Oleh: Jo Priastana
“We go on deeper and deeper and deeper and deeper,
until we reach the point where there is no answer,
or of anything whatsoever, for that matter.
This hopelessness is the essence of crazy wisdom.
It is hopeless, utterly hopeless.”
(Chogyam Trungpa)
Di zaman modern abad 20 Buddhadharma bergerak ke dunia Barat, dan diantara banyak tokoh yang menggerakkannya itu, terdapat satu nama yang begitu fenomenal, yaitu: Chogyam Trungpa (5 Maret 1939- 4 April 1987). Tokoh yang dikenal kontroversial ini adalah seorang guru meditasi Buddhis dari Tibet, pemegang silsilah aliran Kagyu dan Nyingma dari Buddhisme Tibet. Sebagai guru, ia memiliki kepribadian yang sangat unik, tidak lazim menurut norma sosial maupun norma agama pada umumnya.
Ia memiliki banyak bakat dan aktivitas. Selain dikenal sebagai guru, ia juga seorang penyair, seniman, dan tokoh Buddhis yang sangat cerdas. Seorang tokoh Buddhis yang radikal, namun dianggap sebagai representasi ajaran Buddha Tibet bersama mitos Shambala. Tokoh yang bisa dianggap sebagai misionaris Buddhadharma ke dunia Barat ini dipandang bergerak secara tidak lazim. Banyak hal kontroversial dalam sikap dan hidupnya, namun justru membuat banyak orang Barat menengok Buddhisme Tibet.
Bisa dipertanyakan, apakah sikap hidupnya yang kontroversial sebagai seorang guru Buddhis itu sekedar untuk menyesuaikan dengan cara budaya barat dalam rangka penyebaran benih Buddhadharma secara kontekstual? Ataukah memang sikap dan hidupnya bergaya hidup Barat yang materialis-hedonis namun cerdas intelektualis itu sungguh juga sebagai sebuah cermin dari ajaran yang dihayatinya yang mengandung nilai esensial tentang wisdom-energi?
Budddhadharma di Barat
Meski kontroversial, Chogyam Trungpa diakui baik oleh umat Buddha Tibet maupun oleh praktisi dan cendekiawan, spiritualis lainnya sebagai guru terkemuka Buddhisme Tibet. Chogyam Trungpa menjadikan Buddhisme Tibet dikenal oleh masyarakat Barat sesuai dengan budaya Barat. Ia menyesuaikan gaya hidupnya dengan kondisi masyarakat dan Budaya Barat dan inilah yang menjadikan Chogyam Trungpa kontoversial. Ia melepaskan jubahnya untuk menikah dan meladeni gaya hidup materialistis-hedonis Barat.
Strategi penyesuaian atas kultur Barat itu juga termasuk dalam mengenalkan Vajrayana ke Barat dengan mendirikan Univeritas Naropa di Colorado Amerika Serikat. Melalui universitas ini, ia mensinergikan Buddhadharma dengan budaya modern. Berbagai macam disiplin ilmu termasuk kesenian modern masuk dalam kurikulum. Sinergitas ini dilakukannya dalam rangka menumbuhkan Buddhadharma secara akademik yang mampu merespons perkembangan zaman budaya Barat.
Selain itu, tokoh terkemuka dalam penyebaran agama Buddha di Barat di abad 20 ini juga mendirikan institusi Shambala. Institusi Shambala ini bergerak dalam pelatihan dan meditasi, metode spiritual, kepustakaan, penerbitan buku-buku dan spiritualitas. Segenap aktivitasnya itu dipadu dengan estetika dan budaya modern, seperti dalam seni musik, film dan lainnya. Segenap akitivitas dan program ini menunjukkan kreativitasnya dalam menghadirkan pendidikan Buddhadharma secara modern.
Chogyam Trungpa diakui baik oleh umat Buddha Tibet maupun oleh praktisi dan cendekiawan, spiritualis sebagai guru terkemuka Buddhisme Tibet. Aktivitasnya ini menjadikan Buddhisme Tibet dikenal luas oleh masyarakat Barat yang terkenal dengan hedonisme, materialistis dan intelektualis. Ia meladeni gaya hidup barat, dan menjadikannya sebagai tokoh Buddhis yang kontroversial dalam menjalani hidupnya sebagai guru Buddhis di dunia Barat itu.
Tokoh Buddhis Tibet ini terkenal cerdas dan piawai dalam menanam benih Buddhadharma dalam kondisi masyarakat Barat. Ia berhasil mendekatkan masyarakat Barat kepada spiritualitas Buddhisme Tibet dan sekaligus mengembangkan Buddhadharma dalam aura budaya modernisme Barat. Chogyam Trungpa memberikan kontribusinya yang sangat significant bagi masyarakat Barat terhadap Buddhadharma. Banyak lahir darinya tokoh-tokoh Buddhis Barat terkemuka.
Chogyam Trungpa (1939-1987) meninggal dalam usia masih muda, 48 tahun. Dalam masa kehidupannya yang singkat namun intens, beliau dipandang telah memberikan kontribusinya yang sangat signifikan bagi masyarakat Barat terhadap Buddhadharma. Banyak karya tulisnya yang bersumber pada teks Buddhis Tibet, serta ungkapan-ungkapan yang memperlihakan kecerdasan kebijaksanaannya yang kritis, spontan dan berani, sekaligus humanis dan humoris.
Chogyam Trungpa terkenal dengan istilahnya Crazy Wisdom, dan mungkin juga istilah itu menjadi julukan bagi hidupnya. Selain itu, ia juga mempopulerkan istilah spiritual-materialism dan sekaligus mengingatkan akan bahaya dan kecenderungan yang terjadi dalam kehidupan beragama yang tidak substansial. Kehidupan keberagamaan yang tidak sepenuhnya esensial sesuai substansi ajaran namun sekedar gimmick yang kerap terjadi dalam ritualisme dan pelatihan spritual, dimana sarana dimutlakkan jadi tujuan akhir.
Crazy Wisdom Padmasambhava
Sepertinya mereka yang mencapai level kehidupan spiritual tertinggi seperti wisdom atau kebijaksanaan akan bersifat crazy, kegilaan, yakni kehidupan yang dijalani mengatasi ukuran-ukuran kehidupan yang biasa atau pada umunnya. Dalam tradisi Tantra tampaknya hal ini juga terjadi dalam tokoh-tokoh lainnya. Padmasambhava atau Guru Rinpoche, yang membawa Buddhadharma ke Tibet, dan dipandang sebagai seorang yang suci dan bijaksana juga memiliki kualifikasi yang demikian. Disebutkan ada delapan aspek atau manifestasi yang mencerminkan spiritulitas-kebijaksanaannnya dan yang berpuncak pada julukannya sebagai Dorje Trolo, aspek absolut yang mencerminkan crazy wisdom.
Sedikit kutipan tentang pemahaman crazy wisdom dalam Tantra Tibet ini. “The crazy wisdom character Padmasambhava as Dorje Trolo is that of a guru who is unwilling to compromise with anything. If you stand in his way, you are asking for destructions. If you have doubts about him, he takes advantages of your doubts. If you are too devotional or too dependent on blind faith, he will shock you. He takes the ironical aspect of the world very seriously. He plays practical jokes on a larger scale – devasting ones.” (Carolyn Rose Gimian, ed., “The Essential Chogyam Tryngpa, Shambala, 1999: 192).
“That is why crazy wisdom is to build you up: build up your ego to the level of absurdity, to the point of comedy, to a point that is bizarre – and then suddenly let you go. So, you have a big fall, like Humpy Dumpty. One of the expressions of crazy wisdom is that you can’t get away from it. It is everywhere (whatever “it” is). Surrender.” (Carolyn Rose Gimian, ed., “The Essential Chogyam Trungpa”, Shambhala, Boston-London, 1999: 190).
Divine Madness
Sebagai pencapaian spiritual yang tercermin dalam Crazy Wisdom terdapat juga di berbagai tradisi agama lainnya. “Also known as theia mania (Yunani) and crazy wisdom, refers to unconventional, outregous, unexpected, or unpredictable behavior linked to religious or spiritual pursuits. Example of divine madness can be found in Buddhism, Christianity, Hellenism, Hinduisme, Islam, Judaism, and Shamanism.” (wikipedia)
Crazy wisdom merujuk pada Theia mania, (Yunani kuno). Sebuah istilah yang digunakan oleh Plato dalam dialog dengan Phaedrus untuk menguraikan, “a condition of divine madness (unusual behavior attributed to the intervention of a God). In this work, dating from around 370 BC, Socrates argues that madness is not necessarily an evil, claiming that “the greatest of blessings come to us through madness, when it is sent as a gift of the gods”. (wikipedia).
“It is usually explained as a manifestation of Enlightened behavior by persons who have transcended societal norms, or as a means of spiritual practice or teaching among mendicants and teachers. These behaviors may seem to be symptoms of mental illness to mainstream society, but are a form of religious ecstasy, or deliberate “strategic, purposeful activity, by highly self-aware individuals making strategic use of the theme of madness in the construction of public persona.” (wikipedia).
George Feurstein mencatat beberapa pribadi crazy wisdom dari orang tercerahkan. “Zen poet Hanshan (fl. 9th century) as having divine madness, explaining that when people would ask him about Zen, he would only laugh hysterically. The Zen master Ikkyu (15th century) used to run around his town with a human skeleton spreading the message of the impermanence of life and the grim certainty of death. According to Feursten, similar forms of abnormal social behavior and holy madness is found in the history of the Christian saint Isadora and the sufi Islam storyteller Mulla Nasruddin. Divine madness has parallels in other religions, such as Judaism and Hinduism.” (wikipedia)
Bagaikan mengupas bawang yang berlapis-lapis sampai pada intinya tidak menemukan apa-apa, kosong. Mungkin begitulah pencaharian spiritual yang bersifat radikal. Sejalan dengan istilah “divine madness”, dengan perilaku yang tidak pada umumnya untuk mereka yang tercerahkan, maka dalam pandangan Choyam Trungpa esensi crazy wisdom adalah hopeless. Lebih jauh dikatakannya (wikipedia):
“Instead, we explore further and further and further without looking for an answer. We don’t make a big point or an answer out of any one thing. For example, we might think that because we have discovered one particular thing that is wrong with us, that must be it, that must be the problem, that must be the answer. No. we don’t fixate on that, we go further. “why is that case?” we look further and further. We ask: “Why is this so?” Why is there this moment of relief?” Why is there such a thing as discovering the pleasure of spirituality? Why, why, why?” We go on deeper and deeper and deeper and deeper, until we reach the point where there is no answer, or of anything whatsoever, for that matter. This hopelessness is the essence of crazy wisdom. It is hopeless, utterly hopeless.” (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: https://htmlgiant.com/wp-content/uploads/2020/09/0.jpg