“Citayam Fashion Week” (2) – Menularkan Ruang Sosial Untuk Kebebasan Berekspresi

Home » Artikel » “Citayam Fashion Week” (2) – Menularkan Ruang Sosial Untuk Kebebasan Berekspresi

Dilihat

Dilihat : 118 Kali

Pengunjung

  • 25
  • 24
  • 27
  • 31,017

Oleh: Jo Priastana

 

Only a life lived for others is the life worthwhile.”

 (Abert Einstein).

 

Fenomena “Citayam Fashion Week”, yang bermula dari anak-anak suburban di pinggiran Jakarta, Citayam, Bojong Gede, Depok menasional. Citayan nama sebuah stasiun kereta api Jakarta Bogor, yang telah beroperasi sejak 1873, dan dari stasiun itu, anak-anak Citayam datang menuju kawasan stasiun kereta api Dukuh Atas, Jakarta Pusat.  (Kompas 29/7/22).

Dukuh Atas merupakan kawasan elite dimana Sudirman Central Bisnis Distrik, berada. Di kawasan itu terdapat pula TOD tempat tujuan dan nongkrong sampai akhirnya melakukan kegiatan fashion show. Dengan mengenakan outfit seadanya mereka, para model berwajah ndeso itu bergantian melintas diatas dengan catwalk tempat penyeberangan orang atau di zebra cross Jl. Kendal Dukuh Atas..

Sebutan sinis “Citayam Fashion Week” pun datang atas aktivitas mereka yang tersebar lewat media sosial. Muncul pula julukan baru ”Haradukuh”, mengacu pada anak-anak muda Jepang di awal tahun 1980-an  yang menempati jalanan di kawasan Harajuku dengan gaya busana non-tradisional sebagai bentuk ekspresi diri menghadapi kekangan norma masyarakat yang kaku.

 

Ruang Sosial dan Kreativitas

Aktivitas “Citayam Fashion Week bermula di tahun 2019 dan baru mulai viral pada Juni 2022, ada proses selama tiga tahun. Mereka berkumpul di Dukuh Atas memenuhi kebutuhan akan jati dirinya sebagai makhluk sosial, para remaja yang sedang tumbuh mencari identitas diri dan mengekspresikan keotentikannya dirinya di Dukuh Atas Sudirman Central Bisnis Distrik.

Kawasan Dukuh Atas SCBD merupakan tujuan ideal karena terdapat ruang terbuka umum yang dikelilingi gedung-gedung modern. Dengan hanya mengeluarkan ongkos untuk biaya tiket kereta api dan jajan makanan sederhana, mereka bisa nongkrong berjam-jam merasakan bagaimana menjadi bagian dari kelas sosial Jakarta sambil bergotong royong karena kreativitas mereka dalam gaya berbusana ternyata juga berasal dari busana yang mereka lakukan secara barter.

Populasi remaja yang kian membesar karena bonus demografi memang memerlukan ruang terbuka. Ruang yang dapat diakses sebagai titik pertemuan strategis karena ada kemudahan mencapainya. Sepanjang tidak terlalu mengganggu ketertiban umum, aktivitas mereka tentu saja tidak memberi masalah, apalagi ada juga dampak positifnya. Nyatanya kegiatan mereka itu juga dikooptasi oleh kalangan elite para selebritis, politisi, pesohor, serta menyebar ke kota lainnya.

 CFW pun menjadi merek publik dan banyak kalangan datang beraktivitas di CFW menampilkan atraksi dan keunikan kreasinya. Mereka bebas melahirkan ide baru, inovasi, kreativitas sambil menyatakan identitas bersama dan beramai-ramai merayakannya di ruang publik terbuka. “Citayam Fashion Week” di Kawasan Dukuh Atas menjadi tempat tujuan bagi segala kalangan untuk menampilkan dirinya beraktivitas catwalk di zebra cross serta beragam ekspresi lainnya, kaya kreasi dan memperlihatkan keragaman yang inklusif.

 

Kebebasan Ekspresi dan Identitas Diri

Kawasan Dukuh Atas tempat “Citayam Fashion Week” merupakan wadah ekspresi eksistensi di ruang publik sebagai manifestasi pengembangan diri, pencarian eksistensi diri. Sepantasnya mereka diberi keleluasaan, kenyamanan dalam dalam rangka transformasi diri, mengekspresikan dirinya dalam kebebasan berkreasi.

 Ruang publik dimana mereka bebas melakukan ekspresi diri terbentuk secara natural-organik nyatanya juga menular ke daerah-daerah lain. CFW merupakan sebuah fenomena sosial yang diageni oleh anak-anak remaja Citayam tumbuh sebagai manifestasi kebutuhan original ekspresi diri, transformasi diri anak anak remaja pada umumnya. Anak-anak muda yang rindu akan ruang aktualisasi diri, sebagaimana ujaran: “ada berarti berubah, berubah berarti dewasa, dewasa berarti terus menciptakan diri sendiri tanpa henti.” (Henri Bergson).

Aktualisasi diri merupakan wujud dimana manusia selalu berubah dan bisa hidup bahagia. Untuk itu, manusia harus memiliki kebebasan. Kebebasan menggerakkan jasmani yang tidak terhimpit oleh lingkungan, kebebasan berinteraksi sosial dan mengekspresikan batin dalam wujud budaya yang beragam dan inklusif. Segenap kebebasan yang menjadi prasyarat lahirnya beragam kreativitas menggerakkan perubahan sosial dan kemajuan.

Sulak Sivaraksa, tokoh “Engaged Buddhism” menjelaskan bahwa manusia perlu mengekspresikan dirinya dalam kebebasan. Ada  kebebasan jasmani yang merupakan  kebebasan untuk hidup harmonis dengan alam dan lingkungan. Kebebasan jasmani ini juga mencakup kebebasan dalam memenuhi ketersediaan pangan, sandang, tempat tinggal, dan obat-obatan. Kebebasan sosial yang mencerminkan kebebasan dalam berinteraksi dengan sesama manusia dimana hidup bersama berlangsung secara aman tanpa eksploitasi. Sedangkan kebebasan batin membuat kita bisa hidup mandiri, penuh rasa puas, tanpa harus mengeksploitasi alam ataupun sesama manusia. (Sulak Sivaraksa, 2013:64).

Aktualisasi diri mensyaratkan adanya kebebasan, dan kebebasan kreativitas untuk penemuan identitas diri. Stella Ting Toomey (2009) merumuskan identitas sebagai refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Perilaku seseorang di dalam kelompok dapat dijelaskan sebagai penemuan identitas dirinya dalam kelompoknya atau identitas sosial. Identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari akibat persepsi yang sesuai dengan keanggotaan dalam suatu kelompok sosial (Turner, John Oakes, Penny, 1986).

 

 Aktualisasi Diri dan Media Sosial

Idi Subandy, (Kompas 24/7/22) pengamat komunikasi dan gaya hidup menilai, fenomena CFW terjadi karena kerinduan besar anak muda akan ruang ekspresi pascapandemi dan kebutuhan ruang publik yang layak untuk hiburan dan rekreasi. Citayam merupakan representasi daerah yang mengalami peminggiran ruang dan psikologis. Memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak nasional, yakni 491.240 pada Maret 2021. “Kehadiran mereka di sana, termasuk yang di bawah secara ekonomi, menunjukkan siapa pun bisa merebut ruang itu dan kesenjangan seolah hilang,” (“Kami Cuma Butuh Ruang,” Kompas, 24/7/22).

Pakar pendidikan Donny Kusuma menilai bahwa CFW merupakan peristiwa yang bersifat happening. Peristiwa itu ada dalam ruang dan waktu tertentu dan tidak bisa tergantikan. CFW merupakan suatu cara untuk bereksistensi, merumuskan diri yang sedang dijalani anak muda dalam suatu periode kehidupannya. Menemukan identitas diri secara eksistensial, masa dimana kondisi psikologis sebagai remaja bergejolak untuk memaknai keberadaannya hadir di dunia sebagai manusia. (Webinar Megawati Institute,pada 27/07/22).

Selain itu, peristiwa itu juga menjadi viral karena adanya perangkat teknologi digital.  Kegiatan yang dilakukannya sebagai konten media sosial yang disebarluaskan menjadi viral, dikenal secara luas dan bahkan ditiru di banyak kota. Anak-anak Citayam itu pun menjadi fenomenal dan terkenal. Aktualisasi diri mereka yang sedang mencari identitas berkat adanya teknologi digital dan ruang publik SCBD kawasan Dukuh Atas.

Hadirnya masyarakat digital dengan perkembangan komunikasi dan informasi telah menciptakan jaringan hubungan yang luas antar-manusia dan membawa pengaruh besar terhadap pembentukan identitas pribadi manusia. Seseorang mungkin tidak mampu mengaitkan identitasnya dengan masa lalu tetapi akan terus menerus mengembangkannya melalui jaringan hubungan dengan orang lain, memberi pengaruh pada hubungan antar-gender, keluarga dan perubahan sosial.

 Dunia dewasa ini disebut oleh Manuel Castells sebagai automaton, sesuatu yang lepas dari kendali kontrol manusia. Manuel Castells, seorang sosiolog berkebangsaan Spanyol melihat bahwa electroniccally based system of financial transaction akan menguasai dunia usaha dan dunia seluruhnya. Sekarang ini telekomunikasi dan komputer adalah basis dari produksi.  Media berperanan besar bagi terjadinya perubahan sosial. (Paulus Wirotomo, “Pembangunan Sosietal”, 2022:63).

Kegiatan anak-anak SCBD juga telah menghasilkan transaksi finansial. Aktivitas mereka telah melahirkan penghasilan dan sumbangsih bagi keluarganya, disamping juga semakin menggerakkan dinamika ekonomi usaha kecil di kawasan Dukuh Atas yang menyebar ke berbagai kota di Indonesia. Surabaya, Malang, Bandung, Jember, Tuban, Makassar, Balikpapan, Samarinda, NTT dan kota-kota lainnya terkena demam CFW. Tampaknya mereka tengah berperan menjadi agen perubahan sosial dan mampu memberi inspirasi dan kontribusi kepada sesamanya di banyak kota lainnya.

 

Inspirasi dan Kontribusi

Adalah sebuah aktualisasi dan ekspresi diri yang penuh makna dengan menjadikan hidup berguna bagi banyak orang. Kebahagiaan menemukan makna hidup dan hakikat sukses dengan mampu berkontribusi atau memberi (giving), sebagaimana yang diungkapkan Arianna Huffington, dalam bukunya “The Tvrive: The Third Metric to Redefining Success and Creating a Life of Well-Being, Wisdom and Wonder, “Harmony Books, 2014.

Arianna mengungkapkan dan memberikan ide besar bagaimana menemukan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Arianna mengungkapkannya yakni mengisi kehidupan dengan hal-hal yang bermakna seperti memberi (giving) kepada orang lain, berkontribusi kepada orang banyak.

 Anak-anak “CFW” telah mengawalinya dan menuai sukses, menemukan identitas diri dan ekspresi diri dari sebuah aktivitas yang tidak secara sengaja. Mulanya sekedar membunuh waktu dalam pencaharian identitas diri, ekspresi diri secara bebas seadanya dan original, namun pada akhirnya menjadi titik awal gelombang perubahan. Tidak salah bila CFW yang dimulai dari sebuah peristiwa organik dan original itu dapat menularkan virus aktualisasinya kepada remaja-remaja di kota lainnya.

Sungguh masa kehidupan yang tanpa sengaja membuahkan kesuksesan dari anak-anak remaja Citayam yang mengawali CFW itu. Suatu fase kehidupan yang dijalani dan patut dihargai karena telah memberi dampak positif dan kebaikan untuk orang banyak, serta kontribusi untuk sebuah perubahan, dinamika  kemajuan negeri atas aktualisasi diri yang membawa pencerahan.

Tidak berlebihan kalau mereka sepertinya juga sedang mewujudkan kata-kata bijak Master Cheng Yen dalam bukunya “The Thirty Seven Principles of Enlightenment,” (1999). Dalam buku itu, pendiri Tzu Chi foundation itu mengungkapkan untuk selalu ‘being doing good deeds” yakni dengan menumbuhkan perhatian pada tindakan-welas asih, kebaikan yang berguna bagi orang banyak, layaknya menyalakan sebatang lilin yang akan menulari lilin-lilin lainnya dimana kebaikan itu menular dan menyebar dan berlanjut.

Kebaikan bisa menulari penerima untuk melakukan tindakan serupa dan menirunya. Penelitian psikologis oleh Amit Kumar dari The University of Texas Austin Mc Combs School of Business bersama dengan Nicholas Epley dari Universitas of Chicago dalam “Journal of experimental Psychology: General” melaporkan temuannya bahwa melakukan kebaikan sekecil apa pun itu memang bisa menular dan meningkatkan kebahagiaan (Kompas, 20/8/22). Tak keliru bila CFW pun menular ke kota-kota lain. (JP) ***

http://www.viva.co.id/gaya-hidup/gaya/1502098-sisi-gelap-fenomena-citayam-fashion-week-terungkap

 

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH).
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor).
Butuh bantuan?