksu Ashin Jinarakkhita telah membuat Borobudur kembali aktif menjadi situs agama Buddha, bukan sekedar bangunan mati. Perayaan Waisak ini bisa dibilang besar dan bersejarah.  Pesertanya tidak hanya berasal dari seluruh Indonesia, tetapi juga Singapura, Thailand, Burma, Sri Lanka hingga India. Perayaan Waisak 1953 ini juga sering disebut sebagai penanda eksistensi dan kebangkitan kembali umat Buddha di Indonesia.  Bhiksu Ashin Jinarakkhita pun merupakan tokoh historis agama Buddha di Indonesia yang menyandang sebutan pelopor kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia.

 

Waisak Teosofi

Namun sejarah juga mencapat, sebelum 1953, sekitar tahun 1930-an Waisak juga sempat digelar di Borobudur. Namun pada Waisak 1930-an itu, Waisak bukan digelar oleh komunitas Buddha (karena belum terbentuk) melainkan oleh para anggota Teosofi yang banyak diikuti oleh orang Eropa dan ningrat Jawa. Perayaan Waisak oleh kalangan Theosofi ini dilaksanakan lebih secara meditatif, ketimbang seremoni. Para teosof menamakan ritual ini sebagai tirakatan wungon purnomosiden. Peneliti menyebut ritual waisak ini adalah bentuk ketertarikan para teosof pada filosofi yang dibawa Siddharta Gautama.

 Penemuan candi Borobudur oleh Stamford Rafles dan candi-candi umat Buddha yang lain semakin memberi motivasi para teosof untuk lebih menggali ajaran Buddha. Mengutip laman Kemendikbud, Waisak versi para teosof ini berhenti saat terjadi perang kemerdekaan dan 1953. Kalangan Theosofi memiliki andil besar dalam sejarah kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia.

 

Waisak Buddha Jayanti

Di tahun 1956, Biksu Ashin Jinarakkhita yang belum lama pulang dari perjalanan bergurunya ke Burma, kembali memiliki andil dalam menyelenggarakan Waisak.  Perayaan Waisak di tahun 1956 kali ini cukup monumental karena bertepatan dengan usia agama Buddha ke 2500 atau yang disebut dengan Buddha Jayanti yang juga dirayakan umat Buddha di seluruh dunia. 

Gelaran Waisak di Borobudur diselenggarakan oleh Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) yang didirikan Biksu Ashin JInarakkhita pada 1955. Organisasi ini mempunyai jaringan kuat di Indonesia dan komunitas Buddha Internasional.  Ini terbukti dengan diterbitkannya buku “2500 Buddha Jayanti” oleh PUUI dengan kontributor artikel PM India Jawaharlal Nehru, Presiden World Fellowship of Buddhist, Prof. Dr. GP Malalasakera, hingga Ketua Les Amis du Buddhisme, Mademoiselle G Constat Lounsbery, B.Sc.

 

Waisak 1959

Selain di tahun 1953 dan 1956, Waisak monumental lain di Borobudur terjadi juga pada 1959. Kali ini diisi dengan pentahbisan biksu dan samanera dari Indonesia untuk pertama kali dalam sejarah sejak kebangkitan agama Buddha di Nusantara. Acara perayaan Waisak Borobudur 1959 digelar dengan sembahyang di Candi Mendut kemudian melakukan prosesi jalan kaki menuju Candi Borobudur. Sesampainya di Candi Borobudur, umat melakukan ritual puja pradaksina atau mengelilingi stupa utama sebanyak tiga kali dan bermeditasi hingga melewati detik-detik Waisak. (Asumsi.com, Irfan Muhammad 26 Mei 2021). Suatu perayaan Waisak, beribadah di momen hari Waisak yang begitu spiritual, meditatif, semuanya tenggelam dalam rasa kebersamaan dan kebersatuan dalam semesta alam.

 

 Waisak Nasional dan Kebersamaan

Dengan selintas menyelami pelaksanaan ritual dan upacara Waisak dalam sejarah Borobudur, kiranya Borobudur setelah dicanangkan sebagai tempat ibadah umat Buddha ini dapat menjadi katalisator untuk bersatunya umat Buddha dan momentum meningkatkan pembangunan keagamaan Buddha secara Nasional. Bersama melaksanakan ritual di Candi Borobudur dalam perayaan Waisak Nasional serta menyempurnakan kebangkitan kembali agama Buddha yang telah dirintis oleh para sesepuh dengan lebih aktif dan kreatif dalam melaksanakan pembangunan keagamaan Buddha secara Nasional. Kita bisa bercermin dan mengambil makna serta energi bersama pada sejarah perayaan Waisak di Candi Borobudur.

Kita lihat bagaimana di tahun 1930 para teosof melakukan ritual di Candi Borobudur dengan penuh khusyuk dalam laku meditatif. Berlanjut dengan The Boan An di tahun 1953 yang memprakarsai ritual Waisak di Candi Borobudur. Perayaan Waisak 1953 yang tidak hanya menunjukkan bahwa Borobudur memang merupakan bangunan tempat ibadah, tetapi sekaligus juga memperlihatkan kepada dunia akan adanya, eksisnya umat Buddha di Nusantara dan juga sekaligus sebagai momentum kebangkitan kembali agama Buddha.

Lalu di tahun 1956, Waisak di Borobudur begitu sangat monumental seturut dengan merayakan 2500 tahun agama Buddha yang dikenal sebagai Buddha Jayanti. Saat itu Nusantara kembali memiliki seorang Bhikkhu, The Boan An telah menjadi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan dikenal sebagai bhikkhu pertama setelah kejayaan kerajaan Majapahit di Nusantara. Begitu pula di tahun 1959, Waisak diisi dengan upasampada para Bhikkhu.

Berikutnya, setelah Waisak dijadikan hari libur Nasional di tahun 1983, perayaan Waisak di Candi Borobudur telah menjadi kegiatan rutin tahunan sebagai perayaan Waisak Nasional yang diikuti oleh segenap seluruh umat Buddha di Indonesia apa pun latar belakang alirannya. Segenap umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia datang untuk bersimpuh di bawah bulan purnama Waisak merayakan Waisak dalam kebersamaan dan rasa persatuan yang tiada taranya sambil mengenang bersama jasa para leluhur dan tokoh-tokoh bersejarah di dalam kebangkitan kembalinya agama Buddha di Indonesia, maupun tokoh-tokoh berjasa dalam pemugaran Candi Borobudur. 

Benar kata sosiolog, filsuf Emile Durkheim dan antropolog Radcliffe-Brown bahwa upacara dapat mempertebal perasaan kolektif dan integrasi sosial. Bahwa ritual keagamaan merupakan suatu mekanisme primer untuk mengekspresikan dan menguatkan kembali sentimen dan solidaritas kelompok, karena dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Agama melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.  (Roger M.Keesing, “Cultural Anthropology”, 2008: 106-109).

Borobudur warisan leluhur tak ternilai, kembali bangkit dari keruntuhannya berkat orang-orang berjasa dari seluruh dunia, dan juga peran besar pemerintah. Pantaslah bila di Borobudur perayaan Waisak itu dilakukan secara nasional-inklusif. Apa maknanya? Perayaan yang diikuti oleh segenap umat Buddha. Umat Buddha dalam majelis yang tidak hanya bergabung dalam wadah Walubi Jilid II (Perwakilan Umat Buddha Indonesia) yang dipimpin oleh Ibu Dra. Hartati Murdaya sejak seperempat abad lalu, namun adalah umat Buddha seluruhnya, semuanya, inklusif.

Perayaan Waisak yang namanya Nasional di candi peninggalan leluhur yang pantasnya terbuka  diikuti umat Buddha SEMUANYA, inklusif, baik yang bergabung dengan Walubi, Permabudi (Persatuan Umat Buddha Indonesia), maupun umat Buddha lainnya yang tidak tergabung dalam majelis manapun, termasuk pula yang datang dari mancanegara. Para pemimpin Buddhis bijak perlu mencermati hal ini dan bisa belajar dari sejarah Borobudur, perayaan Waisak maupun pemugarannya dari keruntuhannya. Borobudur adalah milik semua umat Buddha, milik dunia dan banyak peran bangsa-bangsa di dunia yang mengembalikan keutuhan Borobudur sebagai tempat ibadah.

Semuanya pantas datang berhimpun di bawah Candi Borobudur dalam rasa kebersamaan melaksanakan ibadah yang sesungguhnya sepenuh hati dalam laku meditasi sehingga menghadirkan rasa kebersamaan, kolektif dan persatuan. Mari bersama berhimpun dibawah sinar bulan purnama merasakan getar-getar keagungan kesucian Sang Buddha, mewujudkan rasa hormat terima kasih kepada para leluhur yang telah memanifestasikan kebuddhannya dalam karya budaya candi Borobudur, serta kepada pemerintah Indonesia dan tokoh-tokoh berjasa pelestari Borobudur, kebangkitan kembali agama Buddha dan lainnya yang memungkinkan Borobudur tetap sebagai tempat ibadah turun temurun dari generasi ke generasi umat Buddha. Dan semoga begitulah selanjutnya ke generasi berikutnya.

Dari sejarah kita melihat masa depan. Restropektif Borobudur untuk prospektif kemajuan umat Buddha Nasional. Pencanangan Borobudur sebagai tempat ibadah ini hendaknya dapat dijadikan momentum menumbuhkan rasa persatuan umat Buddha yang memperlihatkan bahwa Borobudur itu sungguh tidak bisa dipisahkan dari umat Buddha. Selain itu, pencanangan ini juga dapat dimaknai sebagai momentum dan katalisator kebangkitan segenap umat Buddha, praktisi aktivis Buddhis, serta organisasi Buddhis untuk siap berkembang dan maju bersama mewujudkan pembangunan keagamaan Buddha secara Nasional di era revolusi teknologi digital ini! Svaha! (JP).  

 

Bacaan:

Kompas, 12/2/2022, HRS.

Sejarah Hari Waisak dan Ragam Perayaannya di Dunia, CNN Indonesia, 26 May 2021.

Waisak di Borobudur, Serafica Gischa, Kompas.com, 7 Mei 2020.

CNN Indonesia, 18 Mei 2019, “Ribuan Umat Buddha Kirab Waisak Mendut-Borobudur

Asumsi.com, Irfan Muhammad 26 Mei 2021.

Ismijomo, Perpustakaan BPNB Jawa Barat, Perpustakaan Khusus Sejarah dan Kebudayaan, e.g. Library and Information, aanbpnbjabar.kemdikbud.go.id, 7322.

Tokoh Di Balik Kemahsyuran Candi Borobudur, Kompas.com, 25 April 2020, 16.00 WIB.

Roger. M. Keesing. 2008. “Antropologi Budaya. Suatu Perspektif Kontemporer.” Alih Bahasa Samuel Gunawan dari “Cultural Anthropology. A Contemporary Perspective. 1981. Jakarta: Erlangga.

Jo Priastana, 2005. “Be Buddhist Be Happy”. Jakarta: Yasodhara Puteri.

Pustaka Pengetahuan.com. “Sejarah Candi Borobudur, Penemuan, Pemugaran Dan Rehabilitasi Candi Borobudur.” 19 Agustus 2020.

JPN.com Historiana, “Begini Cara Inggris, Belanda dan Jepang Menjaga Borobudur Ketika Menduduki Jawa,” 01 Februari 2016.

Edij Juangari. 2016. ”Menabur Benih Dharma di Nusantara: Riwayat Singkat Y.A. MNS Ashin Jinarakkhita”. Jakarta: Karaniya.

Butuh bantuan?