Oleh: Jo Priastana
“As long as being exist. As long as space lasts. May I. Too remain.
To dissipate the suffering of the world” (Shantideva)
Dalam kehidupan sehari-hari kesempatan berperilaku menolong atau yang dikenal sebagai perilaku prososial terbentang sangat luas. Kehidupan ini tampaknya seperti sebuah ladang dimana kebajikan dapat tertanam. Perilaku menolong merupakan suatu perbuatan baik yang sangat terpuji dan memang pantas dilakukan manusia. Bahkan hanya dengan perbuatan baiklah manusia itu dapat bertahan dan melangsungkan kehidupannya atau melanjutkan kehidupan selanjutnya.
Pengalaman sehari-hari memberikan banyak contoh tentang berlaku menolong atau perilaku prososial ini, dan bahkan kita pun pasti dapat melakukannya. Ada perilaku menolong yang mungkin biasa-biasa saja dan mudah dilakukan seperti memberi petunjuk arah bagi orang yang bertanya, mengambilkan koran yang jatuh kepada empunya atau membantu anak kecil yang terjatuh.
Banyak ragam wujud dari perilaku menolong. Ada yang lebih bersifat substansial yang membuat kita berpikir terlebih dahulu sebelum melakukannya, seperti memberi pinjaman uang, membantu orang lain untuk berkemas, dan lain sebagainya. Ada pertolongan yang bersifat emosional, seperti mendengarkan orang mengutarakan problemnya, pertolongan dalam keadaan darurat, dan lain sebagainya.
Warisan Genetik dan Historis-Sosiologis
Perilaku menolong memang tidak bisa dilepaskan dari keseharian hidup manusia. Bahkan keberadaan manusia itu sendiri, kelahiran atau tumimbal lahir manusia itu sendiri dimungkinkan berkat jasa-jasa perbuatan baik yang pernah dilakukannya. Karenanya, dapat dikatakan bila kita mau bertahan hidup, baik secara individual maupun secara kolektif yang menyangkut kelangsungan manusia maka hanya dengan perilaku menolong atau saling membantu itulah kelangsungan hidup bisa terselenggara.
Mengapa perilaku menolong menjadi bagian hidup manusia? Mengapa seseorang bisa sampai melakukan tindakan-tindakan yang bersifat menolong? Bila perilaku menolong itu dikatakan sebagai penyambung kelanjutan hidup manusia, apakah bisa dikatakan perilaku menolong itu merupakan warisan genetik yang selalu diturunkan manusia dari generasi ke generasi?
Banyak ahli merenungi persoalan perilaku menolong ini. Para ahli sosio-biolog biasanya mengemukakan bahwa predisposisi untuk menolong merupakan bagian dari warisan genetik yang bersifat evolusioner. Perilaku menolong itu memang inheren dalam kehidupan manusia yang bertubuh dan bersifat sosial dan menjadi modal untuk perkembangan kehidupannya.
Sedangkan pandangan yang bersifat historis-sosiologis, mengatakan bahwa aturan untuk menolong orang lain yang membutuhkan itu berkembang sebagai bagian sejarah peradaban manusia. Donald Campbell (1975) mengemukakan perilaku menolong sebagai bagian dari evolusi sosial dan perkembangan historis yang mencerminkan kebudayaan atau peradaban manusia.
Secara historis-sosiologis, manusia memang sudah terlekati oleh perilaku prososial atau perilaku menolong. Lihatlah bila di sekitar kita ada yang mengalami kesusahan atau ketika lingkungan terkena bencana, kita pasti tergerak untuk melakukan pertolongan sebisa mungkin. Perilaku menolong sebagai norma kehidupan menjelma menjadi bagian dari aturan atau norma sosial.
Norma Tanggung Jawab Sosial
Perilaku prososial seakan telah menjadi norma dalam kehidupan sosial, historis dan perjalanan evolusi manusia ini. Secara sosial kita terkena berbagai norma dimana kita perlu mewujudkan perilaku menolong, seperti norma tanggung jawab sosial, norma timbal balik dan norma keadilan.
Norma tanggung jawab sosial mengisyarakatkan bahwa kita seharusnya membantu orang lain. Begitu pula dengan norma timbal balik dimana kita harus menolong terutama kepada orang yang menolong kita, serta norma keadilan yang kerap menyentuh nurani hati kita untuk membagi apa yang kita miliki demi kesamaan dengan lainnya.
Di samping norma-norma sosial tersebut, secara sosial perilaku menolong tumbuh dikarenakan adanya penguatan dan peniruan. Orang yang mempelajari norma-norma tentang siapa yang perlu ditolong, dan mengembangkan kebiasaan untuk menolong seringkali dikuatkan oleh karena adanya ganjaran eksternal dan persetujuan sosial.
Peniruan juga merupakan penyebab kuat timbulnya perilaku prososial, seperti turut tergerak melakukan donor darah ketika ada orang lain yang melakukannya. Selain beragam pengaruh sosial, ada pula rentang motivasi yang melatarbelakangi perilaku menolong itu. Dari skala tanpa pamrih sampai yang bersifat egoistis.
Empati-Alruisme dan Personal Distress
Ada yang bersifat altruisme, perilaku yang sungguh sebagai suatu tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun, kecuali mungkin perasaan telah melakukan kebaikan, sampai ada pula yang disertai dengan motif dan alasan tertentu yang bahkan seringkali bersifat egoistis.
Perilaku prososial atau perilaku menolong ini dapat berkisar dari tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai pada tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri (Rushton, 1980).
Tindakan menolong yang bersifat altruisme sejati berkenaan dengan niat (cetana) seseorang yang hanya sungguh-sungguh demi kebaikan itu sendiri. Kita bertindak altruistik hanya ketika kita membantu tanpa pamrih, yakni memang sekedar demi “kebaikan” itu sendiri, bahwa pertolongan itu memang pantas dan wajib diwujudkan.
Selain motif yang memang disadari demi kepentingan diri sendiri atau bersifat egoistis, ada pula dan bahkan seringkali perilaku menolong itu terwujud berdasarkan reaksi emosional terhadap korban. Perilaku menolong yang dikarenakan kesedihan personal (personal distress) misalnya, hendaknya dapat dibedakan dengan perilaku yang sungguh berdasarkan empati dan bersifat altruistik.
Memang perasaan yang kuat menggerakkan orang untuk bertindak. Namun tetap dapat dibedakan antara tindakan yang semata reaksi emosional dan tindakan yang sungguh penuh kasih sayang di dalam perilaku menolong ini.
Untuk memahami perbedaan ini, coba bayangkan sejenak orang yang sedang menderita serius: tubuh korban tabrakan kereta api; anak kelaparan dengan baju compang-camping, atau ayah yang sedih kehilangan anaknya. Menyaksikan orang menderita seperti itu akan menimbulkan emosi yang kuat untuk menolong dan bukan sekedar reaksi emosial yang bersifat personal distress (kesedihan personal).
Dalam Personal distress (kesedihan personal) perilaku menolong timbul sebagai reaksi emosional terhadap penderitaan orang lain – perasaan terkejut, ngeri, waspada, prihatin, atau tak berdaya dan bertindak semata untuk menghilangkan emosi yang tidak nyaman tersebut. Seseorang yang menyaksikan suatu kejadian menjadi tenggelam dalam reaksi emosionalnya sendiri dan hanya berfokus kepada dirinya sendiri.
Sebaliknya, dengan tindakan yang empathy (empati), yang berarti perasaan simpati dan perhatian kepada orang lain, khususnya pada orang yang menderita. Empati terjadi ketika pengamat berfokus pada kebutuhan dan emosi dari korban.
Kesedihan personal menyebabkan kita cemas dan prihatin; empati menyebabkan kita merasa simpati dan sayang. Secara umum, seringkali kesedihan personal memotivasi orang untuk mengurangi ketidaknyamanan dalam dirinya, yang diwujudkan dengan cara membantu orang lain, atau menyikapi situasi penderitaan yang – tidak menyenangkan itu – dengan menghindari dan mengabaikannya saja.
Tidak ada koneksi antara kesedihan personal dengan memberikan bantuan, karena itu semata-mata demi meredakan ketidaknyamanan emosinya saja. Sebaliknya dengan empati yang biasanya memotivasi orang untuk menolong. Karena tujuan empati adalah memperbaiki keadaan orang lain, dan merupakan motif yang bersifat altruistik. Dalam kondisi empati tinggi, dapat memahami perspektif dari orang lain, seperti membayangkan bagaimana perasaannya tentang apa yang terjadi dan apa pengaruhnya terhadap kehidupannya.
Dengan empati akan meningkatkan motivasi altruistik untuk menolong (Batson, 1998). Kita akan memiliki kekaguman pada perilaku menolong dengan empati yang altruistik ini. Orang yang bersedia berkorban demi membantu orang lain tanpa memikirkan kepentingan dirinya – seperti korban gempa bumi yang diselamatkan dari gedung yang runtuh – akan kita anggap sebagai seorang pahlawan.
Bukankah tindakan empatis-altruistik inilah yang dilakukan oleh para Bodhisattva dalam dengan mahati-dananya? Bodhisattva yang mengembangkan solidaritas dan mewujudkan kepedulian terhadap mereka yang menderita dalam beragam perilaku menolong yang tanpa-pamrih!
Solidaritas dan Kepedulian Bodhisattva
Kalau kita mengingat mengenai perilaku menolong dalam agama Buddha, maka pastilah ingatan kita akan tertumbuk pada kata Bodhisattva. Di dalam ajaran Buddha, seorang Bodhisattva (Bahasa Sansekerta) atau Bodhisatta (Bahasa Pali) atau Photishat (bahasa Thai) adalah makhluk yang mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk semesta, dan wujud dedikasi ini tiada lain adalah perilaku menolong.
Bodhisattva terdiri dari dua kata, yaitu bodhi yang berarti pencerahan atau penerangan, dan sattva yang berarti mahkluk merujuk kepada Budha, baik di dalam di kehidupan sebelum maupun tujuan kesempurnaan menjadi Buddha. Dalam ajaran Mahayana, Bodhisattva mengambil janji untuk tidak memasuki Nirvana sebelum semua makhluk mencapai ke-Buddhaan.
Para Bodhisattva sangat dikagumi, diantaranya Bodhisattva Avalokitesvara yang merupakan salah satu Bodhisattva yang terkenal di kalangan umat Buddha. Avalokitesvara terkenal karena kewelas-asihannya dalam memberikan pertolongan dan mendengar jerit tangis manusia yang menderita yang membutuhkan pertolongan.
Kata Bodhisattva dalam bahasa Pali pun digunakan oleh Buddha untuk menunjuk kepada dirinya di kehidupan sebelumnya dan di kehidupannya yang sekarang menuju pencerahan dan pembebasan. Kehidupan Siddharta Gautama sebagai seorang Bodhisattva sebagaimana tercatat dalam kitab Jataka memperlihatkan bagaimana beliau di berbagai macam kelahiran mewujudkan perilaku menolongnya dalam menggapai cita-citanya menjadi Buddha.
Dalam pandangan Mahayana, seorang Bodhisattva memiliki solidaritas dan kepedulian serta tekad penuh kasih guna membantu seluruh makhluk untuk menuju pencerahan. Tekad penuh kasih guna menolong seluruh makhluk inilah yang melandasi motivasi altruistik dalam perilaku menolong di kalangan umat Buddha.
Dalam perspektif Buddhis, perbuatan prososial atau perilaku menolong itu memang diletakkan pada konsep Bodhisattva yang berlandaskan pada sifat altruistik, pengorbanan tanpa pamrih demi kebahagiaan makhluk lain. Karena perilaku menolong ini merupakan jalan mencapai kebuddhaan sebagaimana dilakoni oleh Siddharta Gautama yang akhirnya menjadi Buddha.
Perilaku menolong merupakan kusala kamma (kamma baik) yang dapat berpotensi menjadi benih untuk kelahiran berikutnya di alam yang menyenangkan yang baik dan bahagia, sesuai bekerjanya hukum karma sebab-akibat. Namun di dalam memutus lingkaran karma dan sebab akibat berkelanjutan, maka diperlukan tindakan altruistik Bodhisattva dalam perilaku menolong tanpa pamrih yang memungkinkan cita-cita Nirvana itu tercapai.
Melebihi segala jasa kebaikan yang ber-sebab-akibat, perilaku yang bersifat altruistik merupakan wujud dari Bodhisattva yang bertekad menjadi Buddha, dan memutus lingkaran tumimbal lahir. Dalam ketanpa-pamrihan, tanpa-aku, mahati-dana, perbuatan menolong itu sungguh-sungguh menjadi Dana Paramita, pengorbanan yang sesuai hakikat Dharma, kosong dari rasa aku-ego, pamrih atau segala bentuk keinginan.
Sungguh-sungguh tulus, ikhlas dalam pengorbanan sebagai dana terbesar, termulia, mahati-dana yang dapat dilakukan Bodhisattva. Dan bukankah kita semua adalah juga para Bodhisattva?! (JP).***
- REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
- REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH)
- SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)
sumber gambar: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=495783639335912&set=gm.5861363633949379&type=3&flite=scwspnss