Buddhadharma Lawan Pelecehan Seksual

Home » Artikel » Buddhadharma Lawan Pelecehan Seksual

Dilihat

Dilihat : 2 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 79
  • 52
  • 43,350
Pic Pelecehan Seksual Des 2024

Oleh: Jo Priastana

 

“Eksploitasi seksual merusak tidak hanya tubuh, tetapi juga jiwa.
Kita harus berdiri bersama untuk melawannya.”
(Malala Yousafzai, Aktivis HAM Berkebangsaan Pakistan)

 

Tindakan pelecehan seksual tampaknya telah menjadi fenomena sosial, memprihatinkan dan menjauhkan manusia yang sepantasnya beradab. Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti: rasa malu, marah, tersinggung dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korbannya. (Rifka Annisa, Women Crisis Center, Yogyakarta). Pelecehan seksual termasuk suatu perlakuan kekerasan seksual yang dilakukan atas dasar gender dan seksual.

Secara definisi, yang dimaksud kekerasan berbasis gender dan seksual adalah setiap bentuk perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh dan/atau fungsi reproduksi seseorang yang didasarkan atas seks dan identitas gender si orang tersebut, yang mengakibatkannya menderita secara fisik, seksual, dan psikis. Penderitaan tersebut bisa berupa kerusakan pada organ reproduksi, depresi, merasa tidak aman, serta berbagai bentuk penderitaan lain. (Ajeng Kusuma, dan Evie Permata Sari, “Bersuara dan Menolak Tunduk, Sebuah Pengantar Advokasi, Lembaga Partispasi Perempuan. 2023:10)

Kekerasan seksual mendatangkan derita bagi korban manusia dan termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Wina pada tahun 1993, menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender adalah bentuk pelanggaran HAM, yang berbunyi. “kekerasan berbasis gender dan segala bentuk penyerangan dan eksploitasi seksual, termasuk yang merupakan akibat prasangka budaya dan perdagangan internasional manusia adalah bertentangan dengan martabat dan harkat manusia, dan harus dihapuskan. (Membangun Akses ke Keadilan Bagi Korban Kekerasan, 2017. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Ajeng Kusuma, Evie Permata Sari: 2023:10).

 

Kampus dan Tempat Kerja

Penyebab pelecehan seksual biasanya terjadi pada situasi dimana pelaku punya kekuasaan yang lebih daripada si korban. Sedangkan definisi kekuasaan itu sendiri sangat luas; dapat berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi, “kekuasaan” jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang lebih banyak, dan sebagainya.

Berbagai bentuk perilaku Pelecehan Seksual. Rentang pelecehan seks(sual) ini sangat luar biasa. Bentuknya antara lain meliputi: main mata, siulan nakal, komentar jorok-berkonotasi seksual, humor porno, cubitan, colekan, tepukan, sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tubuh atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan intim, perkosaan.

Pelecehan dapat juga berupa komentar, perlakuan negatif yang berdasar pada “gender”. Pada dasarnya pelecehan seks merupakan pelecehan gender, yaitu pelecehan yang didasarkan atas gender seseorang, dalam hal ini karena seseorang tersebut adalah perempuan. Contohnya: komentar: “Tugas perempuan kan di belakang…”, menjanjikan akan menikahi, tapi diingkari, “sudah tak perawan lagi …”

Lokasi dan waktu terjadinya pelecehan seksual. Pelecehan seksual tidak mengenal batasan waktu ataupun batasan tempat. Perilaku ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Pelecehan seks bisa terjadi di bus kota, pabrik, supermarket, bioskop, kantor, hotel, trotoar, dan sebagainya; baik siang, pagi maupun malam, waktu istirahat kantor, rapat ataupun pesta.

Pelecehan seksual di tempat kerja, seringkali disertai janji imbalan pekerjaan/kenaikan jabatan. Bahkan bisa berupa ancaman, baik secara terang-terangan ataupun tidak; berupa konsekuensi tidak diterima, kehilangan pekerjaan, tidak dipromosikan, dimutasikan, dan sebagainya. Pelecehan seks bisa juga terjadi tanpa adanya janji atau ancaman, namun dapat membuat tempat kerja menjadi tidak tenang, ada pemusuhan, penuh tekanan, dan sebagainya.

Pelecehan seksual di kampus/sekolah juga sering terjadi. Yang termasuk dalam kategori ini adalah pelecehan seks oleh dosen (putra) terhadap mahasiswi atau guru (putra) terhadap siswi. Peleceahan seks di kampus/sekolah terjadi karena guru/dosen memiliki kekuasaan yang lebih besar dari pada murid/mahasiswanya sehingga kekuatan tersebut sering digunakan untuk menjebak perempuan dalam posisi tawar menawar yang rendah terutama dalam kaitannya dengan masalah-masalah kelancaran studi (nilai, skripsi, dan sebagainya).

 

Pelaku dan Korban

Siapapun bisa menjadi pelaku dan korban pelecehan seks. Dia bisa jadi pacar sendiri, atasan, kenek bus, pejabat, mandor, majikan, teman kerja, pengacara, dokter, dukun, sarjana, dan sebagainya, siapa saja. Hampir semua korban pelecehan seks adalah perempuan. Pelaku pelecehan seks tak pilih-pilih korban; gadis, ibu-ibu tua, pegawai bank, perawat, pasien, pramugari, mahasiswi, anak sekolah, konselor, yang berbaju mini, yang berpakaian sopan atau agamis, PRT, Ibu Dosen, dan sebagainya.

Pelecehan seks dapat menimpa perempuan dari segala status sosial ekonomi, usia, ras, pendidikan, penampilan fisik, agama, dan sebagainya. Akibat pelecehan seksual dapat menyebabkan korban merasa: malu, marah, terhina, tersinggung, benci, dendam kepada pelaku, shock/trauma berat, kerusakan organ fisik.

Ingatlah, jika menjadi korban pelecehan seks, jangan tinggal diam. Pikirkan langkah apa yang bisa diambil. Selalu tanamkan pada diri bahwa perilaku pelecehan seks tersebut terjadi bukan karena kesalahan korban. Tindakan pelecehan seks adalah tindakan yang melanggar hukum. Sangatlah tepat bila korban segera melaporkan tindakan pelecehan seks ini segera setelah kejadian.

Tuntut pelaku di muka hukum, dengan undang-udang: 1. Pencabulan (pasal 289 s.d. 296 KUHP), 2. Penghubungan pencabulan (pasal 295 s.d. 298, 506 KUHP), 3. Tindak pidana terhadap kesopanan (pasal 281 s.d. 283, bisa pasal 532 s.d. 533 KUHP), 4. Persetubuhan dengan wanita di bawah umur (pasal 286 s.d. 288 KUHP). Carilah dukungan kepada orang/kelompok masyarakat yang peduli terhadap persoalan pelecehan seksual. Korban akan mendapatkan dukungan psikologis dan bantuan hukum bila memerlukannya.

Ingatlah, pelecehan seksual adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Tokoh Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan akan hal ini “Eksploitasi Seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat ditoleransi dalam masyarakat yang adil dan beradab.” (Kofi Annan). Sedangkan Ban-Ki-moon juga mengingatkan, “Setiap orang memiliki hak untuk hidup bebas dari kekerasan seksual, eksploitasi dan peleceahan.”

 

Seksualitas Yang Tidak Benar

Pelecehan seksual berkenaan dengan adanya nafsu seksual pelaku. Pelecehan seksual adalah tindakan seksual yang bertentangan dengan tindakan seksual yang benar dan karenanya termasuk dalam kategori tindakan asusila. Sila ketiga dari Pancasila Buddhis, menyatakan: “kamesu micchacara samadiyami” atau menghindari perilaku seksual yang tidak benar atau tidak berlaku asusila.

Perluasan pemahaman sila ketiga Buddhis tentang seksualitas yang sifatnya normatif ini juga mencakup persoalan-persoalan yang dimaksud dengan pelecehan seksual. Bahwa beragam bentuk dan macam pelecehan seksual itu adalah termasuk cara-cara yang salah, yang tidak benar yang berkaitan dengan seksualitas dan mengandung konsekuensi spiritual, moral, etis dan hukum.

Perluasan pemahaman seturut dengan perkembangan zaman, terjadinya kasus-kasus yang muncul dan menyebabkan banyak korban menderita. Korban terlanggar hak asasinya, dan pendekatan normatif ini sejalan dengan spiritualitas Buddhadharma mengenai seksualitas secara utuh-komprehensif. Seksualitas yang perlu dipahami secara hakekat dan penghargaan terhadap seksualitas itu sendiri secara sepenuhnya, serta penghormatan terhadap tubuh manusia yang memiliki otoritas atas tubuhnya.

Perlu diketengahkan pembelajaran seksualitas secara spiritualitas, bahwa seksualitas sebagai energi kehidupan yang hakiki perlu dihormati dan diwujudkan dengan cara-cara yang baik. Yang penting pada intinya adalah memiliki rasa hormat dan tanggung jawab terhadap seksualitas, serta membentuk sikap moralitas terhadap seksualitas yang mandiri atau otonom, dewasa dengan kebebasan dan tanggung jawab. Pendidikan di sekolah-sekolah Buddhis pastinya telah menanamkan nilai-nilai Buddhadharma sehubungan dengan seksualitas ini.

“Sungguh baik mengendalikan mata, sungguh baik mengendalikan telinga, sungguh baik mengendalikan hidung, sungguh baik mengendalikan lidah, sungguh baik mengendalikan perbuatan, sungguh baik mengendalikan ucapan, sungguh baik mengendalikan pikiran.” (Dhammapada 360-361).

Pelajari dan kenalilah tentang nafsu seksualitas, yang bersifat naluri, instingtif sebagai dorongan bawah sadar. Namun begitu, dalam kacamata Buddhadharma kesadaran dan kejernihan berpikir perlu diketengahkan. Selama belukar nafsu keinginan seksual belum dihancurkan, betapa pun kecilnya itu, maka selama itu pula terikat pada kehidupan yang fana bagaikan seekor anak sapi yang masih menyusu terikat pada induknya.” (Dhammapada 284).

Ketika ada seorang laki-laki yang tidak menahan nafsu birahinya dan karenanya merasa menderita hidupnya, ia ingin memotong alat kelaminnya. Buddha mengajarkan: “Daripada engkau memotong alat kelaminmu, lebih baik engkau memotong pikiranmu. Pikiran adalah komandan. Bila ia berhenti, dengan sendirinya tidak ada lagi pengikutnya. Bila pikiran sesat itu tidak dihentikan, apa pula gunanya memotong alat kelamin?” (Sutra 42 Bagian, dan Dhammapada ayat 1).

 

Spiritualitas Tubuh Dharma

Seksualitas berkaitan dengan tubuh. Pelecehan seksual merupakan suatu bentuk tindakan penghinaan terhadap tubuh korban sebagai obyektivikasi. Manusia yang sepenuhnya harus dihormati sebagai individu dan subyektivitas diperlakukan sebagai obyek dengan mengeksploitasi tubuhnya. Pelecehan seksual merupakan objektifikasi tubuh manusia yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia sebagai subyek dan individu.

Objektivikasi tubuh perempuan ini dijelaskan oleh Laura Mulvey (83 tahun) dengan menggunakan teori “male gaze” melalui esainya yang berjudul “Visual Pleasure and Narrative Cinema”. Dengan menggunakan bahasa psikoanalisis, Mulvey menyebutnya sebagai “scopophilia: kenikmatan seksual yang terlihat dalam melihat”. Mulvey, pakar teori film feminis berpendapat, bahwa sebagian besar film populer difilmkan dengan cara yang memuaskan scopophilia yang maskulin. Dalam “male gaze”, perempuan diposisikan sebagai visual sebagai “objek” dari hasrat laki-laki heteroseksual, sehingga media visual digunakan untuk merespon pandangan yang men-seksualisasi perempuan agar kepuasan memirsa laki-laki dalam “melihat” terpenuhi (Ajeng Kusuma, Evie Permata Sari. 2023: 15).

Seksualitas berkaitan dengan tubuh manusia sebagai makhluk spiritual. Dalam Buddhadharma, kehidupan manusia merupakan kesempatan untuk mengaktualiasasi potensi kebuddhaannya. Karenanya tubuh bukanlah obyek apalagi komoditas, atau properti milik orang lain. Tubuh adalah subyek spiritual. Tubuh manusia termasuk tubuh perempuan dan lelaki adalah sesuatu yang luhur, sebagaimana luhurnya kelahiran manusia itu sendiri. Tubuh adalah representasi sisi dalam manusia.

Tubuh manusia merupakan miniatur dari cita Buddha (Bodhicitta). Citra kesempurnaan sebagai dharmakaya atau tubuh dharma yang merupakan totalitas tubuh dengan jiwa, kesatuan rupa dan nama yang mengandung makna spiritualitas. Melalui tubuh, manusia seharusnya dapat menemukan kemurnian, ketulusan, kejujuran dan kepolosan, bahwa di dalam diri manusia itu terdapat bija-buddha (benih kebuddhaan) dan manusia itu sendiri adalah Bodhisattva (makhluk kesempurnaan).

Spiritualitas tubuh mencakup kebersihan pikiran, cara hidup yang berperasaan, saling mengasihi, mencintai dan merawat perasaan masing-masing, bebas dari intimidasi, bebas dari kekerasan dan diskriminasi atau stereotipe gender. Tubuh dharma yang tercermin dalam nilai Bodhisattva meliputi sikap kepedulian. simpati, empati, dan welas asih. Tubuh yang bermartabat, karena semuanya adalah sama, manusia yang sama hidup dan menghidupi tubuh dharma. (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: https://unair.ac.id/makna-kekerasan-seksual-bagi-korban/

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?