“Citayam Fashion Week” (1) – Pendidikan Bebas Dari Sekolah Menyalakan Lilin Kehidupan

Home » Artikel » “Citayam Fashion Week” (1) – Pendidikan Bebas Dari Sekolah Menyalakan Lilin Kehidupan

Dilihat

Dilihat : 138 Kali

Pengunjung

  • 4
  • 3
  • 29
  • 31,189

Oleh: Jo Priastana

 

 “where the children of tomorrow share their dreams, dream away in the wind of change-

Dimana anak-anak masa depan berbagi mimpi mereka, bermimpi pergi dalam angin perubahan”

(petikan lagu “Wind of Change” Scorpions)

 

Kehebohan “Citayam Fashion Week” hasil kreativitas anak-anak muda dari Citayam, Kota Depok dan Bogor, Jawa Barat cukup menyita perhatian publik nasional. Kehebohan dan Kemeriahan aksi lenggak-lenggok anak muda di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, DKI Jakarta itu mencerminkan kerinduan warga pada umumnya terhadap ruang publik yang tertata apik untuk mengekspresikan diri.

 Mereka datang dari pinggiran Jakarta dengan kereta rel listrik, dan membuat kawasan berorientasi transit Dukuh Atas menjadi “Citayam Fashion Week.” Sebuah sebutan sinis yang ditujukan kepada anak-anak yang datang dari suburban, anak-anak udik itu dalam berlenggok-lenggok ala pragawati  di zebra-cross Jl. Kendal Dukuh Atas dengan fashion nyentrik dan bahasa baru.

Mereka telah memberikan warna baru terhadap suasana kehidupan ibukota dengan akktivitas mereka yang menjadi viral, terkenal dan diikuti oleh anak-anak di kota-kota lainnya. Banyak kalangan menyoroti CFW sebagai “harajuku Jepang di Jakarta,” dan sebagai sebuah bentuk perlawanan kelas bawah di kawasan elit. Ada diantara mereka yang memutuskan tidak bersekolah, yang seakan menebarkan pandangan kritis terhadap dunia pendidikan saat ini.

 

 Aku Viral Karena itu Aku Ada

Mereka di TOD Dukuh Atas sejak 2019, baru pertengahan Juni 2022 menarik banyak pengunjung di kawasan itu, karena ada akun Tiktok memotret aneka gaya mereka yang diberi sebutan Citayam Fashion Week (CFW).  Mereka Anak-anak muda dari Citayam datang ke jantung Ibu Kota “mendiktekan” trend gaya hidup urban ala mereka, mulai dari pakaian, perilaku, hingga deretan istilah khas.

Citayam merupakan nama sebuah daerah suburban pinggiran Jakarta, sebuah kawasan dengan  kebun dan sawah serta penduduk yang sebagian tergusur dari Ibu Kota. Karena viralnya, SCBD sebagai Sudirman Central Bisnis, Distrik pun beralih menjadi Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok daerah dimana anak-anak itu berasal. Sebutan“Citayam Fashion Week” sempat menjadi rebutan berbagai kalangan namun akhirnya tetap menjadi milik publik dan bahkan menggema ke kota-kota lainnya.

Mereka adalah anak-anak yang masuk gen Z ini yang lekat dengan penggunaan perangkat digital yang memiliki fasilitas sosial.  Dengan membuat konten di CFW, anak-anak muda ini menemukan identitas diri mereka sebagai content creator, dan fokus merepresentasikan dirinya seakan menjawab idiom filosofis Filsuf Rene Descartes (1596-1650): ”cogito ergo sum, aku berpikir karena itu ada ada, menjadi “aku viral, karena itu aku ada.”

 Remaja yang aktif di media sosial itu umumnya berusia diantara 13 tahun – 16 tahun dan menjadi terkenal membuat kehebohan termasuk karena adanya dari mereka yang putus sekolah tetap bebas dari sekolah, demi ketenaran yang bisa memberi sumbangsih ekononi keluarga.

Roy salah satu pionir “Citayam Fashion Week” berani menolak beasiswa yang akan diberikan  oleh seorang Menteri, Sandiaga Uno, Menparekraf. Alasan Roy karena dia ingin fokus membuat konten dan demi membantu perekonomian keluarga. Entah apa yang sesungguhnya ada di dalam benak Roy dan lainnya yang tidak mau datang ke sekolah lagi, adakah dia memang telah mengenal pemikiran filsuf pendidikan Ivan Illich tentang masyarakat bebas dari sekolah?

 

Bebas dari Sekolah

 Ivan Illich (1926-2002), filsuf, penulis buku “Deschooling Society” (1970) mengemukakan tentang “masyarakat tanpa sekolah.” Menurutnya, “Sekolah telah menjadi agama dunia bagi proletariat modern, dan membuat janji-janji keselamatan yang sia-sia bagi kaum miskin di zaman teknologi, dan sekolah sendiri telah memutarbalikkan kecenderungan alami untuk tumbuh dan belajar menjadi tuntutan akan pengajaran.”

Ivan Illich menggugat pendidikan karena ia menilai sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak kepada rakyat miskin, tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karenanya pendidikan yang hanya menguntungkan penguasa itu harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.

Filosofi pendidikan Ivan Illich merupakan kritik terhadap institusi pendidikan yang telah menjadi sebuah komoditas. Sekolah dikelola seperti layaknya perusahaan. Filsuf Austria ini menganggap bahwa institusi pendidikan sekarang ini telah menyerupai sebuah pabrik yang mengambil bahan baku anak-anak, lalu mengubah mereka menjadi produk pekerja yang dibutuhkan oleh pemilik kepentingan dan kekuasaan. Untuk menjadi produk yang lulus, murid harus sesuai dengan kriteria yang mereka butuhkan. (blog Dunia Yudhis, March 8, 2018).

 Buku “Deschooling Society” mengemukakan pandangan kritis Ivan Illich tentang pendidikan dan sekolah. Ivan Illich tidak menolak pendidikan, karena menurutnya pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan, dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan, manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan memiliki moral, budi pekerti yang luhur.

Bagi Ivan Illich, hak untuk belajar seharusnya tidak hanya dibatasi dengan kewajiban bersekolah, dan tidak ada yang lebih berbahaya bila menarik anak-anak bebas belajar dari alam dan menyeret mereka kembali untuk sekolah. Sekolah memiliki visi membentuk manusia masa depan, tapi ironisnya sekolah tidak mampu melakukan hal tersebut. Sesungguhnya, proses mendapatkan pendidikan bisa dilakukan di mana saja tanpa harus melalui jalur pendidikan formal.

Ivan Illich mengecam pendidikan formal sekolah yang berlangsung dalam zamannya karena di sekolah berlangsung dehumanisasi yaitu proses pengikisan martabat kemanusiaan. Sekolah telah terasing dari kehidupan nyata. Pendidikan yang tidak lebih sebagai transfer ilmu atau pengajaran telah membunuh kehendak banyak orang untuk belajar secara mandiri.

Sekolah dengan pengaturannya yang sangat ketat dalam waktu, tempat, bentuk kegiatan, dan tujuan belajar bukan lagi pendidikan yang baik karena mengekang kebebasan. Bonge, Kurna, Jeje, Roy dkk di CFW seakan mengatakan, sekolah telah menjadi penjara yang mengekang kebebasan jauh dari suasana pendidikan kehidupan yang menumbuhkan keluasan, kreativitas dan kedewasaan siswa.

 

Pendidikan Kehidupan

Pendidikan yang membebaskan dan menyenangkan sesungguhnya sejalan dengan hakekat dan tujuan pendidikan yang tidak terpisahkan dari kehidupan nyata yang dialami para siswa. Perubahan diri yang terjadi secara bebas dan sadar baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik, dalam aspek moral, spiritual dan dimilikinya berbagai ketrampilan yang berguna bagi kehidupan.

Bagi aktivis Buddhis Sulak Sivaraksa (Sulak Sivaraksa, 2013: 57), dunia pendidikan Buddhis menempatkan kecerdasan dan emosi harus berkembang secara bersamaan, dan praktiknya harus sejalan selaras dengan kehidupan masyarakat, memfasilitasi pemahaman tentang kehidupan dan dunia yang tidak ternoda oleh prasangka ataupun keegoisan. Pendidikan juga mengandaikan kebebasan, baik kebebasan fisik, sosial maupun kebebasan batin.

Menurut tokoh “Engaged Buddhism” dan nominator hadiah nobel ini, pendidikan dalam perspektif Buddhadharma dimulai dengan pertanyaan tentang hakikat kemanusiaan. Apa makna dari kehidupan? Apa sifat dasar dari diri kita? Apa tanggung jawab kita terhadap sesama? Buddhisme tidak memisahkan kehidupan dari pendidikan dan justru kehidupan adalah sebuah pendidikan. (Sulak Sivaraksa, 2013:53).

Pengajaran Buddhis tidak memisahkan pendidikan dari kehidupan. Bagi seorang Buddhis, tujuan pendidikan adalah terbebas dari ketidaktahuan yaitu ketidaktahuan tentang diri dalam kehidupan. Buddha mengajarkan mengenai tiga ruas pelatihan (tisikkha), yaitu kebijaksanaan (pañña), etika dan moralitas (sila), dan konsentrasi (samadhi). Sulak Sivaraksa, 2013: 57).

Kebijaksanaan merupakan suatu pengakuan terhadap sifat ketergantungan dari setiap unsur di dunia. Kebijaksanaan sejati ialah memahami sifat alami realitas tanpa prasangka dan kemelekatan, melihat setiap hal seperti apa adanya. Ketika tercapai pemahaman ini berbaur dengan kewelas-asihan dan menolong sesama makhluk menjadi tujuan pribadi yang tak pernah berhenti. (Sulak Sivaraksa 2013:15).

Pemerhati pendidikan, Donny Kusuma, dalam kesempatan Webinar di Megawati Institute (27/7/22) mengungkapkan bahwa belajar itu bukan hanya di sekolah tapi juga di dunia lingkungan nyata. Belajar sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara (1889-1959) bisa dimana saja, baik di sekolah, rumah atau lingkungan dunia kehidupan.

Anak-anak SCBD memilih lingkungan dan menolak sekolah, menolak beasiswa yang ditawarkan seorang Menteri. Sungguh sebuah keberanian penuh kepercayaan diri. Pendidikan adalah pengalaman belajar dalam kehidupan sebagaimana dengan Engaged Buddhism, dimana nilai-nilai Buddhadharma harus memiliki keterlibatan nyata dengan dunia dan segala persoalan kehidupan.

 

Nyala Lilin Kehidupan

Sepertinya apa yang dilakukan anak-anak CFW itu adalah sebuah pendidikan di dalam dunia kehidupan. Menurut pakar pendidikan, Donny Kusuma, (27/7/22) hal itu menjadi sebuah proses belajar yang tidak terdapat di ruang-ruang kelas atau  di bangku sekolah dalam pendidikan formal, untuk mereka hanya dibutuhkan ruang untuk ekspresi, fasilitas dan dukungan yang menambah keterampilannya.

“Citayam Fashion Week” di Dukuh Atas itu adalah ruang pendidikan kehidupan anak-anak SCBD dengan jam belajar tanpa batas. Pendidikan dalam kehidupan nyata yang juga menghasilkan, seperti kata Roy, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Mereka belajar di jalanan, tidak lagi di ruang sekolah, mereka belajar dari kehidupan. Inikah sepertinya yang dimaksudkan “Deschooling Society” menurut Ivan Illich?

Anak-anak SCBD Bonge, Roy, Jeje, Kurma dan lainnya sesungguhnya sedang membuat sejarah dan perubahan sosial dengan seakan mengajukan pertanyaan apa itu makna pendidikan? Jalan hidup mereka berada di dunia kehidupan, belajar serta tumbuh dari kehidupan jalanan.

Menyimak aktivitas anak-anak Citayam Fashion Week serasa mengajak untuk berpikir kembali tentang makna pendidikan bagi kehidupan. Tentang sekolah dan kebebasan berekspresi serta tantangan dari masyarakat dan dunia digital akan arti kesuksesan.

Anak-anak udik, suburban SCBD itu  telah berkontribusi menularkan virus kegiatannya kepada anak-anak lainnya di berbagai kota dan sekaligus menghidupkan perekonomian rakyat kecil. Tampaknya apa yang mereka lakukan itu juga memenuhi ujar dari filsuf pendidikan kritis Ivan Illich: “Bawalah lilin dalam kegelapan, jadilah lilin dalam kegelapan, ketahuilah bahwa Anda adalah api dalam kegelapan.”

Anak-anak Citayam telah menyalakan lilin-lilin kehidupan yang menularkan terang aktivitas serupa di kota-kota lainnya, membawa kesegaran angin perubahan, winds of change. Entah bagaimana kelanjutannya, CFW telah menjadi penanda, teks hidup yang akan terus dibaca, memberi inspirasi kreativitas mewujudkan mimpi anak-anak muda dalam menyatakam dirinya ekspresi original pemenuhan diri.

CFW mampu menggugat dunia pendidikan saat ini, mengingat aktivitas mereka di jalanan yang merupakan sebagai sekolah kehidupan, sekolah di jalan kehidupan, sekolah pembebasan dari penderitaan hidup. Sebuah pertanyaan kritis untuk dunia pendidikan sebagaimana disuarakan engaged Buddhism bahwa sekolah yang terpisah dari keterlibatan dalam dunia kehidupan bukanlah pendidikan yang sesungguhnya!  (JP).

 

https://m.liputan6.com/bisnis/read/5024392/ternyata-ada-4-pengajuan-haki-terkait-merek-citayam-fashion-week

Butuh bantuan?