Buddhadharma Sekuler Menyapa Masyarakat Modern

Home » Artikel » Buddhadharma Sekuler Menyapa Masyarakat Modern

Dilihat

Dilihat : 132 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 27
  • 271
  • 82,530
Pic 4 JUN 2025 JO

Oleh: Jo Priastana

 

“My religion is very simple. My religion is kindness”

(Dalai Lama)

 

Ketika ChatGPT ditanya: What is the most truthful religion, if you had to pick just one?,  Dia menjawab: if I had to choose just one religion as the most truthful, based on coherence with observed reality, internal consistency, and philosophical depth, Buddhism – especially its early forms like Theravada – often stands out. Here’s why: It doesn’t rely on a creator god, so it avoids unverifiable metaphysical claims. Its central tenets (like suffering, impermanence, and the nature of desire) are observable and introspective rather than dogmatic, it encourages direct experience and critical inquiry, not blind faith. Many if its practices, like mindfulness and meditation, have been supported by modern psychology and neuroscience. (FB Theravada Buddhism, Gregory Da Silva/Steward Ong/Arya Karniawan 29-4-25).

Jawaban ChatGPT yang merupakan anak kandung peradaban modern yang disarati oleh ilmu pengetahuan dan teknologi itu menunjukkan dengan jelas bahwa Buddhadharma adalah agama yang cocok untuk masa kini dan bersifat sekuler. Buddhadharma berbeda dengan agama yang memiliki doktrin dan menjadi dogma ketika doktrin itu dipandang secara normatif-absolut. Dalam kehidupan modern kontemporer yang bercirikan sekuler, progresif dan liberal, dogmatisme agama akan ditinggalkan, begitupula dengan ritual yang menjadi ekspresi dogma. Sekulerisasi muncul sebagai antitesa agama, sesuai artinya sebagai yang di luar agama.

Jawaban ChatGPT itu menunjukkan ciri Buddhadharma sekuler yang berdasarkan konsistensi logis, filsafat dan introspeksi mendalam, dapat diselidiki. Buddhadharma sekuler adalah Buddhadharma yang bebas dari dogma dan ritual, namun merujuk langsung kepada praktik yang memberi manfaat baik bagi diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, lepas sebagai kepercayaan semata. Buddhadharma yang pragmatis, aplikatif, memberi manfaat, dan bukan masalah metafisika yang melampaui realitas dunia jauh dari pembuktikan empiris dan tak terkatakan, sebagaimana ungkapan filsuf Ludwig Wittgenstein (1889-1951), “batas bahasaku adalah batas duniaku.”

 

Kemunculan dan Modernisasi

Buddhisme sekuler muncul sebagai jalan utama untuk menemukan orientasi yang tepat dan benar, cocok bagi seorang dalam kehidupannya dewasa ini, kehidupan disini dan sekarang di tengah zaman modern dengan problematiknya. Buddhisme sekuler adalah sebuah pandangan tentang Buddhadharma yang tidak dogmatis, bebas ritual, jauh dari aspek supernatural sebagaimana yang terkandung dalam Buddhis tradisi yang kerap mengemuka menjadi dogma dan keyakinan begitu saja. Buddhidharma sekuler menekankan segi empiris dan pragmatis sebagaimana yang terkandung dalam istilah ehipassiko: datang lihat dan alami sendiri.

Begitulah Buddhadharma sekuler muncul. Fokus pada kehidupan saat ini, dunia ini dan mengembangkan compassion welas asih sebagai aplikatif dari ajaran. Tidak mempercayai hal-hal supernatural, yang bersifat metafisika, namun condong sekuler, humanis dan kekinian. Kemunculan Buddhadharma sekuler dipandang telah terlihat pada adanya cara kehidupan monastik bagi kaum awam sejak zaman Buddha, maupun di kehidupan modern saat ini.

Buddhisme sekuler bisa terlihat pada tokoh seperti Sayadaw di Burma yang menjadikan meditasi menjadi inklusif dapat dipraktikkan siapa saja tanpa unsur agamis dan bersifat praktis. Begitu pula peran Dalai Lama yang menanggapi Buddhadharma dengan pendekatan etika dan memandang setiap orang adalah bersifat spiritual yang menyatakan bahwa agamaku adalah kebaikan. Kebaikan dalam kata-kata yang mendatangkan kepercayaan, kebaikan dalam perbuatan memunculkan penghormatan, dan kebaikan dalam pikiran memunculkan kebijaksanaan. Semua kebaikan yang terdapat pada siapa saja, dimana saja dan kapan saja bersifat universal.

Seturut dengan kemunculan sekulerisasi itu sendiri sebagai cermin kemunculan modernisasi yang memisahkan negara dari agama, kata itu juga dilekatkan pada Buddhisme. Buddhadharma sekuler muncul sebagai respons terhadap perkembangan dunia modern. Namun begitu, Buddhadharma sekuler sesungguhnya juga telah memiliki akar sejarah yang dapat ditelusuri kembali ke masa upaya reformasi dalam Buddhisme pada abad ke 19 dan ke 20.

Selain itu, akar ideologi Buddhadharma sekuler juga dapat ditelusuri lebih jauh ke dalam pemikiran Buddha sendiri dan cara hidup monastik dalam pasamuan awam. Budhadharma yang pragmatis sebagai rakit membawa ke pantai seberang atau akhir derita. Karenanya Buddhadharma sekuler sebagai aplikasi Buddhadharma lebih mengutamakan pengalaman langsung dan kebijaksanaan pribadi daripada dogma religius dan keterikatan terhadap ritual maupun organisasi.

Ketika pada pertengahan abad ke-20, Buddhisme mulai menyebar ke dunia Barat, terutama di Amerika Serkat dan Eropa, banyak orang yang tertarik pada meditasi dan filosofi Buddhis, namun merasa tidak nyaman dengan aspek-aspek religiusnya. Inilah yang mendorong berkembangnya Buddhisme sekuler sebagai alternatif yang lebih relevan dengan kehidupan modern yang memunculkan sekulerisasi, yang lebih mengutamakan aplikasi praktis daripada sebagai kepercayaan agama tradisional.

Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, di tengah perubahan cepat yang dibawa oleh iptek dan modernisasi, gerakan mindfulness dan meditasi sekuler semakin berkembang. Muncul tokoh-tokoh seperti Jon Kabat-Zinn, pengembang Program Pengurangan Stres Berbasis Mindfulness (MBSR) yang terkenal dan cukup fenomenal. 

Pendekatan meditasi mindfulness ini menekankan manfaat psikologis dan kesehatan dari meditasi Buddhis tanpa harus terlibat dalam aspek spiritual atau religiusnya. Ini menjadi salah satu bentuk nyata dari berkembangnya Buddhadharma dalam menyapa masyarakat modern di Barat yang sarat dengan budaya ipteknya yang memudahkan kehidupan. Bentuk Buddhisme sekuler yang bebas dogma dan ritual namun bersifat pragmatis praktis sebagaimana Sang Buddha diibaratkan sebagai seorang dokter yang bertugas menyembuhkan penderitaan yang dialami segenap makhluk.

Buddhadharma sekuler menjadi gerakan, semakin berkembang berkat Stephen Batchelor (lahir 7 April 1953) dan seiring dengan semakin populernya meditasi kesadaran penuh (mindfulness). Praktik Buddhis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa perlu terikat pada keyakinan religius atau dogma dan ritual, sebagaimana hakikat Buddhadharma itu sendiri yang bersifat pragmatis dan praktis. Ajaran utama Buddha dalam Empat Kesunyataan Mulia dan memandang ajarannya bersifat pragmatis sebagai rakit untuk melenyapkan penderitaan dan menghadirkan kebahagiaan. 

 

Gerakan Buddhisme Sekuler

Gerakan Budhisme sekuler semakin berkembang dalam bentuk yang lebih jelas bersama sejumlah faktor yang menyumbang pada kemunculannya, diantaranya (1) Pengaruh modernisme dan sekulerisasi abad 19 hingga ke-20, (2) Gerakan reformasi Buddhisme di Asia, (3) Pengaruh dari tokoh penting Stephen Batchelor dan pembentukan Buddhisme Sekuler, (4) Kemunculan Buddhisme di Dunia Barat, (5) Keterikatan dengan Gerakan Mindfulness dan Meditasi. (ChatGPT, Assist).

Pada abad ke-19 dan ke-20, ditengah derasnya perkembangan iptek, dunia Barat mengalami proses sekulerisasi yang sangat kuat, yang mengarah pada penurunan pengaruh agama dalam kehidupan sosial dan publik. Di Asia juga terjadi terutama setelah pengaruh kolonialisme Barat dan perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang besar. Banyak orang mulai mencari cara untuk memahami ajaran Buddha tanpa harus bergantung pada elemen-elemen agama tradisonal seperti kepercayaan terhadap dewa, reinkarnasi dan tradisi ritual.

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu muncul beberapa gerakan reformasi dalam Buddhisme, seperti Buddhisme Modernisme di Sri Lanka, Thailand dan Jepang. Gerakan reformasi yang mencoba untuk menyesuaikan ajaran Buddha dengan kebutuhan masyarakat modern. Tokoh-tokoh seperti Anagarika Dharmapala (1864-1933) di Sri Lanka dan D.T. Suzuki (1870-1966) di Jepang berusaha menghubungkan Buddhisme dengan perkembangan intelektual Barat, memperkenalkan Buddhisme lebih sebagai filosofi dan cara hidup dan bukan sebagai agama dengan unsur-unsur supernatural maupun metafisik.

Stephen Batchelor diantaranya adalah seorang tokoh kunci dalam Buddhisme Sekuler. Ia memainkan peran besar dalam mengartikulasikan Buddhisme sebagai suatu filosofi hidup yang tidak bergantung pada unsur-unsur agama atau dogma. Dalam bukunya “Budhism Without Beliefs” (1997), Batchelor mengusulkan agar ajaran Buddha diterima sebagai filosofi praktis untuk siapa saja tanpa memerlukan keyakinan agama. Pendekatan ini kemudian menjadi dasar bagi berkembangnya Buddhisme Sekuler yang lebih luas. Fokus utamanya adalah pada meditasi, kesadaran penuh (mindfulness), dan pemahaman diri, tanpa elemen-elemen keagamaan, bebas dari ritual dan dogma maupun metafisika.

Tokoh utama Buddhadharma sekuler Stephen Batchelor, mengungkapkan ciri pragmatis dan praktis dari hakikat Buddhadharma itu justru tercermin dalam Empat Kesunyataan Mulia, ajaran yang dibabarkan Buddha pertama kalinya yang dikenal sebagai hari pemutaran roda dharma (Dhammacakka Pavattana Sutta) yang bersifat pragmatis ketimbang dogmatik.

The Four Noble Truths are pragmatic rather than dogmatic. They suggest a course of action to be followed rather than a set of dogmas to believed. The four truths are prescriptions for behavior rather than descriptions of reality. The Buddha compares himself to a doctor who offers a course of therapeutic treatment to heal one’s ills. To embark on such a therapy is not designed to bring one any closer to ‘the Truth’ but to enable one’s life to flourish a legacy that will continue to flourish here and now, hopefully leaving a legacy that will continue to beneficial repercussions after one’s death” (Stephen Bachelor, “Confession of a Buddhist Atheist,” 2010: 154).

Stephen Bachelor menunjukkan bahwa Buddhadharma Sekuler adalah cerminan ajaran yang dibabarkan Buddha pertama kali. “Above all, secular Buddhism is something to do, not something to believe. In this pragmatism is evident in many classic parables: the poisoned arrow, the city, the raft – as well as in the Buddha’s presentation of the four noble truths as a range of tasks to be performed rather than a set of propositions to be affirmed.” (www.goodreads.com). (JP) *** 

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?