Oleh: Jo Priastana
“People don’t care how much you know until they know how much you care.”
(John Maxwell, Penulis Amerika)
Data BPS 2022 menunjukkan terdapat 8,4 juta penganggur di Indonesia, dengan 14 persennya atau 1,1 juta merupakan lulusan diploma dan sarjana (S-1). Fenomena kategori “penganggur terdidik” menunjukkan masih tingginya jurang kompetensi (competences gap) lulusan dengan yang dibutuhkan dunia kerja. Ada jurang pemisah yang seolah memperlihatkan dunia akademik tidak berjejak dengan dunia nyata, atau dunia akademik itu sarat dengan teori namun tidak menjawab kebutuhan di lapangan.
Banyak kalangan berpendapat bahwa secara umum lulusan sarjana kuat dalam penguasaan teori, tetapi lemah dalam kemampuan menerapkan di dunia nyata. Kiranya untuk mengatasi kesenjangan inilah diluncurkan program “Kampus Merdeka”. Persoalan ini dapat kita temukan dalam tulisan Rangga Almahendra, mengenai “Ge(b)rakan Kampus Merdeka”, (Kompas, 18/1/23)
Program “Kampus Merdeka” sebagai sebuah terobosan pemerintah dalam menjawab permasalahan dunia pendidikan tinggi saat ini. Kebijakan Kampus Merdeka yang tertuang dalam Permendikbud No 3/2020 dapat dipandang sebagai sebuah upaya dalam menggebrak atau mentransformasi pendidikan tinggi di Indonesia. “Kampus Merdeka” atau bisa diterjemahkan program merdeka belajar bisa jadi sebagai sebuah wujud dari salah satu trilogi perguruan tinggi, yakni pengabdian masyarakat, selain pengajaran dan penelitian.
Merdeka Belajar Kampus Merdeka
Dikatakan bahwa Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) adalah tafsir konkret sebagai upaya memperluas ruang pengabdian masyarakat oleh kampus lewat anak didiknya. Sebelumnya, pengabdian masyarakat ini hanya mendapat porsi melalui kegiatan KKN atau sejenisnya. Melalui program merdeka mengajar ini, kini pengabdian masyarakat diberi ruang yang bervariasi dan luas.
Berbagai program akan dapat diinisiasi dan dapat dipilih mahasiswa, seperti: kegiatan membangun desa, proyek kemanusiaan, kegiatan kewirausahaan, pertukaran pelajar, aktivitas mengajar di sekolah dasar, studi independen, penelitian, hingga praktek kerja atau magang.
Harus dicermati pula bahwa “Kampus Merdeka” itu bukan sekedar mengarah pada vokasionalisasi pendidikan yang hanya satu segi dari pendidikan yang utuh. Pendidikan yang utuh menurut Taksonomi Bloom tak semata hanya penguatan aspek keterampilan (skills), tetapi juga aplikasi pengetahuan (applied knowledge) dan perilaku (attitude) profesionalisme, integritas, kerja tim, komunikasi dan kepedulian sosial.
Taksonomi Bloom merujuk pada pakar pendidikan Benjamin S. Bloom (1956) yang mengemukakan tentang pembagian tiga domain dalam tujuan pendidikan. Selanjutnya, setiap domain (ranah, kawasan) itu dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Ada tiga domain besar dalam tujuan pendidikan, yaitu: cognitif domain (ranah kognitif), affcetive domain (ranah afektif), dan psychomotor domain (ranah psikomotor). (wikipedia).
Dipastikan bahwa semua kegiatan yang termasuk domain itu akan semakin terasah setelah mengikuti program MBKM. Untuk itu, kita bisa mencermati bahwa sesungguhnya program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) itu adalah program yang melengkapi dan bukan mengganti fondasi pendidikan yang sudah dibangun selama ini. Melengkapi pendidikan anak didik yang konseptual menjadi lebih membumi, praktek dalam dunia kehidupan nyata.
Selama ini, pemahaman konseptual sangat terasa ketika mahasiswa berada di bangku kuliah. Pemahaman konseptual ini tidak cukup dan harus dilengkapi dengan pemahamanan kontekstual di dunia nyata. Dengan begitu setiap lulusan akan segera paham dan peduli untuk proaktif dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka temui di sekitar mereka.
Sejatinya dengan program MBKM ini tidak hanya menyiapkan mahasiswa yang adaptif terhadap perubahan, tapi juga akan memungkinkan mahasiswa menjadi agen perubahan. Seperti dikatakan John Maxwell (lahir 1947), “people don’t care how much you know until they know how much you care,” orang tidak peduli seberapa banyak yang kita ketahui, sampai orang mengetahui seberapa banyak kita peduli.
Dalam konteks ini, terbukalah kesempatan bagi para pemangku pendidikan untuk merealisasikan misi sosial perguruan tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Relevansi dunia akademik di bangku kuliah mendapat tantangan yang amat sangat dengan perkembangan dunia dewasa ini dalam segala lapangan atau bidangnya; sosial, ekonomi, budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi di tengah era dunia pendidikan yang semakin terbuka.
Dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bergerak pesat menuntut dunia pendidikan tinggi dan kampus harus berubah lebih cepat. Apalagi dalam era akses informasi dan pembelajaran yang semakin terbuka (open education), yang telah “mengguncangkan” kita bahwa dosen dan perkuliahan kelas tidak bisa lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu.
Dalam menggerakkan proses pendidikan kita harus mencermati bahwa proses belajar (learning) tidak boleh tereduksi maknanya hanya sekedar aktivitas memindahkan pengetahuan melalui tatap muka di kelas (teaching). Filsuf dan tokoh psikolog pendidikan terkenal Jean Piaget (1896-1980) asal Swiss, mengatakan, tujuan pendidikan bukanlah untuk menambah banyaknya pengetahuan, melainkan mengoptimalkan potensi manusia dalam menciptakan hal-hal baru.
Konsekuensi pendidikan yang tidak sekedar menambah ilmu pengetahuan semata itu adalah dengan mengoptimalkan potensi mencipta (inovasi). Mahasiswa perlu dibekali dengan kemampuan sintesis interdisiplin dan bahkan transdisipliner untuk bisa berpikir secara sistem (system thinking), lebih dari sekadar menganalisa suatu masalah dengan sudut pandang tertentu (analytical thinking).
Pendidikan Terbuka Indonesia Maju
Terminologi “merdeka” sendiri cocok untuk mengilustrasikan MBKM dalam mewujudkan mahasiswa yang “merdeka”, tak hanya dalam atribut akademik, tetapi juga nonakademik yang merangsang critical thinking. Pendidikan sama sekali bukan dalam rangka semata-mata mencetak ”robot investor” untuk industri.
Ibarat menanam pohon, pendidikan tidak hanya semata pada membangun akar (karakter) yang kuat; lingkar batang (kompetensi) yang kokoh. Sebaik-baiknya pohon adalah yang berbuah lebat (kontribusi) untuk masyarakat. MBKM adalah tentang kebermanfaatan. Mungkin bisa saja terjadi dalam proses menuju kebermanfaatan itu terjadi turbulensi atau guncangan, namun secara adaptif MBKM akan terus bergerak dari fase storming, menuju norming, dan harapannya dengan performing sebaik-baiknya.
Kita harus menatap masa depan akan keberadaan sebuah kampus, bagaimana fungsi dan relevansinya atau memang sudah tidak diperlukan lagi. Setidaknya kita masih berharap karena di masa depan, kampus dituntut untuk dapat menjalankan peran sebagai fasilitator pembelajaran berbasis pengalaman interdisipliner bagi mahasiswanya.
Akan semakin menggejala berlakunya pembelajaran eksperimensial yang memberi dampak eksponensial pada kualitas pembelajaran mahasiswa. Lebih jauh Kampus Merdeka bukan hanya sebuah kebijakan, melainkan gerakan bersama menuju Indonesia Emas 2045. Gerakan dalam mewujudkan generasi 100 tahun Merdeka yang mampu berkompetisi dengan lingkungan dunia internasional seraya membangun bangsa dan negerinya ke arah kemajuan dalam peradaban pendidikan tinggi.
Buddhadharma Pragmatis dan Kontekstual
Sehubungan dengan Kampus Merdeka dalam dunia perguruan tinggi sebagaimana diuraikan di atas, kita berusaha mencermati adakah kaitan atau relevansinya dengan dunia perguruan tinggi agama Buddha yang ada di Indonesia. Tentu saja, kampus-kampus perguruan tinggi agama Buddha akan pasti mendukung dan patut melaksanakannya.
Namun begitu, sebagai perguruan tinggi keagamaan, amat sangat patut untuk mencermati bagaimana kaitannya Kampus Merdeka dengan dengan hakikat dan sifat ajaran Buddha atau Buddhadharma itu sendiri yang menjadi kekhasan sehingga perguruan tinggi itu bernamakan keagamaaan Buddha.
Untuk itu satu hal yang jelas dan pasti bahwa Buddhadharma itu sendiri sangat berkaitan dengan pendidikan, dan bahkan bisa dikatakan Buddhadharma adalah pendidikan, sebuah peristiwa mendidik, pedagogi mengingat kemunculan Buddhadharma justru berawal dari Sang Buddha mengajar. Satu hal mendasar yang perlu dicermati pula berkenaan dengan Sang Buddha mengajar ini adalah tujuan dari pedagoginya yang bersifat pragmatis, dalam hasil dan menghasilkan kebermanfaatan bagi siswa-siswanya, dan karena itu pula bersifat kontekstual.
Buddhadharma bersifat pragmatis dan kontekstual. Buddhadharma hadir dan diajarkan Sang Buddha demi mendatangkan manfaat dan keberhasilan siswa. Segi pragmatis ini ditunjukkan oleh Buddha bahwa ajaran yang diajarkannya itu beliau perumpamakan sebagai rakit untuk menghantar ke pantai seberang. Rakit sebuah teknologi sederhana yang memberi manfaat bagi banyak orang untuk mencapai pantai seberang, keberhasilan dan kebermanfaatan dalam pencapaian spiritual sang siswa.
Dimensi pragmatis ini tidak bisa dipisahkan dari segi kontekstual Buddhadharma. Buddhaddharma yang pragmatis adalah juga bersifat kontekstual. Sang Buddha mengajar secara pragmatis, pendidikannya mendatangkan manfaat bagi banyak orang, dan karena itu pula bersifat kontekstual. Dua segi ini pula yang terlihat dalam Kampus Merdeka ketika menyelenggarakan pendidikan tinggi Buddhadharma yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakatnya.
Kampus Merdeka yang dimunculkan dalam rangka mengemban misi sosial pendidikan tinggi di Indonesia, seperti pengabdian masyarakat bagi para mahasiswanya atau institusinya secara kontekstual, terbuka dengan berlandasan semangat kemerdekaan atau kebebasan. Pendidikan agama Buddha bersifat pragmatis dan kontekstual menjawab tantangan perubahan zaman, mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan menjadi keniscayaan berlaku dalam dunia perguruan tinggi agama Buddha..
Pendidikan Buddhadharma merupakan pendidikan agama Buddha yang seutuhnya yakni menterjemahkan nilai-nilai Buddhadharma dalam berbagai macam fenomena kehidupan. Anak didik pun diajak menyelami berbagai fenomena kehidupan untuk dapat melihat dimensi Buddhadharmanya, maupun mengaplikasikan teks Buddhadharma dalam berbagai fenomena kehidupan seturut dengan perkembangan dan perubahan zaman ini dan problema lingkungan yang dihadapi.
Kebermanfaatan dalam Pengabdian Masyarakat
Dengan begitu, pendidikan agama kontekstual sejalan dengan dimunculkannya “Kampus Merdeka”, dan tampaknya menjadi sangat relevan, karena melalui pendidikan agama atau pendidikan agama Buddha kontekstual ini akan menyertakan semua pelaku proses belajar mengajar menjadi aktif, kreatif dan dinamis di dalam menerjemahkan nilai-nilai Buddhadharma yang membuahkan hasil, kreasi dan memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat luas.
Melalui metodologi pembelajarannya yang terbuka dan memungkinkan terobosan-terobosan baru seturut dengan konteksnya, Buddhadharma kontekstual menjawab permasalahan yang ada dan sedang berkembang. Pembelajaran Buddhadharma kontekstual jauh dari dogmatisme melainkan adaptif, fleksibel seturut konteks peserta didik, lingkungan, maupun zaman yang senantiasa berubah dan dalam suasana kebebasan dan kemerdekaan.
Kampus Merdeka yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi agama Buddha memberi ruang dan wadah untuk itu. Dalam suasana pendidikan yang memerdekakan, kebebasan akademik dan pengabdian sosial itu terbuka untuk mewujud, mewujudkan nilai-nilai Buddhadharma yang pada esensinya memberikan kebebasan demi kebahagiaan umat manusia.
Sebuah nilai dasar kebermanfaatan, pragmatis dalam kemerdekaan dan kebebasan pengabdian masyarakat yang memang pantas dan wajib dilaksanakan oleh setiap institusi dan insan akademis. Kiranya jelas relevansi kampus merdeka dalam mengejawantahkan nilai-nilai Buddhis melalui pendidikan Buddhadharma Kontekstual, suatu tipologi pendidikan Buddhadharma yang bukan dogmatisme tekstual semata! (JP)
***
- REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
- REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH)
- SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)