Buddha’s Wisdom dan Jalan Filsafat Siddhartha Muda

Home » Artikel » Buddha’s Wisdom dan Jalan Filsafat Siddhartha Muda

Dilihat

Dilihat : 67 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 84
  • 129
  • 59,868
Pic 2 Feb 2025 Wisdom Buddha

Oleh: Jo Priastana

 

“Menjadi filsuf tidak hanya harus memiliki pikiran halus, tetapi juga mencintai kebijaksanan sebagai prinsip hidup, memiliki keyakinan yang kuat, hidup sederhana, dan murah hati, dan jika kita dapat menemukan kebijaksanan melalui filsafat, segala sesuatu yang lain mungkin akan ditambahkan.” (Henry David Thoreau,1817-1862)

 

Mungkin bagi sebagian orang, filsafat merupakan bidang pengetahuan dan keilmuan yang rumit. Padahal, filsuf atau yang sering dianggap sebagai orang bijaksana tidak pernah merasa dirinya telah bijaksana. Sesungguhnya, filsafat menyederhanakan yang rumit, bukan sebaliknya. Filsafat yang bermakna “cinta kebijaksanaan” adalah jalan menemukan kebijaksanaan dan pengetahuan tentang hakikat sesuatu. Berfilsafat terbuka bagi setiap orang, ketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan yang tidak mempersoalkan hal ihwal sehari-hari.

Filsafat bertitik pangkal pada pertanyaan mengenai arus peristiwa sehari-hari yang tidak lagi dianggap serba biasa dan pertanyaaan kepada diri sendiri sebagai subyek manusia. Manusia yang serba biasa itu dan yang hidup di tengah-tengah peristiwa yang serba biasa disentuh oleh nafas pertanyaan, tali pengikat antara manusia dan peristiwa. Dari situlah manusia mulai berfilsafat, mencari dan merenung, mulai bertanya dan berefleksi tentang segalanya termasuk keberadaan dirinya.

Manusia yang berfilsafat. Aristoteles menyatakan manusia berlainan dengan hewan, karena manusia mampu berpikir (animal rationale) dan juga mampu merenungi segalanya, bertanya-tanya mengenai makna, hakikat, dan sebab segala sesuatu yang diamati dan dialaminya. Dalam menjelaskan dhammavicaya (investigation of Dhamma) Sang Buddha mengungkapkan bahwa ajarannya hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mencari kebijaksanaan.

 

Filsuf Siddhartha Muda

Berfilsafat dianggap mulai tumbuh bila manusia mulai bertanya-tanya disertai rasa kagum dan heran. Berfilsafat melampaui kehidupan sehari-hari, dan secara akademik, studi filsafat mengatasi bahan-bahan deskriptif yang disajikan bidang-bidang studi khusus. Filsafat menyelidiki atau menanyakan sifat dasarnya, nilai-nilainya dan kemungkinannya, tujuannya adalah pemahaman (understanding) dan kebijaksanaan (wisdom).

Pythagoras (572-497 SM) adalah orang pertama yang memakai kata philosophia. Pythagoras menyebut dirinya sebagai philosophos, yakni pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom). Asal mula kata filsafat sangat umum, yang intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excellence).

Tampaknya demikianlah yang dilakoni Siddhartha Muda yang menempuh jalan filsafat kebijaksanaaan sebagai filsuf. Ketika dia melihat empat peristiwa, Siddhartha merasa heran dan bertanya-tanya, kemudian dia memikirkannya secara mendalam. Pertanyaan yang mungkin bagi kebanyakan orang sesuatu yang biasa: melihat orang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa, namun bagi dia tidak. Siddhartha bertanya apa sesungguhnya hakikat itu semua?

Menjelmalah sang pangeran menjadi filsuf yang suka merenung, bertanya secara radikal dan menggugat, mengapa ada orang sakit, menjadi tua dan mengapa ada kematian? Pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung selesai sebatas tembok istana. Pertanyaan-pertanyan yang kemudian membawanya keluar istana, ke dalam Hutan Uruvela dan menjadikan kehidupannya berubah secara radikal, dari pangeran menjadi filsuf pertapa.

Sebagai filsuf, Siddhartha memiliki sikap dan ciri-ciri berpikir seperti layaknya apa yang disyaratkan di dalam ilmu filsafat masa kini, seperti: berpikir kritis, radikal, universal, konseptual, koheren, konsisten, sistematik, komprehensif, bebas dan memandang persoalan secara sinoptik (menyeluruh) serta peka akan nilai-nilai. Berfilsafat berupaya mengenali hakikat sesuatu secara refleksif (yoniso manasikara), berpikir secara mendalam mengenali karakteristik atau hakikat sesuatu.

Kelak setelah keberhasilannya menjadi Buddha, semua segi-segi dan ciri-ciri kefilsafatan hasil dari berpikir mendalam terlihat dalam ajarannya dan juga dalam cara menyampaikannya. Buddhadharma dengan cara kerja filsafat menemukan hal yang mendalam, hakikat, karakteristik sesuatu dan mengungkapkannya secara sistematis, dalam pemahaman yang menyeluruh dan sepenuhnya.

Buddhadharma dikaji secara filsafat akademis mencerminkan studi filsafat sebagai ilmu pengetahuan dan suatu seni keterampilan menemukan hakikat keberadaan sesungguhnya. Ada masalah metafisika dan ontologi, kosmologi dan antropologi, masalah epistemologi, logika, masalah nilai, etika moralitas serta estetika. Segenap segi-segi permasalahan filsafat yang menjadi tubuh Buddhadharma.

 

Kebijaksanaan Jalan Tengah

Dalam pembabaran Dharmanya pertama kali, Buddha mengajarkan empat kebenaran utama, yaitu: hidup adalah dukkha. Kedukkhaan itu timbul (samudaya) karena keinginan (tanha), dan dapat lenyap dengan padamnya keinginan (nirodha) atau pencapaian nirvana. Empat kebenaran mulia ini mengandung permasalahan filosofis seperti masalah ontologis, antropologi, epistemologis maupun etika.

Buddhadharma dikenal sebagai jalan untuk melenyapkan dukkha yang disebut sebagai jalan tengah yang terdiri dari: disiplin, konsentrasi dan kebijaksanaan (sila, samadhi, dan pañña). Jalan pembebasan ini terformulasi dalam delapan kebenaran yang terdiri dari: perkataan benar, perbuatan benar, dan mata pencaharian yang benar. Budaya mental dalam meditasi yang terdiri dari: upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Sebagai disiplin mental, meditasi melibatkan kajian yang bersifat psikologis berkenaan dengan kesadaran manusia.

Pencapaian pembebasan juga berkenaan dengan pandangan benar terhadap realitas. Pandangan benar merupakan kasus epistemologi yang berkenaan dengan persoalan mengetahui realitas sebagaimana adanya. Kebijaksanaan transendental (pañña) atau pengetahuan yang membebaskan (bodhi) yang terdiri dari pandangan atau visi yang benar dan pikiran yang benar.

Kesatuan dimensi ontologis, epistemologi dan etis dalam ajaran Buddha tentang empat kesunyataan mulia: penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan dan jalan melenyapkan penderitaaan. Pencerahan sebagai kebijaksanaan atau prajna, pandangan terang adalah puncak perjalanan manusia mengatasi penderitaan secara epistemologi yang mampu melihat realitas sebagai mana adanya (ontologis) dan pencapaian tingkat kesadaran sempurna, kesadaran dan kebijaksanaan Buddha.

Kebijaksanaan yang mencerminkan pencerahan dalam kekosongan atau emptiness mengandung pandangan benar yang bebas dari semua pemikiran atau konsep yang cenderung memperbedakan. Jalan tengah mengatasi segala pemikiran yang sifatnya dualisme, mengatasi kutub-kutub ekstrim, sebagaimana juga tercermin dalam filsafat madhyamika yang mengungkapkan kebenaran sutra Prajnaparamita mengenai kekosongan atau emptiness.

Prajnaparamita Sutra yang diformulasikan dalam filsafat Madhyamika Nagarjuna, mengungkapkan bahwa kebijaksanaan transendental itu (prajnaparamita) mencerminkan pencerahan kekosongan (emptiness) atau sunyata. Sunyata memiliki dua dimensi yang saling melengkapi satu sama lain, yaitu kebijaksanaan dan welas asih atau prajna dan karuna. Pandangan yang benar dalam memahami (epistemologis) sesuatu sebagaimana adanya (ontologis) dalam kebijaksanaan prajna adalah juga tercermin dalam dimensi nilai etis, welas-asih atau karuna.

 

Wisdom Buddha

Filsafat yang berkenaan dengan pemahaman terhadap realitas (understanding) dan kebijaksaanaan hidup (wisdom) adalah sejalan dengan jalan kebijaksanaan kebuddhaan. Kebijaksanaan (wisdom) Buddha ditempuh melalui jalan filsafat yang bermaksud memahami realitas (understanding) dan cinta kebijaksanaan (philosophia). Kebijaksanaan atau wisdom adalah puncak pencapaian perjalanan jiwa filsuf pertapa Siddhartha Buddha.

Sebagai puncak pencapaian pencaharian filsuf Siddhartha Muda, penting untuk kita simak tentang wisdom Buddha, “What is Wisdom in Buddhism? (Eco Podcast Buddhism, 25/1/25), yang tampaknya mengandung inti dari keseluruhan pesan Buddha, yaitu penderitaan dan pembebasan seperti yang dikemukakan dalam empat kesunyataan mulia.

Dalam Buddhisme, wisdom adalah pañña (prajna). Pañña atau kebijaksaan yang membawa kita menuju pembebasan dari dukkha atau penderitaan. Kebijaksanaan yang tumbuh berkat pengertian (understanding) tentang penderitaan (dukkha), sebab dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan melenyapkan dukkha. Pemahaman atas penderitaan dan pembebasannya itulah yang dikatakan wisdom atau kebijaksanaan Buddha.

Secara luas pemahaman terhadap segenap fenomena penderitaan dan terbebas darinya (dukkha) melibatkan tujuh faktor pembebasan (tujuh bojjhanga), yaitu: (mindfulness, dhammavicaya, viriya, piti, passadhi, concentration, upekkha). Berkenaan dengan keinginan (tanha/desire) sebagai sebuah obyek dan sebab derita, maka seseorang harus mengerti, timbul dan lenyapnya serta jalan melenyapkannya, yaitu terbebas dari keinginan.

Siswa yang mulia memiliki kebijaksanaan, mencapai pengertian benar tentang lahir dan lenyapnya dukkha, menembus secara dalam jalan mulia yang membawa lenyapnya penderitaan (AN 74). Ini berarti bahwa, kebijaksaaan berarti mengetahui secara menyeluruh (abhinnattha) untuk memahami sepenuhnya (parinattha), hingga melenyapkannya (pahanattha).

Wisdom memiliki kemampuan mengetahui hakikat sesuatu melalui meditasi, yakni meditasi yang merujuk kepada empat pencapain jhana. Wisdom juga memiliki kemampuan memahami sepenuhnya melalui pengertian yang komprehensif dan kemampuan melenyapkan kekotoran batin seperti: keserakahan, kebencian, kebodohan (delusi atau khayalan).

Lebih jelasnya, ada dibedakan antara pengetahuan konseptual (sanjanati) yang dihasilkan oleh persepsi (sañña), pengetahuan kognitif (vijavati) yang dihasilkan oleh kesadaran (viññana), dan pengetahuan intentional (janati) yang dihasilkan olen intensi (mana). Ketiga pengetahuan itu adalah tiga bentuk umum pengetahuan duniawi, seperti dalam ilmu, teknologi, filsafat dan lainnya.

Mengatasi pengetahuan itu, Buddhadharma menyumbangkan bentuk suatu pengetahuan berupa wawasan luar biasa dan kebijaksanaan melalui meditasi. Pengetahuan kebijaksanaan yang memberikan kekuatan yang diperlukan bagi manusia untuk menguasai diri dan keadaan. Wisdom mengarah pada penembusan (pativedha) hakikat sesuatu, realitas dan karakteristik sesungguhnya dari keberadaan sesuatu.

Wisdom merupakan pembebasan, melenyapkan kekecewaan dan membasmi hawa nafsu. Wisdom memahami sepenuhnya bahwa: “dari kekecewaan mendatangkan kebosanan, dari kebosanan datanglah pembebasan, dan dalam pembebasan, kebijaksanaan muncul, dan wisdom mengetahui: “aku terbebaskan, mengetahui: kelahiran telah padam, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan, telah dilakukan. Tidak ada jalan kembali ke keadaan penderitaan lagi.” (SN 22.76).

 

Jalan Kebijaksanaan Filsuf

Pencapaian wisdom tampaknya sejalan dengan filsafat. Filsafat adalah cinta kebijaksanaan atau philosophia. Wisdom Buddha yang ditemukan Siddhartha Muda dalam jalan filsafat kepertapaannya, dalam asketik intelektual dan spiritualnya. Wisdom Buddha dan jalan filsafat Siddhartha Muda.

Ada keasyikan dalam berfilsafat sebagai cinta kebijaksanaan yang berarti pula jalan menemukan kebijaksanaan yang terasa dekat dengan apa yang dilakoni Siddhartha dalam menemukan hakikat segala sesuatu. Penemuan fenomena kehidupan sebagai bercirikan perubahan, penderitaan dan ketidakkekalan atau tanpa inti yang kekal (anicca, dukkha, anatta).

Berfilsafat sebagai cinta kebijaksanaan berusaha memahami hakikat sesuatu dalam terang pikiran. Dalam terang pemikiran akan terlihat bahwa hal-hal kecil dan hal-hal besar adalah besar. Dengan begitu, segalanya tampak sama saja, sebagaimana bercirikan anicca, dukkha dan anatta, karenanya bisa dipahami bila orang bisa tertawa di hadapan yang tak terelakkan dan juga tersenyum bahkan di saat kematian.

Pencapaian wisdom tidak lepas dari daya tarik berfilsafat. Dalam berfilsafat Plato (427-347 SM) menyebutnya sebagai “keasyikan estetis”. Ketika cinta akan kebijaksanaan yang agak sulit dipahami ini tampak lebih mulia dari pada nafsu akan daging dan sampah dunia (Dewi Indra Puspitasari, “Logika Kritis Filsafat Postmodernisme,” Yogyakarta, 2024, p. xx-xxv).

Masalah kebijaksaanan menjadi daya tarik orang berfilsafat. Kita juga bisa menjadi manusia utuh yang mampu mengkoordinasikan energi dan menyelaraskan keinginan kita seperti yang dipikirkan oleh Friedrich Nietzsche (1844-1900), dalam karyanya “The Joyful Wisdom” (1882).

“Carilah dahulu hal-hal baik dari pikiran dan sisanya akan ditambahkan”, kata Francis Bacon (1561-1626). Kebijaksanaan tidak akan membuat kita kaya, tetapi akan membuat kita terbebas dari belenggu. Mengingatkan kepada Siddhartha yang menamakan anaknya Rahula yang berarti belenggu dan kemudian meninggalkan kekayaan kehidupan duniawi untuk mengejar kebijaksanaan.

Kita mungkin akan mengklaim bahwa filsafat tidak berguna dan sama tidak jelasnya dengan ketidaktahuan. Ini seperti mengafirmasi ucapan Cicero (106-43 SM), “Tidak ada yang begitu absurd selain sesuatu yang ditemukan di dalam buku para filsuf.” Tidak diragukan lagi beberapa filsuf memiliki segala macam kebijaksanaan dan yang akan terselami ketika membaca karya-karyanya.

Bagi seniman Leonardo da Vinci (1452-1519), filsafat adalah keasyikan yang paling mulia dan kegembiraan dalam pemahaman. Sedangkan Ralph Waldo Emerson (1803-1882) berkata, “Tahukah Anda rahasia guru sejati? Jika dalam diri seseorang ada sesuatu yang bisa saya pelajari, aku adalah muridnya.” Begitulah, filsafat sebagai “cinta kebijaksanaan,” sebagaimana dilakoni Siddhartha Muda yang menggapai kesadaran Buddha, wisdom, kesadaran sempurna dan akhirnya menjadi guru sejati dari banyak murid yang tercerahkan.

Mari buka telinga bersama jiwa dan hati kita dengan menikmati nada-nada tentang realitas yang mendengung di telinga. Kita akan paham apa yang dimaksud oleh Pythagoras (570-495 SM) ketika dia mengatakan bahwa “filsafat adalah musik tertinggi.” Telinga pertapa Siddhartha yang peka akan nada-nada realitas dari senandung para pengamen yang melintas di Uruvela yang memantiknya menemukan jalan tengah kebijaksanaan, dan menghantarnya menjadi Buddha.

Filsafat adalah juga tentang nilai estetika yang ada dalam kehidupan. Keindahan perjalanan jiwa sebagaimana keindahan Buddhadharma, yang indah pada mulanya, indah dalam aktivitasnya dan indah pada akhirnya. Keindahan wisdom dimana kebenaran dan realitas, kesadaran dan tindakan menyatu dalam keberadaan! (JP) ***

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?