Cahaya Dharma Di Bukit Menoreh

Home » Artikel » Cahaya Dharma Di Bukit Menoreh

Dilihat

Dilihat : 63 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 45
  • 60
  • 38,643
Cahaya Dharma Picture1

Oleh: Jo Priastana

 

“Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan

budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar.”

(Marcus Garvey, 1887-1940, Aktivis Jamaica, Pan-Africanist)

 

Sri Pannavaro, Mahathera mengungkapkan: “belajar dari masa lalu sama sekali bukan berarti ajakan untuk mundur. Tidak mungkin kita mundur kembali. Semua itu adalah proses tumbuh dan berkembangnya kembali agama Buddha di Tanah Air yang juga menjadi bagian kita sekarang dan masa depan.  Kita belajar dari masa lalu dan masa sekarang untuk menuju masa depan. Jangan dilupakan juga bahwa saat kemudian itu juga masa depan.”

Pernyataan Sri Pannavaro itu terdapat dalam kata pengantar buku karya Totok Tejamano, “Cahaya Dharma di Bukit Menoreh,” (Peace Within, Mei 2022). Sebuah buku yang menceritakan tentang Sejarah Agama Buddha di Kulon Progo, tepatnya yang terkonsentrasi di Bukit Menoreh, khususnya di wilayah Desa Jatimulyo. Pernyataan yang senada dengan ungkapan Bung Karno terkenal tentang “Jas Merah; Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”

Generasi masa kini bisa belajar dari masa lalu. Pesan historis dan peran dari para pendahulu yang memungkinkan ada masa kini ini pantasnya ditujukan bagi generasi muda sebagai generasi penerus. Karena masa depan itu terletak pada generasi penerus, termasuk pemuda di Jatimulyo untuk mempertahankan dan mengembangkan agama Buddha yang telah dirintis oleh para pendahulu.

 

Historisitas Buddhadharma Nusantara

Agama Buddha di Nusantara sudah berkembang sejak dulu kala. Keberadaan umat Buddha di daerah juga mematahkan banyak anggapan orang tentang penganut agama Buddha di Indonesia hanyalah orang keturunan Tionghoa yang berada di kota-kota besar. Kenyataannya di pelosok-pelosok daerah, perbukitan, dan pesisir pantai yang jauh dari perkotaan besar, seperti di Bukit Menoreh Desa Jati Mulyo ditemukan pemeluk Buddha.

Nusantara dulu berdiri kerajaan-kerajaan, baik Hindu maupun Buddha. Jatimulyo, sebuah desa di kawasan bukit Menoreh di Kulon Progo, menjadi daerah dimana masih terdapatnya mereka yang memeluk agama Buddha. Kembalinya perkembangan agama Buddha di Menoreh Jatimulyo terutama sejak gegernya Indonesia pada tahun 1965. Masa dimana banyak yang kembali memeluk agama Buddha untuk terhindar dari stigma sebagai komunis.

Totok Tejamano (lahir 1986) menceritakan keberadaan umat Buddha di daerahnya itu. Ia adalah anak dari pelaku sejarah Citro Utomo/Punijo yang berperan dalam masuknya agama Buddha di Jatimulyo. Pemuda yang berpendidikan S2 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta jurusan Ilmu Religi Budaya tahun 2017 dan lulusan S1 STAB Syailendra Semarang Jurusan Pendidikan Dharma Acarya, menuliskan tentang sejarah keberadaan agama Buddha di daerahnya. Ia memaksudkan tulisannya itu dalam rangka menumbuhkan kesadaran historis dimana peran para pendahulu tidak dilupakan.

Seberapa pun andil dan peran yang dilakukan seseorang pastinya telah memberi sumbangsih akan perjalanan sejarah. Sebuah buku kecil yang dihasilkan dari CPNS di Kementerian Agama Kota Yogyakarta sebagai Penyuluh Agama Buddha ini mencatat berbagai aspek yang berhubungan dengan keberadan agama Buddha. Sebuah buku yang sangat menarik karena mengingatkatkan kita akan keberadaan umat Buddha itu yang juga terdapat di daerah-daerah terpencil lainnya, dan dianut oleh penduduk setempat dengan segala karakteristiknya yang khas, unik mencerminkan lokal-jenius, kearifan lokal Buddhadharma Nusantara.

Buku ini mencatat tentang sejarah perjuangann dari para penjaga, perintis akan keberadaan agama Buddha di desa Jatimulyo yang memang pantas disimak dan dipelajari. Sebuah catatan historis kecil namun mengandung nilai besar bagi pengembangan studi sejarah agama Buddha di Nusantara maupun perkembangan agama Buddha pasca Indonesia Merdeka. Studi yang pantas dilakukan oleh kalangan terdidik dan terpelajar dari komunitas umat Buddha yang kini telah memiliki belasan perguruan tingginya yang memiliki program keagamaan Buddha. Bukankah perguruan tinggi keagamaan Buddha itu berada di Nusantara yang terkenal dengan kejayaan agama Buddhanya di masa lalu?

Buku “Cahaya Dharma di Bukit Menoreh” ini cukup komprehensif dan representatif dalam menggambarkan tentang keberadaan umat Buddha di Bukit Menoreh tepatnya Jati Mulyo, Jawa Tengah. Buku sederhana yang menceritakan, baik yang berkenaan dengan aspek kesejarahan, cara menganut agama Buddha yang disesuaikan dan menyatu dengan adat dan budaya setempat sebagaimana yang telah terendap dalam lokal-jenius, para tokoh pelaku dan perintis, maupun tantangan yang dihadapi dan sedang atau akan dihadapi oleh generasi penerus.

 

Api Dharma di Bukit Menoreh Desa Jati Mulyo

Api di Bukit Menoreh. Kita kenal Bukit Menoreh dari buku fenomenal “Api di Bukit Menoreh,” karya SH Mintardja pengarang legendaris. Sebuah buku berseri cerita silat yang mengisahkan para jagoan silat pada sejarah zaman peralihan dari kerajaan Demak-kerajaan Pajang ke Kerajaan Mataram. Menoreh adalah kawasan perbukitan atau pegunungan. Menoreh juga dikenal dalam sejarah sebagai basis pertahanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) melawan Kerajaan Belanda, dan juga menjadi jalur perjalanan Jenderal Soedirman ketika perang Kemerdekaan.    

Pegunungan Menoreh membentang di wilayah Barat Kabupaten Kulon Progo di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebelah Timur Kabupaten Purworejo, dan sebagian Kabupaten Magelang di Provinsi Jawa Tengah. Diceritakan oleh Totok Tejamano bahwa Bukit Menoreh menyimpan Peradaban Spiritual. Bukit ini dikenal dengan tempat-tempat spiritual seperti Puncak Suroloyo, Pethirtan Sendangsono, Pertapaan Tuk Mudal, dan Goa Seplawan.

Bukit Menoreh merupakan sebuah tempat yang tidak bisa dilepaskan dari peradaban Hindu Buddha. Disana 36 km dari Yogyakarta, di wilayah Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo terdapat komunitas umat penerus Dharma ajaran para leluhur Nusantara. Komunitas Buddhis di puncak gunung dan pedalaman ini dikenal Cerak Watu Adoh Ratu (dekat baru jauh dari ratu). Runtuhnya Majapahit pada masa Brawijaya V, dimana agama Islam mulai berkembang dan juga bertemu dengan Hindu dan Buddha melahirkan perpaduan yang dikenal sebagai Kejawen.

Jatimulyo di Kabupaten Kulon Progo menjadi tonggak kembalinya ajaran, yang konon dibawa dari Banyuwangi yang dikenal juga sisa-sisa dari jaman Majapahit. Pada awal Mula Kembalinya, ada peran sosok tokoh spiritual Mbah Slamet yang terkenal dengan Ngelmu Kasampurnaan dan Budo Jawi Wisnu. Peristiwa politik Geger 65 turut menandai bangkitnya Agama Buddha dimana masyarakat yang ingin selamat dari isu komunisme memeluk Budo Jawi Wisnu, agama yang diakui oleh pemerintah.

 

Dinamika Perkembangan

Perkembangan selanjutnya. Para perintis agama Buddha di Jatimulyo berusaha untuk mengenali agama Buddha yang sesungguhnya. Mereka bagai Perjalanan ke Barat Mencari Kitab Suci, layaknya kisah Kera Sakti dalam “Journey to the West.” Ke arah Barat yakni ke Purworejo dimana mereka bertemu dengan Pak Tiong An, salah satu tokoh Buddhis di Purworejo, seorang pengusaha, dan juga dengan Pak Wirjowratmono yang banyak memahami ajaran Buddha. Tak dilupakan pengorbanan para dharmaduta yang mengajar di Jatimulyo, seperti Rama Aris Munandar, Rama Sardjan, dan Rama Sumonggo Karso.

Dalam perjuangan itu, banyak tantangan yang dihadapi, diantaranya masih terdapatnya kesulitan atau beratnya beragama Buddha dengan rumitnya memperoleh legalitas seperti untuk Vihara Pertama di Kulon Progo, Vihara Giriloka. Namun begitu, perjuangan ini juga mendatangkan bantuan dan support dari umat Buddha lainnya. Diantaranya dengan diadakannya Waisak Bersama dan Kunjungan Bhikkhu Agga Jinamitto (Maha Sangha Indonesia) dibantu Majelis Ulama Agama Buddha (MUABI) DIY.

Perkembangan Agama Buddha di Jatimulyo juga penuh dinamika, seperti adanya pengaruh Buddhayana yang beralih ke Theravada, adanya Guru-Guru Tanpa Tanda Jasa Sejati dan kedatangan  Guru Agama Buddha PNS Pertama dari Sleman bernama Pak Supriyanto. Tidak dipungkiri juga pengaruh dan jasa besar Vihara Vidyasena Yogyakarta dengan militansi para pemudanya yang memberi inspirasi akan “Sadar Pendidikan di Kulon Progo, aktivitas pendidikan sebagai jalan menuju Kesadaran Dhamma, maupun berdirinya Yayasan Dharmagiri dan sekolah TK Ananda dan Sekolah Minggu Buddhis (SMB).

Tradisi dan Budaya Masyarakat Buddhis Jatimulyo tidak dipisahkan dari budaya yang telah ada dan berkembang dalam sejarah sebagai lokal jenius, kearifan lokal sejak dulu turun temurun. Dalam komunitas Buddhis Jatimulyo Kulon Progo ini akan kita dapati berbagai tradisi yang masih hidup dan berlangsung, seperti: Surahan, Rejeban, Ruwaban, Badanan Idul Fitri, Badanan Waisak, Kenduri Slametan. Tradisi yang mewarnai kegiatan, aktivitas keberagamaan umat Buddha di Jatimulyo disamping perayaan-perayaan keagamaan Buddha lainnya.

Namun begitu, Agama Buddha di Kulon Progo juga menghadirkan tantangannya sendiri.  Disinyalir umat Buddha di Jatimulyo ini semakin menuju kesurutan. Berbagai faktor bisa disebutkan sebagai penyebabnya, seperti: Menikah dan Pindah Agama, Kurangnya Pemahaman Dhamma, Sindrom Minoritas, dan berkembanganya kecenderungan mempunyai anak yang lebih sedikit, maupun migrasi Penduduk ke daerah lain.

 

Tantangan Generasi Penerus

Bagaimanakah eksistensi Umat Buddha Kulon Progo kini dan nanti? Totok Tejamano memberikan sebuah Catatan Akhir yang kritis namun optimis. Menurutnya, memang banyak yang mengkhawatirkan agama Buddha di Kulon Progo akan mengalami kemunduran. Namun, perubahan ini juga memberikan tantangan positif dan optimisme.

Dalam pandangannya, Jatimulyo sebagai bagian dari Bukit Menoreh kini merupakan salah satu wilayah yang potensial dalam pariwisata. Banyak bermunculan obyek wisata baru, ditunjang dengan akan dilaksanakannya program Bedah Menoreh oleh Pemerinatah Kabupaten Kulon Progo yang melewati juga wilayah Jatimulyo. Situasi ini perlu dipandang sebagai sebuah peluang dalam menjadikan umat Buddha di Kulon Progo, khususnya di Jatimulyo bangkit dan mampu berkontribusi dalam pembangunan wilayah.

Ditambah lagi dengan telah ditetapkannya Borobodur sebagai salah satu destinasi wisata religi yang juga cukup dekat dengan Jatimulyo. Jatimulyo bisa menjadi salah satu penyangga budaya Bodobudur. Untuk itu, tradisi yang ada bisa menjadi daya tarik, seperti: Tribuana Mangala Bakti, proses pengambilan tirta Waisak dari sumber mata air di dekat-dekat vihara. Tradisi ini bisa berkembang menjadi event religio cultural yang menarik. Agama Buddha dengan kearifan lokal yang adi luhung tiada yang bertentangan, karena saling melengkapi dan menyatu.

Ajaran luhur seperti: rukun gawe santosa, crah gawe bubrah, memayu hayuning bawana, mulat sarira hangrasawani, dan sebagainya adalah Dharma dalam bentuk kearifan lokal Jawa yang sampai saat ini masih melekat dalam budaya masyarakat Jatimulyo. Karenanya, cahaya dharma di Desa Jatimulyo Kabupaten Kulon Progo masih akan terus hidup, terus bersinar dan memberikan pencerahan. Api Dharma tetap menyala di Bukit Menoreh! (JP).

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?