Oleh: Jo Priastana
“Orang Lapar. Jangan Disuruh Sabar. Bisa Makin Sangar. Menjarah dan Membakar”
(UAS/Ustad Abdul Somad, Suara.com 31/8/2025)
Orang lapar, cermin kemiskinan dan ketidakadilan sosial, dan ini juga menjadi keprihatinan Karl Marx (1818-1883), dimana ia mengungkapkan bahwa “pangan adalah hak dasar manusia yang harus dijamin oleh negara.” Negara harus memastikan setiap orang mendapatkan akses yang cukup akan pangan. Negara harus menjamin kebutuhan pangan bagi setiap warganya. Negara harus menjamin kemandirian pangan dan memastikan tiada kelaparan dialami rakyat.
Adalah peran negara dalam memastikan setiap orang memiliki akses ke pangan yang layak dan bergizi. Sila kelima Pancasila dasar Negara menyatakan hal itu. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah cita-cita dan tujuan negara yang harus dinikmati oleh segenap rakyat Indonesia, dan dijamin dalam UUD 1945 yang menjadi landasan kebijakan negara mewujudkannya. Indonesia dan banyak negara lainnya masih dilanda masalah kelaparan, ketidaksetaraan pangan dan keadilan sosial.
Apakah ketidakadilan sosial ekonomi ini mencerminkan sistem politik atau sistem ekonomi yang ada? Apakah juga terkait dengan faktor-faktor lain seperti perubahan iklim, konflik, atau distribusi yang tidak merata? Apakah kebijakan seperti subsidi pangan, program bantuan sosial, atau sistem pertanian berkelanjutan adalah solusi yang tepat? Pertanyaan yang akhirnya berkenaan dengan masalah ketidakadilan sosial dan ekonomi yang masih melanda banyak negara di dunia termasuk di Indonesia.
Kepemimpinan dan Keterbelahan Sosial
Hak atas pangan dan masalah keadilan masih menjadi problematik di banyak negara. Untuk negara Amerika Serikat saja, Peraih Nobel 2011, Joseph Stiglitz dalam The Price of Inequality (2012), menyatakan “Sistem ekonomi kita terlihat gagal untuk menyejahterahkan bagi sebagian besar rakyat dan sistem politik kita dikuasai oleh kepentingan uang.” Kegagalan sistem ekonomi dan politik di AS itu ternyata juga terjadi di Indonesia.
Praktik ekonomi kapitalistik dan ekstraktif yang tak berkeadilan bersenyawa dengan perilaku elit politik yang korup. Kongsi jahat ini mengasilkan bangsa yang terbelah (a divided nation) dengan masyarakat yang juga terbelah secara ekonomi (a divided society), antara minoritas golongan atas yang tumbuh paling cepat di satu pihak dan mayoritas golongan menengah serta bawah yang semakin menurun dan miskin di pihak lain.
Wajah Indonesia yang timpang dengan keterbelahan ekonomi masyarakat terjadi di tengah ketamakan para pemimpin. Mereka bukan sekadar penyembah kekuasaan dan uang sebagai berhala-berhala baru, melainkan juga mengalami “korupsi sentimen moral.” Moralitas dan etika pemimpin yang dipertanyakan keberadaannya.
Filsuf moral Adam Smith (1723-1790) lebih dari dua setengah abad silam dalam “Theory of Moral Sentimens” (1759) mengemukakan tentang senimen moral ini. Keutamaan sentimen moral – mulai dari kebajikan, simpati, bela rasa, hingga perasaan senasib dikorupsi yang mengakibatkan tumpulnya nurani kemanusiaan pada penderitaan orang lain (Sukidi, “Gembala yang Terluka”, Kompas, 10/7/25).
Adam Smith dikenal luas sebagai bapak ekonomi modern dengan karya monumentalnya “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” (1776). Sebuah buku yang menjadi teks dasar untuk studi tentang hubungan antara masyarakat, politik, perdagangan dan kemakmuran.
Problem ketidakadilan juga menyangkut kepemimpinan negara. Pemimpin yang tak menjiwai penderitaan rakyatnya perlu menyimak petuah guru bijak Master Kung, Konfusius (551-479 SM), tentang ajaran “ren” yang menjadi kebajikan moral tertinggi bagi penganut Konfusianisme. Ajaran “ren” ini terefleksikan pada kitab Lunyu-Analek yang menghimpun ajaran rahasia dan kata-kata bijak dari percakapan antara Konfusius dan murid-muridnya.
Seorang murid Zhong Gong bertanya tentang “ren”, Konfusius berkata: “Saat berada di ruang publik, bersikaplah seolah Anda sedang menerima tamu penting. Saat berurusan dengan rakyat, bersikaplah seolah-olah Anda sedang melakukan sebuah pengorbanan besar. Jangan lakukan pada orang lain apa yang Anda sendiri tidak suka (do not do to others what you would not like yourself).
Dengan ini, Anda tidak akan menjumpai kemarahan dalam kehidupan publik atau kehidupan pribadi, dalam urusan negara atau urusan keluarga” (Diana Lobel, “Philosophies of Happiness: A Comparative Introduction to the Flourishing Life,” 2017) (Sukidi, ibid).
Perkatan Konfusius itu mencerminkan golden rule atau kaidah emas. Setiap agama memiliki sejumlah Kaidah Emas untuk membangun kehidupan manusia yang lebih baik. Salah satunya adalah kaidah yang mencerminkan kesetaraan atau impartiality bahwa “kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana kita berharap diperlakukan”.
Kaidah emas atau Golden Rule yang dikemukakan Konfusius juga didengungkan banyak agama. “That we shall do not do any injustice to others in the way that we do not want others did the same injustice unto us”. Kaidah emas ini adalah juga cerminan dari keadilan atau justice yang dalam Buddhisme dimaknai sebagai impartiality atau kesetaraan.
The Buddhist Dictionary defines the Pali term ‘yutti; as impartiality. Kata “yutti” juga dapat bermakna sebagai ‘a man of virtue’ dan digabungkan dengan kata “dhamma” sebagai “yuttidhamma” yang berarti “a virtue of impartiality” (Buddhadatta, 1995).
Semua agama mengembangkan kaidah emas itu dalam tradisi masing-masing. Para pemimpin dan penganut agama punya tanggung jawab untuk berbicara tentang perdamaian dan mengamalkan Kaidah Emas yang mencerminkan keadilan dan kesetaraan ini.
Sang Buddha juga pernah mengingatkan bahwa, “negeri akan makmur bila pemimpin menegakkan keadilan, rakyat bermuswarah, dan hukum dijalankan tanpa kekerasan (Mahaparinibbana Sutta). Krisis ditandai kemerosotan atau kemunduran, menurut Buddha ada empat penyebabnya, yaitu gagal menemukan kembali apa yang hilang, lalai memperbaiki apa yang rusak, konsumerisme, dan mengangkat pemimpin yang tidak bermoral (Anguttara Nikaya 4.258).
Keadilan dan Rekonstruksi Sosial Tanah Suci
Dalam Buddhadharma, kemiskinan dalam bentuk apapun harus diatasi, karena itu akan semakin memperburuk kondisi batin manusia. Kemiskinan berkaitan dengan soal perut atau kelaparan. Menurut Sang Buddha, orang yang miskin atau orang yang kelaparan, akan sukar mendengarkan Dharma. Karena itu menurut Sang Buddha, jauh lebih baik mengatasi kemiskinan dan kelaparannya terlebih dahulu sebelum memperdengarkan Dharma kepada mereka.
Yang diperlukan dan lebih optimis-realistis dalam mengatasi kemiskinan adalah reformasi sistem masyarakat itu sendiri, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Prof. Muladi dengan reformasi Mei 1998, yakni pembentukan masyarakat sipil atau civil-society. Rekonstruksi civil-society ini sejalan dengan kehidupan beragama umat Buddha yang didasari oleh Dharma yang berisikan hukum kesunyataan dan memiliki misi untuk masyarakat yang damai dan adil.
Pada pemutaran roda dharmanya (dhammacakka), Sang Buddha pun tidak meninggalkan peranan bidang sosial dan politik di dalam mewujudkan misinya itu. Sang Buddha mengajak raja-raja untuk melakukan reformasi sosial dan politik dan menciotakan kesejahteraan ekonomi, agar orang tidak lapar sehingga bisa mendengarkan Dhamma.
Karen Armstrong melukiskan (“Buddha” 2002:129): “The Buddha was creating an alternative way of life that brought the shortcomings of the new towns and states into sharp focus. Some Scholars believe that Buddha saw such rules as Pasenadi and Bimbisara as partners in a program of political and social reform. They suggest that Sangha was designed to counter the rampant individualism that was inevitable as society progressed from a tribal, communal ethos to a competitive, cutthroat market economy. The Sangha would be a blueprint for a different type social organization, and its ideas would gradually filter done people”
Selanjutnya, pemikiran Sang Buddha yang telah begitu modern juga diungkapkan Karen Armstrong: “the Buddha was to reform human consciousness, they suggest, while the kings introduced social reforms. More recently, however, other scholars have argued that far from endorsing monarchy and working with it in this way, the Buddha seemed highly critical of kingship and preferred the republican style of government that still prevailed in his native Sakka” (“Buddha”, 2002:131).
Yasutani Roshi di tahun 1969, diusianya ke 88, (Nelson Foster: 1999), menulis sebuah artikel yang berjudul “Crisis in Human and Liberation Found in Buddhism.” Dalam artikel itu ia mengungkapkan gagasannya mengenai sebuah rekonstruksi masyarakat yang sempurna untuk umat awam yaitu “sebuah fondasi untuk perdamaian semua umat manusia, memahami kesatuan internasional seluruh manusia di bumi sebagai satu kesatuan untuk mentransformasikan penderitaan dunia menjadi Tanah Suci.”
Yasutani Roshi menekankan tentang rekonstruksi tersebut, bahwa meski didasari oleh etika dan hukum modern, namun hendaknya juga disempurnakan dengan jalan Buddha. Pengenalan terhadap premis masyarakat modern itu pun harus disempurnakan dengan membangkitkan jalan Buddha. Ia mengungkapkan bahwa, kalau kesalahan yang mendasar tidak dikoreksi, seperti tiga akar kejahatan: lobha, dosa, dan moha, maka manipulasi politis akan tetap saja terjadi sebagai sebuah lingkaran sebab dan akibat yang buruk.
Oleh karena itu katanya, walaupun masyarakat dapat mengadakan program-program sosial, meningkatkan kesejahteraan, atau menaikkan pendapatan – menciptakan distribusi yang tak terbatas, tetapi jika keserakahan, kebencian, kebodohan masih terdapat maka sekalipun masyarakat di bumi itu telah berkelimpahan tetap saja akan tidak menemukan pemecahan untuk melenyapkan kemiskinan dan ketidakadilan, apalagi mengingat tiga akar kejahatan itu telah melembaga dan bersifat struktural.
Adanya kemiskinan berarti pula masih adanya kesenjangan sosial dan ketidaksetaraan. Kesenjangan ini terjadi sejalan dengan masih bercokolnya lobha, dosa, dan moha di dalam diri manusia dan bersifat struktural atau melembaga dalam masyarakat. Yasutani menekankan akan sifat-sifat buruk yang masih bersemayam ini sebagai sumber penderitaan sosial manusia. Sifat-sifat buruk yang amat sukar memunculkan kebaikan umum bagi terciptanya masyarakat yang baik dan adil.
Pejuang Keadilan Sosial
Buddhadharma bagi masyarakat modern tidak dapat tidak harus terlibat terhadap masalah-masalah sosial yang berkembang. Ada tipologi Buddhadharma yang menjadi rujukan dan landasan untuk menjawab permasalahan sosial ekonomi dan masalah ketidakadilan dalam “Engaged Buddhism” atau Buddhadharma yang Terlibat, “Socially Engaged Buddhism”, Agama Buddha Terlibat Sosial.
Tipologi Buddhisme yang ditawarkan oleh para pemuka Buddhis modern seperti Thich Nhat Hanh, Sulak Sivaraksa, Buddhadasa maupun Dalai Lama dan lainnya, dan yang menjadi sumber spiritualtas bagi aktivisme para aktivis Buddhis memperjuangkan keadilan sosial.
Moralitas sosial Bodhisattva yang merupakan cermin pribadi Buddhis merupakan sumber spiritualitas untuk mewujudkan kepedulian terhadap penderitaan lingkungan, memiliki kepekaan dan keterlibatan sebagaimana esensi Buddhadharma itu sendiri. Menjadi Buddhis adalah juga menjadi pribadi sadar yang memiliki keterlibatan terhadap masalah sosial kemanusiaan dan penjadi pejuang keadilan sosial.
Tokoh “Engaged Buddhism,” Thich Nhat Hanh menegaskan, “Buddhism means awake – mindful of what is happening in one’s body, feelings, mind in the world. If you are awake, you cannot do otherwise than act compassionately to help relieve suffering you see around you. So, Buddhism must engage in the world. If it is not engaged it is not Buddhism” (Ken Jones, “Emptiness and Form Engaged Buddhism Struggles to Respond to Modernity,” in “Think Sangha Journal,” Number 2, Winter 1999, p.105).
Untuk itu, bila sungguh-sungguh menjadi Buddhis, umat Buddha di Indonesia adalah para pejuang yang larut dalam memperjuangkan keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan dan dicita-citakan tokoh Proklamator, Presiden RI pertama, bahwa “Keadilan Sosial ialah Suatu Masyarakat atau Sifat Suatu Masyarakat Adil dan Makmur, Berbahagia Buat Semua Orang, Tidak Ada Penghinaan, Tiada Ada Penindasan, Tidak Ada Penghisapan.” (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: Meta AI