Borobudur Setelah Dicanangkan Sebagai Tempat Ibadah Umat Buddha (5): Jalan Kaki Jakarta-Borobudur Laku Spiritual, Demi Borobudur Sakral

Home » Artikel » Borobudur Setelah Dicanangkan Sebagai Tempat Ibadah Umat Buddha (5): Jalan Kaki Jakarta-Borobudur Laku Spiritual, Demi Borobudur Sakral

Dilihat

Dilihat : 14 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 88
  • 63
  • 23,129
WhatsApp Image 2022-05-04 at 8.12.42 PM

Oleh: Jo Priastana

 

Peace is every step. Freedom is every step. Mindfullness is every step.

Living is every step” (Thich Nhat Hanh, 1926-2022, Zen Master)

  

Pada suatu masa di pertengahan 1970-an, ada seorang anak muda mengunjungi Borobudur di Magelang Jawa Tengah. Sang Buddha yang dikenalnya bersemayam di Borobudur begitu menggerakkan hati dan panggilan jiwanya. Daya tarik luar biasa menggetarkan seperti istilah Rudolf Otto “mysterium tremendum et fascinan,” “misteri menggetarkan dan sekaligus menarik” (Buku The Idea of the holy, 1917) dari candi agung Borobudur sebagai bangunan suci. Daya tarik yang akhirnya menggerakkan langkahnya menyusuri jalan-jalan beratus kilometer jauhnya, dari Jakarta menuju Borobudur.

 Di suatu senja pada suatu waktu di akhir 1970-an, ketika mendengar obrolan seniman-seniman muda di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, terpetik suara bahwa si seniman gondrong yang kerap berpetualang sedang berada dalam perjalanan menuju Borobudur. Ke stupa Induk Borobudur itu, ia datang hanya untuk duduk-hening bermeditasi di bawah siraman cahaya bulan purnama saat detik-detik Waisak.

Sementara itu, sekelompok anak muda di awal 1980-an yang sedang bercengkerama pada suatu sore di sebuah warung makan di Jakarta kota, begitu menyadari bahwa malam hari yang tinggal beberapa jam lagi adalah saat datangnya malam Waisak, langsung saja mereka bangkit tancap kaki menuju bandara Soekarno-Hatta, dan pesawat Sempati Airlines pun membawanya menuju Yogyakarta untuk sampai di Borobudur.  Mereka akhirnya tiba di candi agung dengan sempat mencicipi nikmatnya bersamadi di bawah curahan cahaya purnama saat detik-detik Waisak.

Seorang tua berpakaian adat Jawa di suatu siang di pelataran Candi Borobudur, menjelang perayaan Waisak di tahun 1994, di bawah pohon Bodhi di sisi candi tampak dengan santainya menggerakkan sebatang ranting kayu dan menggores-goreskannya di tanah sambil menceritakan tentang tahapan spiritual Borobudur dan perilaku tapa kepada seorang anak muda. Sementara dari sejarah, kita mengenal Rabindranath Tagore (1861-1941) dalam puisinya “Borobudur” yang melukiskan keagungan kesadaran Buddha seraya menyerukan Biarlah Buddha Menjadi Pelindungku,” “Biarlah Sang Pembebas Menjadi Pelindungku”.

 

Spiritualitas Borobudur

Masih banyak lagi mereka yang terpesona akan keagungan Borobudur dan menariknya sebagai mandala kontemplasi sebagaimana Sang Buddha dalam rupang yang duduk hening bermeditasi, bersemayam dalam Borobudur telah berabad-abad lamanya.  Tidak disangsikan pula banyak pula anak-anak muda, beragam manusia dari mancanegara beribu-ribu kilometer jauhnya dari Borobudur. Mereka datang naik turun pesawat, gonta ganti kereta api atau andong atau becak dan menyusuri jalan-jalan berdebu, datang hanya untuk dapat duduk bersimpuh dan duduk hening bermeditasi di sisi stupa Buddha.  

Mungkin, anak muda itu hanyalah salah satu dari sekian jutaaan manusia lain yang terpesona akan keagungan candi Borobudur. Banyak anak muda berbagai daerah dan negara   yang juga terobsesi akan candi Borobudur sehingga harus menengoknya seketika hati tergerak, menempuhnya dengan gayanya masing-masing dan dengan cara apapun. Hanya satu tujuan, yaitu dapat duduk hening bersama Buddha di Candi Borobudur dalam keindahan bentangan alam perbukitan Menoreh dan keramahan penduduk sekitarnya.

Namun adakah kini kita jumpai sikap-sikap dan perilaku meditatif yang telah menjadi lakon dari nenek moyang kita dahulu kala itu? Perilaku yang menyelam ke dalam dasar batin dan mampu mendeteksi setiap peristiwa dunia hanya dalam getaran rasa, dimana suara gending, lemah gemulai penari jawa  dan angin yang berhembus di perbukitan Menoreh tidak terbedakan lagi kehalusan dan kelembutannya oleh mereka yang menikmati keheningan dan kesunyian. Masih begetarlah nada-nada Sakral Borobudur di balik kebisingan slogan Borobudur Pusat Ziarah Buddha Dunia serta tawaran paket wisata travelling yang hanya menghitung dalam besaran angka pendapatan dan kunjungan wisatawan?

Sangat penting dan bernilai untuk terus menjadikan ibadah perayaan Waisak setiap tahun diadakan dibawah kaki Borobudur yang sakral sungguh spiritual, meski melakukan pendakian dari kaki candi ke puncak stupa sudah merupakan ibadah itu sendiri. Perayaan Waisak yang spiritual yang menarik dan menggetarkan pancaran dari yang suci sehingga mengundang warga dunia datang untuk melenyapkan kehausan kerohaniannya. Mereka menemukan makna hidup sejatinya sambil juga mendaki bukit kesadaran Buddha, candi Borobudur yang berdiam dalam bumi tanah Jawa di tengah damainya bentangan alam dan keramahan penduduk sekitarnya.

 

Jejak Kaki Menuju Borobudur

Mengunjungi Borobudur bukit kesadaran Buddha, mendakinya menemui stupa induk dimana Buddha bersemayan hanya diperlukan jalan kaki. Kaki yang melangkah berputar horisontal dan vertikal. Ada catatan fenomenal yang sayang untuk dilupakan dari aktivitas anak muda yang berjalan kaki dari Jakarta-Borobudur. Mereka menjalani pemurnian kesadaran untuk Waisak yang Spiritual dan demi Borobudur Sakral yang menurutnya sudah terpolusi oleh gaya travelling ketimbang sebagai spiritual-journey. Lima anak muda Buddhis: Darsono, Utomo, Karjono, Novianto, Susanto, mahasiswa STAB Nalanda Jakarta melakoninya dengan laku berjalan kaki dari Jakarta menuju Borobudur.

Jarak Jakarta-Borobudur sekitar 600 km itu mereka tempuh dalam waktu 18 hari. Mereka memulai perjalanan dari kampus STAB Nalanda, Pulo Gebang, Jakarta Timur pada tanggal 8 Mei 2010 dan menamakan aktivitasnya “Jejak Kaki Menuju Borobudur” dengan berjalan kaki dari Jakarta menuju Borobudur sebagai suatu aktivitas spiritual. Mereka melakoni jalan kaki dengan perhatian penuh seraya melatih kesadaran, sebagai bentuk ibadah membawa pesan dan seruan agar perayaan Waisak tetap Spiritual serta sebagai pegingatan terhadap kesakralan candi Borobudur sebagai Bukit pendakian spiritual.

Pemberangkatan pada hari Sabtu, 8 Mei 2010 pukul 15.00 sore dilepas oleh sejumlah tokoh Buddhis dan tokoh Masyarakat Buddha, seperti: Perwakilan Pembimas Buddha DKI Jakarta, Motivator Andri Wongso, Ponijan Liaw, Dosen senior STAB Nalanda, Muljadi Wahjono SH, Budhiartha SH, Jo Priastana, dosen-dosen Nalanda, diberkati oleh Bhikkhu Sukhemo Mahathera, serta Ibu Wenny Lo yang mengungkapkan laku kelima anak berjalan kaki dari Jakarta-Borobudur itu sebagai bentuk kegiatan mahasiswa Buddhis yang fenomenal.

Sedangkan, sejumlah mahasiswa, pemuda Buddhis turut menyemangati ke lima pejalan kaki yang membawa panji Buddhis dan bendera merah putih tertancap di tas ranselnya, dengan menemaninya berjalan sampai batas kota, Pondok Ungu Bekasi Barat. Sepanjang perjalanan yang mereka lalui, mereka singgah di Vihara-vihara, bermalam di kantor polisi, seraya mengabarkan pesan tentang kesakralan candi Borobudur. Rute yang mereka lalui, kota Bekasi, Karawang, Jalur Pantura, Jati Barang, Cirebon, Losari, Bumiayu, Purwokerto, Banyumas, Sumpiuh, Gombong, Kebumen, Purworejo, Salaman, Magelang, Blabak, Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur. 

Setiba di Candi Agung Borobudur, lima pejalan kaki ini melakukan pradhaksina secara khusus, serta menyampaikan tanda ucapan terima kasih kepada PT. Taman Wisata Borobudur yang mereka pandang selama ini telah turut andil dalam melestarikan Candi Borobudur. Ucapan Waisak mereka sampaikan kepada ketua umum Walubi beserta majelis masing-masing, serta Sekjen KASI yang tengah merayakan Waisak di Candi Agung Borobudur.

Perjalanan spiritual mereka yang mengandung tekad kuat (adhitana) ini kiranya akan memberikan imbas dan inspirasi serta tekad kepada kita semua untuk turut melestarikan dan mensakralkan Candi Borobudur. Laku spiritual Jalan Kaki Menuju Borobudur ini kiranya dapat menyemangati kita untuk terus berkarya bersama Borobudur dalam pendakian Bukit Kesadaran Buddha yang mencerahkan ragam lakon kehidupan. (CF-BUN, Cen Fo Indonesia April – Mei 2010).

Lima mahasiswa berjalan kaki menuju bukit kesadaran Buddha Candi Borobudur, karena baginya jalan kaki adalah laku spiritual. Agama Buddha yang mengandung spiritualitas itu dihayatinya dan diibaratkan orang berjalan kaki. Mereka melakukannya dan seakan menunjukkan bahwa beragama itu khususnya berBuddha itu hendaknya mencerminkan spiritualitas seperti orang berjalan kaki, sebagaimana Buddha berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya di sepanjang hidupnya.

 

Spiritualitas Jalan Kaki

Budayawan Sindhunata pernah mengungkapkan (Kompas, 25/12/2005) “agama iku wong mlaku saumpame.- Agama itu ibaratnya seperti orang berjalan kaki”. Orang yang berjalan kaki akan lebih detail melihat permasalahan, melihat peristiwa, dan memahaminya. Lain dengan orang yang naik mobil, yang hanya sepintas dalam melihat keadaan atau peristiwa, dan bahkan hanya mendapat gambaran sepotong-sepotong. Melihat persoalan, peristiwa dan memahami secara detail yang terjadi dalam kehidupan manusia, itulah yang harus dilakukan oleh agama”.

Penulis buku “Anak Bajang Menggiring Angin,” (1980) dan “Anak Bajang Mengayun Bulan” (2022) ini menambahkan, “dengan begitu agama bisa memberikan jawaban dan pemecahan persoalan kehidupan, baik secara individu atau pun dalam komunitas masyarakat. Intinya, jalan kaki juga mengandung makna simbolik bagi perjuangan kaum beragama. Bahwa persoalan agama bukan hanya persoalan tata ibadah tetapi juga menunjukkan perannya dalam ikut bertanggungjawab dengan lingkungan”.

Ada ungkapan, berjalanlah sejauh kakimu mampu melangkah, pasti senang dan menyehatkan. Berjalan kaki memang mengasyikkan, apalagi bila udara segar dan bersih. Makin banyak berjalan tubuh makin sehat, perut tidak buncit, jiwa segar, dan pikiran terang. Kita perlu membangun budaya jalan kaki, karena memungkinkan lebih sehat dan segar. Bahkan jalan kaki itu memiliki makna spiritual.

Jalan kaki bukan sebuah ketergesaan memburu sesuatu yang harus dikejar atau berjalan dengan melenakan kesadaran dan pikiran yang mengelantur. Berjalan kaki mengatur irama langkah dalam gerakan yang bebas, lembut dan serasi, penuh perhatian dalam setiap langkah-langkahnya. Jalan kaki adalah jalan kesadaran itu sendiri, menikmati setiap langkah yang kita lakukan. Setiap langkah adalah menyehatkan dan menyembuhkan. Saat kita berjalan, pancarkan dan jejakkan rasa terima kasih dan kasih sayang pada bumi.

 

Meditasi Jalan Kaki

Jalan kaki bersifat spiritual mencerminkan kelestarian lingkungan dan dapat dilakukan sebagai suatu bentuk meditasi, moving meditation. Sebagai moving meditation, walking meditation berjalan kaki memadukan antara gerakan fisik, langkah-langkah kaki dengan pernapasan, perasaan, dan pikiran dalam suatu kesatuan yang serasi. Meditasi dalam gerak, begitulah yang terjadi dalam berjalan kaki.

 Meditasi jalan kaki menjadi perhatian dari Zen Master Thich Nhat Hanh. Jalan kaki merupakan meditasi itu sendiri. Diungkapkannya, “saat kita berjalan, kita berlatih meditasi. Ini artinya bahwa kita tahu bahwa kita sedang berjalan. Kita berjalan untuk berjalan. Kita berjalan dengan kebebasan dan keteguhan, tidak terburu-buru. Dan ketika kita berbicara, kita hentikan gerakan kita dan berikan perhatian sepenuhnya pada orang lain, pada setiap kata dan dengarkan.

Berjalan dengan penuh perhatian itu seharusnya dapat kita lakukan dalam setiap momen. Lihatlah keadaan sekitar dan lihat betapa cepatnya kehidupan ini. Pohon, awan-awan putih dan langit yang tidak terbatas. Dengarkan suara burung-burung. Rasakan tiupan angin yang menyegarkan. Kehidupan ada di sekitar kita dan kita hidup, sehat serta mampu untuk berjalan dengan damai. Marilah kita berjalan sebagai seorang yang bebas dan rasakan langkah kita dengan ringan”. (Cen Fo Indonesia, No.113/Agustus 2010).

Kegiatan berjalan kaki dalam pradaksina mendaki Bukit Kesadaran Buddha sebagai Pradaksina mendaki Candi Borobudur dari dasar candi dengan langkah yang memutar mengelilingi hingga ke puncak Candi Borobudur perlu kita lakukan setiap berkunjung ke Borobudur sebagai laku ibadah. Dalam langkah berputar mengelilingi setiap tingkatan candi merasakan tahapan-tahapan kehidupan samsara, kamadhatu (alam nafsu), rupadhatu (alam bentuk/ide), dan arupadhatu (alam tanpa bentuk) hingga pada akhirnya gerakan langkah itu berhenti, diam, damai, berserah dalam dharmamegha-awan dharma dan pencerahan akasa, kesunyataan suwung yang telah menanti di puncak stupa sejak ribuan tahun lampau!  (JP)

***

Butuh bantuan?