Cattra Borobudur dan Ketiadaan Itu

Home » Artikel » Cattra Borobudur dan Ketiadaan Itu

Dilihat

Dilihat : 262 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 32
  • 92
  • 59,178
Pic 1 Borobudur

Oleh: Jo Priastana

 

“Borobudur mengajarkan bahwa kesempurnaan itu tidak tentang bentuk fisik,

tetapi dalam kehampaan hening spiritual, persaudaraan dan perdamaian”

(Anonymous)

 

Candi Borobodur, yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia, adalah salah satu peninggalan budaya dan keagamaan terbesar dari masa kerajaan Mataram Kuno. Candi Buddha ini menyimpan keajaiban arsitektur, kekayaan makna dan filosofi yang mendalam. Dibangun pada abad ke-9 oleh Dinasti Syailendra, Candi Borobudur memiliki struktur monumental dengan bentuk piramida berundak yang menakjubkan, tampak begitu sempurna dan asri dengan lingkungan alam sekitarnya.

Bangunan Borobudur berhias ukiran relief yang mengungkapkan kisah kehidupan Buddha dan ajaran-ajarannya di sepanjang dinding candi, menunjukkan candi Borobudur sebagai bangunan pembelajaran. Ada sebanyak 72 stupa bertakhta tanpa bercattra, begitu pula stupa induk yang tanpa catra (payung bertingkat tiga), yang memberi makna kelepasan tanpa halangan dalam memandang ke atas, mencapai kesadaran puncak dalam kekosongan semesta.

Di puncak Stupa induk lepas mata memandang tanpa halangan, langsung terbuka dan terbentang merasakan kebijaksanan dan kesadaran Buddha dalam harmoni dengan alam angkasa raya, luas tanpa batas. Namun, sepertinya makna kehampaan di stupa induk Borobudur yang tiada catra itu, dan yang menjadi kulminasi pengalaman keheningan mereka yang beribadah selama ini, pada hari-hari belakangan ini terusik oleh adanya suara pro-kontra stupa induk dan catra.

 

Pemasangan Catra

Pada 2-3 Februari tahun 2018, Balai Konservasi Borobudur bersama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko menggelar acara Focus Group Discussion (FGD) tentang pemasangan Catra di Yogyakarta. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Dirjen Kebudayaan Harry Widianto mengatakan Mendikbud Muhadjir Effendy menyokong rencana ini asal ada dasar kajian dan telah disosialisasikan. Bapak Harry Widianto menyatakan, FGD memiliki tujuan untuk merumuskan rekomendasi mengenai mungkin atau tidaknya pemasangan Catra. “Kami ingin minta pendapat (ke para arkeolog), bisa atau tidak. Kalau layak atau tidak, sebutkan alasannya.”

Bapak Harry Widianto berpendapat bahwa pemasangan Catra merupakan bagian dari penyempurnaan bentuk Borobudur. Dia menyayangkan hasil rekonstruksi Catra didiamkan begitu saja selama lebih dari satu abad. “Kalau bisa dipertanggungjawabkan secara arkeologis, go ahead (lanjutkan pemasangan Catra). Bagi saya, ini kembali ke kita sebagai arkeolog. Ada bagian dari Borobudur, kenapa didiamkan. Sudah ada rekonstruksinya, kenapa wasting time (tak kunjung dipasang).” Beliau mengakui hasil rekonstruksi Catra stupa puncak Borobudur tidak sempurna. Tapi, menurut dia, rekonstruksi itu sudah mendekati bentuk asli, karena bisa diekstrapolasi dan diinterpretasi. Beliau menilai pemasangan Catra layak dilakukan. 

Pemasangan Catra juga disetujui oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menyatakan bahwa, dengan itu diharapkan melengkapi konsep candi sebagai cagar budaya, destinasi wisata, dan bangunan suci keagamaan. (Pemasangan Catra Lengkapi Candi Borobudur, Kompas, 31/7/23, EGI).

Sementara, Dirjen Bimbingan Masyarakat Buddha Kemenag Supriyadi mengatakan, catra dipandang sebagai payung yang bermakna filosofis dan spiritualitas dalam agama Buddha yang sangat mendalam (29/7/2023). Dirjen Buddha selanjutnya bergerak memobilisasi opini dan dukungan dari kalangan Buddha seperti melalui sayembara penulisan tentang Borobudur maupun kegiatan uji publik Bentuk-Material Catra Stupa Borobudur (17/7/24).

 

Catra dan Borobudur

Gagasan mengenai Catra Candi Borobudur dikemukakan pertama kali oleh Van Erp pada tahun 1931. Gagasan tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk rekonstruksi stupa induk dengan tiga susun Catra dan ditambah susunan batu sebanyak 9 lapis dibawahnya. Namun karena oleh beberapa ahli keberadaan catra diragukan dan karena susunan batu 9 lapis di bawah Catra kini telah hilang, maka rekonstuksi Van Erp saat ini tidak disusun pada Candi Borobudur. Saat ini Catra masih bisa dilihat pada Museum Borobudur di Taman Wisata Candi Borobudur. (Borobudurpedia, 2017:40-41).

Karenanya, usulan pemasangan Catra stupa induk puncak Candi Borobudur masih meninggalkan kontroversi. Para arkeolog tidak sepenuhnya setuju pemasangan Catra. Arkeolog Mundardjito dalam makalahnya “Borobudur: Masalah Puncak Stupa Induk,” mengungkapkan tentang keberadaan Catra pada Stupa Induk Borobudur, dan menyimpulkan untuk tidak terburu-buru memastikan pencanangan Catra di puncak Stupa Induk Borobudur itu.

Pengajar pada Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya ini menyimpulkan, timbul satu keyakinan bahwa yasti (bagian tengah yang berbentuk seperti tiang) bagian tengah dan atas tidak layak untuk dipasangkan pada yasti bagian bawah, yang kini sudah lama ditempatkan pada stupa induk, kecuali pada suatu waktu kita menemukan batu-batunya yang hilang. Penolakan arkeolog Mundardjito ini berdasarkan pada apa yang telah dilakukan oleh Ir. Th Van Erp yang pernah mencoba memasang Catra di puncak Stupa itu namun kemudian membatalkannya.

Van Erp sendiri mengambil kesimpulan bahwa desain asli puncak Borobudur itu memang tidak diketahui, apalagi dengan tidak diketemukannya batu asli yang cukup untuk menyimpulkan akan adanya Catra itu, dan karenanya Van Erp sendiri kemudian membongkar Catra tersebut pada tahun 1920-an. Pada akhirnya Van Erp menunjukkan bahwa Catra tidak “merupakan bagian dari penyempurnaan bentuk Borobudur”, bukan “bagian dari Borobudur’ dan tidak bisa “dipertanggungjawabkan secara arkeologis”.

 

Catra dan Kontroversi

Pemerhati Borobudur, Salim Lee dalam tulisannya, “Mengenai Gagasan Tentang Catra Borobudur” (Salim Lee, 9 Maret 2021) mengungkapkan pendapat beberapa tokoh sehubungan dengan Catra di puncak stupa induk Borobudur.

Arkeolog Nicholaas Johannes Krom yang merupakan rekan Theodoor Van Erp. Van Erp, tokoh yang memimpin pemugaran pertama Candi Borobudur, pada 1907-1911 itu mendapat kritik dari Kromm. Kromm menulis bahwa tidak ada keterangan atau bukti sama sekali soal keberadaan yasti dan Catra pada stupa induk Candi Borobudur.

Prof. Dr. Mundarjito, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia (UI), menilai pemasangan Catra di Borobudur berpotensi melanggar etika pemugaran candi. Beliau berpendapat tidak ada bukti yang cukup meyakinkan mengenai orisinalitas hasil rekonstruksi Catra yang ada saat ini. Tidak ada rekaman gambar saat Borobudur pertama kali dipugar yang menunjukkan serakan bagian candi menyerupai Catra hasil rekonstruksi saat ini. “Pemasangan bagian candi harus ada konteksnya. Kalau tidak ada, untuk apa? Tanpa dipasang Catra, Borobudur sudah terkenal di seluruh dunia,” kata dia.

Sedangkan, Prof. Dr. Timbul Haryono, Guru Besar Arkeologi UGM, mengamati bentuk Catra stupa di situs-situs Buddhisme berbeda-beda dan bergantung pada aspek lokalitas. Beliau mengakui salah satu relief di Candi Borobudur memang mencantumkan tulisan istilah Catra. Namun, Timbul menilai garis vertikal pada susunan Catra hasil rekonstruksi saat ini tidak tersambung oleh batu-batu asli candi itu. Hal ini mengakibatkan keabsahannya untuk dipasang menjadi bagian Candi Borobudur meragukan.

Arkeolog UI Supratikno Rahardjo juga menilai orisinalitas Catra hasil rekonstruksi insinyur Belanda Theodoor Van Erp tersebut meragukan dari sudut pandang arkeologis. Beliau menyarankan Catra itu tidak dipasang di Candi Borobudur dan hanya dipamerkan untuk bahan kajian. Dr. Supratikno juga mencatat tak ada candi Buddha di Jawa Tengah yang memiliki Catra.

Prof. Dr Agus Aris Munandar dalam percakapannya dengan Salim Lee sangat menyangsikan kegunaan dan ketepatan tentang pemasangan Catra di Borobudur. Arkeologi UI ini menyatakan bahwa pendapat dan pengetahuan umat Buddhis tentang hal ini juga penting dan diperlukan. Dari mana datangnya ataupun tujuannya, pemasangan Catra di atas Borobudur akan jauh lebih banyak negatifnya daripada, kalaupun ada, keuntungannya.

Lanjutnya, pemasangan Catra tidak akan menambah gaung Borobudur. Candi Borobudur, dengan segala keagungannya menampilkan kedalaman pengetahuan tentang ajaran Buddha di Nusantara. Hal ini memang masih harus kita pelajari dan lebih dalam. Kemantapan dan kematangan Buddhadharma Nusantara disaat itu paling tidak setara dengan Buddhadharma di dunia Buddhis manapun.

Kita tidak perlu, apalagi butuh, pengakuan atau pengukuhan tentang warisan leluhur kita ini dari raja maupun negara Buddhis lainnya, bahkan seperti yang ditulis di dalam catatan hariannya oleh Raja Chulalongkorn dari Thailand di tahun 1896 ketika mengunjungi Borobudur dan sekitarnya: “The people (in Java) in the past must have known the history (of Buddha) in detail, much better than we do now“.

 

Catra dan Ketidaan Itu

Polemik Catra mengajak kita untuk berkontemplasi tentang stupa induk Borobudur. Tanpa Catra seakan ada yang tak selesai. Adakah hal-hal yang selesai seindahnya dibiarkan saja, karena memang begitulah wilayah metafisika, dimana kediaman adalah jawaban segalanya, begitu kiranya gema spiritual wisdom tanah Jawa.

Telah sekian lama, berpuluh tahun kita mendaki bukit kebajikan tanpa catra di puncak stupa induk. Apakah keagungan Borobudur selama ini masih belum juga mengandung makna filosofis spiritual? Untuk apakah mereka selama ini bersembahyang dan dengan mengenakan jubah di puncak stupa Borobudur yang tiada bercatra itu?

Perjalanan mendaki Borobudur sebagai piwulang, pembelajaran dan bukit kebajikan dalam rangka untuk melenyapkan keakuan, tenggelam dalam kekosongan, sunyawuri. Pembelajaran dari alam kammadhatu, rupadhatu, arupadhatu dan berpuncak pada kekosongan, ketiadaan, sunyawuri, kosong sama sekali.

Kesatuan pentahapan, perjalanan dari Kammadhatu yang penuh pesona indera, penguatan pikiran dan keakuan namun juga membosankan lalu menghantar untuk duduk hening dalam alam meditatif baik yang berbentuk dan tidak berbentuk (Brahmarupa dan Brahma arupa). Semua tahapan itu layaknya persiapan pendakian untuk tiba di puncak melebur keakuan dalam hening tuntas, senyap, sunyi, kosong, keberhasilan yang tak ada kata-kata.

Kekosongan (sunya) yang terbentang tanpa batas dalam naungan angkasa luas, cakrawala tak bertepi. Kebenaran membuka diri bagaikan tersingkapnya selubung ketidaktahuan. Sebuah kekosongan yang hadir, sebuah kehadiran yang sebenarnya tak ada, tak ada analogi untuk ketiadaan, ketiadaan adalah analogi itu sendiri. Keindahan, kesempurnaan tidak bisa ditambah juga tidak bisa dikurangi. Ketiadaan yang melengkapi yang ada, yang puncak melengkapi yang dasar, yang tiada tampak melengkapi yang tampak, yang kosong melengkapi yang kolong.

Memahami metafora Borobudur yang agung dimana pada mulanya bukanlah kata melainkan tafsir sebagaimana menggemanya filsafat hermeneutika (interpretasi) yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan semiotika (tanda). Memang mencemaskan jika yang hampa itu tiada ada yang mewakili tanda-tandanya, sepertinya masa lalu akan terasa bodoh dan masa depan tanpa orientasi. Tetapi kesalahan kita selama ini ialah menyimpulkan bahwa kesempurnaan atau kekekalan itu juga harus bertanda, dan jika ia tiada bertanda maka ia bukanlah kesempurnaan, padahal tanda itu sendiri adalah ketidakkekalan dan mengandung interpretasi.

Antara alasan dan arah terbentang garis, tapi tak selamanya hidup menempuh garis itu. “mawar ada tanpa kenapa, ia mekar karena mekar.” (Angelus Silesius). Ketika seseorang mengalami kehadiran sesuatu yang maha lain, yang “numinous”, akan mengungkapkan senyap. Kebenaran, kesempurnaan paripurna adalah ada karena tak hadir. Ketiadaan itu ada, ia kosong yang selaik kolong, ia ketidakhadiran, absensi yang menghimbau. Semakin absen dari kehadiran, semakin yakin ia menguasai segalanya.

Selama ini keberadaan stupa induk Borobudur apa adanya, apa adanya dalam ketiadaan Catra. Seperti itu, seperti berjuta orang yang datang, berjuta orang yang mengenakan jubah dan menemukan keadamaian, keheningan, spiritualitas sunyawuri. “Di puncak Borobudur tidak kutemukan apa-apa,” demikian suara hening penyair Ikranagara, membangkitkan lubuk hati terdalam ketika mendengarnya kala remaja tahun 1970-an di Taman Ismail Marzuki Jakarta, sehingga menggerakkan langkah untuk mencapai puncak stupa di setiap malam bulan purnama Waisak, datang untuk besimpuh dan meresapi kebahagiaan ketiadaan, menikmati kekosongan, berkaya dengan tidak ada apa-apa.

Suara bijak sang Arkeolog Mundardjito dalam makalahnya itu: “Kita tidak tahu persis sudah berapa juta pengunjung yang datang melihat Candi Borobudur sejak dulu hingga sekarang serta merekamnya dengan jepretan kamera, atau melihat hasil tarikan garis dan sapuan kuas para pelukis. Begitu banyak buku, karangan ilmiah, tulisan populer, brosur, atau tayangan di film dan televisi yang menggambarkan wujud Candi Borobudur sebagaimana kita lihat sekarang. Semua ini melahirkan persepsi dalam benak para pengunjung bahwa seperti itulah bentuk sesungguhnya bangunan Candi Borobudur yang digagas dan dibangun masyarakat masa lalu sekitar abad 8 – 9.” (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?