Oleh: Jo Priastana
“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan.
Duniaku bumi manusia dengan persoalannya”
(Pramoedya Ananta Toer, “Bumi Manusia”)
Cendekiawan atau intelektual adalah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas, serta mempertahankan dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan (Wikipedia, 8823). Ada nilai yang diperjuangkan oleh kaum cendekiawan seperti nilai kebenaran dan keadilan yang menjadi tuntutan terwujudnya dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat sangat mengharap nilai kebenaran dan keadilan itu mewujud nyata dalam kehidupannya. Siapa yang pantas memperjuangkannya, kalau bukan cendekiawan? Cendekiawan yang merupakan kaum terdidik dan terpelajar, dan konon kata “cendekiawan” itu sendiri berkaitan dengan negeri Timur India dimana dari negeri itu pulalah lahir Sang Buddha.
Kabarnya, kata “cendekiawan” itu berasal dari Chanakya. Chanakya adalah seorang politikus dalam pemerintahan Kekaisaran Maurya di bawah pemerintahan Chandragupta (Wikipedia, 8823). Chanakya sendiri dikenal sebagai ahli strategi dalam pemerintahan Chandragupta Maurya, kakek Asoka yang kabarnya juga memberi inspirasi pada Gajah Mada, ahli strategi semasa kerajaan Majapahit.
Kaum Terdidik dan Terpelajar
Kaum terdidik dan terpelajar sangat dekat dalam konteks Buddhisme. Kedekatan Chanakya dengan Asoka raja fenomenan dalam Buddhisme tampaknya tidak bisa dipungkiri, ibarat Sang Filsuf ulung Aristoteles dengan Alexander The Great di Yunani. Dengan begitu, jelas bahwa peran kecendekiawanan itu berkaitan dengan pesoalan hidup masyarakat dan kehidupan negara. Cendekiawan menjadi suara hati nurani rakyat, denyut nadi kehidupan bangsa dan kompas bagi perjalanan sebuah negara.
Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah “cendekiawan”, yaitu: (1) mereka yang terlibat dalam ide-ide dan ruang diskusi, (2) mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai “intelektual budaya”, (3) Dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya (Wikipedia, 8823).
Peran cendekiawan sebagi kaum terdidik dan terpelajar ini mengingatkan pada idiom Buddhis tentang empat tipe manusia. Empat tipe individu yang sepertinya merujuk pada kaum intelektual, orang berpengetahuan dan cendekiawan. Empat tipe orang itu dapat diibaratkan dengan awan hujan (valahaka). Apakah cendekiawan berperan sungguh-sungguh dan nyata seperti awan hujan yang mengguntur (gajjita) dan mencurahkan hujan (vassita), atau sebaliknya, tidak terdengar perannya dan tidak berguna bagi masyarakat?
Pertama, seorang yang membaca (bhasita) tetapi tidak melatih diri (no katta) adalah seperti awan hujan yang mengguntur (gajjita) tetapi tidak mencurahkan hujan (no vassita). Kedua, seorang yang melatih diri (katta) tetapi tidak membaca (Bhasita) adalah seperti awan hujan yang mencurahkan hujan (vassita) tetapi tidak mengguntur (no gajjita). Ketiga, seorang yang tidak membaca atau pun melatih diri (n’eva bhasita no katta) adalah seperti awan hujan yang tidak mengguntur atau pun mencurahkan hujan (n’eva gajjota no vassita). Keempat, seorang yang membaca maupun melatih diri (bhasita ca kata ca) adalah seperti awan hujan yang mengguntur dan mencurahkan hujan (gajjota ca vassita ca) (Anguttara-Nikaya).
Cendekiawan sangat dihormati masyarakat, karena merekalah penjaga nilai-nilai kehidupan, seperti kebenaran dan keadilan yang selalu didambakan masyarakat mewujud. Tradisi China sangat menghormati sekali cendekiawan sebagai orang yang terdidik dan terpelajar. Oleh karena itu, cendekiawan sering kali dikaitkan dengan individu yang telah lulus dari perguruan tinggi atau universitas. Meski, menurut Sharif Shaary, seorang dramawan terkenal dari Malaysia, kecendekiawanan tidaklah harus keluaran perguruan tinggi.
Ia berpendapat bahwa cendekiawan pada hakikatnya tidaklah sesederhana itu. Menurutnya, “Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu.
Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan berani memperjuangkan kebenaran itu meskipun akan menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat,” (Faisal Yusup. “Bicara tentang Mahathir”, Pekan ilmu publications Sdn Bhd (2004).
Cendekiawan jangan bisu dan palsu. Cendekiawan sepantasnya menyuarakan kebenaran dan keadilan, dan bila tidak maka akan menjadi cendekiawan Bisu dan Palsu. Sharif Shaary menegaskan, “cendekiawan” bukan hanya berpikir tentang kebenaran, tetapi harus menyuarakannya apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral, namun harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia “tidak boleh menjadi cendekiawan bisu, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan” (Faisal Yusup, 2004).
Cendekiawan dan Buddhadharma
“Awan hujan harus menggeluntur dan mencurahkan hujannya”. Begitulah peran dari orang yang terdidik dan terpelajar, orang berilmu pengetahuan yang sarat dengan fakta, teori dan nilai sebagaimana kaum cendekiawan. Karenanya, cendekiawan Buddhis pun tidak luput untuk berpengetahuan Buddhadharma dan memajukannnya secara saintifik berlandaskan pada nilai-nilai Buddhis untuk kemajuan Buddhadharma dan perkembangan kehidupan manusia sekarang ini.
Di tangan para kaum terdidik dan terpelajarlah, seperti kaum cendekiawan Buddhis maka Buddhadharma akan mampu menjawab tuntutan masyarakat akan rasa kebenaran dan keadilan. Sangat aneh bila cendekiawan Buddhis justru tidak perlu lagi belajar Buddhahadharma, apalagi kecendekiawanannya ini menuntut pembelajaran Buddhadharma yang intensif dan berkelanjutan sehingga mampu memetik nilai-nilai Buddhadharma untuk mampu berkorespondensi dengan kenyataan kehidupan. Bila belajar Buddhadharma tidak lagi diperlukan, maka itu karena hanya puas dengan sebutan dan gelar, dan orang itu senang menikmati hidup dalam irasionalitas dan ilusionalitas, cendekiawan bisu dan palsu.
Ini juga berarti bahwa ia sesungguhnya hidup dalam kebodohan, berlawanan dengan kecendekiawanan itu sendiri. Inilah tugas sesungguhnya dan tanggung jawab kaum terdidik dan terpelajar dimana cendekiawan agama, cendekiawan Buddhis harus berperan, terlebih lagi kalau cendekiawan itu berhimpun dalam suatau organisasi seperti keluarga cendekiawan Buddhis Indonesia. Perhimpunan yang memungkinkan nilai-nilai kecendekiawanan yang sebenarnya ter-institusionalisasi sehingga menjadi kekuatan untuk mewujudkan perubahan sosial dan kebaikan bagi masyarakat.
Bagaimana proses kecendekiawanan itu terjadi dan mampu berperan dalam kehidupan masyarakat? Setidaknya ada dua hal yang perlu dikuasai. Pertama, cendekiawan Buddhis perlu memiliki keterampilan nissaya yaitu penguasaan ajaran Buddha, dan kedua menguasai keterampilan kattha yaitu mampu memperbincangkannya nilai-nilai Buddhadharma dalam penerapannya dan menjawab persoalan-persoalan aktual.
Selain itu, dalam konteks metodologi ilmu modern dimana masyarakat modern ini tumbuh, maka cendekiawan Buddhis juga harus mampu memadukan ketrampilan Nissaya dan Kattha itu dengan matriks segi tiga ilmu pengetahuan modern. Matriks segi tiga ilmu pengetahuan yang meliputi: theory, data, dan nilai.
Metodologi ilmu atau logic of sciences yang terdiri dari teori dan data mencerminkan kerja siklus empiris. Teori dalam makna penguasan materi dari disiplin ilmu pengetahuan, sedangkan data adalah pandai dalam membaca persoalan-persoalan yang sedang berkembang. Nilai berkenaan dengan bekerjanya suatu ilmu pengetahuan secara kritis. Karenanya cendekiawan tidak bisa tidak perlu memiliki kepekaan terhadap masalah (sensitivity to problems) serta memiliki tanggung jawab etis.
Metode nissaya membekali cendekiawan beragama untuk menguasai pengetahuan Buddhadharma sepenuhnya yang secara holistic dan inclusive. Metode katha memampukan cendekiawan beragama untuk mengembangkan Buddhadharma secara kontekstual melalui penalaran yang baik serta argumentatif yang cerdas, baik secara lisan maupun tulisan.
Kemudian dengan memiliki kemampuan menghubungkan matriks segi tiga ilmu pengetahuan modern: teori, nilai dan data akan memungkinkan cendekiawan mampu menjawab tantangan dan problem-problem dunia masa kini serta berperan nyata. Cendekiawan Buddhis tidak lepas dan dapat memainkan perannya baik sebagai agamawan, ilmuwan maupun cendekiawan atai Budayawan.
Cendekiawan yang sekaligus agamawan, memiliki kemampuan memadukan antara nilai dan data. Cendekiawan agamawan dengan berbekal beragam teorio yang sesuai dapat melihat kesenjangan antara fakta kehidupan (data) dan teori serta nilai agamanya yang universal. Cendekiawan agamawan penjaga kehidupan yang pandai menghubungkan data dengan teori, data dengan nilai, maupun teori dengan nilai. Dengan begitu, cendekiawan Buddhis berperan sebagai agen perubahan, mewujudkan nilai-nilai Buddhis dalam kemajuan negara.
Teladan dan Inspirasi Cendekiawan Buddhis
Sebagai contoh inspirasi, teladan, kiranya tidak keliru untuk bercermin pada beberapa cendekiawan. Ada cendekiawan Buddhis masa kini, nominasi Nobel, Sulak Sivaraksa. Cendekiawan Buddhis dengan reputasi Internasional, Sulak Sivaraksa (lahir 27 Maret 1933). Bagi Sulak Sivaraksa, seorang cendekiawan perlu terlibat secara sosial dan menjadikan Buddhadharma sebagai sarana reformasi. Dia mengatakan, “Agama adalah jantung dari perubahan sosial, dan perubahan sosial adalah inti dari agama.” (Sulak Sivaraksa, 1988).
Sulak Sivaraksa memilih untuk menyoroti aspek-aspek universal dan rasional dari agama Buddha dan menjauhi ritualisme dan mitologi agar agama Buddha lebih dapat diterapkan pada isu-isu global kontemporer. Dengan menghadirkan Buddhisme dengan cara ini, orang-orang dari semua agama dapat memahami, dan menafsirkan karyanya dalam cahaya spiritual universal (Sulak Sivaraksa, 1988).
Sulak menerapkan ide-idenya pada situasi sosial dan politik sebagai respon terhadap ketidakadilan sosial yang merupakan strategi dalam pembangunan perdamaian. Visi, aktivisme, dan komitmen spiritualnya dalam pencarian proses pembangunan yang berakar pada demokrasi, keadilan, dan integritas budaya. (Sulak Sivaraksa, 1988, “Benih Perdamaian: visi Buddhis untuk Memperbaharui Masyarakat”)
Cendekiawan menyuarakan kebenaran, menjadi saksi atas ketidakadilan, membangunkan orang-orang dari keterlenaannya. “Aku mendengar suara, jerit hewan yang terluka. Ada orang memanah rembulan. Ada anak burung terjatuh dari sarangnya. Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan. Agar kehidupan bisa terjaga.” (Aku Mendengar Suara karya, WS Rendra, 1935-2009) “Potret Pembangunan dalam Puisi”, 1996.)
Kita juga dengar seruan sang cendekiawan dan intelektual Edward W Said, dalam “Peran Intelektual” (2018), bahwa intelektual harus menempatkan diri sejajar dengan kelompok yang lemah dan tak terwakili. Untuk itu, intelektual menolak dikooptasi oleh pemerintah, korporasi, dan ortodoksi. Intelektual harus siap hidup di antara kesendirian dan pengasingan.
Tegasnya peran dan tugas utama itu diungkakan oleh cendekiawan terkemuka Indonesia, Daniel Dhakidae. Tokoh ini mengungkapkan, “Fungsi utama cendekiawan itu adalah menggugat kemapanan. Gugatan itu diungkapkan dengan analisa kritis dan mendalam tentang keadaan kemasyarakatan dan politik-ekonomi sebuah bangsa.” (Daniel Dhakidae, 1945-2021, Cendekiawan Indonesia). (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
https://cdn.britannica.com/40/126740-050-4ABE0272/Buddhaghosa-wall-painting-monk-Visuddhimagga-monastery-Sri.jpg?w=300&h=169&c=crop