Buddha Pun Tertawa

Home » Artikel » Buddha Pun Tertawa

Dilihat

Dilihat : 39 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 74
  • 115
  • 62,203
Pic 2 Mar 25 Buddha Tertawa
Oleh: Jo Priastana
 
“Jika Anda tidak ingin ditertawakan,
 jadilah orang pertama yang menertawakan diri sendiri.” 
 (Benyamin Franklin, 1706-1790, Bapak Pendiri Amerika Serikat)
 
 
Manusia dikenal sebagai Homo Ridens atau “Makhluk yang Tertawa” berdasarkan reaksi terhadap kegembiraan dan juga sebagai alat untuk mengatasi stres, memperkuat hubungan/ikatan sosial, hingga menciptakan suasana yang lebih ringan dalam interaksi antar individu (Fabianus Heatubun, “Humor dan Homo Ridens, 2014” http://doi.org/10.26593/ecf). 
 
Manusia sebagai Homo Ridens juga menggunakan humor sebagai bentuk ekpresi kreativitas, seperti halnya dengan lelucon, cerita lucu, dan seni untuk menjadi sarana mengekspresikan imajinasi (Yulius Eko Proyambodo, “Homo Ridens: Suatu Tawaran “Menjadi” Manusia di Zaman ini: MELINTAS, 30 (1), 2014, hlm. 45-69). Humor merambah ke seni serta budaya, contohnya seperti dalam komedi, satire, dan parodi – yang turut mencerminkan nilai-nilai dan realitas sosial. 
 
Orang tertawa juga bisa sebagai pelarian dari tekanan-tekanan dan stres sehari-hari yang juga membantu mengubah persepsi terhadap situasi sulit. Manusia sebagai Homo Ridens mampu menciptakan dunia yang penuh warna dan kreatif melalui ekspresi/eksplorasi humor, dan sebagai legitimasi bahwa tawa merupakan salah satu ciri khas yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya di bumi (Jewellius Kistom M., 2024, “Revolusi Industri 5.0,” Yogyakarta, p.114-115). Tertawa memiliki akar terdalam dalam spiritualitas dari kaum bijaksana dan ekspresi mereka yang tercerahkan.
 
 
Dari Filsuf, Antropolog Hingga Gus Dur
Manusia adalah makhluk yang tertawa, karenanya tertawa juga dirayakan oleh manusia. Manusia bukan binatang tetapi kerap mentertawakan tingkah lakunya yang serupa binatang. Hari Tawa Sedunia yang dirayakan tiap minggu pertama bulan Mei (pada 2024 jatuh pada tanggal 5 Mei). Tertawa bagian hakiki dari kehidupan manusia bisa menjadi sarana perawatan kesehatan yang sederhana, gratis, tanpa efek samping, dan tidak memiliki kontra-indikasi. Tertawa adalah bagian tak terpisahkan dari hidup manusia, dan tentang tertawa, nyatanya humor itu juga serius sampai menjadi bahan pemikiran filsuf.
 
Peraih nobel sastra, Henry Bergson yang mengguncang jagat intelektual dengan “Filsafat Hidup,” menulis buku yang berjudul, “Filosofi Tawa: Sebuah Seni tentang Komedi” (Yogyakarta, Citra, 2020). Buku Henry Bergson (1859-1941) ini nyaris merupakan satu-satunya karya filsuf yang mendedah dengan sangat menggugah segi-segi mendalam filosofis dari tertawa. Ia mengungkapkan rumus lelucon dan hukum-hukum tawa pada tiga hal.
 
Pertama, lelucon adalah semata fenomena manusia. Lanskap pemandangan tak bisa jadi sumber tawa, dan saat manusia membuat lelucon tentang binatang, sering hanya karena mereka mengenali tingkah manusia dalam binatang-binatang tersebut. Kedua, tawa mensyaratkan sikap cuek, dan perlu berjarak baik dengan perasaan maupun emosi; akan sangat sulit untuk tertawa lepas saat seseorang menyadari seriusnya keadaan. Ketiga, sangat sulit tertawa sendiri, dan lebih mudah tertawa bersama-sama.
 
Lelucon mengandung dimensi sosial, bukan sekadar kesenangan intelektual, namun aktivitas manusia yang memiliki makna sosial, meski bisa merendahkan martabat manusia dan menyerang pribadi. Tertawa bersama seringkali timbul karena lelucon. Antropolog James Dananjaya (1934-2013), pakar folklor, dalam ceramahnya “Lelucon sebagai Salah Satu Bentuk Folklor Lisan” (Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Desember 1979), membagi lelucon menjadi dua, yakni lelucon atau joke dan humor. “Perbedaannya, sasaran lelucon ialah pribadi atau kelompok lain, sedangkan sasaran humor lebih pada diri dan kelompok sendiri” (arsip Kompas, 20 Desember 1979). Itu sebabnya, lelucon atau joke sangat mungkin menyinggung perasaan orang karena menyerang pribadi atau kelompoknya.
 
Berbeda dengan lelucon yang kerap menyerang pihak lain, humor mengundang tawa karena membahas “kelemahan” sang pembicaranya sendiri. Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terkenal karena humor-humornya, dan sosok presiden dan ulama yang kerap menjadikan dirinya contoh humor. Herry Gendut Janarto dalam artikelnya, “Olah Humor ala Gus Dur” (di buku “Gus Dur, Santri Pas Excellence Teladan Sang Guru Bangsa,” Penerbit Buku Kompas, 2010), menyatakan: “Ia mau merendah hati menelanjangi ‘kelemahan’ dan ‘kekurangan’ yang dimilikinya. Gus Dur melakukan itu nyaris tanpa reservoir. Karena yang menjadi bulan-bulanan diri sendiri, orang malah jatuh simpati kepadanya. (Kompas, 5/12/24, “Kelakar Gus Miftah dan Etika Berbicara Pejabat Publik).
 
Gus Dur memiliki kemampuan mengkritisi diri sendiri melalui gurauan. Kemampuan inilah yang membedakan humor cerdas berkualitas dengan humor slapstik alias banyolan yang merendahkan martabat manusia. Humor slapstik, walaupun mengundang gelak tawa, sesungguhnya justru melemahkan kita sebagai masyarakat karena kita tidak mampu menghargai orang lain. Sudah saatnya kita membuang banyolan-banyolan yang merendahkan martabat manusia. Sudah saatnya kita mengasah ketajaman nurani dan pemikiran kita melalui kelakar-kelakar bernas. Kelakar-kelakar bisa menjadi warisan berharga untuk kita menjaga kewarasan bangsa (Alissa Wahid, “Kelakar Gus Dur”, Kompas, 15/12/24).
 
 
Rupang Buddha Sukacita Maitreya 
Pengelana Agustinus Wibowo (“Kita dan Mereka,” Mizan,2024, hal 357-358), mengisahkan tentang rupang Buddha Tertawa. Di Afghanistan, yang pernah menjadi bagian wilayah kekuasaan Alexander Agung dan pengaruh kuat budaya Yunani, patung Buddha yang ditemukan pada abad ke 1 M di daerah Afghanistan dan Pakistan tampil dalam gaya artistik Yunani. Bodhisattva Maitreya tampak sebagai sosok pangeran Yunani yang gagah dan berbadan atletis, dengan jubah Yunani yang berlekuk-lekuk dan wajahnya menampilkan kedamaian. Tangan kirinya juga digambarkan memegang botol berisi cairan keabadian sebagai simbol perjanjian penyelamatan kehidupan abadi.
 
Buddhisme bukanlah agama yang statis. Kisah Maitreya pun menyebar ke Cina dan penggambaran wujudnya pun mengalami perubahan sesuai dengan tradisi Cina. Maitreya yang awalnya masih digambarkan seperti dewa ala negeri Barat, namun kemudian bercampur dengan cerita rakyat tradisional Cina tentang biksu botak dan gendut bernama Budai (namanya berarti “membawa kantong kain”). Sang Biksu kemana-mana selalu membawa kantong kain untuk mengemis, namun kelak pada akhir zaman, kantong itu dipercaya akan dipakai untuk mengemas jiwa-jiwa manusia yang akan diselamatkan (Agustinus Wibowo, 2024: 357-358).
 
Maitreya versi Cina pun bertransformasi menjadi sosok lelaki berperut besar yang selalu tertawa, sesuai dengan imajinasi orang Cina akan ajaran welas asih, yaitu bahwa sang Maitreya telah memasukkan segala kesedihan dunia ke dalam perutnya yang gendut. Perut gendut juga sesuai dengan dambaan abadi orang Cina akan kemakmuran berlimpah. Penggambaran Maitreya versi Cina ini, “Buddha Tertawa” menjadi salah satu ikon Buddhisme yang paling dikenal di dunia, sukses membuat banyak orang kebingungan dengan perbedaan antara Buddha Gautama dan Maitreya. Buddha tergambar dalam sosok yang penuh kegembiraan dan pernuh warna-warni. Orang yang memahami sosok panutan dan teladannya dengan penuh kegembiraan akan banyak menghasilkan perilaku yang toleran dan welas asih, menyebarkan kasih kepada sesama, beragama sebagai pecinta, dan bukan beragama seperti budak atau pedagang, (AW, 2024:388). 
 
 
Buddha Pun Tertawa 
Bukanlah sebuah keganjilan kalau rupang Buddha digambarkan dalam wujud tertawa, penuh kegembiraan dan welas asih seperti Buddha Maitreya. Justru Buddha yang bijaksana dan tercerahkan itu tertawa karena telah menyadari absurditas kehidupan dan merasakan kepedihan manusia yang menderita dan berupaya keluar dari penderitaannya. Manusia tertawa karena menyadari adanya keganjilan atau absurditas suatu perilaku atau peristiwa yang mengejutkan, seperti dua peristiwa yang berlainan muncul dalam waktu bersamaan, menciptakan asimetris dimana situasi itu hanya bisa dituntaskan dengan tertawa. 
 
Situasi paradoks, absurd, asimetris yang jika tidak diselesaikan dengan tertawa justru akan menimbulkan kebingungan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu tertawa baik untuk terapi bagi pikiran dan tubuh, meningkatkan suasana hati, menurunkan stres dan kecemasan, menambah semangat, serta membuat kita terhubung dengan orang lain dan semesta dimana secara spiritualitas kedirian atau keakuan tidak lagi dapat dipertahankan namun justru melebur dalam tawa. 
 
Dalam tertawa, manusia terhubung dengan yang lainnya, keluar dari absurditas, kemokalan, kehidupan dari perjuangannya. Tertawa melihat kesia-siaan perjuangan. Banyak contoh nyata dalam dunia kehidupan yang mencerminkan kesia-siaan kehidupan sekeras apapun dan bagaimanapun perjuangannya dan yang akhirnya menghadirkan kelucuan ketika menatap ironinya perjuangan tersebut, dan akhirnya membangkitkan rasa humor, membuatnya tertawa dan mentertawakan diri sendiri.
 
Dalam pencarian spiritual, orang kerap mengalami absurditas. Orang berupaya maju secara spiritual namun kerap jatuh dalam spiritual materialisme, perjuangan dari perpanjangan ego-akunya sendiri yang halus, licin, licik, liat dan tersamar. Banyak orang menyikapi spiritualitas dan berpikir seperti itu, dimana sesungguhnya ego, aku yang licin, pikiran yang halus dan licik itu berada dibalik upaya luhur itu, adalah akar dari penderitaan. Layaknya pikiran monyet yang ingin dijebak dalam perangkap latihan meditasi yang terus-menerus, namun justru nyatanya kerap hanya memberikan kamuflase dan hipokrisi, samaran keakuan.
 
Terjerat dalam pikiran dan perjuangan sekeras-kerasnya yang beranggapan bahwa tujuan spiritual harus mengalahkan dan melenyapkan ego. Karenanya mereka berkeliling terus mencoba berbagai cara untuk memperbaiki diri sendiri melalui perjuangan, hingga suatu saat menyadari bahwa ambisi untuk memperbaiki diri sendiri justru disitulah masalahnya. 
 
Ternyata spiritualitas itu bukanlah ambisi melainkan kecerahan atas kontradiksi yang terdapat dalam kehidupan, dan yang secara inheren terkandung dalam proses pencariannya. Di pagi yang tercerahkan, bintang terakhir lenyap dan aku yang berupaya pun lenyap. Siddhartha tertawa, tersadarkan (buddha) saat tercerahkan melihat absurditas upaya pencapaiannya yang ternyata sia-sia, upaya yang hanya memperkuat aku dimana pencerahan tiada aku justru datang ketika tiada berupaya. 
 
 
Who is The Buddha?
Dalam “Who Is the Buddha?” (The Truth Podcast/4-2-25), Bhagwan Shree Rajneesh atau  Osho (1931-1990) menyebut juga kisah Siddhartha yang tertawa menyadari absurditas upaya yang mengandung keakuan, hasrat, ego itu, dan melukiskan kisah pencerahannya, pencerahan “not-effort, the last star disappears, the sky empty and 1 also disappear, that the Buddha laughed at all these absurdities.
 
“So whatever effort it is, it will continue even in sleep, and there is always effort for something. That night there was no effort, the Buddha said: “I slept for the first time in millions of lifetimes. That was the first night I slept,” that slept become samadhi (meditative absorption). And when he woke up in the morning, the Buddha saw the last star disappear. He truly saw. For the first time, his eyes. “The Buddha like is like a mirror, containing nothing, only emptiness, reflecting nothing. The last star disappears, and the Buddha says: “what that disappearing star, I also disappear. The star disappears and I also disappear” because the self only exists through effort. If you make an effort, the self will be nurtured, you are doing something, you are seeking somewhere, you are trying achieving something. So, when there is no effort, how can you exist? 
 
The last star disappears, ‘And I also disappear,” The Buddha say: “I look, the sky is empty; then I look inside, there is nothing – anatta, no self. No one at all.” It is said that the Buddha laughed at all these absurdities. No one can reach anywhere. No one can achieve a goal, no one can attain freedom, no one, no self. Emptiness is not outside, emptiness is inside. “And in that moment of complete non-effort, I have achieved, I have realized.”  (32.04, The Truth Podcast/4-2-25). 
 
Bintang terakhir lenyap, hasrat dan upaya lenyap. Siddhartha pun tertawa, sadar akan paradoks dan absurditas dari upayanya mencapai pencerahan yang menyimpan hasrat dan ego. Pencerahan itu terjadi justru ketika tiada lagi upaya dimana hasrat dan ego, diri itu tidak lagi terpelihara melainkan luruh dan melebur dalam keterhubungan dengan semesta. 
 
Kisah pencerahan Siddhartha yang terpatrikan dalam rupang tertawa Buddha sukacita Maitreya yang penuh welas asih dan penuh  keprihatinan atas drama, ironi, komedi, tragedi dari absurditas upaya manusia menemukan kebahagiaan. Banyak humor tercipta sebagai wujud wisdom dari mereka yang tercerahkan di sepanjang perjalanan sejarah agama Buddha di dunia.
 
Buddha dalam pembabaran empat hukum kesunyataan menyatakan bahwa hidup ini adalah dukkha dengan sumbernya keinginan, dan ada jalan melenyapkannya, dimana diri yang sepenuhnya tiada dukkha lagi adalah nirvana, tiada lagi keinginan, sunya-kosong. Ada kisah Zen, “Pada ulang tahunnya yang ke 70, salah seorang muridnya memberikan sebuah kotak besar dengan pita di sekelilingnya kepada gurunya. Ketika guru Zen tersebut membuka kotak itu, ia mendapati bahwa “tidak ada apa pun” di dalamnya. “Aha,” serunya, “ini yang aku inginkan!”  (JP) ***
 
 
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
 
 
Sumber gambar: https://images.theconversation.com/files/613862/original/file-20240815-19-x0t702.jpg?ixlib=rb-4.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip
 
 
error: Content is protected !!
Butuh bantuan?