Borobudur Setelah Dicanangkan Sebagai Tempat Ibadah Umat Buddha (6): Memaknai Puisi ‘Borobudur” Pujangga Dunia Rabindranath Tagore

Home » Artikel » Borobudur Setelah Dicanangkan Sebagai Tempat Ibadah Umat Buddha (6): Memaknai Puisi ‘Borobudur” Pujangga Dunia Rabindranath Tagore

Dilihat

Dilihat : 117 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 44
  • 114
  • 43,429
Rabindranath Tagore

Oleh: Jo Priastana

“Cinta adalah satu-satunya kebenaran hidup yang membuat segala kebenaran kelihatan sejati” (Rabindranath Tagore, 1861-1941; Mistik, Penyair dan Peraih Nobel Sastra)

Bila kita berada di depan Hotel Manohara Center of Borobudur Study, maka akan kita temukan patung Rabindranath Tagore. Serasa pemikir, pujangga dunia dari India ini sedang menyambut kita yang datang ke Candi Borobudur untuk memasuki dunia budaya Buddha yang begitu luhur dan maju. Keberadaan patung itu sekaligus menunjukkan betapa terhormatnya kedatangan Rabindranath Tagore yang pada tahun 1927 mengunjungi Jawa, Bali dan juga Candi Borobudur.

Kita bisa membayangkan bagaimana situasi keadaan dunia saat itu, saat transporasi masih mempergunakan kapal laut. Berapa hari dia harus menempuh perjalanan dari tanah airnya di India untuk sampai bersimpuh di Candi Borobudur. Perjalanan Tagore, yang bertolak dari Kalkuta pada 12 Juli 1927 untuk menyambangi hampir seluruh Asia Tenggara, memasuki perairan Indonesia pada 17 Agustus melalui Sumatera dan sampai di Jakarta 21 Agustus dan terus ke Bali, Surabaya, Surakarta, Jogja, Bandung, dan bertolak pulang dari Jakarta pada 30 September 1927, dengan sebelumnya tiba dan menyelami Borobudur.

Mengunjungi Candi Borobudur, Tagore (1861-1941) sempat membuat puisi tentang Borobudur. Puisi yang sangat memukau secara puitik dan ritmis, dan juga baris-baris katanya yang memperlihatkan kejelian penglihatan dan keluasan hati Tagore dalam menyikapi Borobudur dan lingkungan sekitarnya pada masa itu. Rabindranath Tagore membuat puisi “Borobudur” pada pagi hari 23 September 1927 di pelataran candi. Baiknya kita nikmati saja puisinya di bawah ini, sebuah puisi yang sangat memukau, menggetarkan dan meresap merasuk ke dalam hati manakala dibacakan atau diperdengarkan, “Biarlah Buddha atau Sang Pembebas Menjadi Pelindungku”.

 

Puisi “Borobudur”, “Biarlah Buddha Menjadi Pelindungku”

Mentari bersinar di kala pagi nan jauh. Sementara hutan mendesahkan gita memuja cahaya. Dan bukit-bukit berselimut kabut, berkilau lembut lembayung laksana impian pertiwi. Seorang diri Sang Raja di rumpun kelapa, tenggelam dalam suatu bayangan cipta, hati berdebar dengan gelora harapan, untuk menyebarkan gita pujaan, pada titian waktu sepanjang masa. “Biarlah Buddha menjadi pelindungku.”

Kata-katanya menjelma nyata dalam ungkapan kebahagiaan tak kenal ajal, dalam pelukan keagungan lekuk bentuknya: Borobudur, Bumi mendekapnya di relung hati, bukit menjunjungnya menjulang ke angkasa. Jaman demi jaman mentari setia mengguyur, tuk menerangi keagungannya, kala panen ditabur dan dituai, di ladang-ladang dekat gemericik sungai. Sementara kehidupan dengan sinarnya yang beraneka, menciptakan bayangan bak lukisan pada kanvas waktu, dengan nada nan berubah selalu, begitu doa terucap di kejauhan sunyi pagi yang bersejarah, gaungnya menggema di tengah pencarian manusia, di sela waktu yang muncul dan berlalu. “Biarlah Buddha menjadi pelindungku”.

Datang generasi-generasi musafir, untuk mencari bisikan abadi bagi pemujaan mereka dan gita terpahat ini, dalam simfoni isyarat yang agung: Borobudur, mengangkat nama mereka yang tak berarti dan berucap bagi mereka. “Biarlah Buddha menjadi pelindungku”.

Jiwa kata-kata itu telah terpendam dalam kabut, dalam era penuh ejekan ketidakpercayaan ini, namun mereka yang di dalam pencarian berkerumun di sini, tuk menatap dalam pemandangan agung dengan penuh hormat. Manusia kini tak lagi memiliki kedamaian, hatinya kering dibakar kecongkakan, terus menuntut didera kemarahan nafsu, mengejar segala benda yang terus menggoda namun hampa makna: bila waktunya tiba baginya, dia harus datang ke tempat ini, akhirnya digapainya keheningan nan suci itu, yang berdiri diam di tengah gelora abad-abad keriuhan sampai dia dipenuhi keyakinan bahwa dalam kasih nan tak terukur terdapat makna Kebebasan Tertinggi yang bermadah: “Biarlah Buddha menjadi pelindungku”. (Sikyhendrowibowo.blogspot.com, 4422).

Tagore menulis puisi Borobudur pada 23 September 1927 saat dia berada di Borobudur menghabiskan pagi harinya di beranda pesanggrahan Borobudur. Sebuah puisi menawan yang membersitkan Borobudur sebagai warisan budaya dunia, mengandung nilai-nilai universal yang didatangi oleh anak segala bangsa yang mencari damai dari hiruk pikuk dunia. Nilai-nilai Borobudur berifat universal, menjadi daya tarik dunia, dapat dinikmati oleh masyarakat dunia mengatasi sekat-sekat identitas keagamaan yang kadang cenderung mempersempit bagi yang datang untuk menikmatinya.

 

Film “Lingsir Wengi”, “Biarlah Sang Pembebas Menjadi Pelindungku”

 Borobudur mengandung nilai yang universal. Dari puisi “Borobudur” yang ditulis pujangga dunia asal India ini, Rabindranath Tagore, kita bisa menyimak makna spiritual yang disingkap oleh penyair agung ini, makna Borobudur sebagai monumen perjalanan spiritual dari orang yang telah terbebaskan, Buddha yang disebutkan telah menjadi perlindungannya, perlindungan kita semua.

Perlindungan itu sesungguhnya tidak hanya dimaknai semata bagi mereka yang beridentitas keagamaan, namun semua untuk umat manusia, demi kebahagiaan semua makhluk. Bahwa sesungguhnya spiritualitas Buddha yang terwujud dalam candi Borobudur yang dibangun oleh leluhur bangsa di Nusantara ini juga dapat dinikmati segenap bangsa di dunia baik Timur maupun Barat, bukan semata umat Buddha.

Dapatlah kita terima dan kita pahami, bila baris dari puisi “Borobudur” yang ditulis Rabindranath Tagore yang berbunyi “Biarlah Buddha Menjadi Pelindungku” yang terdapat pada setiap akhir bait itu, dapat diterjemahkan atau dimaknai “Biarlah Sang Pembebas Menjadi Pelindungku”.  Kata Sang Pembebas pengganti kata Buddha sehinga Borobudur bisa dimaknai lebih luas, dinikmati oleh segenap bangsa yang tanpa merasa terikat oleh karena identitas agama. Dengan begitu pula, maka menjadi terasa terwujudkannya makna Buddhadharma yang universal, bahwa Buddha, Sang Pembebas itu adalah demi kebahagiaan semua makhluk.

Bunyi “Biarlah Sang Pembebas Menjadi Pelindungku,” sebagaimana terdengar begitu indah, syahdu dan menggetarkan disepanjang film “Lingsir Wengi (Borobudur)” yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film dibuka dengan mendengarkan puisi “Borobudur” karya Rabindranath Tagore, dan menghiasi di sepanjang film yang berdurasi 48 menit itu.

“Manusia kini tak punya damai, hatinya kering akan kebanggaan diri, selalu mendambakan percepatan dalam hingar bingar mengejar benda-benda yang tiada henti berlari dan tak punya makna, hingga nanti pada suatu saat, ia membutuhkan keheningan yang berdiri tegar di tengah abad-abad bergolak kebisingan, sampai pada akhirnya ia yakin, di dalam lautan cinta yang tak terukur, ada makna terdalam yang terbersit dalam doa, “Biarlah Sang Pembebas Menjadi Pelindungku” 

 Dalam film “Lingsir Wengi (Borobudur)” yang indah memukau dan menggetarkan hati itu, terasa tergambarkan keagungan candi Borobudur lewat puisi “Borobudur” Rabindranath Tagore, serta berbagai aspek yang berkaitan dengan keterampilan yang tertera dalam relief-relief candi, seperti seni tari, kuliner, seni membatik, tanaman-tanaman dan lainnya cermin ekosistem lingkungan, alam di sekitarnya. Selain budaya spiritual berbagai keterampilan yang masih terwariskan dalam masyarakat sekitar Candi Borobudur hingga kini juga terlukiskan baik melalui dialog para pamerannya maupun melalui sajian gambar-gambar indah yang menawan.

 Sebuah film tentang Borobudur dan masyarakat yang mendukungnya yang mampu memberi pelajaran berarti dan dapat dinikmati oleh siapa saja lepas asal-usul identitas. Film yang sangat menawan tentang budaya dan alam Borobudur dimana seakan menyatakan di bawah dan disekitar Borobudur, Sang Pembebas Melindungi Semua Makhluk, Alam, Lingkungan dan kehidupan sekitarnya, dan itu tersaji dalam bait-bait puisi Borobudur Rabindranath Tagore yang menghiasi sepanjang film “Lingsir Wengi”.

“Seorang diri sang dewi di rumpun kelapa, netra tenggelam dalam suatu bayangan cinta, hati berdebar dengan gelora harapan, untuk menyebarkan gita pujaan, pada titian waktu sepanjang masa, “Biarlah Sang Pembebas Menjadi Pelindungku.”.

“Jaman demi jaman mentari setia mengguyur untuk menerangi keagungannya, di kala panen ditabur dan dituai, di ladang-ladang dekat gemericik sungai, sementara kehidupan dengan sinar yang beraneka, menciptakan bayangan bak lukisan pada kanvas waktu, dengan nada dan rupa selalu, begitu doa terucap di kejauhan sunyi pagi yang bersejarah, gaungnya menggema di tengah pencaharian manusia, di sela waktu yang muncul dan berlalu, “Biarlah Sang Pembebas Menjadi Pelindungku”.

“Sang dewi di hari-hari akhirnya, lebur dalam bayangan suatu malam tak bernama, diantara sekian banyak malam tanpa kenangan, tinggalah penghormatan kepada irama bebatuan yang bertahan dan selalu berseru, “Biarlah Sang Pembebas Menjadi Pelindungku”.

“Jiwa kata-kata itu telah terpendam dalam kabut, dalam era penuh ejekan ketidak-percayaan ini, namun mereka yang di dalam pencaharian berkerumum di sini, tuk menatap dalam-dalam pemandangan agung dengan penuh hormat. “Biarlah Sang Pembebas Menjadi Pelindungku”.

Masyarakat di sekitar Borobudur hidup dengan alam, bersama alam mereka tumbuh dan mengenal dirinya. Borobudur dan lingkungan alam sekitarnya begitu menyatu dan memang telah menyentuh rasa hati manusia yang terdalam. Mereka yang mengenal dirinya, merindukan pembebasannya, bebas dari hawa nafsu, keakuan, mementingkan diri sendiri, kebenaran sejati yang berpuncak pada cinta kasih, menemukan hening dan damai, menemukan diri yang sebenarnya bersama alam, sebagaimana ujar Soe Hok Gie: “Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya”.

Borobudur sebagaimana ajaran Buddha yang Universal telah menyapa hati manusia tanpa ada sekat-sekat identitas, ikatan, tanpa peduli latar belakang dan adal usul, keturunan, diperuntukkan untuk semua bangsa di dunia bahkan segenap makhluk. Nilai Borobudur begitu dalam dan luas,  tak terbatas dan tidak sekedar menjadi pusat kunjungan religi umat Buddha saja di dunia, namun juga untuk segenap makhkuk hidup di dunia yang mendambakan kebahagiaan, kedamaian.

Semuanya belajar di jalan pembebasan dan pelepasan untuk mencapai kedamaian abadi. Borobudur telah menjadi milik bangsa Indonesia, bangsa-bangsa di Dunia, dan menjadi orientasi bagi mereka yang mendambakan kedamaian. Sebuah bangunan yang berfungsi sebagai terapi dan spiritual kesehatan bagi bangsa-bangsa di dunia yang mengalami kebingungan (confuse), kesakitan rohani akibat hiruk pikuk kemajuan jaman dan yang terperangkap oleh cara hidup materialisme, ambisi, dan hedonisme, utilitarianisme, pragmatisme.

Semua bangsa di dunia siapa saja bisa belajar tentang kehidupan yang penuh toleransi dan keberagaman seperti yang tertuang dalam fragmen Karmawibhanga yang dipahat di salah satu dinding kaki candi Borobudur. Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, Hariani Santiko, mengungkapkan, “belajar toleransi beragama dan karakter bangsa dari perspektif arkeologi”. (Tirto.id, 6/9/2017).

Orang-orang yang telah tumbuh dalam kebudayaan modern juga dapat belajar kebijaksanaan dari relief-relief di sepanjang dinding Borobudur dan tentang kearifan tradisional dari masyarakat sekitarnya yang masih merawat ingatan dan menyimpan warisan keterampilan leluhurnya, sebagaimana yang tertuang dalam film “Lingsir Wengi”. Borobudur banyak dikunjungi oleh anak-anak segala bangsa termasuk orang-orang yang Barat yang tumbuh dan berkembang dalam budaya ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya ekonomi kapitalisme maupun sosialisme, gaya hidup modern, materialisme, hedonis maupun mereka yang sedang mencari ketenangan jiwa, kedamaian hati dalam hidup askese atau melepas.

Menemukan bahagia, damai, ketenangan dari kesibukan dunia mereka menengok ke Borobudur. Segenap bangsa di dunia, baik yang datang dari belahan Timur mana saja maupun yang datang dari belahan dunia Barat datang berkunjung dan berhimpun di bawah kaki Candi Borobudur. Mereka menemukan dan merasakan keheningan serta kedamaian ditengah kebisingan dunia dan derap kemajuan zaman. Dalam kedamaian Borobudur dan Buddha dalam kesadaran sepenuhnya, “Biarlah Sang Pembebas Menjadi Pelindungku”. (JP).

***

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?