Buddhadharma dan Pendidikan STAB, Institut dan Universitas (4) – Rekonstruksi Kurikulum Studi Buddhadharma Saintifik

Home » Artikel » Buddhadharma dan Pendidikan STAB, Institut dan Universitas (4) – Rekonstruksi Kurikulum Studi Buddhadharma Saintifik

Dilihat

Dilihat : 47 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 5
  • 31
  • 25,991

Oleh: Jo Priastana

 

Buddhist is in reconciliation with science. Like science:

“That all beings are alike subject to universal law.”

(Henry Steele Olcolt, 1832-1907)

 

Perguruan tinggi Buddha pantasnya membangun kajian Buddhadharma (Buddhist Studies) yang bersifat inklusif. Kajian Buddhadharma yang mencakup berbagai mashab dan tradisi agama Buddha yang bersifat menyeluruh. Kajian inklusif ini adalah juga berkenaan dengan pembelajaran Buddhadharma secara substantif yakni sebagai upaya pencapaian kebuddhaan yang bersifat saintifik.

Kiranya upaya merekonstruksi kurikulum Buddhadharma yang saintifik, inklusif ini mencerminkan kerja segenap civitas akademis perguruan tinggi agama Buddha. Hal ini sejalan dengan misi dan visi dari kehadiran sebuah perguruan tinggi dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban kemanusiaan secara saintifik.

Seturut dengan berkembangnya sains modern, sebagai bercirikan saintifik, maka Buddhadharma pun dapat dikaji melalui pendekatan ilmu pengetahuan modern. Webster’s New Millenium Dictionary of English, Preview Edition (2008) menyebutkan tentang Buddhologi, yaitu: studi tentang Buddha atau kebuddhaan, studi Buddhadharma yang dikenal juga sebagai Buddhist Studies yang bersifat inklusif mencakup segenap mashab, aliran-aliran dalam agama Buddha.

Buddhism as Inner Science

Buddhadharma memiliki sifat atau karakter sebagaimana yang dimiliki ilmu pengetahuan, yaitu sebagai ajaran yang bersifat saintifik (Buddhism as Scientific). Sebagai upaya pencapaian kebuddhaan, Buddhadharma merupakan suatu ilmu pengetahuan spiritual atau ilmu batin (inner science) yang bercirikan saintifik dan menekankan pertumbuhan kesadaran.  

Buddhadharma bukan sekedar tinggal kepercayaan sebagaimana agama pada umumnya namun bercirikan saintifik sesuai dengan metodologi ilmu pengetahuan. Buddhadharma menuntut pencapaian kesadaran kebuddhaan dan penerapan praksis yang dapat dilakukan oleh siapa saja dalam menumbuhkan kebuddhaannya dan upaya mencapai pembebasan dari derita dimana memfokuskan ajarannya mengenai Mind.

The Buddha declared that primary factor and most powerful force of the Universe is the Mind. Scientists today are seeing this Truth – realizing that the Mind of a person can create reality in what is perceived. Mind energy is not yet fully understood by Science. The Buddha however, teaches us in great detail about dynamics of the Mind. The mastery of the Mind is of the greatest important as it is to True Happiness and Liberation”. (“Be a Lamp.” 1999. Singapore: Kong Meng San Phor Kark See Monastery).

Franscsisca Cho, Sarjana Buddhis di George Washington University menyatakan: “Buddhism is a story of how we are in pain and suffering and how we have the power to change that. Neuroplasticity: the possibility of changing. No intrinsic nature the self and mind both self and mind are extremely plastic. Our activities inform who we are; as we act, so we shall become. We product the past, but because of our inhenrently empty nature. We always have the opportunity to reshape ourselves.”

Penemuan neuroscience, semakin meyakinkan bahwa buddhisme memiliki sesuatu yang substantif mengenai mind. – mind set. Sharon Begley dalam bukunya, “Train Your Mind, Change Your Brain,2007 11-15), mengungkapkan bahwa “Buddhist Teaches our reality is create by own projections, is thinking that creates the external beyond us. Meditation practice as: mental training, mind-set, transformation. The mind has a formidable power of self transformation. When thoughts come to the untrained mind, they can run wild, triggering destructive emotions such as craving and hatred. But mental training, a core Buddhist practice, allows us “to identify and to control emotions and mental events as they arise.”

Sang Buddha merupakan guru spiritual yang mengajarkan tentang kebebasan batin, bebas dari segenap penderitaan. Buddha sendiri juga kerap diibaratkan sebagai dokter (bhaisajya guru). Sebutan untuk Sang Buddha sebagai jnana-vadin arato jnanin, yang mengartikan bahwa Buddha adalah seorang mengetahui dan melihat dengan sesungguhnya. Buddha adalah seorang yang mengetahui, mengenal dan melihat, tercerahkan dan memiliki pengetahuan sempurna.

Dalam paritta Buddhanussati disebutkan sifat-sifat luhur Buddha berkenaan dengan dengan pengetahuan: Sammasambuddho (manusia suci yang mencapai penerangan sempurna dan melaksanakannya), Vijjasarana sampano (manusia yang mempunyai pengetahuan sempurna dan melaksanakannya, lokavidu (manusia yang mengetahui dengan sempurna keadaan setiap alam).

Buddhadharma dapat dipandang sebagai inner science, ilmu batin tentang manusia mencerminkan cara kerja ilmu pengetahuan modern. Sebagai guru spiritual, Buddha memperlihatkan suatu mind-set (cara pandang) yang bersifat saintifik sebagaimana dalam metodologi ilmu pengetahuan modern, seperti misalnya bercirikan problem solving secara teoretis dan empiris, kebebasan berpikir dan menyelidiki.

Buddhadharma bukanlah sebuah keyakinan buta yang semata dogmatis-tekstual dan tinggal kepatuhan begitu saja terhadap aturan. David L McMahan yang menggeluti tentang Buddhism dan Modernisasi mengungkapkan. “Buddhism is a religion in which you don’t really have to believe anything in particular or follow any strict rules; you simply excercise compassion and intuition ..it is democratic, encourages freedom of thought, and is more of a “spirituality” than a religion” (“The Roudledge Companion to Literature and Religion,” 2016, edited by Mark Knight).

Buddhism as Scientific

Ciri saintifik Buddhadharma terlihat dalam formulasi Hukum Empat Kesunyataan Mulia, yang terdiri dari dari adanya: problem, diagnosa, prognosa, dan therapy atau pemecahan problem. Penderitaan atau suffering yang merupakan suatu problem, penyebab problem atau cause suffering yang merupakan sebagai diagnosa, akhir dari penderitaan atau ending suffering yang merupakan prognosa dan jalan pembebasan penderitaan atau path of liberation yang merupakan suatu therapy atau pemecahan problem.

Buddha sendiri juga kerap diibaratkan sebagai dokter (bhaisajya guru). Beliau memperlihatkan suatu mind-set (cara pandang) yang bersifat saintifik sebagaimana dalam metodologi ilmu pengetahuan modern yang bercirikan problem solving secara teoretis dan empiris. Selain itu, ciri kritis dan skeptis, kebebasan berpikir, meneliti dan menyelidiki yang mencerminkan metodologi saintifik terungkap dalam Kalama Sutta, ujarannya untuk tidak menaruh kepercayaan begitu saja sebelum memperoleh pembuktikan secara kritis dan empiris atau dialami sendiri.

Buddhadharma yang mengandung hukum kesunyataan memiliki keterbukaan dan tidak dogmatis. Keterbukaan bagi kebebesan berpikir dan sikap inquiry (inquiry attitude) dari setiap orang untuk menemukan kebenaran dan jiwa berilmu-pengetahuan. Bukti empiris dengan semangat menyelidiki adalah dasar dari ilmu pengetahuan, dan menjadi unsur utama dalam metodologi ilmu pengetahuan. Sifat saintifik dan ciri Buddhisme sebagai inner science kiranya menjadi landasan, dasar dan tujuan dari perguruan tinggi agama Buddha.

Dalam Buddhadharma terdapat Kalama Sutta dimana Sang Buddha menekankan bahwa suatu pengetahuan itu hendaknya dapat dibuktikan terlebih dahulu, artinya dialami (empiris) dan tidak hanya dipercayai begitu saja. Semangat ajaran Buddha dalam Kalama Sutta yang dipandang sebagai cermin kebebasan berpikir, penyelidikan secara bebas dari Buddha.

“Jangan begitu saja mengikuti apa yang telah diperoleh karena berulang kali di dengar (anussava), atau yang berdasarkan tradisi (parampara), berdasarkan desas desus (itikara), atau yang ada di kitab suci (pitaka sampadana), yang berdasarkan dugaan (takka hetu), berdasarkan aksioma (naya hetu), yang berdsarkan ke arah dugaan yang telah dipertimbangkan berulang kali (ditthi-nijjah-akkh-anitiya), atau yang kelihatannya berdasarkan kemampuan seseorang (bhabbarupataya), atau yang berdasarkan bhikkhu itu adalah guru kita (samano no guru)” (Kalama Sutta, Anguttara Nikaya).

 

Ehipassiko dan Kalama Sutta

Kalama Sutta menegaskan ciri saintifik Buddhadharma yang sesuai dengan metodologi ilmu pengetahuan modern. Buddhadharma tidak dogmatis hanya kepercayaan saja namun mengandung kebebasan menyelidiki dan mampu di verifikasi. K.N. Jayatilleke, Sarjana dari Sri Lanka, dalam “Buddhism and the Scientific Revolution,” (1950) menerangkan: “Buddhism accords with findings of science, and emphasizes the importance of a scientific outlook in that “its specific dogmas are said to be capable of verification.”

Sementara Sharon Begley dalam bukunya, “Train Your Mind, Change Your Brain, 2007: 11-15), mengungkapkan bahwa Buddhadharma sejalan dengan ilmu pengetahuan dan mengandung kebenaran suatu ilmu dengan ciri-cirinya: “tentative, subject to refutation next experiment, prove the wrong. Buddhist emphasizes value of investigation realities finding the Truth of the outside world as well as the contents of one mind. Rational argument empiricism, Critical not dogmatism, Verification Establishing the existence of universal laws, Buddhism discovered the size of elementary particles and of the universe, that modern physics merely confirms what Buddhist sages knew centuries ago”.

Semangat Kalama Sutta bersandar pada konsep Ehipassiko yang berarti: datang, lihat dan buktikan sendiri, suatu sikap menguji suatu teori kebenaran dengan observasi. Ada Upali Sutta (Majjhima Nikaya), yang memperlihatkan bahwa dalam Buddhadharma ditekankan sikap-sikap yang sejalan dengan metode ilmu pengetahuan. Metode penalaran secara deduktif dan induktif juga sering dilakukan oleh Sang Buddha untuk membuktikan dan menjelaskan kebenaran suatu pengetahuan.

Hukum karma dan Kesunyataan Tumimbal Lahir sering dijelaskan Sang Buddha berdasarkan kasus empiris yang diketahui yang dialami banyak makhluk hidup, sehingga memang terasakan nyata kebenarannya. Begitu pula, banyak diketahui dari Sang Buddha ketika membabarkan ajarannya adalah semata agar siswanya atau yang mendengarnya dapat mengalami sendiri secara langsung (empiris) mengenai kebenaran yang sesungguhnya.

Pengajaran Sang Buddha baik melalui dialog, diskusi dan metode lainnya bertujuan agar orang yang bersangkutan dapat mengalami secara empiris disertai pemahaman secara logis. Dengan begitu tidak dapat dielakkan bahwa pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu berkaitan dengan kebenaran. Upaya manusia untuk mengetahui dengan pikirannya dan menghasilkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan dalam rangka menemukan kebenaran.  (JP)

***

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH)
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)
  • BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA)

sumber gambar: https://freerangestock.com/photos/119232/woman-writing-book-.html

Butuh bantuan?