Oleh: Jo Priastana
“Jauh sebelum kita memahami diri kita sendiri melalui proses pemeriksaan diri, kita memahami diri kita sendiri dengan cara yang jelas dalam keluarga, masyarakat dan negara tempat kita tinggal” (Hans-Georg Gadamer)
Dalam konteks agama atau Buddhadharma, kebahagiaan masyarakat itu adalah berkaitan juga dengan pemenuhan moral dan spiritualnya. Bukan hanya sekedar pemenuhan kebebasan beragama, melaksanakan ajaran Buddha, namun juga pemenuhan perwujudan dimensi moral dan spiritual dalam kehidupan nyata, dalam kehidupan sesama. Kehidupan yang sungguh-sungguh menjadikan kehidupan masyarakat berkualitas.
Untuk mencapai hal itu, maka suatu tindakan politis akan mau tak mau perlu juga dilakukan oleh setiap warga negara termasuk warga negara beragama Buddha. Karena hanya dengan tindakan politis itulah yang akan membawa dampak bagi keseluruhan masyarakat dan cita-cita kehidupan umat beragama itu sendiri.
Dengan begitu pentinglah peran umat Buddha dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran dalam menentukan keputusan yang bersifat politis atau bertindak secara politis itu adalah juga peran yang sejalan dengan kehidupan beragamanya, mengingat keputusan dan tindakan tersebut diambil berdasarkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Politik dan Tanggung Jawab Kemanusiaan
Tindakan politik dilakukan tidak semata untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, namun dalam arti sebagai tanggung jawab kemanusiaan. Bukankah sungguh terpuji mereka yang memikirkan dan memperjuangkan kebahagiaan orang lain, ketimbang kepentingannya sendiri. “Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan sendiri adalah yang terbaik” (Anguttara Nikaya II, Digha Nikaya III).
Tanggung jawab kemanusiaan dalam masyarakat secara menyeluruh yang melibatkan tindakan politis itu dapat didasarkan pada ajaran Sang Buddha dalam Digha Nikaya III: “demi untuk kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia, demi kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.”
Begitu pula dengan Digha Nikaya 16: “Sang Buddha menyatakan bahwa ia bertahan tidak akan meninggalkan dunia ini sebelum ajaran-Nya yang penuh kesucian memperlihatkan hasil, berkembang, meluas dan merakyat dalam segala aspek sehingga dikenal baik di antara manusia. Ia tetap memegang kepemimpinan sampai para pengikutnya terlatih dengan baik, hidup sesuai dengan ajaranNya, dan mampu mengajarkan kepada orang lain.”
Namun hendaknya dipahami bahwa keterlibatan politis dimana prinsip ajaran agama tidak bertentangan dengan negara ini, bukanlah dalam arti mendirikan negara agama, dimana prinsip-prinsip agama dijalankan oleh negara, melainkan hanya sejauh yang berkenaan dengan prinsip moral umum yang sejalan dengan agama.
Prinsip moral umum yang disepakati oleh semua agama itu wajib dijalankan oleh negara, seperti misalnya mewujudkan pemerintahan yang bersih, pemimpin yang berintegrasi dan kehendak baik, masyarakat yang sejahtera dan adil, kehidupan yang damai dan sejahtera, serta terjaminnya kehidupan spiritual umat beragama.
Indonesia bukanlah negara agama dan juga bukan negara sekuler, melainkan berdasarkan prinsip moral umum yang terkandung sebagai nilai agama dan disepakati oleh agama. Prinsip-prinsip keagamaan setiap agama menjadi benar jika diterapkan dalam komunitas agama itu sendiri, yang memiliki komunitas yang beragam.
Yang wajib menjalankan prinsip-prinsip agama adalah komunitas agama itu sendiri bukan negara. Namun begitu, negara bukanlah sekuler yang berarti sama sekali terlepas dari prinsip moral umum yang disepakati oleh semua agama serta yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Jadi, biarpun negara tidak terpisah sama sekali dari agama khususnya menyangkut nilai-nilainya, namun terjadi juga pemisahan yang tegas antara peran negara dan peran komunitas agama. Dengan begitu, akan dapat terhindari terjadinya dua kecenderungan buruk: politisasi agama, maupun agamanisasi politik.
Politisasi agama yang memanipulasi sentimen agama dalam rangka kekuasaan. Dan agamanisasi politik, yang menggunakan politik seperti agama, dimana politik yang seharusnya fleksibel dan bersifat publik yang plural akan menjadi sakral, monolitik dan personal, dimana akibatnya kesalahannya akan sulit dikoreksi.
Rohaniwan dan Kehidupan Politis
Bila dilihat dari sudut kelembagaan, dalam masyarakat Buddhis sendiri terdiri dari dua kelompok: pertama adalah anggota Sangha, dan yang kedua, kelompok yang lebih besar adalah para umat Buddha, upasaka dan upasika. Sangha adalah pejalan kesucian, dengan cara hidup yang lebih bersifat spiritual, sedangkan upasaka dan upasika adalah umat biasa dengan cara hidup yang lebih duniawi.
Kedua kelompok tersebut tentu saja tidak memiliki keterlibatan yang persis sama terhadap masalah-masalah politis. Namun begitu, bukan berarti bahwa kehidupan mereka, baik Sangha maupun umat biasa upasaka dan upasika sama sekali tidak bersentuhan dengan kehidupan politis.
Para anggota Sangha, yang memiliki cita-cita utama kehidupan spiritual mencapai Nibbana memang berbeda keterlibatan politisnya dibandingkan dengan umat Buddha biasa yang memang mengurusi masalah-masalah duniawi. Bila terhadap umat melakukan keterlibatan politis itu memang sudah sepantas dan semestinya, namun sering dipertanyakan dimana tempat dan posisi yang pantas dari peran politik Sangha.
Jawaban ini bisa ditelusuri dengan melihat bahwa sebagai penempuh kehidupan spiritual yang bersifat Vipassana-dhura (hidup yang meditatif), angggota Sangha juga menjalani kehidupan spritualnya yang bersifat Gratha-Dhura (melakukan pelayanan sosial, aktif terlihat kemajuan masyarakat). Modus yang terakhir ini juga akan bersentuhan dengan tindakan-tindakan politis dalam arti di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Karena perannya pada bidang spiritual dalam pelayanan sosial dengan memberikan bimbingan spiritual dan moral adalah juga suatu tindakan politis yang menyangkut masyarakat luas yakni dalam arti mencapai tujuan masyarakat hidup sejahtera dan bahagia. Perannya sebagai guru, penjaga moral dan kebenaran akan selalu mengusahakan terwujudnya kemanusiaan, perdamaian, perkembangan moral dan kesejahteraan spiritual.
Memang, tugas pejalan kesucian adalah tidak sama dengan aparat pemerintah yang langsung mengurusi masalah kemasyarakatan sebagai pelayan publik. Tetapi secara tidak langsung, para pejalan kesucian itu juga telah turut menciptakan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan terlebih lagi adalah mereka itu tidak terikat oleh pamrih keduniawian, berbeda mungkin dengan yang dilakukan oleh umat biasa.
Tindakan Politis Ideal
Dalam tindakan yang bersifat politis itu, para pejalan kesucian justru melangkah di dalam makna tindakan politis yang sebenarnya. Tindakan untuk kesejahteraan orang banyak, dan bukan sekedar meraih kekuasasan untuk suatu jabatan.
Karena itulah, ideal politis dalam Buddhadharma adalah mewujudkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera untuk setiap manusia. Dengan itu berarti merefleksikan teori hakikat perkembangan alam semesta. Di dalam perkembangan alam semesta itu tercakup pula asal usul dan perkembangan negara, yakni sejalannya evolusi manusia dan institusinya.
Institusi di sini termasuk institusi politik, entah yang semula hanya berdasarkan pada kekuasaan seorang pemimpin yang merupakan juga hasil dari perjanjian kontrak sosial dengan masyarakatnya, atau hingga terbentuknya sistem kemasyarakatan dan tidak tergantung pada pemimpin melainkan pada hukum atau undang-undang.
Negara modern dilandasi oleh hukum atau undang-undang. Lewat hukum dan undang-undang, negara memperadabkan manusia. Kata Thomas Hobbes dalam “Leviathan” (1651), cara mengatasi kekacauan sosial, dimana dalam keadaan state of nature – manusia akan saling memangsa atas nama kebebasannya, maka diperlukannya hukum. Dalam negara hukum, setiap orang menyerahkan hak untuk melakukan segalanya kepada suatu pihak, asalkan setiap orang lain juga menyerahkan yang sama kepadanya. Adanya hukum telah memaksa warga untuk mengendalikan diri dan memberi respek satu sama lain. (F. Budi Hardiman, “Aku Klik Aku Ada,” 21:36)
Negara bukan sesuatu yang diberikan, given atau ada begitu saja dari sononya, namun sesuatu yang dibentuk oleh manusia-manusianya dalam suatu ruang dan waktu, geografis dan proses sejarah. Karenanya, bagaimanapun keadaan negara kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk melalui proses perjuangan panjang oleh anak-anak bangsa, putra-putri bangsa, para founding father dan mothers tetap harus terus diperjuangkan. Negara modern Indonesia yang lahir pada 1945 juga tidak bisa dilepaskan dari pengalaman manusia di nusantara sebelumnya, jauh sebelum 1945, baik di era Hindu/Buddha maupun Islam di seluruh kawasan Nusantara telah memiliki pengalaman bernegara.
Kelahiran NKRI 1945 menunjukkan bahwa negara adalah sesuatu yang “socially constructed,” dibangun bersama. Gagasan tentang negara sebagai sebuah konstruksi sosial mengingatkan bahwa negara lahir melalui sebuah proses historis yang berjejak pada pengalaman hidup bersama manusia di suatu geografis tertentu. Francis Fukuyama menyebut “political order: atau tatanan politik (The Origin Political Order), menunjukkan bahwa negara lahir melalui sebuah pengalaman suatu penduduk kawasan tertentu dengan statecraft atau bina negara (Ulil Abshar-Abdalla, “Soal Pengalaman Bernegara,” Kompas, 30/5/24).
Saat ini, adalah satu persoalan besar yang mungkin kita lelah dalam bernegara adalah kehidupan negara yang tidak ideal, maraknya korupsi yang menjauhkan dari tujuan hidup bernegara. Persoalan kronis ini tidak harus menjadikan kita frustrasi dan masa bodoh terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi yang marak juga melelahkan kaum agamawan yang berjuang berlandaskan prinsip-prinsip moral, namun sekaligus menjadi tantangan dan kewajiban untuk mengatasinya, bahwa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dengan sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa masih bisa diperbaiki, dan kita semua perlu terlibat dalam berbagai level dan kapasitasnya.
Dalam pandangan Buddhis, segala sesuatu tidaklah berdiri sendiri. Permasalahan politis, misalnya tidaklah eksklusif berdiri sendiri tanpa terkait dengan etika, dan ini berlaku pula untuk para pemimpin atau dalam hal ini para politisi dan segenap warga negara dalam berbagai profesinya. Terutama, para pemimpin atau politisi seharusnya juga tidak hanya memimpin masyarakat luas untuk menciptakan kesejahteraannya, atau kepentingannya sendiri saja.
Sudah sepantasnya para pemimpin, pemuka agama mempromosikan mengenai kesejahteraan dan masyarakat yang baik, material maupun spiritual, manusia seutuhnya lahir-batin, masyarakat seluruhnya sejahtera-bahagia, adil-makmur, dimana kehidupan negara akan tetap terjadi kelangsungannya. Jangan lelah menjadi warga negara yang baik untuk eksistensi NKRI selamanya! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: AI (Meta) Generated image