Buddhisme Anti Sekuler

Home » Artikel » Buddhisme Anti Sekuler

Dilihat

Dilihat : 19 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 5
  • 31
  • 25,991
Buddhisme Anti Sekuler jpg

Oleh: Gifari Andika Ferisqo

Apakah suatu negara akan menjadi maju jika menerapkan sekulerisme? Hal ini muncul karena adanya fenomena-fenomena yang terlihat di media massa ataupun yang terlihat secara langsung di masyarakat. Kenapa penganut paham sekuler bisa lebih maju, karena mereka telah berhasil memecahkan hal-hal vital yang sebelumnya enggan dilakukan oleh penganut non-sekuler, seperti melakukan terraforming pada teknologi pertanian dan pangan untuk meminimalisir bencana kelaparan dengan stock yang berlimpah, revolusi industri yang membuat produksi barang menjadi cepat dan murah, hingga perkembangan internet dan artificial intelligent (AI) yang membuat manusia saling terkoneksi satu sama lain di benua manapun dan memudahkan pekerjaan manusia menjadi lebih cepat dan ringkas. Sedangkan penganut non-sekuler menjadikan agama sebagai patokan hidup dan pelindung dari rasa takut mereka atas kehidupan. Benarkah demikian?

Negara-negara maju cenderung menganut paham sekuler dan biasanya sudah membudaya pada masyarakatnya, itu bukan hanya fenomena sosial yang terlihat secara umum di masyarakat tetapi hal itu juga dinyatakan oleh para peneliti melalui jurnal-jurnal ilmiah, seperti Pew Research Center dari Amerika Serikat mengemukakan bahwa semakin religius suatu negara maka biasanya semakin tidak maju dan semakin sulit untuk berkembang, fakta ini juga dipertegas dengan penilitian yang ditulis oleh World Values Survey bahwa di negara-negara sekuler mayoritas masyarakatnya menganggap bahwa agama adalah sesuatu yang tidak sakral dan merupakan produk dari budaya suatu suku atau bangsa tertentu yang disesuaikan dengan tradisi dan adat istiadat di tempat penyebarannya. Sehingga harus dipisahkan dari sistem pemerintahan dan ekonomi serta menempatkan agama hanya untuk pribadi sehingga tidak mengganggu hak-hak dan kehidupan sosial dalam bermasyarakat.

Jika dibandingkan dengan negara-negara non-sekuler yang mengaku atau dianggap religius bisa dibilang tingkat pendidikan dan kemampuan literasinya sangat rendah, seperti di negara kita Indonesia misalkan, menurut penelitian yang dilakukan oleh PISA (The Programme for International Student Assessment) pada tahun 2018, capaian ranking Indonesia dalam bidang pendidikan pada sains berada di urutan 62, matematika di urutan 63, dan membaca di urutan 64 dari 70 negara yang di-survey.

Dari penelitian tersebut, apakah anda setuju? Saya secara pribadi kurang setuju terhadap penyataan dari penelitian tersebut, meskipun secara metodologi penelitian tersebut benar tetapi landasan dalam penelitian tersebut berangkat dari pandangan filsafat yang kurang tepat menurut saya. Sekarang mari kita bedah secara arti literal dari kedua pemahaman tersebut.

 

Apa Itu Religius?

Religius merupakan pemahaman mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh masyarakat kepada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga dijadikan pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat yang bersangkutan. Makna religiusitas lebih luas (universal) daripada agama, karena agama terbatas pada ajaran-ajaran atau aturan-aturan, berarti mengacu pada agama (ajaran) tertentu.

 

Untuk itu, dalam pembahasan tentang nilai-nilai religius yang lebih mengkhususkan pada ajaran agama tertentu, digunakan acuan salah satu ajaran agama tertentu pula. Dalam penulisan ini yang akan digunakan sebagai acuan adalah agama Kristen di negara-negara Barat yang akan diselaraskan dengan penganut Buddhis di Indonesia dan di negara-negara Asia lainnya.

 

Apa Itu Sekuler?

Sekuler yang dipakai dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu “secular”, yang berasal dari bahasa Latin yaitu “saeculum” yang biasanya diartikan sebagai the temporal world (dunia temporal) sebagai lawan dari The Kingdom of God (Kerajaan Tuhan). Berdasarkan penelusuran etimologis dari asal katanya seperti yang sudah dijabarkan di atas, maka didapat suatu pengertian umum dari sekuler secara etimologis sebagai suatu proses perduniawian dan pelepasan dari nilai-nilai keagamaan.

Bermula dari abad ke-19 kata sekuler muncul di Eropa Barat, sekuler dimaksudkan kepada penyerahan kekuasaan dan hak milik gereja kepada negara. Pada abad ke-20, istilah ini mengalami perkembangan secara konseptual yang panjang, sehingga memiliki makna dan arti yang beragam. Sedangkan di Indonesia kata sekuler ataupun sekulerisme merupakan kata yang ‘tabu’ untuk dibicarakan. Di Indonesia sendiri pembahasan mengenai pemahaman sekuler pertama kali dilontarkan pada tahun 1970-an oleh Nurcholish Majid dan menuai pro-kontra.

 

Kasus Sekulerisme sebagai Decline of Religion

Decline of religion atau kemunduran peran lembaga agama mungkin menjadi salah satu hal yang paling disorot oleh masyarakat. Kemunduran lembaga agama dalam hal ini adalah bahwa agama sebagai suatu lembaga mengalami kemerosotan, kemunduran atau penurunan agamanya. Bahkan lebih dari itu lembaga agama sudah kehilangan otoritas, wewenang dalam mengatur segenap urusan agama masyarakat penganutnya. Gejala seperti inilah yang ditangkap oleh banyak peneliti di Barat.

Dalam melihat gejala kemerosotan ini umumnya para peneliti menggunakan indikator sosial yang berkaitan dengan gereja misalnya partisipasi keagamaan, keanggotaan gereja, jumlah peserta sekolah minggu, pemberkatan di gereja, dan lain-lain yang berkaitan dengan gereja menjadi ukuran keberadaan institusi agama. Dengan indikator tersebut ada sebuah penelitian dari Lynd and Lynd, A Study in American Culture yang diterbitkan tahun 1929, dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa telah terjadi krisis kredibilitas dalam tubuh lembaga agama, dalam hal ini adalah gereja dan telah terjadi kemerosotan dalamnya. Semangat keagamaan kian mengendor, menurun dibandingkan dengan kondisi masyarakat sebelumnya. Contoh tersebut hanyalah salah satu dari gejala bagaimana pemahaman sekuler dipandang sebagai biang kerok kemerosotan lembaga agama.

 

Trend Sekulerisme di Negara Barat

Menurut para peneliti, Norwegia dapat dijadikan contoh sebagai sebuah model untuk mendukung argumen kalau masyarakat dapat menjadi etis, baik, dan maju serta produktif tanpa perlu agama. Menurut sensus dari European Commission pada tahun 2021 mayoritas masyarakat Norwegia beragama Kristen Protestan (Lutheran Evangelikal) dengan 82,7% populasi terdaftar sebagai anggota Gereja Lutheran Evangelis Norwegia.

Masyarakat Norwegia, seperti umumnya masyarakat Skandinavia semula adalah pemeluk agama Norse, yaitu agama asli Skandinavia dan salah satunya suku Sami beragama Shamanistik. Karena usaha para misionaris Kristen Katholik Roma, agama Katholik Roma diterima di Norwegia secara bertahap sejak sekitar tahun 1000 dan selesai pada tahun 1150. Karena reformasi gereja yang dipelopori Martin Luther pada tahun 1517, penduduk Norwegia yang semula beragama Katholik Roma berpindah secara ramai-ramai ke Protestanisme sejak tahun 1536.

Sebuah survey tahun 2005 yang dilakukan oleh Gallup International menjadikan Norwegia sebagai negara paling tidak religius di Eropa Barat, dan berdasasrkan hasil survey koran Aftenposten pada tanggal 17 februari 2006, dari 1006 masyarakat Norwegia yang di-survey sebanyak 23% koresponden meyakini ada kekuatan yang lebih besar dari Tuhan tetapi tidak tahu itu apa, 26% mengaku sebagai anggota jemaat gereja tetapi tidak percaya Tuhan, 29% mengaku percaya Tuhan dan 22% mengaku masih dalam keraguan.

Dalam konteks post-modernism pernyataan tersebut bisa jadi keliru. Dalam buku yang ditulis Max Weber yang berjudul ‘Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme’ negara-negara Eropa Barat menjadi maju justru karena masyarakat dan pemerintahannya menerapkan nilai-nilai Protestanisme atau yang lebih dikenal dengan ‘Etika Protestan’. Apa saja Etika Protestan itu? Berikut ada 3 (tiga) nilai yang dirangkum oleh Max Weber:

  1. Kewajiban tertinggi dari kewajiban moral individu adalah memenuhi kewajiban duniawi, seperti bersekolah, mencari nafkah dan memenuhi kewajiban kehidupan rumah tangganya. Ini merupakan hal dasar yang di zaman modern seperti sekarang adalah hal-hal yang memang harus dipenuhi dan tidak mengurusi hal-hal tidak penting di luar kewajiban dasar.
  2. Keyakinan akan karya keselamatan mendorong untuk lebih giat melakukan perpuluhan (berdana). Hal ini yang mendorong orang-orang penganut Etika Protestan lebih giat dalam bekerja.
  3. Gaya hidup asketisme mendorong penganut Etika Protestan untuk hemat dan menggunakan sumber daya yang ada sebaik-baiknya.

Dari rangkuman yang telah jabarkan oleh Max Weber, maka untuk menunjukan religiusitas mereka harus bersikap sekuler. Karena sesungguhnya Protestan berkembang dari sikap menentang dominasi gereja Katholik Roma pada pemerintahan di dunia nyata di abad ke-14, dan Protestan muncul sebagai kelanjutan dari Renaissance yang mana saat itu terjadi pergolakan di Eropa Barat yang menolak campur tangan gereja yang secara formal diterapkan dalam kehidupan hukum positif manusia. Salah satu kritik Protestan adalah semestinya ibadah keagamaan tidak melalui lembaga yang dianggap mewakili Tuhan, dan gereja Katholik dengan segala peranan duniawinya adalah salah satu kesalahan fundamental beragama.

 

Implementasi Sekulerisme di Negara Penganut Buddhisme

Pemahaman sekulerisme di negara-negara Asia yang mayoritas masyarakatnya beragama Buddha dalam penerapannya di masyarakat memiliki corak yang sedikit berbeda dengan yang ada di Barat dan para peneliti tersebut tampaknya salah paham dalam memahami pengertian riligius yang abstrak. Kita ambil contoh negara Jepang, penganut agama di Jepang menurut Kementerian Pendidikan Jepang pada tahun 2018, jika digabungkan penganut Shinto dan Buddhis mencapai 196 juta orang. Dalam sejarahnya, sejak ajaran Buddha masuk dan menyebar di Jepang sekitar pertengahan abad ke-6 Masehi, Buddhisme ini telah memberikan pengaruh yang banyak terhadap berbagai aspek kehidupan orang Jepang, terutama dalam cara berpikir mereka.

Jepang secara tegas menerapkan cara-cara berpikir Buddhisme Mahayana yang berkembang dengan corak tersendiri yang kita kenal dengan ‘Zen’ dan juga ajaran Kong Hu Chu melalui suatu proses akulturasi sesuai dengan cara berpikir dalam tradisi mereka (Shinto) yang menjadi sinkritisme dalam proses beragama masyarakat Jepang. Dengan demikian, perubahan dalam cara berpikir yang mereka lakukan, tidak berarti menghilangkan nilai-nilai dan pranata-pranata kehidupan masyarakat Jepang yang telah ada sebelumnya, bahkan sebaliknya perubahan tersebut malah memberi peluang untuk terciptanya nilai-nilai dan pranata-pranata Jepang yang baru sesuai dengan perkembangan zaman.

Salah satu ciri yang menonjol dalam cara berpikir orang Jepang, adalah membenarkan apa adanya dunia ini. Bagi orang Jepang dunia fenomena (dunia gejala) yang timbul dalam berbagai ragam gejala, dipandang sebagai sesuatu yang mutlak apa adanya. Bahkan mereka cenderung menolak cara berpikir yang memandang, bahwa sesuatu yang mutlak tersebut berada di tempat yang jauh atau terpisah dari dunia gejala. Itulah yang membuat cara berpikir orang Jepang yang bersifat naturalistis dan menyatu dalam kehidupan mereka. Contohnya dalam pengembangan teknologi sering kali menerapkan unsur ramah lingkungan dan usable/user friendly untuk produk-produk mereka. Pemahaman ini berasal dari pemahaman satori (悟り), secara makna literal berarti ‘pencerahan; pemahaman secara bijaksana’. Dalam pemahaman Buddhisme Theravada India, satori ditulis dengan kata paññā (प्रज्ञ) diartikan sebagai pencerahan terakhir yang eksistensinya di dunia ini melampaui dunia gejala. Hal ini merupakan salah satu aspek yang menimbulkan adanya perbedaan di antara Buddhisme Mahayana Zen dari Jepang dengan Buddhisme Theravada dari India, yang berujung pada perbedaan pola pikir pada masyarakat kedua negara tersebut.

Menurut para peneliti, Jepang adalah negara yang masyarakatnya sekuler dan dikategorikan sebagai negara maju karena meninggalkan agama. Setelah menelaah fenomena ini dan membaca dari berbagai sumber justru Jepang menjadi maju karena mengimplementasikan semangat bushido (武士道)selama berabad-abad yang telah mereka bangun dan terus dipraktikan hingga kini yang mana sekarang kita kenal mentalitas orang Jepang yang sangat tekun dan tidak malas dalam bekerja, serta enggan meminta-minta atau mengemis. Bushido adalah tatanan etika yang berlandaskan pada sinkritisme filsafat Buddhis Mahayana Zen, Khong Hu Chu dan Shinto, hasilnya adalah kesetiaan orang Jepang pada perusahaan, menghormati senior, kedisiplinan, tepat waktu, tanggung jawab, rasa malu yang tinggi ketika melakukan kesalahan, dan lain sebagainya itu muncul dan berkembang bersamaan sinkretisme ketiga ajaran tersebut di Jepang.

Terlepas pada saat ini orang Jepang tampak tidak peduli pada agama bukan berarti mereka benar-benar tidak religius tetapi mereka menerapkan nilai-nilai religius dengan cara seperti itu, yaitu dalam konteks etika bukan dalam konteks ritual. Sebagaimana kita ketahui sinkretisme ajaran Buddhis Mahayana Zen, Khong Hu Chu dan Shinto adalah ajaran non-theistik sama seperti umat Buddha di Indonesia memahami ajaran Buddha terlepas dari apapun tradisinya. Bahkan kita juga harus memahami sebelumnya bahwa Shinto itu sendiri adalah gabungan dari berbagai tradisi-tradisi yang tersebar di berbagai daerah di Jepang, dan sebelum zaman modern atau masa restorasi Jepang, Shinto tidak terdefinisi sebagai agama yang berdiri sendiri. Jadi, ketika orang Jepang mempraktikan bushido itu adalah menerapkan nilai-nilai agama dari ketiga sinkretisme ajaran tersebut pada kehidupan sehari-hari. Kalau ditelaah lebih jauh, Jepang menjadi negara maju karena masyarakatnya religius bukan karena tidak religius.

Fakta bahwa Jepang adalah negara yang religius, berdasarkan hasil bertanya pada teman SMA penulis yang saat ini tinggal dan bekerja di Jepang. Rekan kerjanya pernah mengatakan bahwa jadi orang harus ‘jikisoou’ (時期そおう), yang berarti segala sesuatu harus ditempatkan sesuai dengan waktu dan ruangnya termasuk agama. Menariknya pemahaman ini justru dipopulerkan oleh sekte-sekte Buddhisme di Jepang pada abad-17 dan terus terbawa pada kebiasaan orang Jepang hingga di zaman modern.

 

Bagaimana Sikap Religiusitas Umat Buddha di Indonesia Terhadap Sikap Sekulerisme?

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, penganut Buddhis di Indonesia sebanyak 1.703.254 jiwa atau (0,72%). Jika melihat peta persebarannya, umat Buddha paling banyak terkonsentrasi di ibukota Jakarta, dengan jumlah 317 ribu orang. Di tempat ke-2 ada Sumatera Utara, dengan jumlah sekitar 303 ribu orang, di mana sebagian besar terkonsentrasi di kota Medan dengan jumlah 184.807 orang. Sementara Kalimantan Barat berada di urutan ke-3 dengan jumlah 237.741 orang. Pontianak dan Singkawang merupakan wilayah dengan jumlah penganut Buddhis terbanyak, di Singkawang, jumlah penganut Buddhis sebanyak 55.363 orang (29,7%).

Penyebaran agama Buddha di Indonesia hampir sama dengan basis-basis etnis Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa di Indonesia sendiri diketahui sudah bermigrasi secara bertahap ke Nusantara sejak abad ke-7 hingga masa pemerintahan Kolonial Belanda. Jumlah penganut Buddhis dari etnis Tionghoa sebanyak 1.500.475 jiwa (75,99%), sisanya 202.779 jiwa (24,01%) dari suku lain seperti Jawa, Dayak dan lainnya. Sebanyak 66,7% etnis Tionghoa Buddhis di Indonesia berwiraswasta dan 2,1% wiraswasta dari Buddhis non-Tionghoa.

Jika melihat angka-angka di atas bisa disimpulkan kalau penganut Buddhis dari etnis Tionghoa di Indonesia sangat dominan. Lalu, jika kita sudah membaca contoh kasus kaitan religiusitas dengan sekulerisme di negara Barat dan di Asia dengan latar belakang agama yang berbeda, bagaimana dengan di Indonesia dengan acuan umat Buddha yang diambil untuk dijadikan contoh kasus?

Karena umat Buddha dari etnis Tionghoa sangat dominan maka penulis akan memaparkan fakta dari etnis Tionghoa dahulu. Pandangan umum mengatakan bahwa masyarakat etnis Tionghoa sejak dahulu mempunyai jiwa sebagai pedagang, namun sekarang kita bisa melihat tidak sedikit masyarakat etnis Tionghoa yang bekerja sebagai pegawai. Melihat adanya fenomena bahwa etnis Tionghoa memiliki jiwa berdagang, tetapi ada juga etnis Tionghoa di Indonesia khususnya Jakarta yang menjadi pegawai dan tidak membuka usaha sendiri. Adanya perbedaan antara watak warisan leluhur bahwa etnis Tionghoa lebih senang berdagang dengan kenyataan dalam kehidupan dewasa ini banyak juga etnis Tionghoa yang bekerja di kantor. Terkait prinsip budaya etnis Tionghoa, para leluhur etnis Tionghoa sudah menanamkan prinsip-prinsip tentang budaya kerja, khususnya prinsip bekerja untuk menjadi boss atau pedagang, bukan menjadi pegawai. Dari pernyataan di atas kita bisa melihat bahwa apabila orang Tionghoa menjadi karyawan atau pegawai di suatu perusahaan, maka tidaklah sesuai dengan prinsip budaya para leluhurnya terdahulu yang selalu mengatakan bahwa mereka adalah keturunan saudagar. Prinsip budaya bekerja dari para leluhur yang selalu ditanamkan sejak dini telah menjadi etos kerja yang juga mempengaruhi kinerja sesorang pegawai etnis Tionghoa yang cenderung ingin cepat tanggap, cekatan dan insiatif. Prinsip budaya yang melekat tersebut sangat dipengaruhi oleh ajaran Khong Hu Chu yang merupakan nilai-nilai dasar dari budaya Tionghoa.

Inti ajaran Khong Hu Chu terletak pada etika dan moral yang mengatur hubungan antar manusia sesuai dengan status masing-masing. Ajaran moral Khong Hu Chu mengandung unsur-unsur sifat bijak manusia seperti, (人) ren/kemanusiaan, (义) yi/kebajikan atau keadilan, (里) li/tata aturan, (智)zhi/pengetahuan, (心) xin/integritas, (仲) zhong/kesetiaan, (孝) xiao/hormat kepada orang tua, (气) chi/rasa malu, (两) liang/baik budi, (诚) cheng/kejujuran, (文) wen/bersikap ksatria, () qinfen/kerja keras dan belajar, (关系) guanxi/hubungan kekerabatan, () xinyong/kepercayaan, (忠诚) zhongchen/berbakti dan (恕) Shu/sikap pemaaf. Dengan berpedoman pada sifat-sifat yang terpuji, maka kekacauan di masyarakat dapat diatasi dan pada gilirannya negara dapat kembali tentram dan teratur. Pada tingkat pemerintahan, Khong Hu Chu menyerukan agar setiap penguasa bertindak berdasarkan kemanusiaan ren dan keadilan yi sehingga tetap dicintai dan dipatuhi rakyatnya.

Banyak penelitian dilakukan untuk meneliti implikasi nilai-nilai budaya Tionghoa pada Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) pengusaha Tionghoa Indonesia dalam mencapai tujuan salah satunya seperti yang diteliti oleh Trevor Hopper dalam bukunya yang berjudul Management Control, Culture and Ethnicity in a Chinese Indonesian Company, yang meneliti bagaimana interaksi nilai-nilai etnis Tionghoa dengan budaya Jawa karyawan, ketegangan etnis dan faktor-faktor organisasi dan ekonomi dalam mempengaruhi kontrol manajemen.

Menurut Trevor, dalam meminimalisir control problem yang terjadi dalam perusahaan, diperlukan SPM yang didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai hingga budaya organisasi yang kuat, yang di sini menggunakan budaya-agama Tionghoa, terutama nilai-nilai Khong Hu Chu. Penekanan unsur-unsur budaya-agama Tionghoa, terutama nilai-nilai Khong Hu Chu, pada pengendalian informal perusahaan efektif membantu perusahaan dalam meminimalisir control problem yang terjadi, sehingga dapat mencapai tujuan perusahaan. Keputusan yang dibuat baik oleh pemilik maupun kepala bagian dalam badan usaha etnis Tionghoa masih di pengaruhi oleh nilai li (tata aturan) dan xiao (hormat kepada orang tua), di mana atasan harus dapat menjadi panutan dan pembimbing dari bawahan-bawahannya. Sehingga dalam menjalankan keputusan atau kebijakan yang dibuat, atasan ikut serta dalam melaksanakannya sebagai contoh atau panutan bagi para bawahannya. Dari kontrol ini, badan usaha dapat meminimalkan baik lack of direction maupun motivational problem. Dapat dilihat juga bahwa nilai guanxi (hubungan kekerabatan) dan xinyong (kepercayaan) tidak lepas dari proses pencarian karyawan baru, di mana pemilik dan kepala bagian lebih mempercayai dan memprioritaskan calon karyawan yang memiliki hubungan keluarga atau pertemanan dengan karyawan lain ataupun yang dikenalkan oleh kenalan keluarga. Oleh karena itu, karyawan dapat merekomendasikan kenalannya yang sedang mencari pekerjaan, terutama kenalan karyawan yang sudah lama bekerja.

Suatu usaha tidaklah mungkin lepas dari yang namanya konflik atau masalah. Oleh sebab itu permasalahan tersebut merupakan proses alami dan akan terjadi pada setiap organisasi, baik itu organisasi besar maupun kecil. Dalam penerapan suatu kebijakan atau pengendalian kepada karyawan masih terdapat celah bagi karyawan untuk membuat suatu kesalahan ataupun pelanggaran. Lack of direction sering timbul karena karyawan tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh perusahaan, hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi antara atasan dan bawahan mengenai peraturan dan tujuan yang diinginkan badan usaha.

Masih menurut Trevor, masalah motivasi terjadi karena ketidakpatuhan dan ketidaksesuaian keinginan karyawan dengan nilai dan tujuan yang diterapkan oleh badan usaha. Berdasarkan hasil pengamatannya mengenai motivational problem yang masih terjadi dalam kegiatan keseharian karyawan dapat disimpulkan bahwa masalah motivasi karyawan lebih cenderung kepada masalah ketidakdisiplinan akan tetapi masalah tersebut tidak rutin terjadi dan hanya dilakukan oleh beberapa karyawan. Bentuk ketidakdisiplinan yang dimaksud meliputi masih terdapat karyawan yang beristrirahat melebihi jam istirahat yang telah ditetapkan, yaitu pukul 12.00 – 13.00; terdapat karyawan yang kurang menjaga kebersihan, merokok pada saat jam kerja dan bukan pada tempatnya. Hal serupa juga pernah penulis alami saat bekerja di salah satu perusahaan concrete di Lombok, saat di proyek banyak tukang yang tidak disiplin, seperti terlambat datang ke proyek, istirahat melebihi jam yang ditetapkan, pulang sebelum waktunya dan terlalu sensitif jika ditegur atau kalau bahasa sekarang kita sebut baper.

Selain itu, pengaruh nilai qinfen (kerja keras dan belajar) menuntut karyawan harus tekun untuk selalu belajar dan belajar agar dapat lebih cepat beradaptasi dengan pekerjaannya. Dengan penerapan kontrol ini maka badan usaha dapat meminimalisir motivational problem dan personal problem.

 

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dijelaskan bahwa umat Buddha di Indonesia yang didominasi etnis Tionghoa menerapkan nilai-nilai religiusitas yang sangat dipengaruhi nilai-nilai Khong Hu Chu dalam kehidupan sehari-hari dalam hal ini adalah pekerjaan dan hasilnya adalah kinerja yang efisien dan berkembang pesat menyesuaikan tuntutan zaman. Dalam hal ini penerapan nilai-nilai religiusitas umumnya etnis Tionghoa Buddhis menerapkannya bukan pada atribut tetapi pada praktik sehari-hari dan tidak suka menggunakan alasan agama untuk mangkir dari tanggung jawab pekerjaan justru agama digunakan untuk lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan menjadikan hasilnya lebih baik, serta tidak membajak ajaran agama untuk kepentingan pribadi atau kelompok semisal ‘nyatut’ uang dana dengan tameng menggalang dana karena dianjurkan dalam ajaran Buddha, karena itu sama saja menghina yang diajarkan leluhur.

Umumnya, semula etnis Tionghoa di Indonesia hampir seluruhnya penganut Buddhis Mahayana yang bersinkritis dengan Tao dan Khong Hu Chu (Tridharma) terutama sebelum Era Orde Baru, namun perlahan mulai ada yang berpindah agama, dan yang tetap Buddhis juga ada yang mulai banyak mempelajari tradisi Theravada dan Tantrayana Tibet. Jika ada yang mengatakan, ‘ah, nilai-nilai tersebut biasanya hanya dijalankan generasi tua’, saya pikir tidak juga, mari kita ambil contoh Rich Brian dan NIKI, anak muda Indonesia mana yang tidak kenal mereka berdua karena prestasinya menembus pasar Amerika Serikat. Lagu-lagunya yang hits banyak disukai termasuk saya, hehehe, bahkan mereka akan tampil di Coachella 2022 pada bulan April di California. Mereka berdua etnis Tionghoa atau kalau mau pakai bahasa sekarang kita sebut Chindo (Chinese Indonesian), mereka memang tidak berwiraswasta tetapi berkarier di dunia hiburan, disadari atau tidak mereka juga menerapkan nilai-nilai Khong Hu Chu saat mengembangkan bakatnya seperti qinfen (kerja keras dan belajar), pernah juga dalam suatu wawancara Rich Brian belajar American accent melalui YouTube supaya ia bisa nge-rap dengan lancar dan NIKI melatih vokalnya secara mandiri karena bercita-cita menjadi penyanyi go international. Inilah yang disebut menerapkan nilai-nilai religiusitas tanpa atribut tetapi dengan praktik, menariknya NIKI direkrut 88 Rising (manajemen Rich Brian) karena Rich Brian menyaksikan NIKI di akun YouTube-nya dan yakin kalau NIKI bisa berkarier di Amerika Serikat dengan bakatnya, ini juga penerapan nilai xinyong (kepercayaan) yang berlandaskan pada nilai-nilai Khong Hu Chu dan dibuktikan dengan xin (integritas) yang diterapkan NIKI. Penerapan nilai-nilai religius pada anak muda Chindo saat ini boleh dibilang hanya ‘kemasannya’ saja yang berubah tetapi inti-inti ajarannya terutama dari Khong Hu Chu tetap sama tetapi diterapkan dengan ‘gaya baru’ malah medianya semakin luas ke berbagai bidang penerapannya sehingga dari luar tampak seperti sekuler, padahal menerapkan nilai-nilai agama-budaya dengan ‘kemasan baru’.

Bagaimana dengan Chindo yang sudah pindah agama? Umumnya Chindo jika pindah agama ke dua agama, yaitu Kristen dan Katholik. Mari kita bedah lagi apakah mereka telah kehilangan akar nilai-nilai leluhurnya? Tampaknya tidak, terlebih yang Kristen malah sadar atau tidak mereka mengombinasikan nilai-nilai Khong Hu Chu dan Etika Protestan dalam kehidupan sehari-hari mereka yang bisa kita saksikan banyak dari mereka yang memberikan sumbangsih ekonomi yang luar biasa bagi Indonesia, begitupun yang Katholik meski tidak menerapkan Etika Protestan tetapi masih lekat nilai-nilai Khong Hu Chu pada kehidupan sehari-hari yang sudah menjadi kebiasaan, seperti ‘yang penting cuan (untung), cengli (adil), dan cincai (kompromi)’, istilah-istilah bahasa Hokkien tersebut sering kita dengar, bukan? Atau kalau ke mall sering kita lihat Chindo yang ‘lancai’ (asal-asalan), karena Chindo lebih memprioritaskan apa yang seharusnya dibeli dan apa yang tidak, itupun juga diajarkan oleh para orang tua. Outfit lancai juga termasuk favorit saya saat ke mana-mana karena lebih simple dan nyaman, hanya pakai kaos hitam polos, celana pendek dan sandal jepit, yang penting saya nyaman memakainya ke mana-mana dan tidak membuat ribet.

Lalu apakah ada contoh pada kasus sosial lain? Ada! Kasus ini berdasarkan pengalaman saya sendiri, pada tahun 2020 ada ibunya seorang pandita Theravada senior yang meninggal dunia, kami yang datang melayat tadinya bersikap biasa saja dan juga mengucapkan ‘our deepest condolences’ kepada pandita tersebut sampai datang satu pandita Theravada juga yang lebih muda dan tampak mencari muka dengan sibuk bersama asistennya menyambungkan kabel ke sana-sini agar tersambung dengan zoom meeting dari Bhante di Jawa Tengah yang ternyata diminta secara mendadak agar dibacakan Paritta untuk mendiang. Namun lucunya, pandita senior ini sudah menyiapkan tata acara pemakaman secara Mahayana dan sudah menyiapkan Suhu untuk meng-handle selama di rumah duka, dan kebetulan saya juga mengenal Suhu tersebut. Lalu pandita muda ini nyeletuk, ‘mestinya tidak boleh ada 2 matahari’, lalu saya menjawab, ‘mau bagaimanapun, orang Chinese sulit dicabut akar budayanya dan tidak akan hilang meski beliau (pandita senior) aktif di Theravada’. Kemudian saya nyengir dan hanya memaklumi kalau pandita muda ini bukan Chindo jadi wajar saja tidak mengerti, lagipula tidak ada tedeng aling siapa suruh tiba-tiba nyelip memaksakan untuk menghadirkan Bhante melalui zoom tanpa permintaan keluarga mendiang. Cerita di atas juga menggambarkan akan nilai-nilai zhongchen (berbakti) pada orang tua dan leluhur dari Chindo dengan menunjukan bakti seperti itu bukankah segala hal positif yang kita lakukan juga jadi diberkahi para leluhur kita seperti yang diuraikan dalam Sutra Bakti Seorang Anak (Mahayana) dan Ullambana Sutta (Theravada). Sekedar informasi tambahan, pandita senior ini termasuk ‘kaum the have’ dan menerapkan nilai-nilai budaya-agama dalam kesehariannya, termasuk perusahaannya.  

Kesimpulan akhir, nilai-nilai religius justru bisa membuat suatu bangsa atau negara menjadi maju, dalam pemahaman post-modern jangan sampai kita salah pemahaman. Dikotomi ini yang sering disalahpahami, jika religius maka sekuler, dan jika sekuler maka tidak religius. Nilai religius dan sekuler bisa berjalan beriringan jika keduanya tidak dimaknai hanya secara literal. Kitapun dalam kehidupan sosial sehari-hari juga harus membiasakan untuk mempraktikan nilai-nilai budaya-agama dari bentuk semangat religius yang tekstual (atribut) ke semangat spritual (sekuler) yaitu semangat untuk membangun jiwa dan pemikiran baru, itulah yang lebih penting untuk bisa menjadi bangsa dan negara yang maju secara sosial-ekonomi dan peradaban seperti Jepang dan Norwegia.

 

 

Daftar Pustaka

  • Lipka, Michael and Wormald, Benjamin. How Religious Is Your State? Washington, DC: Pew Research. 2016.
  • Avvisati, A. Echazarra, P. Givord and M. Schwabe. Snapshot of 15 years-old Indonesian Students Performance in Reading, Mathematics and Science, France: The Programme for International Student Assessment (PISA). 2018.
  • Inglehart, Ronald F. Religion’s Sudden Decline: What’s Causing It and What Comes Next?. Austria: World Values Survey.
  • Stark, Rodney. “Secularism R.I.P.” Sociology of Religion 60, No. 3, California: Interdisciplinary Journal of Research on Religion. 1999.
  • https://www.aftenposten.no/. Diakses 13 Januari 2022.
  • https://www.bps.go.id/. Diakses 13 Januari 2022.
  • Egaku, Maeda, Miyasaka Yusho. Bukyo ‘Agama Buddha–Penyebaran dan Perubahannya.’ Osaka: Shoseki. Edisi pertama. 1986.
  • Hajime, Nakamura. Nihonjin no Shii Hoho atau Cara Berpikir Orang Jepang. Tokyo: Shunjusha. NHZ jilid III. 1991.
  • Religion In Japan. https://www.japan-guide.com/topic/0002.html. Diakses 13 Januari 2022.
  • Ichiro, Hori. Nihon no Shukyo (Agama Jepang). Tokyo: Miraisya. 1985.
  • Breen, John and Teeuwen, Mark. A History of Shinto. London: John Wiley & Sons. 2010.
  • Weber, Max. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.
  • James, Meril. The Voice of The People In Democratic World. London: Gallup International. 2005.
  • Population: Demographic Situation, Languages and Religions. https://eacea.ec.europa.eu/national-policies/eurydice/content/population-demographic-situation-languages-and-religions-54_en. European Commission. 1 Dec, 2021. Diakses 13 Januari 2022.
  • The Sociology of Protestanism. London: SCM Press. 1970.
  • Lynd and Lynd. A Study in American Culture. Connecticut, New York: The Middletown Studies. 1929.
  • Hopper, Trevor. Management Control, Culture and Ethnicity in a Chinese Indonesian Company. 2007.
  • Madjid, Nurcholis. “Sekularisasi dan Sekularisme Tinjauan Filsafati mengenai Perubahan Persepsi Tentang Peran Agama dalam Masyarakat.”, Depok: Universitas Indonesia. 1989.
  • Budaya Religius Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Tinjauan Teoritik Dan Praktik Konstekstualisasi Pendidikan Agama Di Sekolah, Yogyakarta: Kalimemedia. 2015.
  • https://www.facebook.com/groups/581376539468119/permalink/841132180159219/?app=fbl. Diakses Januari 2021
Butuh bantuan?