Buddhadharma dan Sepakbola (4) – When Violence in Football Take a Lot Of Lives, From Losing to Dying

Home » Artikel » Buddhadharma dan Sepakbola (4) – When Violence in Football Take a Lot Of Lives, From Losing to Dying

Dilihat

Dilihat : 52 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 0
  • 89
  • 23,130

Oleh: Jo Priastana

 

“Terkadang kamu harus  menerima bahwa kamu tidak bisa menang setiap saat”

(Lionel Messi, Pesepakbola Dunia)

Apakah sepakbola bisa lebih kejam dari perang? Tragedi sepakbola dan sekaligus tragedi kemanusiaan ketika kekerasan yang terjadi dalam panggung sepakbola mengambil banyak jiwa di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022). Kejadian yang menyentak dunia dan menjadikan masyarakat sepakbola dunia dan kita semua berduka amat sangat dalam.  

 Duka cita kita sampaikan kepada para korban, teruntuk korban di Stadion Kanjuruhan itu. Mayarakat sepakbola menyambut dengan air mata kepedihan, menjadikan banyak pertandingan sebelum kick-off diawali dengan mengheningkan cipta. Semua laga UEFA seperti: Liga Champions, Liga Europa, Liga Konferensi Eropa, dan play-off Piala Dunia Putri diawali dengan mengheningkan cipta. (Kompas, 5/10/22).

Tragedi yang memilukan, dimana 125 atau 131 korban jiwa mati sia-sia. Tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu malam menyusul kekalahan Arema Malang dari Persebaya 2-3, diikuti oleh ketidakpuasan Aremania yang masuk kedalam lapangan dan ketidaksigapan petugas menanganinya. Pengamat olahraga Fritz E Simanjuntak menilai tragedi kemanusiaan ini merupakan dampak dari manajemen sistem keselamatan di stadion yang rendah. (Kompas, 3/10/22)

Sepakbola Lebih Kejam daripada Perang

Sudah banyak kejadian di panggung sportivitas sepakbola yang menimbulkan kerusuhan dan memakan korban jiwa. Ada musibah yang seperti yang terjadi di Lima, Peru, pada 1964 dengan 318 korban jiwa, tragedi di Accra (Ghana) dengan 126 tewas pada 2001, dan tragedi Hillsborough di Sheffield, Inggris, dengan 97 orang tewas pada 1989. (Kompas, 3/10/22).

Selain itu ada juga peristiwa di Stadion Heysel, Belgia (1985), Katmandu Nepal (1988), dimana kekerasan menampakkan diri sebagai bagian sepakbola. Kekerasan tampaknya melekat pada sepakbola, baik itu karena terjadinya kerusuhan di antara suporter serta kelalaian petugas dalam menanganinya yang mengakibatkan korban jiwa.  

Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang pada Sabtu malam 1 Okober 2022 tampak terasa lebih kejam dari Perang Rusia-Ukraina. Keduanya banyak memakan korban, namun perang Rusia-Ukraina telah berjalan lebih dari setengah tahun dan juga masih belum berakhir. Sementara tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang justru mampu menewaskan 125 orang hanya dalam semalam saja.

Dalam perang yang menang hanya jadi Arang dan yang kalah jadi Abu, tetapi tragedi di Kanjuruhan tidak hanya kekalahan yang dialami Arema namun juga menimbulkan banyak korban jiwa dari masyarakat kota Malang itu sendiri dalam sekejap. Kata Pep Gurdiola, pelatih yang sedang menangani klub Manchester City Inggris, tragedi Kanjuruhan di Malang sungguh gila. Tragedi Kanjuruhan mendadak membuat dunia terbelalak, dimana sepakbola nyatanya bisa lebih kejam daripada perang.

Sepakbola memang bermuka dua, seperti “numen” atau “numinous” dalam pengertian filsuf Jerman Rudolp Otto (1869-1937). Di satu pihak sepakbola itu “fascinans”, semacam misteri menarik dan menyenangkan, yang memberi rasa kebaikan, keindahan, kebahagiaan, dan kepenuhan. Di lain pihak, sepakbola itu “tremendum”, semacam misteri yang menakutkan dan diliputi kekerasan yang mengancam, menindas, juga mematikan. (Sindhunata, Kompas 5/10/22).

 

Dalam Kerumunan dan Pengendalian Diri

Berkaca pada kejadian di Stadion Kanjuruhan Malang, kehilangan nyawa akibat menonton pertandingan sepakbola menunjukkan seberapa jauh manusia telah jatuh dari kemampuannya terhubung satu sama lain. Mengapa orang bisa kehilangan kontrol diri dan kesadarannya dalam suatu kerumunan sehingga hilang kendali dan tega melakukan tindakan destruktif.

 Menurut Gustav Le Bon, seorang ahli psikososial, para pelaku korban kerusuhan itu tidak saling kenal, tetapi dengan mudah emosinya terlecut hanya karena terprovokasi identitas atau simbol-simbol dari sang lawan. Kontrol diri lepas dalam kerumunan dan menjadi perilaku massa dalam kerumunan yang mengalami anonimitas atau tidak dikenalnya identitas diri.

Lenyapnya identitas diri yang berpotensi menampilkan perilaku barbar dan destruktif. Ditegaskan oleh Gustav Le Bon (1841-1931) bahwa pada sekumpulan orang dalam jumlah besar di suatu tempat (crowd), perilakunya mudah dikendalikan atau dikuasai “jiwa kelompok” (group mind). (Enoch Markum, Kompas, 4/10/22).

Perilaku manusia juga berkaitan dengan kejiwaannya. Filsuf Plato (427-347 SM) menyebutkan bahwa jiwa manusia memiliki tiga aspek, yakni Epithumia, Thumos dan Logistikon. Epithumia adalah hasrat dari perut ke bawah, yang meliputi nafsu makan, minum, dan seks. Thumos atau hasrat di dada, yang meliputi keinginan untuk diakui, harga diri, dan aspek ketiga, Logistikon, yaitu rasio atau akal budi. (Dhimas Anugrah, Kompas, 3/10/22

Banyak suporter sepakbola yang lemah logistikon atau jiwa pengendalian dirinya dalam mengendalikan kuda epithumia dan kuda thumos. Kedua kuda ini menjadi liar, tak terkendali karena tidak mendapatkan hasrat yang diinginkan serta harga diri yang tercoreng karena malu menerima kekalahan. Manusia perlu menguatkan logistikon agar mampu mengendalikan diri menjadi sais yang mampu memandu dua kereta dari hasrat atau keinginan dan harga diri.

 

Keakuan dan Kalah Menang

 Dalam Buddhadharma sangat ditekankan untuk dapat melakukan pengendalian diri, dari hasrat akan kekayaan atau materi maupun kebencian akibat datangnya yang tidak diinginkan, serta harapan akan terpuaskannya ego atau rasa aku seperti atas kemenangan.

Suporter yang tergabung dalam Aremania sudah menjadi identitasnya dimana suporter Arema mengindentifikasikan keakuan dirinya dengan tim Arema. Tim favoritku adalah aku, dan aku adalah bagian yang menyatu dengan tim favoritku. Ketika timnya kalah, maka jiwanya hancur, terinjak-injak harga dirinya dan rasa egonya.

Itulah kondisi jiwa yang perlu dicermati dalam setiap perkembangan diri manusia. Kalah dan menang adalah bagaikan sebuah koin dengan dua sisinya, dualitas yang satu adanya atau istilah latin Rectoverso, dualitas yang satu. Karenanya jangan jatuh ke salah satu kutub ekstrem, baik kemenangan atau kekalahan.

Bisa menerima keduanya sebagai satu kesatuan hidup yang bisa terjadi kapan saja. Kala menang tidak menggungkapkannya dengan takabur atau sombong sampai lupa diri, dan ketika kalah tidak putus asa, depresi atau menyerah. Boleh Girang kala menang namun tetap ramah Ketika Kalah. Kalah dan menang adalah biasa dalam permainan, dalam kehidupan kalah dan menang adalah suatu kesatuan, dua sisi dari kehidupan yang satu adanya.

Kekerasan, agresi yang muncul dalam tragedi sepakbola yang mendatangkan korban di Stadion Kanjuruhan Malang karena masih adanya kebodohan batin, ignorance, avidya yakni jatuh ke dalam pandangan pada salah satu kutub ekstrem saja. Padahal hidup ini adalah satu adanya, suatu kesatuan dari kekalahan dan kemenangan, kesuksesan dan kegagalan yang saling menyimpan satu dan lainnya. Dalam kesuksesan terkandung kekalahan dan dalam kekalahan tersimpan kesuksesan, sebagaimana kepedihan dan kegembiraan.

Kebijaksanaan dualitas kehidupan tercermin dalam simbol Yin dan Yang pada filsafat Taoisme tentang proses dinamika kehidupan yang silih berganti. “The ancient Chinese “Book of Changes, or I Ching”, often talks about success being failure and failure being success. Success sows the seeds of future failure, and failure may bring a later success. So it’s always a dynamic process. In any case, success and failure are saying the same thing”. (Chogyam Trungpa, “Smile at Fear: Awakening the True Heart of Bravery”, Boston & London: Shambhala, 2010, p.70).  

 

Menerima Kekalahan, Penderitaan dan Kesabaran

Seperti kata Lionel Messi, kemenangan itu tidak selalu terjadi setiap saat. Kekalahan adalah sesuatu yang wajar dan biasa dalam permainan. Untuk itu, para fans sepakbola perlu mendapatkan pembinaan untuk dapat menyadari bahwa menerima kekalahan adalah salah satu unsur hakiki dalam permainan sepakbola, dan kemenangan bukanlah salah satu kategori kunci dalam pembinaan mereka.

Selain itu tak kalah relevansinya adalah bernilainya kesetiaan. Demikianlah yang terjadi pada suporter klub-klub liga papan bawah di Eropa. Para suporter itu, meski klubnya kerap kalah, namun mereka tetap setia. Duka karena kalah adalah bagian dari hidup mereka, dari musim ke musim, namun mereka tetap setia dan tetap selalu berharap setiap klub mereka berlaga. (Sindhunata, Kompas, 5/10/22)

Para suporter itu dibina menerima kekalahan sebagai sesuatu yang wajar terjadi, dan sebagai fans, para suporter juga terlatih menderita. Ketika terjungkal ke divisi dua, mereka tetap sabar untuk merangkak kembali. Arti kesabaran justru menjadi nyata dalam kekalahan, dan mereka pun tetap setia pada klub walau silih berganti ditinggalkan pemain, pelatih, dan manajer.

Sebagai fans mereka terlatih menderita, dan bahkan lebih menderita daripada pemain. Sebab mereka harus tetap bertahan dalam kekalahan, sementara para pemain bisa pergi mencari kemenangan dengan pindah ke klub lain. Tetapi penderitaan itu bukan kata akhir, begitu mereka menang, maka kegembiraan mereka tak terkatakan, rasanya seperti mengalami kebahagiaan yang tak tergantikan.

Kemenangan dan Kehidupan Sempurna

Buddha orang yang telah mengalami kegembiraan luar biasa, kemenangan atas penderitaan yang memang ada sepanjang perjalanan kehidupannya. Penderitaan baik dalam kekalahan dalam permainan atau segi-segi kehidupan lainnya mengajarkan tentang kesabaran, karena di balik penderitaan itu ada kegembiaraan yang luar biasa, di balik kekalahan ada tersimpan kemenangan yang tertunda.

Bertekun terus meski kalah, bersemangat, berdaya terus meski didera penderitaan adalah kemenangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Hidup tak luput dari penderitaan seperti kekalahan. Bagai pendulum kesetimbangan, tak mungkin hidup hanya berhenti pada suatu kutub baik kemenangan atau kekalahan. Karena kemenangan dan kekalahan adalah sebuah fenomena yang berdasar pada esensi yang satu dan sama.

Mari meraih kearifan hidup dalam kesetimbangan kalah dan menang. Kebahagiaan sejati itu tidak mungkin terjadi tanpa penderitaan yang mungkin mendera tak putus-putus. Hanya melalui ketekunan dalam disiplin sila, dan kesadaran dalam meditatif, maupun kecerdasan dalam kebijaksanaan prajna tersimpan kemenangan sempurna.

Dalam samsara yang tampaknya tak berujung dan bertepi ini, tersimpan kemenangan atas penderitaan. Kemenangan seperti di bulan Waisaka sebagaimana dialami Siddharta yang menjadi Buddha. Kemenangan sempurna dalam kehidupan sejati bebas dari depresi, kekerasan dan agresi! (JP). ***

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH).
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor).

 

Butuh bantuan?